Kerangka Pemikiran Pemecahan Masalah

9 komunitas adat berkaitan. Sedangkan gugatan serupa yang datangnya dari masyarakat pendatang yang telah lama menetap, merupakan akibat dari “ketidak-benaran atau pemutarbalikkan” sejarah status dan kepemilikan lahan sebelum kawasan tersebut ditetapkan menjadi kawasan hutan negara. Lemahnya upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik status kepemilikan dan akses pengelolaan lahan kawasan hutan cenderung berpotensi menyulut konflik-konflik lingkungan lainnya. “Pendudukan kembali” atas lahan gugatan yang dilakukan oleh komunitas tertentu biasanya cenderung diikuti oleh konversi lahan ke dalam bentuk penggunaan lain. Masalah lingkungan berikutnya akan timbul ketika konversi lahan tersebut menjadi suatu proses deforestasi tidak dapat balik irreversible deforestation yang menuju kepada degradasi hutan berikut fungsi lingkungannya dan berpengaruh negatif terhadap wilayah lainnya. Seperti telah dinyatakan pada Sub-bab 1.2, menurut Buckles 1999 terdapat empat kelompok masalah yang mempengaruhi terjadinya konflik pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan yaitu 1 eksternalitas negatif, 2 kelangkaan sumberdaya alam, 3 ketimpangan distribusi penguasaan sumberdaya alam, dan 4 perbedaan etik lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan penanganan konflik. Eksternalitas negatif terjadi karena sumberdaya alam tercakup embedded di dalam suatu lingkungan yang masing-masing komponennya saling berinteraksi sehingga aktivitas manusia yang mengubah keseimbangan ekosistem di suatu wilayah dapat menimbulkan pengaruh dan dampak lingkungan di wilayah lainnya Buckles, 1999. Eksternalitas negatif juga mencakup faktor eksternal yang mengakibatkan seseorang mengelola sumberdaya alam yang menurut pendapat umum dilakukan secara tidak lestari misalnya konversi lahan hutan. Dikaitkan dengan kondisi lapang di lokasi penelitian, beberapa peubah eksternalitas negatif yang diduga menjadi penyebab seseorang memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan adalah: 1 bencana alam antropogenik yang menimpa kegiatan pertanian di luar kawasan, 2 harga komoditas yang nantinya akan dibudidayakan di dalam kawasan, 3 informasi pasar yang berkaitan tentang kepastian harga komoditas, 4 pengaruh pasar yang berkaitan dengan kepastian akan aktor yang akan membelimenampung komoditas yang dihasilkan, dan 5 ketersediaan sarana pendukung terutama jaringan transportasi ke bidang lahan yang dikonversi lihat Sub-model A Gambar 1.1. 10 Sumberdaya alam merupakan salah satu sumber kehidupan manusia yang ketersediaannya tidak tak terbatas. Peningkatan pertumbuhan penduduk perlu diimbangi dengan ketersediaan berbagai bahan pokok seperti produk primer sektor pertanian secara memadai. Di daerah perdesaan terutama di negara-negara berkembang yang memiliki ciri negara agraris, umumnya ketersedian lahan adalah faktor penentu dan merupakan salah satu natural capital yang penting bagi kelangsungan kegiatan pertanian. Oleh karenanya, kelangkaan sumberdaya lahan pertanian yang tersedia di perdesaan dapat memicu terjadinya tekanan penduduk terhadap lahan yang diikuti oleh konversi lahan non-pertanian yang relatif masih subur dan umumnya lahan tersebut adalah lahan hutan Buckles, 1999. Kelangkaan tersebut termasuk kelangkaan status kepemilikan lahan. Dari berbagai kasus, konflik lingkungan akan semakin mudah mencuat apabila ada desakan ekonomi seperti rendahnya pendapatan rumah tangga sehingga mendorong seseorang masuk ke dalam kawasan hutan diikuti dengan konversi lahan secara tak terkendali dan “ilegal” karena kawasan tersebut berdasarkan statusnya diperuntukkan sebagai kawasan hutan lindung. Di lokasi penelitian, peubah-peubah: 1 luas penguasaan lahan pertanian di luar kawasan, 2 status kepemilikan lahan pertanian di luar kawasan, dan 3 pendapatan rumah tangga diduga mempengaruhi persepsi responden bahwa kebutuhan lahan pertanian perlu ditingkatkan Sub-model C Gambar 1.1. Konflik lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya alam terjadi karena sumberdaya alam tercakup di dalam suatu pembagian ruang sosial shared social space yang kompleks dan memiliki hubungan yang tidak merata yang terbangun oleh proses interaksi antar-aktor sosial sehingga terjadi ketimpangan distribusi penguasaan dan perbedaan akses keterlibatan dan hak individu danatau kelompok masyarakat dalam mengelola kawasan hutan Buckles, 1999 sehingga menimbulkan ketimpangan struktural Moore, 1996. Di dalam dimensi politik, aktor sosial yang memiliki akses terbesar ke pusat kekuasan biasanya menjadi yang paling mampu mengkontrol dan mempengaruhi keputusan pengelolaan sumberdaya alam 3 . Pada kondisi sebaliknya, aktor sosial yang jauh dari pusat kekuasaan biasanya cenderung menjadi komunitas 3 Contoh kasus di Sudan Utara, para tuan tanah yang umumnya memiliki status sosial seperti pengusaha, pegawai pemerintah, pensiunan jendral, dan politikus menggunakan “koneksinya” dalam memperoleh akses kedekatan dengan pemerintah untuk memperoleh pembukaan lahan di Pegunungan Nuba, Kordofan Selatan, dan bahkan sebaliknya, Pemerintah Sudan membantu mereka secara diskriminatif untuk memperoleh lahan yang terbaik Buckles, 1999. 11 yang tersubordinasi dan lemah powerless Fisher,S. 2001; Wijardjo, dkk. 2001; Fauzi, 2000; Borini dan Feyerabend, 2000; Robinson, 1998. Selain itu, mereka umumnya dicirikan sebagai kelompok masyarakat yang hampir tak pernah dilibatkan untuk berpartisipasi secara utuh dalam rangkaian proses perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, hingga pengendalian pengelolaan sumberdaya alam Borini dan Feyerabend, 2000; Merchant, 1992. Kelompok masyarakat tersebut umumnya adalah mereka bermukim di dalam danatau di sekitar hutan dan bahkan memiliki keterikatan sejarah dengan perubahan status kawasan hutan tersebut Wijardjo, dkk. 2001. Kelompok tersebut pada umumnya memiliki tingkat kesejahteraan sosial yang rendah serta lemah dalam pengetahuan terkini terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah spesifik yang belum terpecahkan misalnya konflik. Di lapang, ciri-ciri tersebut diduga terdapat pada kasus konflik yang diteliti. Berdasarkan kondisi yang ada, diduga tingkat ordinasi seseorang dipengaruhi oleh 1 tingkat partisipasi individu yang bersangkutan, 2 tingkat kesejahteraan sosial, dan 3 tingkat keberdayaan pengetahuan dalam penanganan konflik. Lihat Sub-model B Gambar 1.1. Ketimpangan struktural juga dapat diindikasikan oleh frekuensi keterlibatan seseorang secara aktif dalam menegosiasikan kepentingannya Kriesberg, 1998. Seseorang pesengketa cenderung akan terlibat secara aktif apabila yang bersangkutan memiliki pemahaman danatau persepsi 4 yang baik terhadap hal-hal yang berkaitan dengan segala peluang baginya sehingga memiliki posisi tawar yang kuat. Pada saat ini, berkaitan dengan konflik lingkungan dalam pengelolaan kawasan hutan lindung setidaknya diperlukan pemahaman tentang: 1 status kawasan hutan negara, 2 fungsi lingkungan suatu kawasan hutan, dan 3 desentralisasi pengelolaan kawasan hutan khususnya di Indonesia. Di lokasi penelitian ketiga faktor tersebut diduga mempengaruhi seseorang pesengketa untuk menegosiasikan kepentingannya. Lihat Sub-model B Gambar 1.1. Di samping itu, ada faktor penting lainnya yaitu: 4 adanya tindakan represif dari pihak luar sehingga seseorang menjadi takut dan tidak mau bernegosiasi. Selain itu, konflik lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya hutan juga disebabkan oleh perbedaan persepsi para pihak dalam memandang fungsi hutan. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Buckles 1999 bahwa konflik 12 pengelolaan sumberdaya alam disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi 5 antara sumberdaya alam sebagai sumber material versus sebagai simbol sosial. Di lokasi penelitian, yang diduga menjadi penyebab konflik adalah perbedaan persepsi atas hal-hal yang berkaitan dengan fungsi lingkungan dari hutan, pemahaman tentang kebijakan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan, dan pemahanan tentang definisi status kawasan hutan. Pada kasus penelitian, peubah-peubah yang diduga menjadi penyebab perbedaan persepsi karena perbedaan karakteristik responden yaitu: 1 tingkat pendidikan, 2 lama tinggal di kawasan baik secara menetap atau tidak menetap, dan 3 kosmopolitansi seseorang dalam menerima pengetahuan dari luar. Tabel 1.1 Keterangan Gambar 1.1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran Hubungan Pengaruh Model Faktor-faktor Yang Menimbulkan Konflik Lingkungan Sub-model A Eksternalitas BAA = Bencana alam antropogenik X1 HK = Harga komoditi X2 IF = Informasi pasar X3 PP = Pengaruh Pasar X4 SP = Sarana pendukung X5 KKLK = Keputusan Konversi Lahan Kawasan Oleh Responden X6 Sub Model B Persepsi dan ketimpangan struktural TKPR = Tingkat partisipasi responden X7 TKSS = Tingkat kesejahteraan sosial responden X8 TKDR = Tingkat keberdayaan responden X9 TKOR = Tingkat ordinasi responden X10 LTRP = Tindakan represif oleh pemerintah X11 PKHN = Persepsi tentang status kawasan hutan negara X12 PFLH = Persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan X13 PDPK = Persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan X14 LPDN = Keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi X15 TPDR = Tingkat pendidikan pesponden X16 SKR = Lama tinggal di kawasan X17 KR = Kosmopolitansi responden X18 Sub Model C Kelangkaan KTLP = Penguasaan lahan Pertanian di luar kawasan X19 TPDK = Status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan X20 PRR = Pendapatan Rumahtangga Responden Di Luar Kawasan X21 PKLT = Persepsi Tingkat Kebutuhan Lahan Pertanian tambahan X22 Sub Model D Etik Lingkungan PAR = Etik Antroposentris X23 PER = Etik Ekosentris X24 PRTA = Manifestasi Etika Lingkungan X25 ESKO = ESKALASI KONFLIK X26 4 Persepsi adalah proses kognitif yang terjadi pada seseorang dalam memahami dan menafsirkan informasi lingkungannya yang diperoleh melalui sensor indranya Thoha, 1988. 5 Menurut Sarwono 1999, perbedaan persepsi antar individu danatau komunitas sosial disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan dalam hal perhatian, harapan, kebutuhan, sistem nilai, dan kepribadian. 13 Gambar 1.1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran Hubungan Pengaruh Model Faktor-faktor Yang Menimbulkan Konflik Lingkungan KTLP KKLK SP HK IF BAA LPDN PKHN LTRP PFLH TKOR TKPR TKDR TKSS ESKO PRR PKLT TPDK PDPK Sub Model A: Eksternalitas Sub Model B: Persepsi dan Ketimpangan Struktural Sub Model C: Kelangkaan SKR TPDR KR PAR PER PRTA Sub Model D: Etik Lingkungan PP 14 Adanya perbedaan etik lingkungan merupakan salah satu penyebab konflik pengelolaan sumberdaya alam. Menurut Merchant 1992, etik lingkungan adalah suatu keyakinan tentang keterkaitan antara tata sosial seseorangkelompok terhadap kelestarian lingkungan hidup disekitarnya yang kemudian dimanifestasikan dalam praktik kehidupannya sehari-hari. Ada tiga etik lingkungan yang terdapat dalam hubungan antara manusia dengan lingkungan yaitu: 1 etik egosentrisantroposentris, 2 etik homosentrissosiosentris, dan 3 etik ekosentris. Pandangan lain ada yang menyatukan etik egosentris dan homosentris ke dalam satu kelompok yang disebut etik antroposentris, sementara etik ekosentris tetap di dalam kelompok tersendiri. Di dalam penelitian ini, diduga praktik etik lingkungan yang terjadi pada suatu konflik dipengaruhi oleh etik antroposentris dan etik ekosentris seseorangkelompok. Lihat Sub- model D Gambar 1.1. Penanganan konflik lingkungan dalam pengelolaan hutan bukan produksi memerlukan kajian awal terhadap data, informasi, dan fakta yang berkaitan dengan: 1 masalah-masalah penyebab konflik atau sering disebut dengan akar konflik, 2 pengetahuan tentang gaya konflik conflict styles yang dimanifestasikan oleh masing-masing pihak yang terlibat konflik, 3 tipe konflik, dan 4 polarisasi sifat konflik. Hubungan saling pengaruh antara keempat komponen tersebut kemudian menggambarkan suatu peta konflik. Akar konflik merupakan perbedaan-perbedaan fundamental yang menyebabkan mengapa suatu konflik terjadi. Dari perbedaan tersebut, masing- masing pihak yang terlibat konflik umumnya memanifestasikan responnya terhadap konflik yang dihadapi melalui gaya konflik yang berkaitan dengan kepeduliannya terhadap kepentingan individukelompoknya sendiri danatau kepentingan individukelompok lainnya. Gaya konflik seseorang atau sekelompok masyarakat terhadap orangkelompok pihak lain dapat berbentuk saling menghindar, menekan, kompromi, akomodasi, dan kerjasama. Tingkat perbedaan sasaran akan mempengaruhi perilaku para pihak yang berkonflik dan membentuk tipe-tipe konflik yang terjadi seperti apakah tipe konflik tersebut terbuka dan mudah diidentifikasi langsung atau konflik tersebut tertutuplaten sehingga memerlukan identifikasi khusus. Mengingat banyak pihak yang berkepentingan dengan pengelolaan kawasan hutan lindung, pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang sama biasanya cenderung akan berkelompok, sedangkan yang memiliki kepentingan yang berbeda cenderung akan 15 berseberangan berpolarisasi pada sisi yang berbeda danatau berlawanan. Dari polarisasi konflik kemudian diperoleh peta konflik yang terjadi baik secara spasial maupun secara sosial; secara spasial konflik dipetakan dalam batas ruang tertentu berikut “konflik apa” yang terjadi, sedangkan secara sosial konflik dipetakan untuk memperolah gambaran “siapa melawan siapa” yang terlibat di dalam suatu konflik. Model hubungan sebab akibat antar-keempat komponen tersebut amat penting dalam melakukan analisis pemetaan konflik. Secara grafis model tersebut ditayangkan pada Gambar 1.2. Penanganan konflik lingkungan dalam pengelolaan kawasan hutan lindung secara umum memerlukan pilihan-pilihan pendekatan penanganan dan metode penanganan. Berdasarkan hasil yang dapat diperoleh dari analisis kedua model yang dikembangkan sebelumnya, pendekatan penanganan konflik dipilih secara kognitif kualitatif didasarkan kepada pengetahuan faktual yang empiris melalui proses pengenalan masalah dan keterlibatan diri peneliti dan responden secara langsung pada kasus konflik. Penanganan konflik dimaksud mencakup pilihan-pilihan apakah akan dilakukan pengendalian akar konflik, penyelesaian konflik berikut upaya rekonstruksi sosial dan lingkungannya, atau untuk mencegah transformasi konflik baik secara geografis maupun secara lintas- tataran sosial. Sedangkan metode penanganan konflik menyangkut pilihan- pilihan apakah konflik akan diselesaikan melalui jalur hukum formal atau dengan penanganan konflik alternatif Alternative Dispute Resolution. Pilihan-pilihan pendekatan dan metode penanganan konflik lingkungan juga ditentukan oleh instrumen kebijakan yang ada seperti apakah pilihan-pilihan tersebut terakomodasi dalam peraturan dan perundangan yang berlaku baik tentang kehutanan, lingkungan hidup, tata ruang, agraria, maupun otonomi daerah. Kewenangan formal penanganan konflik juga amat menentukan apakah suatu konflik cukup ditangani di tingkat lokal danatau perlu dalam sekala regional. Perbedaan kebutuhan di tingkat mana penanganan konflik dilakukan akan berimplikasi terhadap perbedaan institusi apa danatau siapa saja yang relevan dan berwenang untuk turut serta menangani konflik lingkungan yang terjadi. Seluruh keterkaitan antara fungsi lingkungan yang diharapkan dari pengelolaan kawasan hutan bukan produksi, kebijakan yang mengaturnya, konflik yang ditimbulkan, upaya penanganan konflik, dan dampak konflik terhadap kelestarian fungsi lingkungan dari kawasan hutan tersebut, secara grafis ditayangkan pada Gambar 1.3. 16 Gambar 1.2. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Model Identifikasi Peta Konflik Polarisasi Sifat Konflik PENANGANAN KONFLIK Pendekatan Penanganan • Pencegahan Konflik • Penyelesaian Konflik • Pengelolaan Konflik • Resolusi Konflik • Transformasi Konflik Metode Penanganan • Negosiasi • Mediasi • Fasilitasi • Arbitrasi • Proses HUkum Tipe Konflik Gaya Konflik Pihak A Terhadap Aktor Lainnya Menghindar Kompromi Kerjasama Menekan Akomodasi Akar Konflik Perbedaan Kepentinga Perbedaan Struktural Perbedaan Hubungan Sosial Perbedaan Data Perbedaan Nilai Pihak A Tipe Konflik Pihak C Gaya Konflik Pihak C Terhadap Aktor Lainnya Menghindar Kompromi Kerjasama Menekan Akomodasi Akar Konflik Perbedaan Kepentinga Perbedaan Struktural Masalah Hubungan Sosial Perbedaan Data Perbedaan Nilai Tipe Konflik Pihak D Gaya Konflik Pihak D Terhadap Aktor Lainnya Menghindar Kompromi Kerjasama Menekan Akomodasi Akar Konflik Perbedaan Kepentinga Perbedaan Struktural Perbedaan Hubungan Sosial Perbedaan Data Perbedaan Nilai Tipe Konflik Gaya Konflik Pihak B Terhadap Aktor Lainnya Menghindar Kompromi Kerjasama Menekan Akomodasi Akar Konflik Perbedaan Kepentinga Perbedaan Struktural Perbedaan Hubungan Sosial Perbedaan Data Perbedaan Nilai Pihak B 17 Gambar 1.3. Kerangka Pemikiran Model Kognitif Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung FUNGSI LINGKUNGAN DARI HUTAN PETA KONFLIK Fungsi Ekonomi • Pertumbuhan Penduduk • Kebutuhan Lahan Pertanian Dalam Arti Luas • Ketahanan pangan Fungsi Ekologis Fungsi Sosial • Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu • Bukan Hasil Hutan pertambangan, infrastuktur pelayanan publik • Keanekaragaman hayati • Plasma nuftah • Habitat satwa • Iklim mikro • Rosot karbon • Pengatur Tata air • Pencegah erosi • Akar konflik • Gaya Konflik • Polarisasi sifat konflik • Tipe konflik • Hak-hak Masyarakat Lokaladat atas lahan • Pengetahuan subsisten • Kesehatan • Estetika • Budaya PENANGANAN KONFLIK • Pendekatan Penanganan • Metode Penanganan ISU LINGKUNGAN DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN KEBIJAKAN NASIONAL Kebijakan Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung; Studi Kasus Di Lokasi Penelitian Kebijakan Pengelolaan Kehutanan Strategi Penanganan Konflik Kewenangan Penanganan Konflik Umpan balik Perbaikan Kebijakan Pengelolaan Upaya Pengendalian danatau Pengurangan Dampak Konflik DAMPAK KONFLIK • Tekanan pendudukanokupasi lahan kawasan hutan oleh masyarakat • Pembalakkan liar • Konversi lahan tak terkendali • Degradasi hutan • Kerusuhan Sosial Konflik Pengelolaan Kawasan Hutan Register 45B dan Register 9 Di Propinsi Lampung Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Kebijakan Otonomi Daerah 18

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mempelajari konflik lingkungan yang terjadi dalam pengelolaan kawasan hutan lindung dalam konteks pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk: 1 Mengkaji kebijakan-kebijakan kehutanan, pengelolaan lingkungan hidup, agraria, tata ruang, dan otonomi daerah bagi penanganan konflik lingkungan dalam pengelolaan kawasan hutan di daerah khususnya di kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. 2 Meneliti faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konflik dalam pengelolaan kawasan lindung berkaitan dengan fungsi lingkungan dari hutan. 3 Meneliti gaya pengelolaan konflik conflict style management yang diragakan oleh masing-masing pihak yang terlibat di dalam konflik dan polarisasi konflik yang terjadi. 4 Mengembangkan model penanganan konflik lingkungan secara kognitif didasarkan kepada pengalaman yang diperoleh para pihak yang bersengketa.

1.5. Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian dapat memberi manfaat berupa: 1 Terbangunnya pemahaman bersama bahwa konflik lingkungan adalah sesuatu yang harus dikelola sebelum ia menjadi masalah yang disfungsional. 2 Sumbangsih bagi kalangan pemerintah perencana, pengambil keputusan kebijakan, dan pelaksana kebijakan, akademisi, pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, dan masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan lainnya, terutama mereka yang terlibat langsung dengan konflik yang diteliti, tentang bagaimana menangani konflik lingkungan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan khususnya kawasan hutan lindung. 3 Bahan pembanding bagi penelitian-penelitian lainnya yang berkaitan dengan penanganan konflik lingkungan dalam pengelolaan kawasan hutan lindung.

1.6. Kebaharuan Novelties

Kebaharuan novelties yang disajikan oleh penelitian disertasi ini adalah: 1 Secara spasial, merupakan penelitian holistik model penangan konflik lingkungan yang pertama kali dilaksanakan di kawasan hutan lindung. 19 2 Secara metodologis, penelitian disertasi ini merupakan penelitian multi- disiplin ilmu memadukan hard system analysis dan soft system analysis untuk saling memperkuat satu sama lainnya. Penelitian menyajikan sebuah rangkaian analisis penanganan konflik lingkungan secara holistik, dimulai dari analisis akar konflik, polarisasi, gaya konflik, pemilihan pendekatan penyelesaian, hingga penyelesaian konflik secara kognitif yang kemudian menjadi aksi lanjut follow up action para pihak dalam menyelesaikan konfliknya pasca penelitian ini. 3 Penelitian ini menyuguhkan bagaimana beberapa alat assesment penilaian dipergunakan di dalam sebuah mekanisme penyelesaian konflik yang dikembangkan. Ketiadaan alat peniliaian tersebut saat ini merupakan tantangan dari berbagai prosedur yang ada dari penerapan berbagai peraturan dan perundangan penyelesaian konflik secara alternatif Alternative Dispute Resolution di Indonesia.

II. KAJIAN PUSTAKA

2.1. Isu Lingkungan dalam Pengelolaan Hutan Global dan Nasional

Lingkungan didefinisikan sebagai seluruh aspek yang mengelilingi dan memiliki pengaruh terhadap manusia baik secara individual maupun kelompok sosial Gilpin, 1996. Demikian pula halnya dengan Cunningham dan Saigo 1995 yang mendefinisikan lingkungan sebagai suatu kondisi yang mengitari organisme atau sekelompok organisme termasuk kondisi sosial budaya yang mempengaruhi organisme baik secara individual maupun kelompok. Dalam definisi lingkungan termuat aspek ruang dan adanya interaksi antar-komponen di dalamnya. Oleh karenanya, Suratmo 1999 mendefinisikan lingkungan sebagai suatu ruang yang mengandung mahluk hidup biotik, benda mati abiotik dan aktivitas sosial ekonomi yang di dalamnya terdapat suatu tatanan sistem yang saling berinteraksi secara menyeluruh. Berdasarkan proses pembentukannya, lingkungan terdiri atas lingkungan buatan dan lingkungan alam European Union dalam Gilpin,1996. Lingkungan buatan adalah suatu kondisi di alam yang diciptakan oleh manusia untuk tujuan tertentu dengan memodifikasi kondisi lingkungan alam; sedangkan lingkungan alam adalah suatu kondisi di alam yang terjadi melalui proses alami seperti dekomposisi dan suksesi dalam suatu rentang waktu. Salah satu contoh lingkungan alam adalah hutan alam. Dari berbagai terminologi tersebut maka dapat dikatakan bahwa wacana tentang kehutanan tidak akan pernah terlepas dari wacana tentang lingkungan, demikian pula sebaliknya. Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon yang mampu mempengaruhi iklim mikro sehingga mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan lingkungan di luar hutan Suryanegara dan Indrawan, 1998. Sedangkan berdasarkan UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Isu kehutanan dalam konteks lingkungan global sudah muncul sejak Deklarasi Stockholm yang ditandatangani pata tanggal 16 Juni 1972. Secara implisit, pentingnya sumberdaya hutan termaktub di dalam Azas ke 2 hingga ke 4 deklarasi tersebut yaitu: Sumberdaya alam di bumi, termasuk udara, air, tanah,