Konstruksi Model Penelitian Penanganan Konflik

258 Gambar 5.34. Model Penelitian Penanganan Konflik Lingkungan yang Dihasilkan. 2 Mengidentifikasi Gaya Konflik dan Memilih Alternatif Penyelesaian Alternatif Penyelesaian Monitoring dan Evaluasi, serta Pembelajaran Pelaksanan KesepakatanKeputusan 1 Memetakan Akar Konflik dan Para Pihak Yang Berkonflik Keinginan dan Komitmen Untuk Memulai ADR 3 Pelaksanaan Alternatif Penyelesaian Terpilih a. Pemetaan Ulang Akar Konflik Secara Kolaboratif d. Membuat KesepakatanKeputusan b. Ramifikasi dan Pengembangan Proposal Penyelesaian c. Mengurai dan Memilih Proposal Ideal Mengidentifikasi Gaya Konflik Kegiatan analisis tersebut, baik dengan menggunakan alat analisis yang dipakai, atau alat analisis lain yang sesuai dengan kebutuhan, dalam administrasi dapat disebut sebagai “Tahap Seleksi, Klasifikasi, dan Pengkajian”. 2 Analisis gaya mengelola konflik; Memilih bentuk alternatif penyelesaian konflik. Ketika hasil analisis faktor penyebab konflik kemudian dikembalikan kepada para pihak yang berkonflik, mereka kemudian mengkaitkannya dengan konflik-konflik yang umumnya terjadi dalam pengelolaan suatu kawasan hutan di lokasi penelitian, yaitu konflik status lahan kawasan, konflik tata batas, dan konflik akses pengelolaan kawasan. Terhadap ketiga jenis konflik pengelolaan kawasan tersebut, analisis jenis gaya mengelola konflik yaitu saling menghindar, akomodatif, kompromistis, kompetitif, dan kolaborasi, kemudian diujikan. Yang menarik adalah hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya konflik yang dominan dimanivestasikan oleh para pihak yaitu gaya kolaborasi dan kompromi. Hal tersebut bertolak belakang tengan pernyataan Harris dan Reilly 2000 bahwa perbedaan kepentingan di dalam suatu konflik akan menyulut ledakan sosial yang destruktif. Pada kasus yang diteliti, hal tersebut tidak terjadi. Sejak tahun 2000, ruang dialog sudah amat terbuka sehingga konflik-konflik di lokasi penelitian diselesaikan secara konstruktif walau tidak semuanya berakhir dengan sebuah kesepakatan. Hal tersebut merupakan sebuah temuan empiris dan menjadi sebuah aset sosial bagi upaya penyelesaian konflik ke depan. Walapun konflik telah mempolarisasikan bentuk-bentuk hubungan sosial para pihak berdasarkan kesamaan kepentingan, penelitian ini menemukan bahwa semua pihak beritikad untuk menyelesaikan konfliknya melalu negosiasi dan fasilitasi. Tak satupun dari mereka yang ingin menempuh jalur hokum formil litigasi dan ini merupakan indikasi bahwa bentuk-bentuk ADR alternative dispute rersolutuon yang mengusung keharmonisan hubungan jangka panjang menjadi prioritas utama. Hasil tersebut amat penting dalam menentukan plihan ADR yang akan diambil kemudian Gamal dan Sirait, 2011. Pengujian selanjutnya menunjukkan bahwa dalam rangka penyelesaian konflik status lahan, semua pihak memilih fasilitasi sebagai pilihan ADR yang akan ditempuh. Hal tersebut selaras dengan Pilihan-pilihan Bentuk Penanganan Sengketa Secara Alternatif Alternative Dispute Resolution Berdasarkan Gaya Bersengketa Para Pihak yang dikembangkan oleh Gamal dan Sirait 2011. Lihat Kotak-5. Kotak-5.6 Pilihan-pilihan Bentuk Penanganan Sengketa Secara Alternatif Alternative Dispute Resolution Berdasarkan Gaya Bersengketa Para Pihak . Apabila ditemui gaya sengketa setidaknya salah satu pihak adalah agitasi menyerang, maka ini dapat dikategorikan sebagai gaya destruktif. Ada dua hal yang bisa dilakukan dalam kondisi ini: Pertama, para pihak ditawarkan menyelesaikan sengketanya melalui jalur hukum formal ligitasi; Kedua, mediator mengambil inisiatif melakukan upaya de-eskalasi penurunan tegangan persengketaan, melalui diplomasi setengah kamar shuttle diplomacy dan parsial kepada masing- masing pihak, mengajak para pihak secara persuasif untuk meninggalkan gaya agitasi destruktif, hingga mencapai suatu kondisi dimana gaya bersengketa mereka berubah ke gaya-gaya lainnya. Masih serumpun dalam gaya ini, apabila gaya bersengketa adalah kompetisi dan konstruktif, maka para pihak dapat ditawarkan untuk menempuhnya melalui proses mediasi atau arbitrasi. Apabila ditemui gaya bersengketanya adalah kolaborasi, maka penanganan penyelesaian melalui perundingan negosiasi dapat ditawarkan. Gaya kolaborasi memiliki ciri penting bahwa selain ingin memperjuangkan kepentingannya, pihak tersebut juga memahami dan menerima urgensi kepentingan pihak lawan. Kondisi ini merupakan modal para pihak multi-stakeholders capital yang amat penting untuk dimulainya gear up sebuah proses kerjasama. Apabila ditemui gaya bersengketanya adalah akomodasi, maka ada dua bentuk penangana penyelesaian sengketa yang dapat ditawarkan yaitu mediasi atau fasilitasi. Kekhasan gaya ini untuk mengorbankan kepentingannya demi kepentingan pihak memiliki dua implikasi: Pertama, apabila pengorbanannya adalah mutlak tanpa syarat dan tidak berdampak buruk kepada pihak yang mau berkorban, maka yang ditawarkan adalah fasilitasi pertemuandialog; Kedua, apabila pengorbanannya bersyarat atau setidaknya kelak akan berdampak tidak baik bagi salah satu pihak, terutama pihak yang berkorban, maka yang ditawarkan adalah sebuah proses mediasi, dimana mediator membantu para pihak melakukan analisis resiko dari sebuah pengorbanan yang akan diberikan. Apabila gaya bersengketa adalah kompromi, maka bentuk penanganan penyelesaian yang dapat ditawarkan adalah fasilitasi. Kekhasan gaya ini adalah para pihak pengambil jalan tengah tanpa mepermasalahkan lagi siapa yang dimenangkan atau siapa yang dirugikan. Di dalam budaya melayu Sambas, Kalimantan Barat, hal ini dikenal dengan “belah semangka”, artinya objek sengketa dibagi sama rata tanpa melihat lagi siapa seharusnya yang berhak mendapat bagian lebih besar atau lebih kecil. Dalam gaya ini, tidak dikenal istilah kemenangan sejati dari sebuah perjuangan kepentingan. Oleh karenanya, penanganan melalui fasilitasi dialog untuk mematerialkan hasil kompromi adalah sebuah tawaran penyelesaian yang patut dipertimbangkan. Gaya bersengketa yang menghindar merupakan gaya sengketa yang miskin akan social capital ataupun multi-stakeholder capital. Pada gaya ini, pihak terebut tidak memiliki kepedulian atas kepentingannya dan kepentingan pihak lain. Apatis adalah ciri pihak yang memilik gaya ini. Konflik laten adalah sebuah kondisi yang kerap kali menjadi ciri utama, dan berkemungkinan besar setiap saat bisa meledak tidak terkendali. Tidak ada pilihan penanganan penyelesaian sengketa yang sebaiknya ditawarkan pada saat tersebut, terkecuali upaya intensifikasi konflik, dimana mediator membantu para pihak refleksi untuk melihat hal-hal yang menjadi perbedaan jika ada, agar para pihak memahami apa perbedaan yang sedang terjadi dan bagaimana pentingnya perbedaan tersebut untuk dicarikan penyelesaiannya. Pada akhirnya upaya intensifikasi ini ditujukan agar pihak yang bersangkutan bersikap kolaborasi, atau setidaknya kompromi atau akomodasi. Sumber: Gamal dan Sirait, 2011. . Di dalam praktek pelaksanaan ADR, melaksanakan analisis gaya mengelola konflik kerapkali terlupakan. Padahal hal tersebut amat penting untuk mengetahui bagaimana keinginan para pihak menyelesaikan konfliknya. Tidak jarang, pihak ketiga yang ingin membantu penyelesaian konflik serta merta menawarkan mediasi, sementara gaya konflik para pihak adalah agitasi danatau mengindar. Ketika hal itu terjadi, biasanya pelaksanaan pilihan ADR yang ditawarkan menjadi tidak efektif, mengulang insiatif proses penyelesaian dari awal, atau bahkan gagal membantu para pihak menyelesaikan perselisihannya. Rangkaian analisis yang dimulai dari analisis gaya mengelola konflik dan memiliih bentuk alternatif penyelesaian, di dalam proses adminitrasi pengaduan dan penyelesaian perselisihan dapat disebut sebagai “ Tahap Keputusan Untuk Merespon Pengaduan dan Penentuan Pendekatan Penyelesaian “. Tentunya, untuk memperkuat keyakinan para pihak bahwa semua berniat dan bersedia memasuki proses penyelesaian yang sesungguhnya, masih memerlukan indikator-indikator kepastian. Di dalam penelitian ini, setelah semua pihak setuju memilih fasilitasi sebagai pilihan ADR yang akan ditempuh, kemudian dilakukan pengukuran kebersediaan berperan-serta yang menghasilkan bahwa sebesar 85,5 responden akan menghadiri proses fasilitasi. Pada beberapa kasus, seringkali kebersediaan tersebut dimaterialkan ke dalam sebuah kesepakatan awal, misalnya, para pihak kemudian membangun Naskah Kesepahaman Untuk Memulai Perundingan yang kemudian dapat diikuti oleh Kesepakatan tentang Aturan Main atau Tata Laksana Perundingan. 3 Pelaksanaan Alternatif Penyelesaian Terpilih Alternatif penyelesaian yang dipilih oleh para pihak yang berkonflik adalah dengan menempuh penyelesaian melalui fasilitasi. Fasilitasi adalah suatu proses yang di dalamnya terdapat seseorang fasilitator yang netral dan tidak memiliki otoritas pengambil keputusan, yang diterima oleh semua kelompok yang berkonflik untuk memimpin diskusi tentang penyelesaian konflik yang terjadi, melalui seperangkat prosedur yang disepakati Isenhart dan Spangle, 2000. Terkadang sulit membedakan antara fasilitasi dan mediasi. Namun kondisi psikologis yang paling mendasar membedakan keduanya adalah, mediasi dilakukan ketika para pihak yang berkonflik tidak dapat lagi berdialog secara langsung dan memerlukan pihak ketiga mediator, sementara pada pendekatan fasilitasi, para pihak masih bisa berdialog secara langsung, hanya dalam rangka untuk memperoleh penyelesaian yang lebih efektif diperlukan pihak ketiga selaku fasilitator. Di dalam model penelitian ini, fasilitasi dilaksanakan melalui sebuah lokakarya. Seperangkat prosedur ditawarkan dan disepakati oleh para pihak yang berkonflik bahwa, dalam rangka memutuskan kesepakatan, akan ditempuh melalui tahap-tahap: 1 Pemetaan Ulang Akar Konflik Secara Kolaboratif. 2 Ramifikasi dan Pengembangan Proposal Penyelesaian. 3 Mengurai dan Memilih Proposal Ideal. 4 Membuat KesepakatanKeputusan. Pilihan tentang teknis dan cara bagaimana melaksanakan keempat tahap tersebut tentunya amat beragam. Namun di dalam penelitian ini, cara-cara yang mempromosikan pendekatan partisipatif dalam menganalisis konfik yang terjadi, data dan informasi yang diperlukan, pengembangan usulan penyelesaian, memprioritaskan usulan penyelesaian yang akan ditempuh terlebih dahulu, hingga kemudian memutuskan untuk melaksanakannya, amatlah diutamakan. Pendekatan partisipatif yang dilakukan adalah pendekatan partisipatif mandiri dimana para pihak turut terlibat hingga pengambilan keputusan dan memahami kemungkinan-kemungkinan resiko dan manfaat di kemudian hari atas keputusan yang diambil.

5.6.2 Konseptualisasi Model Kelembagaan Penanganan Konflik

Lingkungan, Peluang Aplikasinya di dalam Konteks Kebijakan, dan Umpan Balik. Menurut Andi 2005, hutan merupakan bagian dari lingkungan hidup, regulasi perundang-undangannyapun ada keterkaitan antara undang-undang pengelolaan lingkungan hidup dengan undang-undang kehutanan. “Undang- Undang Kehutanan merupakan undang-undang sektoral yang dinaungi oleh Undang-Undang Lingkungan Hidup karena pada bagian “mengingat” dalam konsideransnya tertulis Undang-Undang Lingkungan Hidup”. Penyelesaian sengketa kehutanan menurut ketentuan undang-undang kehutanan mengadopsi sebagian ketentuan penyelesaian sengketa sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup, hal ini dapat dilihat dan dibandingkan antara ketentuan Pasal 30 Undang- Undang No. 23 Tahun 1997 dengan ketentuan Pasal 74 dan 75 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 pada tabel di bawah ini. Tabel 5.6.1 Perbandingan antara UU Kehutanan dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup tentang Penyelesaian Sengketa. No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 30 1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. 2. Sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. 3. Telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa. Pasal 74 1. Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. 2. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa. Pasal 75 ayat 1 Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku bagi tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan perbandingan kedua undang-undang tersebut, maka Model Pengananan Konflik Lingkungan di Dalam Kawasan Hutan, secara yuridis merujuk kepada Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup termasuk peraturan-peraturan yang terkait dengan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Diluar Pengadilan, yang di dalam lingkungan hidup yang terbaru, yaitu UU No.322009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UUPPLH, dinyatakan bahwa “Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa mediator danatau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup” Pasal 85 Ayat 3. Mengkaitkan penanganan konflik lingkungan dengan penyelesaian sengketa di luar pengadilan karena di dalam UUPPLH bagian penjelasan umum disebutkan bahwa sebagai penunjang hukum administrasi, diberlakukannya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi pada bidang hukum lain seperti 1 sanksi administrasi, dan 2 sanksi perdata, dan 3 alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan tidak efektif danatau tingkat kesalahan pelaku relatif berat danatau akibat perbuatannya relatif besar danatau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat. Dengan demikian penggunaan hukum pidana dalam ketentuan undang-undang pengelolaan lingkungan hidup merupakan “upaya terakhir” ultimum remedium sebagaimana terkandung di dalam asas subsidiaritas. Berdasarkan uraian tersebut sebelumnya, maka konsetualisasi Model Kelembagaan Penanganan Konflik Lingkungan, termasuk mekanisme pengaduan yang dikembangkan di dalam penelitian ini merujuk secara hirarkis kepada peraturan dan kebijakan Lingkungan Hidup khususnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, Mediasi di bidang pertanahan, dan Arbitrase. Selain itu, hal lainnya yang menjadi bahan pertimbangan adalah kenyataan bahwa berdasarkan latar belakang kelembagaan para pihak yang berkonflik, polarisasi konflik lingkungan dapat dipilah-pilah sebagai berikut: 1 Konflik antar-kelompok masyarakat. 2 Konflik antara masyararakat dengan swasta. 3 Konflik antara masyarakat dengan pemerintah 4 Konflik antar-lembaga swasta. 5 Konflik antara swasta dan lembaga pemerintah 6 Konflik antar-lembaga pemerintah. Undang-undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman menyiratkan bahwa objek perselisihan yang ranah penyelesaiannya melalui lembaga ini adalah objek-objek yang terkait dengan maladministrasi yaitu perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil danatau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan. Artinya polarisasi konflik yang menyeret lembaga pemerintah menjadi salah satu pihak terlapor, maka proses penyelesaian perselisihan tersebut dapat menjadi hal yang diurus oleh ORI Ombudsman Republik Indonesia. Dengan demikian, penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan juga dapat ditempuh melalui ORI atau kantor ombudsman di daerah. Selain itu, di dalam UU PPLH, pemerintah telah memperluas siapa-siapa saja yang dapat melakukan mediasi, yaitu dengan menyertakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang minimal berpengalaman kerja selama 2 tahun di bidang lingkungan hidup dapat menjadi mediator sepanjang mereka memiliki tenaga mediator dan diminta oleh para pihak yang berkonflik. Lalu bagaimana halnya dengan pilihan ADR lainnya seperti konsiliasi dan fasilitasi? Negosiasi dalam hal ini tidak dimasukan karena