33 Pusat dan Daerah. Disusul terbitnya pula Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi Sebagai Daerah Otonom yang kemudian dengan analisis teori sisa sebagai kewenangan Pemerintah
KabupatenKota, maka dijadikan dasar dalam pembuatan Peraturan Daerah KabupatenKota.
2.4.1.3. Tahap Dimulainya Pelaksanaan OTDA Secara Luas, Nyata dan
Bertanggung Jawab Sejak Januari 2001. Pada periode awal pelaksanaan OTDA secara luas, nyata dan
bertanggung-jawab pelaksanaan desentralisasi di bidang kehutanan menemui hambatan-hambatan di bidang penentuan kebijakan-kebijakan sesuai dengan
kewenangan dan tugas-tugas pokok yang harus diselenggarakan. Hal tersebut karena rencana peraturan-peraturan daerah yang telah diolah terpaksa harus
disesuaikan dengan norma standarisasi dan kriteria tentang pengelolaan hutan secara berkelanjutan.
Hambatan penyelenggaraan desentralisasi di bidang kehutanan disebabkan oleh terlambatnya pengeluaran pedoman standarisasi dan kriteria
pelaksanaan sistem pengelolaan, pengurusan pemanfaat hutanhasil hutan dan jasa lingkungan hutan, yang baru terbit akhir tahun 2000, sedangkan beberapa
daerah kabupaten telah mempersiapkan jauh sebelumnya, sehingga terpaksa dilakukan penyesuaian-penyesuaian dengan standar dan norma yang harus
dipenuhi. Selain itu, hambatan lainnya adalah tidak adanya upaya Departemen Kehutanan atau melalui Kantor Wilayah Propinsi untuk lebih cepat memberi
informasi dan mensosialisasikan produk-produk peraturan atau perudangan danatau kebijakan-kebijakan baru dari pemerintah kepada pemerintah
kabupaten sehingga seolah-olah ada kecenderungan Departemen Kehutanan belum siap menuju ke arah paradigma baru untuk melaksanakan desentralisasi
di bidang kehutanan.
2.4.2. Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan Kehutanan dalam Konteks Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Community Based Forest
Management
Seperti telah diuraikan pada Bab Pendahuluan, salah satu perubahan paradigma pembangunan kehutanan di Indonesia adalah lebih memberikan
penekanan pada Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat community based
34 forest management, atau disingkat PHBM, untuk memperkuat perekonomian
daerah dan memberdayakan masyarakat setempatlokal. Seiring dengan proses desentralisasi kebijakan pengelolaan kehutanan dalam konteks OTDA yang
momentumnya dimulai pada tahun 1995, PHBM dilakukan secara bersamaan dalam kerangka kebijakan Hutan Kemasyarakatan HKm. Sejak tahun 1995,
konsep dan kebijakan HKm telah mengalami evolusi dari model partisipasi rakyat dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan 1995, kemudian model
pemberian hak pengusahaan hutan kemasyarakatan kepada koperasi 1998, lantas model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok
masyarakat setempat 1999 dan akhirnya menjadi model pengelolaan hutan desa oleh masyarakat setempat secara mandiri atau model pengelolaan hutan
bersama masyarakat desa di kawasan hutan negara yang dikuasakan kepada swasta atau badan otorita lainnya 2000. Dasar kebijakan masing-masing model
HKm seperti ditayangkan pada Tabel 2.3. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
No.677Kpts-II1998 tentang Hutan Kemasyarakatan, HKm didefinisikan sebagai hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh menteri untuk diusahakan
oleh masyarakat setempat dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitik-beratkan kepentingan menyejahterakan
masyarakat. Masyarakat pengelola HKm adalah kelompok-kelompok orang yang tinggal dalam di dalam atau di sekitar hutan dengan ciri komunitas.
Kebijakan HKm pada tahun 2000 dilakukan dalam merespon UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah PP
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Kedua UU dan PP tersebut diikuti dengan
perubahan kebijakan penyelenggaraan program HKM dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.31Kpts-II2000 tentang
Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Beberapa perubahan penting yang berkaitan dengan otonomi daerah dan peluang masyarakat lokal untuk turut
mengelola hutan negara diantaranya adalah: • HKm diselenggarakan dengan azas kelestarian fungsi hutan, kesejahteraan
masyarakat yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya alam yang demokratis, keadilan sosial, akuntabilitas publik, serta kepastian hukum.
35
Tabel 2.3. Perkembangan Kebijakan Model Hutan Kemasyarakatan
Tahun Dasar Kebijakan
SK Mentri Kehutanan, PP, dll
Deskripsi Hutan Kemasyarakatan
1995 SK No.622Kpts-II1995 tentang
Pedoman Hutan Kemasyarakatan Model partisipasi rakyat dalam kegiatan
reboisasi dan rehabilitasi hutan 1998
SK No.677Kpts-II1998 tentang Hutan Kemasyarakatan
Model pemberian hak pengusahaan hutan kemasyarakatan kepada koperasi
1999 SK No.865Kpts-II1999 tentang
Penyempurnaan SK No.677Kpts- II1998 tentang Hutan
Kemasyarakatan Model pemberian ijin pemanfaatan hutan
kepada kelompok-kelompok masyarakat setempat
2000 SK No.31Kpts-II2001 tentang
Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan
Model pengelolaan hutan desa oleh masyarakat setempat secara mandiri atau
model pengelolaan hutan bersama masyarakat desa di kawasan hutan negara
yang dikuasakan kepada swasta atau badan otorita lainnya
2007 Peraturan Pemerintah
No.6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan.
Pemberdayaan masyarakat setempat dapat dilakukan melalui :
a. hutan desa; b. hutan kemasyarakatan; atau
c. kemitraan.
2007 Permenhut Nomor: P.37Menhut-
II2007 tentang Hutan Kemasyarakatan
Model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok masyarakat
setempat, baik pemanfaatan hasil hutan non kayu IUPHKm pada hutan lindung dan
hutan produksi, maupun hasil hutan kayu IUPHHK HKm pada hutan produksi.
2008 Permenhut No: P.49Menhut-
II2008 tentang Hutan Desa Dalam rangka pemberdayaan masyarakat di
dalam dan sekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan hutan yang adil
dan lestari, hutan negara dapat dikelola untuk kesejahteraan desa melalui Hutan
Desa.
• Desentralisasi pengelolaan HKm, yang semula perijinan menjadi kewenangan Kanwil Kehutanan Propinsi dilimpahkan menjadi kewenangan
BupatiWalikota. Demikian pula kawasan HKm adalah kawasan yang diusulkan oleh BupatiWalikota melalui Gubernur untuk ditetapkan oleh
Menteri. • Pemanfaatan hutan meliputi pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan non- kayu, pemungutan hasil hutan kayu, dan pemungutan hasil hutan non kayu;
sepanjang tidak mengganggu fungsi pokok hutan tersebut.