a. Gaya Para Pihak Mengelola Konflik Status Lahan
Berdasarkan hasil analisis nilai tengah, keempat pihak menyatakan bahwa mereka akan bersikap kompromi dan kolaborasi dalam menyelesaikan
konflik status lahan di dalam kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis. Para pihak yang akan bersikap gaya mengelola konflik secara kolaborasi adalah
1 pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang, dan 2 pihak kabupaten. Kedua pihak tersebut memiliki nilai tengah gaya mengelola konflik masing-masing
sebesar 5,44 dan 5,31 atau dapat dinyatakan bahwa pihak LSM-perguruan tinggi-litbang bersikap lebih kolaboratif dari pihak kabupaten Tabel 5.4.2. Selain
itu, kedua pihak tersebut dapat dinyatakan bahwa dalam menghadapi konflik status lahan, mereka akan membawa kepentingan semua pihak dalam iklim
kerjasama yang terbuka untuk menghasilkan jalan keluar bersama . Tabel
5.4.2 Hasil Analisis Statistik Perbedaan Nilai Tengah Para Pihak
Terhadap Konflik.
Pengelompokan Uji T–Scheffe
Nilai tengah yang memiliki notasi yang sama adalah secara statistik dinyatakan
tidak berbeda nyata Nilai
Tengah n
Pihak
Konflik status lahan
A 5.4400
10 LSM+PT+Litbang
B A 5.3143
7 Kabupaten
B A 4.2889
9 Masyarakat
B 4.2267
15 Kecamatan
dan Pekon
Konflik Penataan Batas
A 5.5111
10 LSM+PT+Litbang
B A 4.8571
7 Kabupaten
B A 4.4800
15 Kecamatan
dan Pekon
B 4.2444
9 Masyarakat
Konflik hak masyarakat atas akses pengelolaan lahan kawasan hutan
A 5.3714
7 Kabupaten
A 5.2133
15 Kecamatan
dan Pekon
A 5.0600
10 LSM+PT+Litbang
A 5.0444
9 Masyarakat
Para pihak yang akan bersikap kompromi adalah 1 pihak masyarakat yang bertani di dalam kawasan, dan 2 pihak kecamatan-pekon yang memiliki
nilai tengah gaya mengelola konflik masing-masing sebesar 4,29 dan 4,23 atau pihak masyarakat lebih kompromistis dari pada pihak kecamatan-pekon. Selain
itu, kedua pihak tersebut dapat dinyatakan bahwa dalam menghadapi konflik status lahan, mereka akan berupaya menghindari kebuntuan, serta mengusulkan
jalan keluar yang sama-rata dan seimbang antara harapan suatu pihak terhadap pihak lain.
Seperti diuraikan sebelumnya, baik sikap kompromis maupun kolaboratif merupakan modal sosial untuk memulai suatu perundingan guna menyelesaikan
konflik secara konstruktif. Upaya intensifikasi konflik dapat dikatakan relatif sedikit diperlukan terutama agar gaya kompromis berubah menjadi gaya
kolaborasi. Upaya konkrit yang bisa ditempuh adalah dengan melalui pemberian pemahaman tentang manfaat-manfaat apa saja yang bisa diraih dan diterima
oleh para pihak yang berkonflik jika konflik status lahan ditangani. Dari hasil analisis, yang menarik justru adalah secara statistik perbedaan
yang nyata antara gaya konflik pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang terhadap gaya konflik pihak kecamatan-pekon. Perbedaan yang nyata tersebut
didapat ketika dilakukan pengelompokkan nilai tengah, pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang memiliki notasi nilai tengah “A” dan pihak kecamatan-
pekon memiliki notasi “B”. Artinya gaya konflik kedua belah pihak secara statistik berbeda nyata taraf uji 5 persen. Di lapang, hal tersebut dapat disebabkan oleh:
1 Tataran pemerintahan terdepan yang memiliki kewenangan mengelola urusan-urusan yang terkait dengan penetapan kawasan hutan, perubahan
status dan fungsi kawasan hutan, serta penetapan status pemilikan tanah adalah tataran pemerintah kabupaten. Setiap terjadi penyelesaian konflik
yang berkaitan dengan urusan perubahan status kawasan hutan, LSM- perguruan tinggi-lembaga litbang lebih banyak berhubungan ke kabupaten
dan amat jarang berhubungan dengan pihak kecamatan-pekon. Hal ini membuat partisipasi pihak kecamatan-pekon relatif termarjinalkan sehingga
mereka amat sedikit mengetahui tentang urusan tersebut yang kelanjutannya berdampak pada perbedaan gaya pengelolaan konflik secara nyata. Menurut
Kriesberg 1998, membaiknya gaya konflik suatu pihak memang dipengaruhi oleh sikap asertif dan kooperatif mereka, namun selain itu, juga dipengaruhi
oleh kualitas pemahaman mereka terhadap akar masalah penyebab terjadinya konflik yang diantaranya diperoleh melalui keikutsertaan mereka
dalam diskusi, dialog, dan perundingan. Konflik status wilayah Pekon desa Sukapura yang berada di dalam kawasan hutan lindung Register 45B Bukit
Rigis adalah contoh menarik untuk diketahui Lihat Kotak 2.
1.
2 Adanya proses perguliran kekuasaan dan pemekaran wilayah yang demikian cepat dan dinamis. Sejak September 2000 hingga Juli 2006 sudah terjadi
pergantian Camat Kepala Wilayah Kecamatan Sumberjaya sebanyak 5 kali yaitu: Khotob, Paksi Marga, Irhan Jailan, Mulyono, dan Basis. Pada awal
Kotak 5.3 Peran Serta Pihak Kecamatan dan Desa dalam Proses Kajian Perubahan Status
Kawasan Hutan, Kasus Pekon Sukapura Kecamatan Sumberjaya.
Sebagian wilayah Pekon Supakura Kecamatan Sumberjaya yaitu seluas 302,5 berada di dalam kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis dan masyarakat meminta agar
wilayah tersebut dikeluarkan dari “statusnya” sebagai kawasan hutan. Upaya penyelesaian kasus ini difasilitasi oleh sebuah LSM Yayasan Watala yang pendanaannya
didukung oleh MFP-DFID melalui Yayasan Kemala. Fasilitasi upaya penyelesaian dimulai pada tahun 2002 dengan melakukan pemetaan partisipatif terhadap lahan yang statusnya
berkonflik. Dengan dukungan kelembagaan dari ICRAF Asia tenggara, hasil pemetaan kemudian didialogkan ke instansi kabupaten yaitu Dinas Kehutanan dan PSDA, Kantor
BPN, Kantor BPLH, dan Bagian Tata Pemerintahan Kabupaten Lampung Barat. Sebagai tindak lanjut dialog, pada bulan November tahun 2003 terbitlah Surat Keputusan Bupati
Kabupaten Lampung Barat No.B231Kpts012003 tentang Tim Terpadu Pengkajian Permohonan Tanah Di Hutan Lindung Reg 45B Sekitar Pekon Sukapura yang anggota
Tim Kerjanya terdiri atas:
• Ketua : Sekretaris Daerah Lampung Barat
• Wk. Ketua : Assisten I Bupati
• Sekretaris : Kepala Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat
• Wk. Sekretaris : Kabag. Tata Pemerintahan
• Anggota :
- Dinas Kehutanan Propinsi Lampung - UPTD IPH Propinsi lampung
- BPLH Lampung Barat - Bapeda Lampung Barat
- Kepala Kantor BPN lampung Barat - Kabid Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat
- Kabag Organisasi dan Hukum - Kasubag Pemerintahan Umum dan Organisasi
- Bagian Pemerintahan Sekdakab - Kasubag Pemerintahan Pekon dan Kelurahan
- Kasubag Lanwilda dan Tatakota - Kasi Pemerintahan Kecamatan Sumberjaya
- Kasi Ekbang Kecamatan Sumberjaya - UPTD PHL Bukit Rigis
- Peratin
Sukapura - Universitas Lampung
- WATALA
- Suparman tokoh masyarakat Tim tersebut dibentuk berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.70Kpts-II2001 tentang
Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan dinyatakan pada Pasal 6 ayat 2.a bahwa penetapan kawasan hutan dilakukan diawali proses
penyampaian Berita Acara Tata Batas BATB dan peta tata batas yang telah ditandatangani oleh PTB Panitia Tata Batas. Penyampaian BATB dan peta tata batas
juga diberlakukan pada perubahan status kawasan hutan. Penunjukkan PTB adalah kewenangan BupatiWalikota. Permohonan perubahan status juga harus didahului dengan
studi kelayakan perubahan status yang dilaksanakan oleh sebuah Tim Terpadu yang ditetapkan oleh Bupati. Dengan demikian sudah tepat bahwa Bupati memiliki dasar untuk
membentuk Tim. Permasalahannya, di dalam SK tersebut tampak jelas, bahwa dari 18 anggota Tim Terpadu, hanya 2 orang dari tataran kecamatan dan pekon yang diperan
sertakan dalam studi kelayakan.