Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel
responden. Semakin beragam motivasi responden, semakin tinggi nilai skornya Tabel 5.3.2.
Penyelesaian konflik yang akan dilakukan adalah dengan mengintervensi akar konflik yang memiliki pengaruh terbesar baik berupa saran, rekomendasi,
atau opsi. Di dalam sub-model ini, akar konflik X
1
memiliki koefisien jalur X
1
X
6
sebesar – 0,058 dan merupakan yang terbesar dibandingkan dengan koefisien jalur peubah eksogen lainnya. Temuan tersebut bukan berarti menganjurkan
agar bencana lebih banyak terjadi sehingga responden bermotivasi rendah dalam mengkonversi lahan. Temuan ini lebih mengartikan bahwa bencana alam
antropogenik yang pernah dialami oleh responden merupakan faktor penghalang bagi responden untuk masuk dan dalam mengkonversi lahan kawasan hutan.
Semakin beragam bencana yang dihadapi, semakin rendah motivasi mereka, maka akan semakin kecil investasi yang akan mereka curahkan ke lahan
garapan di dalam kawasan. Dalam kondisi demikian maka perlu dilihat faktor eksogen lainnya yang pengaruhnya setingkat di bawah peubah X1, yaitu peubah
pengaruh pasar X
4
.
Tabel 5.3.2. Analisa deskriptif peubah motivasi responden dalam memutuskan
mengkonversi lahan hutan kawasan X
6
Peubah Endogen
Skor Frukensi
Persen Deskripsi Skor
X6 ,00
2 2,0
SKOR = 5, jika responden memilih 1, 2, dan 3. SKOR = 4, jika responden memilih 1 dan 2.
SKOR = 3, jika responden memilih 1 dan 3. SKOR = 2, jika responden memilih 2 dan 3
SKOR = 1, jika responden memilih 2 Ragam motivasi atau yang melatar-belakangi
responden dalam mengkonversi lahan ke dalam bentuk penggunaan saat ini.
1 Untuk dijual berorientasi pasar 2 Untuk keperluan sendirikeluarga subsisten
3 Atas
saranajakan keluargakerabattetangga.
1,00 43
43,0 2,00
29 29,0
3,00 7
7,0 4,00
14 14,0
5,00 5
5,0 Total
100 100,0
Sumber: Wawancara, data diolah dengan program SPSS 11.
Peubah pengaruh pasar X
4
berpengaruh positif sebesar 0,049 dan jika
dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya, merupakan akar konflik yang berada pada posisi terbesar kedua dalam mempengaruhi motivasi responden
memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya. Pengaruh pasar di
dalam hal ini diukur oleh banyaknya jumlah pembelipenampung komoditas utama yang dihasilkan responden dari lahan garapan mereka di dalam kawasan.
Berpengaruh positif menunjukkan bahwa semakin banyak pasar komoditas maka akan semakin besar motivasi responden dalam mengkonversi lahan kawasan.
Analisis deskriptif menghasilkan bahwa sebesar 95 persen responden menyatakan komoditas hasil utama mereka, yang pada umumnya adalah kopi,
dijual kepada pedagang pengumpul atau pasar desa Tabel 5.3.3. Mereka menyatakan bahwa perbedaan harga jual yang diterima dari pedagang
pengumpul lebih rendah sebanyak Rp.100,- per kilogram kopi dibandingkan jika mereka menjual langsung ke pasar desa. Kecenderungan menjual kepada
pedagang pengumpul lebih disebabkan oleh biaya transportasi untuk mengangkut kopi mereka dari dalam kawasan ke pasar desa. Pada dasarnya
responden dapat menjual sendiri ke pasar namun mereka tetap tidak memperoleh nilai tambah karena biaya transportasi tersebut, bahkan responden
kehilangan waktu yang dipergunakan untuk membawa dan menjual kopi ke pasar. Selain itu antar responden dengan pedagang pengumpul telah memiliki
hubungan sosial-ekonomi yang relatif lama. Tidak jarang berbagai sarana produksi pertanian dan bahkan kebutuhan rumah tangga responden
dibelidiperoleh dari pinjaman tunai danatau inatura dari pedagang pengumpul.
Tabel 5.3.3. Analisa deskriptif peubah pengaruh pasar X
4
Peubah Eksogen
Skor Frekuensi
Persen Deskripsi Skor
X
4
,00 1
1,0 SKOR = 5 Pengaruh pasar amat kuat, regional,
dan banyak pilihan pembeli, jika responden memilih keempatnya 1, 2 , 3
dan 4. SKOR = 4 Pengaruh pasar amat kuat dan
regional, jika responden memilih angka 1, 2, dan 3.
SKOR = 3 Pengaruh pasar kuat dan regional, jika responden memilih angka 1 dan 2.
SKOR = 2 Pengaruh pasar amat kuat namun lokal, jika responden memilih angka 2
dan 3. SKOR = 1 Pengaruh pasar kuat namun lokal, jika
responden memilih angka 2 atau 3 saja. SKOR = 0 Tidak menjawab.
Para-pihak berpengaruh dan yang selama ini membelimenampung komoditas utama: 1
Perusahan, 2 Pasar Desa, 3 Pedagang pengumpul, 4 Lainnya.
1,00 95
95,0 2,00
3 3,0
3,00 4,00
1 1,0
5,00
Total 100
100,0
Sumber: Wawancara, data diolah dengan program SPSS 11.
Hanya sebesar 3 persen yang menjual kepada pedagang pengumpul dan pasar desa. Pada umumnya lokasi lahan mereka relatif dekat dengan jalan desa.
Sebesar 1 persen di antara mereka menjual kopinya kepada perusahaan, pedagang pengumpul, dan pasar desa. Responden tersebut ternyata selain
sebagai petani kawasan, juga menerimamembeli kopi dari petani lainnya. Sehingga apabila volume kopi yang akan dijual relatif banyak, maka ia akan
menjualnya langsung ke perusahaan bermodal besar untuk menerima kopi dalam partai besar.
Pelaku pasar seperti perusahan, pasar desa, dan pedagang pengumpul yang membeli hasil-hasil perkebunan, terutama kopi, dari lahan kawasan
merupakan aset pembangunan ekonomi perdesaan. Tentunya amat naif apabila dalam upaya menekan motivasi responden mengkonversi lahan kawasan maka
para penampungpembeli hasil perkebunan tersebut dikurangi jumlahnya, apalagi fakta sejarah memaparkan bahwa:
1 Sejarah produksi kopi di Propinsi Lampung sama tuanya dengan sejarah pembentukan wilayah tersebut sejak masih berupa Kresidenan Lampung
pada jaman kolonial Belanda hingga menjadi Propinsi Lampung pada tahun 1964.
2 Demikian pula wilayah Sumberjaya, sejak jaman Belanda tahun 1933 merupakan bagian dari daerah sentra produksi kopi yang membentang dari
selatan yaitu Kecamatan Kota Agung, Wonosobo, Talang Padang, Pulau Panggung, lalu menuju ke utara melewati Kecamatan Suoh, Sekincau, dan
Sumberjaya, kemudian ke utara lagi hingga Kabupaten Way Kanan Propinsi Lampung hingga ke Perbatasan Propinsi Sumatera Selatan Verbist, B. dan
G. Pasya, 2004. 3 Pada tahun 2003, Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarno Putri,
mendeklarasikan bahwa Propinsi Lampung merupakan Beranda Kopi Nasional Indonesia.
4 Demikian pula di dalam aspek kebijakan. Atas pertimbangan sejarah bahwa selain lada, produksi kopi adalah identitas mata pencaharian khas
masyarakat Lampung, maka buah kopi di dalam kawasan hutan mendapat pengecualian dan diklasifikasikan sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu HHBK
dan tertuang di dalam Perda Propinsi Lampung No.7 Tahun 2000 tentang Iuran Hasil Hutan Bukan Kayu.
Adanya fakta sejarah tersebut bukan berarti sama sekali tidak tersedia upaya yang patut dipertimbangkan untuk ditempuh untuk mengintervensi X
4
agar
motivasi mengkonversi lahan dapat ditekan. Beberapa upaya yang patut dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
1 Pada tahun 2005, pasar kopi internasional hampir memboikot kopi asal Indonesia karena kopi-kopi tersebut ditengarai ditanam di dalam kawasan
hutan sehingga menjadi salah satu penyebab degradasi hutan Indonesia saat itu. Walau hingga kini data statistik belum tersedia, kuat dugaan para
pemerhati masalah kopi kawasan di Lampung menyatakan bahwa sebagian besar kopi Lampung berasal dari kawasan hutan. Pemboikotan tersebut
akhirnya tidak terjadi, namun demikian ke depan resiko tersebut perlu diperdulikan. Salah satu langkah yang dapat ditempuh, yaitu melalui
pengembangan dan penerapan sistem sertifikasi semacam green labelling terhadap produksi kopi. Khusus terhadap kopi yang berasal dari kawasan
hutan, pasar dikondisikan agar hanya menerima kopi yang sistem tanamnya benar-benar tidak mengganggu fungsi kawasan hutan sesuai
peruntukkannya. Hal tersebut memerlukan dukungan pemerintah dalam regulasi tata niaga kopi. Menariknya, hasil wawancara pakar dengan WWF
Lampung bahwa mereka sejak awal 2006 sudah mulai mempromosikan upaya tersebut dan secara positif direspon oleh pembeli buyers regional
dan international untuk membeli kopi secara lacak produk yaitu tidak membeli kopi dari dalam kawasan terutama kawasan konservasi dan berupaya
meyakini kopi yang dibeli berasal dari zona penyangga buffer zone kawasan hutan. Di samping itu, para pembeli dihimbau untuk berperan serta
mendukung program-program pengentasan kemiskinan di zona penyangga sehingga secara ekonomis masyarakat tidak termotivasi masuk ke dalam
kawasan. 2 Pemberian hak akses access right berupa ijin mengelola lahan kawasan
hutan bisa menjadi opsi yang baik. Di dalam hak akses biasanya selalui disertai dengan tanggung jawab dan sanksi. Tanggung jawab seperti wajib
menerapkan teknik konservasi tanah, jarak tanam ideal, dan sistem tanam kopi multi-tajuk berkombinasi dengan MPTS Multi Purposes Tree Species,
dan lainnya, bisa menjadi pilihan sistem tanam kopi yang secara bersamaan dapat menyangga fungsi lindung sebuah kawasan. Sanksi berupa
pencabutan ijin dapat menjadi alat penegakkan hak dan tanggung jawab tersebut. Bentuk hak akses yang dapat dipergunakan saat ini di dalam
kebijakan Kehutanan Indonesia misalnya Ijin Hutan Kemasyarakatan HKm
yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.31Kpts-II2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan yang memungkinkan
masyarakat memperoleh manfaat HHBK dari kawasan hutan lindung. 3 Secara simultan kedua upaya di atas perlu disinergikan dengan penguatan
manajemen kawasan sehingga tidak terjadi perluasan areal deforestasi. Khusus areal yang sudah terdeforestasi perlu dilakukan upaya restorasi
tidak hanya flora namun bahkan fauna melalui berbagai skema baik dengan danatau tanpa peran serta masyarakat. Pemberian hak akses seperti
diuraikan sebelumnya, merupakan contoh skema restorasi dengan peran serta masyarakat reforestasi kawasan hutan.
Peubah informasi pasar X
3
berpengaruh positif sebesar 0,041 dan jika
dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya, merupakan akar konflik yang berposisi ketiga paling mempengaruhi motivasi responden memutuskan untuk
mengkonversi lahan hutan kawasan. Berpengaruh positif menunjukkan bahwa semakin banyak sumber informasi pasar maka akan semakin beragam
keputusan responden dalam mengkonversi lahan kawasan. Sebesar 51 persen reponden memperoleh informasi harga pasar dari satu sumber saja, sementara
sebesar 39 persen memperoleh dari 2 sumber informasi Lampiran 8-A Tabel 1. Sumber-sumber informasi harga pasar tersebut adalah 1 perusahaan, 2
pedagang pengumpul, 3 pasar desa, dan 4 kerabattetangga. Pedagang pengumpul dan kerabattetangga merupakan dua sumber utama yang menjadi
referensi responden dalam memperoleh informasi harga pasar. Hal tersebut diduga menunjukkan adanya hubungan kepercayaan yang telah terjalin relatif
lama antara mereka dengan sumber informasi.
Peubah sarana pendukung X
5
berpengaruh positif sebesar 0,036
terhadap motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan kawasan hutan lindung. Sarana pendukung diukur dengan jenis jalan untuk
menuju lahan garapan di dalam kawasan. Pada umumnya jalan masuk menuju lahan garapan di kawasan adalah kombinasi 1 jalan desa yang bisa dilalui
dalam segala cuaca bahkan oleh kendaraan roda empat, 2 jalan kering yang pada musim penghujan hanya bisa dilewati oleh ojeg dan 3 jalan setapak yang
harus ditempuh dengan berjalan kaki. Namun demikian terkadang jalan setapak tersebut tetap bisa dilalui oleh ojeg yang umumnya adalah motor trail, walaupun
di musim penghujan. Berdasarkan hasil wawancara, sebesar 60 persen responden menyatakan bahwa jalan masuk ke lahan garapan mereka adalah
kombinasi dari ketiga jenis jalan tersebut, sebesar 20 persen hanya jalan kering, dan sebesar 7 persen jalan segala cuaca Lampiran 8-A Tabel 2.
Berdasarkan modal transportasi yang sering dipergunakan oleh responden khususnya dan masyarakat setempat pada umumnya, variasi jenis
jalan dengan tingkat kesulitannya masing-masing tidaklah menjadi hambatan utama karena hampir semua lahan garapan yang telah memiliki jalan setapak
dapat dijangkau dengan kendaraan roda dua terutama ojeg motor trail yang mampu membawa beban hampir mencapai 400 kilogram kopi sekali angkut
Gambar 5.2..
Gambar 5.2.a., Tahun 2003 Gambar 5.2.b., Tahun 2005
Gambar 5.2. Kendaraan berpenggerak roda 4 seperti pada Gambar 5.2.a adalah jenis yang umumnya melayani transportasi hingga ke tepi bahkan hingga ke dalam kawasan
hutan Sumber photo: Kusworo. Sedang Gambar 5.2.b adalah ojeg motor trail yang mampu mengangkut kopi keluar dari lahan yang berada di jantung kawasan hutan
Sumber photo: Peneliti.
Peubah penerimaan kotor komoditas utama yang dihitung setara dengan beras yang dikonsumsi responden X
2
berpengaruh negatif sebesar
- 0,024 dan merupakan akar konflik yang paling rendah mempengaruhi motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan kawasan. Namun
demikian, peubah ini penting untuk dianalisis lebih seksama mengingat pengaruhnya yang justru negatif dapat ditafsirkan bahwa setiap kenaikan 100
persen penerimaan kotor reponden dari komoditas utama di dalam kawasan akan menurunkan motivasi responden untuk mengkonversi lahan sebesar 2,4
persen. Hal tersebut diduga disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
1 Status lahan garapan yang berada di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis walau bagaimanapun juga adalah lahan kawasan
hutan milik
1
negara. 2 Sepanjang lahan tersebut adalah milik negara, maka responden tidak
memiliki kepastian alas hak pemilikan atas lahan land title yang digarap mereka.
3 Atas kondisi tersebut diduga setiap manfaat atau keuntungan yang diperoleh responden dari dalam kawasan akan diinvestasikan olehnya di luar kawasan.
Berdasarkan hasil perhitungan, sebesar 63 responden memperoleh penerimaan kotor senilai lebih besar dari total konsumsi beras rumah tangga per
tahun Lampiran 8-A Tabel 3. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sesungguhnya sebesar 63 responden berpeluang memperoleh kepastian
cadangan pangan food stock security dari lahan kawasan yang dikelolanya, sehingga dapat dikatakan bahwa hal tersebutlah yang menjadi faktor penyebab
mengapa responden makin termotivasi mengkonversi lahan. Disebut berpeluang karena masih ada beberapa informasi yang perlu diungkap lebih tuntas yaitu:
1 Peubah eksogen tersebut masih berupa penerimaan kotor dan belum dikurangi biaya produksi.
2 Nilai peubah yang diperoleh tidak mencerminkan produktifitas lahan per hektar.
3 Adanya lahan responden yang belum berproduksi, dan 4 Memang karena nilai penerimaan kotornya lebih rendah dari nilai konsumsi
beras rumah tangga. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa sebesar 34 responden memperoleh nilai penerimaan kotor komoditas utama lebih
rendah dari nilai total konsumsi beras rumah tangga per tahun. Terhadap keempat hal tersebut, perlu dilakukan penelitian lebih
mendalam. Sebagai informasi pelengkap, umumnya komoditas utama yang diusahakan oleh responden di dalam mengkonversi lahan kawasan adalah
dengan menaman kopi Coffea robusta. Ditemui hanya satu responden yang menanam cabai Fructesen Sp dan itupun hanya seluas 0,04 hektar,
penerimaan kotor reponden yang bersangkutan ternyata lebih besar dari nilai konsumsi berasnya. Harga kopi yang diterima di tingkat responden bervariasi
antara Rp.3.900,- hingga Rp. 4.500,- per kilogram. Sedangkan harga beras yang
1
Ada pemahaman bahwa apabila lahan kawasan hutan statusnya belum dikukuhkan maka kawasan tersebut belum resmi disebut sebagai kawasan hutan negara.
dikonsumsi oleh responden berkisar antara Rp.2.800,- hingga Rp.3.600,- per kilogram.