Tahap Awal OTDA Percontohan Periode Tahun 1995—1997

33 Pusat dan Daerah. Disusul terbitnya pula Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi Sebagai Daerah Otonom yang kemudian dengan analisis teori sisa sebagai kewenangan Pemerintah KabupatenKota, maka dijadikan dasar dalam pembuatan Peraturan Daerah KabupatenKota.

2.4.1.3. Tahap Dimulainya Pelaksanaan OTDA Secara Luas, Nyata dan

Bertanggung Jawab Sejak Januari 2001. Pada periode awal pelaksanaan OTDA secara luas, nyata dan bertanggung-jawab pelaksanaan desentralisasi di bidang kehutanan menemui hambatan-hambatan di bidang penentuan kebijakan-kebijakan sesuai dengan kewenangan dan tugas-tugas pokok yang harus diselenggarakan. Hal tersebut karena rencana peraturan-peraturan daerah yang telah diolah terpaksa harus disesuaikan dengan norma standarisasi dan kriteria tentang pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Hambatan penyelenggaraan desentralisasi di bidang kehutanan disebabkan oleh terlambatnya pengeluaran pedoman standarisasi dan kriteria pelaksanaan sistem pengelolaan, pengurusan pemanfaat hutanhasil hutan dan jasa lingkungan hutan, yang baru terbit akhir tahun 2000, sedangkan beberapa daerah kabupaten telah mempersiapkan jauh sebelumnya, sehingga terpaksa dilakukan penyesuaian-penyesuaian dengan standar dan norma yang harus dipenuhi. Selain itu, hambatan lainnya adalah tidak adanya upaya Departemen Kehutanan atau melalui Kantor Wilayah Propinsi untuk lebih cepat memberi informasi dan mensosialisasikan produk-produk peraturan atau perudangan danatau kebijakan-kebijakan baru dari pemerintah kepada pemerintah kabupaten sehingga seolah-olah ada kecenderungan Departemen Kehutanan belum siap menuju ke arah paradigma baru untuk melaksanakan desentralisasi di bidang kehutanan. 2.4.2. Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan Kehutanan dalam Konteks Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Community Based Forest Management Seperti telah diuraikan pada Bab Pendahuluan, salah satu perubahan paradigma pembangunan kehutanan di Indonesia adalah lebih memberikan penekanan pada Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat community based 34 forest management, atau disingkat PHBM, untuk memperkuat perekonomian daerah dan memberdayakan masyarakat setempatlokal. Seiring dengan proses desentralisasi kebijakan pengelolaan kehutanan dalam konteks OTDA yang momentumnya dimulai pada tahun 1995, PHBM dilakukan secara bersamaan dalam kerangka kebijakan Hutan Kemasyarakatan HKm. Sejak tahun 1995, konsep dan kebijakan HKm telah mengalami evolusi dari model partisipasi rakyat dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan 1995, kemudian model pemberian hak pengusahaan hutan kemasyarakatan kepada koperasi 1998, lantas model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok masyarakat setempat 1999 dan akhirnya menjadi model pengelolaan hutan desa oleh masyarakat setempat secara mandiri atau model pengelolaan hutan bersama masyarakat desa di kawasan hutan negara yang dikuasakan kepada swasta atau badan otorita lainnya 2000. Dasar kebijakan masing-masing model HKm seperti ditayangkan pada Tabel 2.3. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.677Kpts-II1998 tentang Hutan Kemasyarakatan, HKm didefinisikan sebagai hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh menteri untuk diusahakan oleh masyarakat setempat dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitik-beratkan kepentingan menyejahterakan masyarakat. Masyarakat pengelola HKm adalah kelompok-kelompok orang yang tinggal dalam di dalam atau di sekitar hutan dengan ciri komunitas. Kebijakan HKm pada tahun 2000 dilakukan dalam merespon UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Kedua UU dan PP tersebut diikuti dengan perubahan kebijakan penyelenggaraan program HKM dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.31Kpts-II2000 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Beberapa perubahan penting yang berkaitan dengan otonomi daerah dan peluang masyarakat lokal untuk turut mengelola hutan negara diantaranya adalah: • HKm diselenggarakan dengan azas kelestarian fungsi hutan, kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya alam yang demokratis, keadilan sosial, akuntabilitas publik, serta kepastian hukum. 35 Tabel 2.3. Perkembangan Kebijakan Model Hutan Kemasyarakatan Tahun Dasar Kebijakan SK Mentri Kehutanan, PP, dll Deskripsi Hutan Kemasyarakatan 1995 SK No.622Kpts-II1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan Model partisipasi rakyat dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan 1998 SK No.677Kpts-II1998 tentang Hutan Kemasyarakatan Model pemberian hak pengusahaan hutan kemasyarakatan kepada koperasi 1999 SK No.865Kpts-II1999 tentang Penyempurnaan SK No.677Kpts- II1998 tentang Hutan Kemasyarakatan Model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok masyarakat setempat 2000 SK No.31Kpts-II2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Model pengelolaan hutan desa oleh masyarakat setempat secara mandiri atau model pengelolaan hutan bersama masyarakat desa di kawasan hutan negara yang dikuasakan kepada swasta atau badan otorita lainnya 2007 Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan. Pemberdayaan masyarakat setempat dapat dilakukan melalui : a. hutan desa; b. hutan kemasyarakatan; atau c. kemitraan. 2007 Permenhut Nomor: P.37Menhut- II2007 tentang Hutan Kemasyarakatan Model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok masyarakat setempat, baik pemanfaatan hasil hutan non kayu IUPHKm pada hutan lindung dan hutan produksi, maupun hasil hutan kayu IUPHHK HKm pada hutan produksi. 2008 Permenhut No: P.49Menhut- II2008 tentang Hutan Desa Dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari, hutan negara dapat dikelola untuk kesejahteraan desa melalui Hutan Desa. • Desentralisasi pengelolaan HKm, yang semula perijinan menjadi kewenangan Kanwil Kehutanan Propinsi dilimpahkan menjadi kewenangan BupatiWalikota. Demikian pula kawasan HKm adalah kawasan yang diusulkan oleh BupatiWalikota melalui Gubernur untuk ditetapkan oleh Menteri. • Pemanfaatan hutan meliputi pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan non- kayu, pemungutan hasil hutan kayu, dan pemungutan hasil hutan non kayu; sepanjang tidak mengganggu fungsi pokok hutan tersebut.