Kerangka Pemikiran Pemecahan Masalah
9 komunitas adat berkaitan. Sedangkan gugatan serupa yang datangnya dari
masyarakat pendatang yang telah lama menetap, merupakan akibat dari “ketidak-benaran atau pemutarbalikkan” sejarah status dan kepemilikan lahan
sebelum kawasan tersebut ditetapkan menjadi kawasan hutan negara. Lemahnya upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik status
kepemilikan dan akses pengelolaan lahan kawasan hutan cenderung berpotensi menyulut konflik-konflik lingkungan lainnya. “Pendudukan kembali” atas lahan
gugatan yang dilakukan oleh komunitas tertentu biasanya cenderung diikuti oleh konversi lahan ke dalam bentuk penggunaan lain. Masalah lingkungan berikutnya
akan timbul ketika konversi lahan tersebut menjadi suatu proses deforestasi tidak dapat balik irreversible deforestation yang menuju kepada degradasi hutan
berikut fungsi lingkungannya dan berpengaruh negatif terhadap wilayah lainnya. Seperti telah dinyatakan pada Sub-bab 1.2, menurut Buckles 1999
terdapat empat kelompok masalah yang mempengaruhi terjadinya konflik pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan yaitu 1 eksternalitas negatif, 2
kelangkaan sumberdaya alam, 3 ketimpangan distribusi penguasaan sumberdaya alam, dan 4 perbedaan etik lingkungan dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan penanganan konflik. Eksternalitas negatif terjadi karena sumberdaya alam tercakup
embedded di dalam suatu lingkungan yang masing-masing komponennya saling berinteraksi sehingga aktivitas manusia yang mengubah keseimbangan
ekosistem di suatu wilayah dapat menimbulkan pengaruh dan dampak lingkungan di wilayah lainnya Buckles, 1999. Eksternalitas negatif juga
mencakup faktor eksternal yang mengakibatkan seseorang mengelola sumberdaya alam yang menurut pendapat umum dilakukan secara tidak lestari
misalnya konversi lahan hutan. Dikaitkan dengan kondisi lapang di lokasi
penelitian, beberapa peubah eksternalitas negatif yang diduga menjadi
penyebab seseorang memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan adalah: 1 bencana alam antropogenik yang menimpa kegiatan pertanian di luar kawasan,
2 harga komoditas yang nantinya akan dibudidayakan di dalam kawasan, 3 informasi pasar yang berkaitan tentang kepastian harga komoditas, 4 pengaruh
pasar yang berkaitan dengan kepastian akan aktor yang akan membelimenampung komoditas yang dihasilkan, dan 5 ketersediaan sarana
pendukung terutama jaringan transportasi ke bidang lahan yang dikonversi lihat Sub-model A Gambar 1.1.
10 Sumberdaya alam merupakan salah satu sumber kehidupan manusia
yang ketersediaannya tidak tak terbatas. Peningkatan pertumbuhan penduduk perlu diimbangi dengan ketersediaan berbagai bahan pokok seperti produk
primer sektor pertanian secara memadai. Di daerah perdesaan terutama di negara-negara berkembang yang memiliki ciri negara agraris, umumnya
ketersedian lahan adalah faktor penentu dan merupakan salah satu natural capital yang penting bagi kelangsungan kegiatan pertanian. Oleh karenanya,
kelangkaan sumberdaya lahan pertanian yang tersedia di perdesaan dapat
memicu terjadinya tekanan penduduk terhadap lahan yang diikuti oleh konversi lahan non-pertanian yang relatif masih subur dan umumnya lahan tersebut
adalah lahan hutan Buckles, 1999. Kelangkaan tersebut termasuk kelangkaan status kepemilikan lahan. Dari berbagai kasus, konflik lingkungan akan semakin
mudah mencuat apabila ada desakan ekonomi seperti rendahnya pendapatan rumah tangga sehingga mendorong seseorang masuk ke dalam kawasan hutan
diikuti dengan konversi lahan secara tak terkendali dan “ilegal” karena kawasan tersebut berdasarkan statusnya diperuntukkan sebagai kawasan hutan lindung.
Di lokasi penelitian, peubah-peubah: 1 luas penguasaan lahan pertanian di luar kawasan, 2 status kepemilikan lahan pertanian di luar kawasan, dan 3
pendapatan rumah tangga diduga mempengaruhi persepsi responden bahwa kebutuhan lahan pertanian perlu ditingkatkan Sub-model C Gambar 1.1.
Konflik lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya alam terjadi karena sumberdaya alam tercakup di dalam suatu pembagian ruang sosial shared
social space yang kompleks dan memiliki hubungan yang tidak merata yang terbangun oleh proses interaksi antar-aktor sosial sehingga terjadi ketimpangan
distribusi penguasaan dan perbedaan akses keterlibatan dan hak individu
danatau kelompok masyarakat dalam mengelola kawasan hutan Buckles, 1999
sehingga menimbulkan ketimpangan struktural Moore, 1996. Di dalam
dimensi politik, aktor sosial yang memiliki akses terbesar ke pusat kekuasan biasanya menjadi yang paling mampu mengkontrol dan mempengaruhi
keputusan pengelolaan sumberdaya alam
3
. Pada kondisi sebaliknya, aktor sosial yang jauh dari pusat kekuasaan biasanya cenderung menjadi komunitas
3
Contoh kasus di Sudan Utara, para tuan tanah yang umumnya memiliki status sosial seperti pengusaha, pegawai pemerintah, pensiunan jendral, dan politikus
menggunakan “koneksinya” dalam memperoleh akses kedekatan dengan pemerintah untuk memperoleh pembukaan lahan di Pegunungan Nuba, Kordofan Selatan, dan
bahkan sebaliknya, Pemerintah Sudan membantu mereka secara diskriminatif untuk memperoleh lahan yang terbaik Buckles, 1999.
11 yang tersubordinasi dan lemah powerless Fisher,S. 2001; Wijardjo, dkk. 2001;
Fauzi, 2000; Borini dan Feyerabend, 2000; Robinson, 1998. Selain itu, mereka umumnya dicirikan sebagai kelompok masyarakat yang hampir tak pernah
dilibatkan untuk berpartisipasi secara utuh dalam rangkaian proses perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, hingga pengendalian pengelolaan
sumberdaya alam Borini dan Feyerabend, 2000; Merchant, 1992. Kelompok masyarakat tersebut umumnya adalah mereka bermukim di dalam danatau di
sekitar hutan dan bahkan memiliki keterikatan sejarah dengan perubahan status kawasan hutan tersebut Wijardjo, dkk. 2001. Kelompok tersebut pada
umumnya memiliki tingkat kesejahteraan sosial yang rendah serta lemah dalam pengetahuan terkini terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah spesifik
yang belum terpecahkan misalnya konflik. Di lapang, ciri-ciri tersebut diduga terdapat pada kasus konflik yang diteliti. Berdasarkan kondisi yang ada, diduga
tingkat ordinasi seseorang dipengaruhi oleh 1 tingkat partisipasi individu yang bersangkutan, 2 tingkat kesejahteraan sosial, dan 3 tingkat keberdayaan
pengetahuan dalam penanganan konflik. Lihat Sub-model B Gambar 1.1. Ketimpangan struktural juga dapat diindikasikan oleh frekuensi
keterlibatan seseorang secara aktif dalam menegosiasikan kepentingannya Kriesberg, 1998. Seseorang pesengketa cenderung akan terlibat secara aktif
apabila yang bersangkutan memiliki pemahaman danatau persepsi
4
yang baik terhadap hal-hal yang berkaitan dengan segala peluang baginya sehingga
memiliki posisi tawar yang kuat. Pada saat ini, berkaitan dengan konflik lingkungan dalam pengelolaan kawasan hutan lindung setidaknya diperlukan
pemahaman tentang: 1 status kawasan hutan negara, 2 fungsi lingkungan suatu kawasan hutan, dan 3 desentralisasi pengelolaan kawasan hutan
khususnya di Indonesia. Di lokasi penelitian ketiga faktor tersebut diduga mempengaruhi seseorang pesengketa untuk menegosiasikan kepentingannya.
Lihat Sub-model B Gambar 1.1. Di samping itu, ada faktor penting lainnya yaitu: 4 adanya tindakan represif dari pihak luar sehingga seseorang menjadi
takut dan tidak mau bernegosiasi. Selain itu, konflik lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya hutan juga
disebabkan oleh perbedaan persepsi para pihak dalam memandang fungsi hutan. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Buckles 1999 bahwa konflik
12
pengelolaan sumberdaya alam disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi
5
antara sumberdaya alam sebagai sumber material versus sebagai simbol sosial. Di lokasi penelitian, yang diduga menjadi penyebab konflik adalah perbedaan
persepsi atas hal-hal yang berkaitan dengan fungsi lingkungan dari hutan, pemahaman tentang kebijakan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan, dan
pemahanan tentang definisi status kawasan hutan. Pada kasus penelitian, peubah-peubah yang diduga menjadi penyebab perbedaan persepsi karena
perbedaan karakteristik responden yaitu: 1 tingkat pendidikan, 2 lama tinggal di kawasan baik secara menetap atau tidak menetap, dan 3 kosmopolitansi
seseorang dalam menerima pengetahuan dari luar. Tabel 1.1 Keterangan Gambar 1.1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran Hubungan
Pengaruh Model Faktor-faktor Yang Menimbulkan Konflik Lingkungan
Sub-model A Eksternalitas
BAA = Bencana alam antropogenik X1
HK = Harga
komoditi X2
IF = Informasi pasar X3
PP = Pengaruh Pasar X4
SP = Sarana pendukung X5
KKLK = Keputusan Konversi Lahan Kawasan Oleh Responden X6
Sub Model B Persepsi dan ketimpangan struktural
TKPR = Tingkat partisipasi responden X7
TKSS = Tingkat kesejahteraan sosial responden X8
TKDR = Tingkat keberdayaan responden X9
TKOR = Tingkat ordinasi responden X10
LTRP = Tindakan represif oleh pemerintah X11
PKHN = Persepsi tentang status kawasan hutan negara X12
PFLH = Persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan X13
PDPK = Persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan X14
LPDN = Keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi X15
TPDR = Tingkat pendidikan pesponden X16
SKR = Lama tinggal di kawasan X17
KR = Kosmopolitansi responden X18
Sub Model C Kelangkaan
KTLP = Penguasaan lahan Pertanian di luar kawasan X19
TPDK = Status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan X20
PRR = Pendapatan Rumahtangga Responden Di Luar Kawasan X21
PKLT = Persepsi Tingkat Kebutuhan Lahan Pertanian tambahan X22
Sub Model D Etik Lingkungan
PAR = Etik
Antroposentris X23
PER = Etik
Ekosentris X24
PRTA = Manifestasi
Etika Lingkungan
X25 ESKO =
ESKALASI KONFLIK
X26
4
Persepsi adalah proses kognitif yang terjadi pada seseorang dalam memahami dan menafsirkan informasi lingkungannya yang diperoleh melalui sensor indranya Thoha,
1988.
5
Menurut Sarwono 1999, perbedaan persepsi antar individu danatau komunitas sosial disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan dalam hal perhatian, harapan,
kebutuhan, sistem nilai, dan kepribadian.
13
Gambar 1.1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran Hubungan Pengaruh Model Faktor-faktor Yang Menimbulkan Konflik Lingkungan
KTLP KKLK
SP HK
IF BAA
LPDN PKHN
LTRP PFLH
TKOR TKPR
TKDR TKSS
ESKO
PRR PKLT
TPDK PDPK
Sub Model A: Eksternalitas
Sub Model B: Persepsi dan Ketimpangan Struktural
Sub Model C: Kelangkaan
SKR TPDR
KR
PAR
PER PRTA
Sub Model D: Etik Lingkungan
PP
14 Adanya perbedaan etik lingkungan merupakan salah satu penyebab
konflik pengelolaan sumberdaya alam. Menurut Merchant 1992, etik lingkungan adalah suatu keyakinan tentang keterkaitan antara tata sosial
seseorangkelompok terhadap kelestarian lingkungan hidup disekitarnya yang kemudian dimanifestasikan dalam praktik kehidupannya sehari-hari. Ada tiga etik
lingkungan yang terdapat dalam hubungan antara manusia dengan lingkungan yaitu: 1 etik egosentrisantroposentris, 2 etik homosentrissosiosentris, dan 3
etik ekosentris. Pandangan lain ada yang menyatukan etik egosentris dan homosentris ke dalam satu kelompok yang disebut etik antroposentris,
sementara etik ekosentris tetap di dalam kelompok tersendiri. Di dalam penelitian ini, diduga praktik etik lingkungan yang terjadi pada suatu konflik dipengaruhi
oleh etik antroposentris dan etik ekosentris seseorangkelompok. Lihat Sub- model D Gambar 1.1.
Penanganan konflik lingkungan dalam pengelolaan hutan bukan produksi memerlukan kajian awal terhadap data, informasi, dan fakta yang berkaitan
dengan: 1 masalah-masalah penyebab konflik atau sering disebut dengan akar konflik, 2 pengetahuan tentang gaya konflik conflict styles yang
dimanifestasikan oleh masing-masing pihak yang terlibat konflik, 3 tipe konflik, dan 4 polarisasi sifat konflik. Hubungan saling pengaruh antara keempat
komponen tersebut kemudian menggambarkan suatu peta konflik. Akar konflik merupakan perbedaan-perbedaan fundamental yang
menyebabkan mengapa suatu konflik terjadi. Dari perbedaan tersebut, masing- masing pihak yang terlibat konflik umumnya memanifestasikan responnya
terhadap konflik yang dihadapi melalui gaya konflik yang berkaitan dengan kepeduliannya terhadap kepentingan individukelompoknya sendiri danatau
kepentingan individukelompok lainnya. Gaya konflik seseorang atau sekelompok masyarakat terhadap orangkelompok pihak lain dapat berbentuk saling
menghindar, menekan, kompromi, akomodasi, dan kerjasama. Tingkat perbedaan sasaran akan mempengaruhi perilaku para pihak yang berkonflik dan
membentuk tipe-tipe konflik yang terjadi seperti apakah tipe konflik tersebut terbuka dan mudah diidentifikasi langsung atau konflik tersebut tertutuplaten
sehingga memerlukan identifikasi khusus. Mengingat banyak pihak yang berkepentingan dengan pengelolaan kawasan hutan lindung, pihak-pihak yang
memiliki kepentingan yang sama biasanya cenderung akan berkelompok, sedangkan yang memiliki kepentingan yang berbeda cenderung akan
15 berseberangan berpolarisasi pada sisi yang berbeda danatau berlawanan. Dari
polarisasi konflik kemudian diperoleh peta konflik yang terjadi baik secara spasial maupun secara sosial; secara spasial konflik dipetakan dalam batas ruang
tertentu berikut “konflik apa” yang terjadi, sedangkan secara sosial konflik dipetakan untuk memperolah gambaran “siapa melawan siapa” yang terlibat di
dalam suatu konflik. Model hubungan sebab akibat antar-keempat komponen tersebut amat penting dalam melakukan analisis pemetaan konflik. Secara grafis
model tersebut ditayangkan pada Gambar 1.2. Penanganan konflik lingkungan dalam pengelolaan kawasan hutan
lindung secara umum memerlukan pilihan-pilihan pendekatan penanganan dan metode penanganan. Berdasarkan hasil yang dapat diperoleh dari analisis kedua
model yang dikembangkan sebelumnya, pendekatan penanganan konflik dipilih secara kognitif kualitatif didasarkan kepada pengetahuan faktual yang empiris
melalui proses pengenalan masalah dan keterlibatan diri peneliti dan responden secara langsung pada kasus konflik. Penanganan konflik dimaksud mencakup
pilihan-pilihan apakah akan dilakukan pengendalian akar konflik, penyelesaian konflik berikut upaya rekonstruksi sosial dan lingkungannya, atau untuk
mencegah transformasi konflik baik secara geografis maupun secara lintas- tataran sosial. Sedangkan metode penanganan konflik menyangkut pilihan-
pilihan apakah konflik akan diselesaikan melalui jalur hukum formal atau dengan penanganan konflik alternatif Alternative Dispute Resolution.
Pilihan-pilihan pendekatan dan metode penanganan konflik lingkungan juga ditentukan oleh instrumen kebijakan yang ada seperti apakah pilihan-pilihan
tersebut terakomodasi dalam peraturan dan perundangan yang berlaku baik tentang kehutanan, lingkungan hidup, tata ruang, agraria, maupun otonomi
daerah. Kewenangan formal penanganan konflik juga amat menentukan apakah suatu konflik cukup ditangani di tingkat lokal danatau perlu dalam sekala
regional. Perbedaan kebutuhan di tingkat mana penanganan konflik dilakukan akan berimplikasi terhadap perbedaan institusi apa danatau siapa saja yang
relevan dan berwenang untuk turut serta menangani konflik lingkungan yang terjadi. Seluruh keterkaitan antara fungsi lingkungan yang diharapkan dari
pengelolaan kawasan hutan bukan produksi, kebijakan yang mengaturnya, konflik yang ditimbulkan, upaya penanganan konflik, dan dampak konflik
terhadap kelestarian fungsi lingkungan dari kawasan hutan tersebut, secara grafis ditayangkan pada Gambar 1.3.
16
Gambar 1.2. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Model Identifikasi Peta Konflik
Polarisasi Sifat Konflik
PENANGANAN KONFLIK
Pendekatan Penanganan • Pencegahan
Konflik •
Penyelesaian Konflik •
Pengelolaan Konflik • Resolusi
Konflik •
Transformasi Konflik Metode Penanganan
• Negosiasi • Mediasi
• Fasilitasi • Arbitrasi
• Proses HUkum
Tipe Konflik
Gaya Konflik Pihak A Terhadap Aktor Lainnya
Menghindar Kompromi
Kerjasama Menekan
Akomodasi
Akar Konflik
Perbedaan Kepentinga
Perbedaan Struktural
Perbedaan Hubungan
Sosial Perbedaan
Data Perbedaan
Nilai
Pihak A
Tipe Konflik
Pihak C
Gaya Konflik Pihak C Terhadap Aktor Lainnya
Menghindar Kompromi
Kerjasama Menekan
Akomodasi
Akar Konflik
Perbedaan Kepentinga
Perbedaan Struktural
Masalah Hubungan
Sosial Perbedaan
Data Perbedaan
Nilai
Tipe Konflik
Pihak D
Gaya Konflik Pihak D Terhadap Aktor Lainnya
Menghindar Kompromi
Kerjasama Menekan
Akomodasi
Akar Konflik
Perbedaan Kepentinga
Perbedaan Struktural
Perbedaan Hubungan
Sosial Perbedaan
Data Perbedaan
Nilai
Tipe Konflik
Gaya Konflik Pihak B Terhadap Aktor Lainnya
Menghindar Kompromi
Kerjasama Menekan
Akomodasi
Akar Konflik
Perbedaan Kepentinga
Perbedaan Struktural
Perbedaan Hubungan
Sosial Perbedaan
Data Perbedaan
Nilai
Pihak B
17
Gambar 1.3. Kerangka Pemikiran Model Kognitif Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung
FUNGSI LINGKUNGAN DARI HUTAN
PETA KONFLIK
Fungsi Ekonomi
• Pertumbuhan Penduduk
• Kebutuhan Lahan Pertanian Dalam
Arti Luas • Ketahanan pangan
Fungsi Ekologis
Fungsi Sosial
• Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu
• Bukan Hasil Hutan pertambangan,
infrastuktur pelayanan publik
• Keanekaragaman hayati
• Plasma nuftah • Habitat satwa
• Iklim mikro • Rosot karbon
• Pengatur Tata air • Pencegah erosi
• Akar konflik
• Gaya Konflik
• Polarisasi sifat
konflik •
Tipe konflik
• Hak-hak Masyarakat
Lokaladat atas lahan
• Pengetahuan subsisten
• Kesehatan • Estetika
• Budaya
PENANGANAN KONFLIK
• Pendekatan Penanganan
• Metode Penanganan
ISU LINGKUNGAN DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN
KEBIJAKAN NASIONAL
Kebijakan Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung;
Studi Kasus Di Lokasi Penelitian
Kebijakan Pengelolaan
Kehutanan
Strategi Penanganan
Konflik
Kewenangan Penanganan Konflik
Umpan balik Perbaikan
Kebijakan Pengelolaan
Upaya Pengendalian danatau Pengurangan Dampak Konflik
DAMPAK KONFLIK
• Tekanan pendudukanokupasi lahan kawasan hutan oleh masyarakat
• Pembalakkan liar
• Konversi lahan tak terkendali
•
Degradasi hutan
•
Kerusuhan Sosial
Konflik Pengelolaan
Kawasan Hutan Register 45B dan
Register 9 Di Propinsi Lampung
Kebijakan Pengelolaan Lingkungan
Kebijakan Otonomi Daerah
18