Migrasi Penduduk dan Terbentuknya Permukiman Di Sumberjaya

Kabupaten Lampung Utara. Akan tetapi tetap saja migrasi spontan berdatangan dari Pulau Jawa dan Bali dan merupakan transmigran generasi kedua dan ketiga ke Sumberjaya. Pendatang spontan yang umumnya bersifat kewirausahaan lebih baik daripada para transmigran tahun 1950-an, tertarik pada kesuburan tanahnya. Hingga saat itu, masih banyak dasar lembah yang cukup luas yang tertinggal. Pendatang-pendatang suku Jawa dan Sunda memanfaatkan kondisi lansekap pelembahan yang tidak diminati oleh Suku Semendo untuk budidaya kopi, dan mengubahnya menjadi pertanian sawah beririgasi. Legenda: Pedesaan 1920-1930 Desa BRN 1950-1959 Perkebunan rakyat Gambar 4.6. Peta Situasi Perkampungan Tua Suku Semendo pada tahun 1920-1930 dan desa-desa gelombang kedua dari penduduk Sunda dan Jawa sejak tahun 1950 Sumber: Benoit 1989 dalam Verbist dan Pasya 2004. 4.4.3.2 Kependudukan Di Dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Kecamatan Sumberjaya dan Konflik Yang Terjadi. Jumlah penduduk Sumberjaya tumbuh dengan pesat mulai tahun 1976 yaitu sebanyak 37.557 jiwa meningkat dua kali lipat hingga tahun 1986 sebanyak 75.598 jiwa. Pada kurun waktu yang sama terjadi deforestasi secara masif dan memicu kekhawatiran di Departemen Kehutanan. Mereka mentengarai pesatnya pertumbuhan penduduk sebagai penyebab deforestasi yang terjadi. Jika menggunakan data jumlah penduduk Tahun 2003 yaitu sebesar 85.408 jiwa Gambar 4.7, maka diperoleh laju pertumbuhan penduduk sejak tahun 1978 hingga tahun 2003 sebesar 3.34 persen per tahun. Di wilayah Kabupaten Lampung Barat, kecamatan tersebut merupakan salah satu kecamatan yang memiliki laju pertumbuhan penduduk yang tertinggi setelah Kecamatan Bengkunat. 37 55 7 44 72 2 60 00 5 65 25 5 64 90 7 66 13 1 67 05 5 70 77 9 75 58 9 76 51 9 78 56 7 78 75 9 80 51 6 80 86 9 80 90 9 81 13 8 76 83 6 78 67 776 49 78 90 7 79 65 1 79 98 6 81 23 5 85 40 8 35000 40000 45000 50000 55000 60000 65000 70000 75000 80000 85000 90000 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2003 Tahun J um la h P e nduduk Gambar 4.7. Pertumbuhan Penduduk di Sumberjaya Sumber: Verbist 2001; Biro Pusat Statistik Lampung Barat 2003; Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung 2005. Pertumbuhan penduduk Sumberjaya kemudian relatif konstan terutama pada 1986 hingga tahun 1990. Yang menarik justru terjadi pada tahun 1990 hinggga tahun 1996, jumlah penduduk menurun dari 80.516 jiwa menjadi 764.90 jiwa dengan laju penurunan penduduk sebesar 0,85 persen. Tidak ada dokumen statistik dari BPS yang bisa menjelaskan apakah penurunan jumlah penduduk tersebut terjadi secara alami yaitu angka kematian lebih besar dari angka kelahiran atau secara tidak alami migrasi keluar lebih besar dari migrasi masuk. Namun demikian, tercatat beberapa peristiwa penting yang diduga sebagai penyebab turunnya jumlah penduduk tersebut yaitu: • Pada bulan Juli 1994, Tim Koordinasi Pengamanan Hutan TKPH yang terdiri atas aparat kepolisian, kehutanan, dan pemerintah daerah melakukan operasi pengusiran penduduk di kawasan hutan di sekitar desa-desa Purajaya, Purawiwitan, dan Muarajaya Kecamatan Sumberjaya. Rumah-rumah di 86 lokasi pemukiman dirobohkan, lebih dari 700 hektar tanaman kopi dibabati dan penduduk diusir dari kawasan hutan. Sebagian dari 1.271 KK ditranslokkan ke Mesuji Lampung Utara, sementara yang lain diusir begitu saja. Konflik meledak di lapang. • Pada Pebruari 1995, terjadi pengusiran secara bersamaan di dua kecamatan berdampingan yaitu Kecamatan Bukit Kemuning tepatnya Desa Dwi Kora sebanyak 55KK dan Kecamatan Sumberjaya tepatnya di Desa-desa Sukapura, Tribudisyukur sebanyak 149 KK. Pengusiran juga disertai pembabatan tanaman kopi produktif lebih dari 1000 hektar di dalam kawasan hutan lindung Register 45 Bukit Rigis dan Register 34 Tangkit Tebak. Pengusiran yang dikenal dengan Operasi Jagawana I tersebut dilaksanakan atas SK Gubernur No.52250287041995 tanggal 26 Januari 1995 berbiaya Rp.173 juta dan melibatkan 167 personil polsus kehutanan, 2 pleton Brimob, 6 ekor kuda, 20 gergaji mesin, 200 pekerja, dan 17 ekor gajah terlatih dati Taman Nasional Way Kambas. Konflik semakin meningkat. Sebanyak 3 ekor gajah mati mungkin kelelahan? dan ironisnya tidak ada sedikitpun suara yang menggugat tentang eksploitasi satwa lindung, apalagi terhadap pengusiran penduduk tersebut. Hingga kini, masyarakat setempat mengenang dan menyebut peristiwa kelabu tersebut dengan istilah “Operasi Gajah”. • Jumlah penduduk yang dikeluarkan dari kawasan tersebut diduga lebih banyak karena belum termasuk masyarakat yang eksodus ketakutan mendengar adanya operasi tersebut. Kini Kecamatan Sumberjaya terdiri atas 28 desa dengan luas wilayah 54.194 hektar 1 atau 10,95 dari total luas Kabupaten Lampung Barat. Desa-desa tersebut tersebar mengelilingi kawasan Hutan Lindung Registaer 45B Bukit Rigis. 4.4.3.3 Perubahan Penggunaan Lahan Di Kecamatan Sumberjaya dan Deforestasi Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Di samping tanahnya yang subur bagi kegiatan pertanian, letak geografis wilayah yang amat strategis diduga menjadi faktor penarik pesatnya laju pertumbuhan di Kecamatan Sumberjaya yang memiliki wilayah seluas 54.194 hektar Tabel 4.9. Tabel 4.9 Penggunaan lahan di Kecamatan Sumberjaya, Tahun 2000 Penggunaan lahan Luas ha Persen Sawah 2447 4.52 Sawah berpengairan 2060 Teknis Setengah teknis Sederhana 445 Non PU 1615 Tadah hujan 387 Pasang surut Lebak, polder Pekarangan 2051 3.78 Tegalankebun 2150 3.97 Ladanghuma 1835 3.39 Padang rumput 0.00 Bera 753 1.39 Hutan rakyat 0.00 Hutan negara 31571

58.26 Perkebunan 12449

22.97 Rawa-rawa 0 0.00 Tambak 0 0.00 Kolam 216 0.40 Lain-lain 722 1.33 TOTAL 54194 100.00 Sumber: Monografi Kabupaten Lampung Barat, 2001 Dari total luas wilayah kecamatan tersebut, penggunaan lahan yang terbesar adalah kawasan hutan seluas 31.572 hektar atau sebesar 58,26, perkebunan 1 Pada tahun 2000, Kecamatan Sumberjaya dimekarkan menjadi dua yaitu Kecamatan Sumberjaya di wilayah timur dan Kecamatan Way Tenong di wilayah barat. Masing-masing terdiri atas 14 desa. Hingga saat ini, data statistik yang tersedia masih belum dipisahkan sesuai dengan pemekaran tersebut. seluas 12.449 hektar atau sebesar 22,97, dan persawahan seluas 2.447 hektar atau sebesar 4,52. Luas wilayah Kecamatan Sumberjaya identik dengan luas Sub-DAS Way Besay yang didalamnya terdapat beberapa kawasan Hutan Lindung yang fungsi ekosistemnya memiliki pengaruh peran terhadap fungsi perlindungan DAS Gambar 4.8. Kawasan-kawasan hutan lindung tersebut yaitu: 1 Register 39 Kota Agung Utara Total luas 49.994 hektar membentang dari Kecamatan Sumberjaya hingga ke selatan ke Kecamatan Pulau Panggung Kabupaten Tanggamus, 2 Register 44B Way Tenong Kenali Total luas 14.000 hektar membentang dari Kecamatan Sumberjaya dan Kenali Kabupaten Lampung Barat hingga ke utara ke Kabupaten Way Kanan, 3 Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Total 8.295 hektar dan seluruhnya berada di dalam Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat, dan 4 Register 46B Palakiah Total luas 1800 hektar membentang dari Kecamatan Sumberjaya hingga ke Barat ke Taman Nasional Bukist Barisan Selatan Kabupaten Lampung Barat. Dari keempat kawasan tersebut, Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis merupakan kawasan hutan yang ekosistemnya paling berpengaruh terhadap sub- DAS Way Besay karena letaknya berada di tengah-tengah tempat berasalnya anak- anak sungai yang mengalir ke Way Besay. Register tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan pada masa kolonialisasi Belanda melalui Besluit Residen No.117 tanggal 19 Maret 1935. Sebelum tahun tersebut, status lahan kawasan adalah tanah marga. Pada akhir tahun 2000, deforestasi di kawasan tersebut sudah mencapai tingkat amat kritis, diperkirakan seluas 6.000 hektar sudah tidak behutan lagi dan tercatat sebanyak 2000 KK petani yang bermukim di dalamnya Dirpa, 2002. Sebagai ilustrasi visual, rona deforestasi kawasan tersebut seperti terlihat pada Gambar 4.9. Gambar 4.8 Peta situasi beberapa kawasan hutan lindung di dalam Kecamatan Sumberjaya Sumber: ICRAF. Sebenarnya deforestasi di Sumberjaya sudah mulai terjadi sebelum Besluit Residen dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda. Pada tahun 1933, pelayanan perluasan pertanian Kolonial menyatakan: “Sebagaimana Lampung tidak ada lagi memiliki hutan yang berlimpah, sangatlah penting menciptakan manfaat ekonomi dari lahan yang tersedia tanpa menghambat pengembangan budidaya kopi lokal”. Hal tersebut tidak hanya merekomedasikan upaya peremajaan kebun kopi yang sudah ada dengan coppicing, tetapi juga pembukaan lahan-lahan baru kawasan hutan yang sebelumnya adalah berupa tanah marga Verbist dan Pasya, 2004.