Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel

responden. Semakin beragam motivasi responden, semakin tinggi nilai skornya Tabel 5.3.2. Penyelesaian konflik yang akan dilakukan adalah dengan mengintervensi akar konflik yang memiliki pengaruh terbesar baik berupa saran, rekomendasi, atau opsi. Di dalam sub-model ini, akar konflik X 1 memiliki koefisien jalur X 1  X 6 sebesar – 0,058 dan merupakan yang terbesar dibandingkan dengan koefisien jalur peubah eksogen lainnya. Temuan tersebut bukan berarti menganjurkan agar bencana lebih banyak terjadi sehingga responden bermotivasi rendah dalam mengkonversi lahan. Temuan ini lebih mengartikan bahwa bencana alam antropogenik yang pernah dialami oleh responden merupakan faktor penghalang bagi responden untuk masuk dan dalam mengkonversi lahan kawasan hutan. Semakin beragam bencana yang dihadapi, semakin rendah motivasi mereka, maka akan semakin kecil investasi yang akan mereka curahkan ke lahan garapan di dalam kawasan. Dalam kondisi demikian maka perlu dilihat faktor eksogen lainnya yang pengaruhnya setingkat di bawah peubah X1, yaitu peubah pengaruh pasar X 4 . Tabel 5.3.2. Analisa deskriptif peubah motivasi responden dalam memutuskan mengkonversi lahan hutan kawasan X 6 Peubah Endogen Skor Frukensi Persen Deskripsi Skor X6 ,00 2 2,0 SKOR = 5, jika responden memilih 1, 2, dan 3. SKOR = 4, jika responden memilih 1 dan 2. SKOR = 3, jika responden memilih 1 dan 3. SKOR = 2, jika responden memilih 2 dan 3 SKOR = 1, jika responden memilih 2 Ragam motivasi atau yang melatar-belakangi responden dalam mengkonversi lahan ke dalam bentuk penggunaan saat ini. 1 Untuk dijual berorientasi pasar 2 Untuk keperluan sendirikeluarga subsisten 3 Atas saranajakan keluargakerabattetangga. 1,00 43 43,0 2,00 29 29,0 3,00 7 7,0 4,00 14 14,0 5,00 5 5,0 Total 100 100,0 Sumber: Wawancara, data diolah dengan program SPSS 11. Peubah pengaruh pasar X 4 berpengaruh positif sebesar 0,049 dan jika dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya, merupakan akar konflik yang berada pada posisi terbesar kedua dalam mempengaruhi motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya. Pengaruh pasar di dalam hal ini diukur oleh banyaknya jumlah pembelipenampung komoditas utama yang dihasilkan responden dari lahan garapan mereka di dalam kawasan. Berpengaruh positif menunjukkan bahwa semakin banyak pasar komoditas maka akan semakin besar motivasi responden dalam mengkonversi lahan kawasan. Analisis deskriptif menghasilkan bahwa sebesar 95 persen responden menyatakan komoditas hasil utama mereka, yang pada umumnya adalah kopi, dijual kepada pedagang pengumpul atau pasar desa Tabel 5.3.3. Mereka menyatakan bahwa perbedaan harga jual yang diterima dari pedagang pengumpul lebih rendah sebanyak Rp.100,- per kilogram kopi dibandingkan jika mereka menjual langsung ke pasar desa. Kecenderungan menjual kepada pedagang pengumpul lebih disebabkan oleh biaya transportasi untuk mengangkut kopi mereka dari dalam kawasan ke pasar desa. Pada dasarnya responden dapat menjual sendiri ke pasar namun mereka tetap tidak memperoleh nilai tambah karena biaya transportasi tersebut, bahkan responden kehilangan waktu yang dipergunakan untuk membawa dan menjual kopi ke pasar. Selain itu antar responden dengan pedagang pengumpul telah memiliki hubungan sosial-ekonomi yang relatif lama. Tidak jarang berbagai sarana produksi pertanian dan bahkan kebutuhan rumah tangga responden dibelidiperoleh dari pinjaman tunai danatau inatura dari pedagang pengumpul. Tabel 5.3.3. Analisa deskriptif peubah pengaruh pasar X 4 Peubah Eksogen Skor Frekuensi Persen Deskripsi Skor X 4 ,00 1 1,0 SKOR = 5 Pengaruh pasar amat kuat, regional, dan banyak pilihan pembeli, jika responden memilih keempatnya 1, 2 , 3 dan 4. SKOR = 4 Pengaruh pasar amat kuat dan regional, jika responden memilih angka 1, 2, dan 3. SKOR = 3 Pengaruh pasar kuat dan regional, jika responden memilih angka 1 dan 2. SKOR = 2 Pengaruh pasar amat kuat namun lokal, jika responden memilih angka 2 dan 3. SKOR = 1 Pengaruh pasar kuat namun lokal, jika responden memilih angka 2 atau 3 saja. SKOR = 0 Tidak menjawab. Para-pihak berpengaruh dan yang selama ini membelimenampung komoditas utama: 1 Perusahan, 2 Pasar Desa, 3 Pedagang pengumpul, 4 Lainnya. 1,00 95 95,0 2,00 3 3,0 3,00 4,00 1 1,0 5,00 Total 100 100,0 Sumber: Wawancara, data diolah dengan program SPSS 11. Hanya sebesar 3 persen yang menjual kepada pedagang pengumpul dan pasar desa. Pada umumnya lokasi lahan mereka relatif dekat dengan jalan desa. Sebesar 1 persen di antara mereka menjual kopinya kepada perusahaan, pedagang pengumpul, dan pasar desa. Responden tersebut ternyata selain sebagai petani kawasan, juga menerimamembeli kopi dari petani lainnya. Sehingga apabila volume kopi yang akan dijual relatif banyak, maka ia akan menjualnya langsung ke perusahaan bermodal besar untuk menerima kopi dalam partai besar. Pelaku pasar seperti perusahan, pasar desa, dan pedagang pengumpul yang membeli hasil-hasil perkebunan, terutama kopi, dari lahan kawasan merupakan aset pembangunan ekonomi perdesaan. Tentunya amat naif apabila dalam upaya menekan motivasi responden mengkonversi lahan kawasan maka para penampungpembeli hasil perkebunan tersebut dikurangi jumlahnya, apalagi fakta sejarah memaparkan bahwa: 1 Sejarah produksi kopi di Propinsi Lampung sama tuanya dengan sejarah pembentukan wilayah tersebut sejak masih berupa Kresidenan Lampung pada jaman kolonial Belanda hingga menjadi Propinsi Lampung pada tahun 1964. 2 Demikian pula wilayah Sumberjaya, sejak jaman Belanda tahun 1933 merupakan bagian dari daerah sentra produksi kopi yang membentang dari selatan yaitu Kecamatan Kota Agung, Wonosobo, Talang Padang, Pulau Panggung, lalu menuju ke utara melewati Kecamatan Suoh, Sekincau, dan Sumberjaya, kemudian ke utara lagi hingga Kabupaten Way Kanan Propinsi Lampung hingga ke Perbatasan Propinsi Sumatera Selatan Verbist, B. dan G. Pasya, 2004. 3 Pada tahun 2003, Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarno Putri, mendeklarasikan bahwa Propinsi Lampung merupakan Beranda Kopi Nasional Indonesia. 4 Demikian pula di dalam aspek kebijakan. Atas pertimbangan sejarah bahwa selain lada, produksi kopi adalah identitas mata pencaharian khas masyarakat Lampung, maka buah kopi di dalam kawasan hutan mendapat pengecualian dan diklasifikasikan sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu HHBK dan tertuang di dalam Perda Propinsi Lampung No.7 Tahun 2000 tentang Iuran Hasil Hutan Bukan Kayu. Adanya fakta sejarah tersebut bukan berarti sama sekali tidak tersedia upaya yang patut dipertimbangkan untuk ditempuh untuk mengintervensi X 4 agar motivasi mengkonversi lahan dapat ditekan. Beberapa upaya yang patut dipertimbangkan adalah sebagai berikut: 1 Pada tahun 2005, pasar kopi internasional hampir memboikot kopi asal Indonesia karena kopi-kopi tersebut ditengarai ditanam di dalam kawasan hutan sehingga menjadi salah satu penyebab degradasi hutan Indonesia saat itu. Walau hingga kini data statistik belum tersedia, kuat dugaan para pemerhati masalah kopi kawasan di Lampung menyatakan bahwa sebagian besar kopi Lampung berasal dari kawasan hutan. Pemboikotan tersebut akhirnya tidak terjadi, namun demikian ke depan resiko tersebut perlu diperdulikan. Salah satu langkah yang dapat ditempuh, yaitu melalui pengembangan dan penerapan sistem sertifikasi semacam green labelling terhadap produksi kopi. Khusus terhadap kopi yang berasal dari kawasan hutan, pasar dikondisikan agar hanya menerima kopi yang sistem tanamnya benar-benar tidak mengganggu fungsi kawasan hutan sesuai peruntukkannya. Hal tersebut memerlukan dukungan pemerintah dalam regulasi tata niaga kopi. Menariknya, hasil wawancara pakar dengan WWF Lampung bahwa mereka sejak awal 2006 sudah mulai mempromosikan upaya tersebut dan secara positif direspon oleh pembeli buyers regional dan international untuk membeli kopi secara lacak produk yaitu tidak membeli kopi dari dalam kawasan terutama kawasan konservasi dan berupaya meyakini kopi yang dibeli berasal dari zona penyangga buffer zone kawasan hutan. Di samping itu, para pembeli dihimbau untuk berperan serta mendukung program-program pengentasan kemiskinan di zona penyangga sehingga secara ekonomis masyarakat tidak termotivasi masuk ke dalam kawasan. 2 Pemberian hak akses access right berupa ijin mengelola lahan kawasan hutan bisa menjadi opsi yang baik. Di dalam hak akses biasanya selalui disertai dengan tanggung jawab dan sanksi. Tanggung jawab seperti wajib menerapkan teknik konservasi tanah, jarak tanam ideal, dan sistem tanam kopi multi-tajuk berkombinasi dengan MPTS Multi Purposes Tree Species, dan lainnya, bisa menjadi pilihan sistem tanam kopi yang secara bersamaan dapat menyangga fungsi lindung sebuah kawasan. Sanksi berupa pencabutan ijin dapat menjadi alat penegakkan hak dan tanggung jawab tersebut. Bentuk hak akses yang dapat dipergunakan saat ini di dalam kebijakan Kehutanan Indonesia misalnya Ijin Hutan Kemasyarakatan HKm yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.31Kpts-II2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan yang memungkinkan masyarakat memperoleh manfaat HHBK dari kawasan hutan lindung. 3 Secara simultan kedua upaya di atas perlu disinergikan dengan penguatan manajemen kawasan sehingga tidak terjadi perluasan areal deforestasi. Khusus areal yang sudah terdeforestasi perlu dilakukan upaya restorasi tidak hanya flora namun bahkan fauna melalui berbagai skema baik dengan danatau tanpa peran serta masyarakat. Pemberian hak akses seperti diuraikan sebelumnya, merupakan contoh skema restorasi dengan peran serta masyarakat reforestasi kawasan hutan. Peubah informasi pasar X 3 berpengaruh positif sebesar 0,041 dan jika dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya, merupakan akar konflik yang berposisi ketiga paling mempengaruhi motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan kawasan. Berpengaruh positif menunjukkan bahwa semakin banyak sumber informasi pasar maka akan semakin beragam keputusan responden dalam mengkonversi lahan kawasan. Sebesar 51 persen reponden memperoleh informasi harga pasar dari satu sumber saja, sementara sebesar 39 persen memperoleh dari 2 sumber informasi Lampiran 8-A Tabel 1. Sumber-sumber informasi harga pasar tersebut adalah 1 perusahaan, 2 pedagang pengumpul, 3 pasar desa, dan 4 kerabattetangga. Pedagang pengumpul dan kerabattetangga merupakan dua sumber utama yang menjadi referensi responden dalam memperoleh informasi harga pasar. Hal tersebut diduga menunjukkan adanya hubungan kepercayaan yang telah terjalin relatif lama antara mereka dengan sumber informasi. Peubah sarana pendukung X 5 berpengaruh positif sebesar 0,036 terhadap motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan kawasan hutan lindung. Sarana pendukung diukur dengan jenis jalan untuk menuju lahan garapan di dalam kawasan. Pada umumnya jalan masuk menuju lahan garapan di kawasan adalah kombinasi 1 jalan desa yang bisa dilalui dalam segala cuaca bahkan oleh kendaraan roda empat, 2 jalan kering yang pada musim penghujan hanya bisa dilewati oleh ojeg dan 3 jalan setapak yang harus ditempuh dengan berjalan kaki. Namun demikian terkadang jalan setapak tersebut tetap bisa dilalui oleh ojeg yang umumnya adalah motor trail, walaupun di musim penghujan. Berdasarkan hasil wawancara, sebesar 60 persen responden menyatakan bahwa jalan masuk ke lahan garapan mereka adalah kombinasi dari ketiga jenis jalan tersebut, sebesar 20 persen hanya jalan kering, dan sebesar 7 persen jalan segala cuaca Lampiran 8-A Tabel 2. Berdasarkan modal transportasi yang sering dipergunakan oleh responden khususnya dan masyarakat setempat pada umumnya, variasi jenis jalan dengan tingkat kesulitannya masing-masing tidaklah menjadi hambatan utama karena hampir semua lahan garapan yang telah memiliki jalan setapak dapat dijangkau dengan kendaraan roda dua terutama ojeg motor trail yang mampu membawa beban hampir mencapai 400 kilogram kopi sekali angkut Gambar 5.2.. Gambar 5.2.a., Tahun 2003 Gambar 5.2.b., Tahun 2005 Gambar 5.2. Kendaraan berpenggerak roda 4 seperti pada Gambar 5.2.a adalah jenis yang umumnya melayani transportasi hingga ke tepi bahkan hingga ke dalam kawasan hutan Sumber photo: Kusworo. Sedang Gambar 5.2.b adalah ojeg motor trail yang mampu mengangkut kopi keluar dari lahan yang berada di jantung kawasan hutan Sumber photo: Peneliti. Peubah penerimaan kotor komoditas utama yang dihitung setara dengan beras yang dikonsumsi responden X 2 berpengaruh negatif sebesar - 0,024 dan merupakan akar konflik yang paling rendah mempengaruhi motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan kawasan. Namun demikian, peubah ini penting untuk dianalisis lebih seksama mengingat pengaruhnya yang justru negatif dapat ditafsirkan bahwa setiap kenaikan 100 persen penerimaan kotor reponden dari komoditas utama di dalam kawasan akan menurunkan motivasi responden untuk mengkonversi lahan sebesar 2,4 persen. Hal tersebut diduga disebabkan oleh beberapa hal yaitu: 1 Status lahan garapan yang berada di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis walau bagaimanapun juga adalah lahan kawasan hutan milik 1 negara. 2 Sepanjang lahan tersebut adalah milik negara, maka responden tidak memiliki kepastian alas hak pemilikan atas lahan land title yang digarap mereka. 3 Atas kondisi tersebut diduga setiap manfaat atau keuntungan yang diperoleh responden dari dalam kawasan akan diinvestasikan olehnya di luar kawasan. Berdasarkan hasil perhitungan, sebesar 63 responden memperoleh penerimaan kotor senilai lebih besar dari total konsumsi beras rumah tangga per tahun Lampiran 8-A Tabel 3. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sesungguhnya sebesar 63 responden berpeluang memperoleh kepastian cadangan pangan food stock security dari lahan kawasan yang dikelolanya, sehingga dapat dikatakan bahwa hal tersebutlah yang menjadi faktor penyebab mengapa responden makin termotivasi mengkonversi lahan. Disebut berpeluang karena masih ada beberapa informasi yang perlu diungkap lebih tuntas yaitu: 1 Peubah eksogen tersebut masih berupa penerimaan kotor dan belum dikurangi biaya produksi. 2 Nilai peubah yang diperoleh tidak mencerminkan produktifitas lahan per hektar. 3 Adanya lahan responden yang belum berproduksi, dan 4 Memang karena nilai penerimaan kotornya lebih rendah dari nilai konsumsi beras rumah tangga. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa sebesar 34 responden memperoleh nilai penerimaan kotor komoditas utama lebih rendah dari nilai total konsumsi beras rumah tangga per tahun. Terhadap keempat hal tersebut, perlu dilakukan penelitian lebih mendalam. Sebagai informasi pelengkap, umumnya komoditas utama yang diusahakan oleh responden di dalam mengkonversi lahan kawasan adalah dengan menaman kopi Coffea robusta. Ditemui hanya satu responden yang menanam cabai Fructesen Sp dan itupun hanya seluas 0,04 hektar, penerimaan kotor reponden yang bersangkutan ternyata lebih besar dari nilai konsumsi berasnya. Harga kopi yang diterima di tingkat responden bervariasi antara Rp.3.900,- hingga Rp. 4.500,- per kilogram. Sedangkan harga beras yang 1 Ada pemahaman bahwa apabila lahan kawasan hutan statusnya belum dikukuhkan maka kawasan tersebut belum resmi disebut sebagai kawasan hutan negara. dikonsumsi oleh responden berkisar antara Rp.2.800,- hingga Rp.3.600,- per kilogram.

5.3.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel

Persepsi dan Ketimpangan Struktural Pada sub model persepsi dan ketimpangan struktural, terdapat dua persamaan jalur secara paralel, yang pertama yaitu sub-model ketimpangan struktural yang ditujukan untuk mengukur tingkat ordinasi responden X 10 dengan melihat pengaruh dari peubah eksogen tingkat partisipasi responden X 7 , tingkat kesejahteraan sosial responden X 8 dan tingkat keberdayaan responden X 9 seperti terlihat pada Persamaan 22 dan Gambar 5.3. X 10 = 0,12X 7 + 0,18X 8 – 0,029X 9 ……….…………. 22 Keterangan: X 10 = peubah akibat tingkat ordinasi responden X 7 = peubah tingkat partisipasi responden X 8 = peubah tingkat kesejahteraan sosial responden X 9 = peubah tingkat keberdayaan responden Berdasarkan hasil analisis jalur diperoleh bahwa tingkat kesejahteraan sosial responden X 8 berpengaruh positif sebesar 0,18 terhadap tingkat ordinasi responden X 10 . Artinya semakin tinggi tingkat kesejahteraan sosial responden maka akan semakin tinggi pula tingkat ordinasi responden. Tingkat ordinasi dinyatakan tinggi apabila dalam setiap perundingan, responden diajak bicara dan kepentingannya diperhatikandipenuhi oleh pemerintah atau pihak lain yang menjadi lawan konflik Lampiran 8-A Tabel 6. Gambar 5.3. Diagram Jalur Sub-model Tingkat Ordinasi Responden. Tingkat partisipasi responden X7 Tingkat kesejahteraan sosial responden X8 Tingkat keberdayaan responden X9 0,12 0,18 -0,029 Tingkat ordinasi responden X10 Tingkat kesejahteraan sosial responden diukur dengan menggunakan baku pengukuran tingkat kesejahteraan sosial yang dipergunakan oleh BKKBN Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional yang menggolongkan kesejahteraan ke dalam kelompok: 1 Keluarga Pra Sejahtera, 2 Keluarga Sejahtera Tahap I, 3 Keluarga Sejahtera Tahap II, 4 Keluarga Sejahtera Tahap III, dan 5 Keluarga Sejahtera Tahap III Plus. Pada Tabel 5.3.4 terlihat bahwa hanya sebesar 12 persen responden masuk ke dalam kelompok Keluarga Pra-sejahtera, sisanya sebesar 88 persen adalah Keluarga Sejahtera. Tabel 5.3.4. Analisis deskriptif peubah tingkat kesejahteraan sosial responden X 8 Peubah eksogen Skor Frekuensi Persen Deskripsi Skor X8 1,00 12 12,0 SKOR = 1, jika responden adl Keluarga Pra Sejahtera SKOR = 2, jika responden adl Keluarga Sejahtera Tahap I SKOR = 3, jika responden adl Keluarga Sejahtera Tahap II SKOR = 4, jika responden adl Keluarga Sejahtera Tahap III SKOR = 5, jika responden adl Keluarga Sejahtera Tahap III Plus 2,00 50 50,0 3,00 31 31,0 4,00 7 7,0 Total 100 100,0 Sumber: Wawancara, data diolah dengan program SPSS 11. Semakin tinggi status sosial responden semakin tinggi pula kepentingannya diperhatikan oleh pihak lain. Hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa di dalam polarisasi konflik posisi tawar mereka akan cenderung bergeser manjadi pihakkelompok yang powerful atau yang berkuasa. Kondisi tersebut merupakan suatu kekuatanmodal sosial yang dapat dipergunakan dalam memperjuangkan kepentingan mereka dalam setiap perundingan. Lalu bagaimana dengan mereka yang status sosialnya rendah dalam kasus ini adalah 12 persen responden yang masuk dalam kelompok Pra- sejahtera? Apalagi kelompok tersebut umumnya powerless lemah dicirikan oleh berbagai karakter seperti 1 umumnya adalah kelompok yang marjinal dan rentan secara sosial-ekonomi, 2 hak untuk bersuaraa right to voice lemah dan cenderung diabaikan oleh pihak yang kuat powerfull, dan 3 terbatasnya ruang politik bagi mereka untuk mewujudkan kepentingannya. Disinilah peran para responden yang masuk dalam kelompok Keluarga Sejahtera dan powerfull. Responden yang powerfull dan powerless pada dasarnya memiliki keterikatan kepentingan yang sama, yaitu sama-sama sebagai kelompok masyarakat yang memiliki lahan garapan di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Sebagai sebuah kelompok yang saling berketerikatan, maka responden yang powerless akan menempatkan dirinya sebagai bagian dari responden yang powerfull dalam mencapai kepentingan bersama, sebaliknya responden yang powerfull setidaknya memegang posisi mewakili kepentingan responden powerless. Pada interaksi yang demikian akan terjadi kesepakatan- kesepakatan sosial seperti adanya 1 keterwakilan representativeness, 2 mandatasi, dan 3 kekuatan monolitik sebuah kelompok untuk memperjuangkan kepentingan bersama dalam menghadapi konflik dengan pihak lain Isenhart dan Spangle, 2000; Moore, 1996. Sebaliknya, apabila posisi responden yang powerless terlepas dari ikatan kepentingan bersama dengan yang powerfull, maka peluang mereka untuk berhasil memperjuangkan kepentingannya akan kecil bahkan gagal. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Robinson 1998 bahwa satuan organisasi masyarakat lapisan bawah gassroot communities harus berbentuk kelompok sebab komunitas masyarakat perdesaan tidak dapat berfungsi sebagai individual yang otonom. Ketika individu-individu direnggangkan dari komunitasnya baik sosial dan lingkungan alam mereka menjadi mudah digoyahkan oleh kekuatan luar sehingga menurunkan efektifitas mereka dalam mencapai kegiatan dan kepentingan kolektif yang pada akhirnya posisi tawar yang bersangkutan dalam memperjuangkan kepentingannya akan melemah. Di Peubah tingkat partisipasi responden X 7 berpengaruh positif 0,12 terhadap tingkat ordinasi responden X 10 . Artinya semakin tinggi tingkat partisipasi responden akan semakin tinggi tingkat ordinasi mereka. Tingkat partisipasi dinilai dari tipologi partisipasi secara kualitatif yang selama ini selama ini diperankan oleh responden. Di dalam penelitian ini, tingkat kualitas tipologi partisipasi dari buruk ke baik secara hirarkis terdiri atas tujuh macam Pretty dan Ward, 2000 yaitu 1 partisipasi manipulatif dan dekoratif, 2 partisipasi pasif, 3 partisipasi memberi informasi dan konsultasi, 4 partisipasi insentif material, 5 partisipasi fungsional, 6 partisipasi interaktif, dan 7 partisipasi self- mobilizationmandiri. Partisipasi manipulatif dan dekoratif yaitu keberadaan kelompok masyarakat atau perorangan dibentuk oleh pemerintah dan untuk kepentingan sesaat oleh pemerintah, misalnya kelompok dibentuk karena ada bantuandistribusi bibit dari pemerintah dan kelompok hanya eksis selama proyek