KESIMPULAN Model of environmental conflict management in protection forest area (a case study In Register 45b Bukit Rigis Protection Forest Area, Lampung Province)

Pertanahan Nasional BPN Propinsi Lampung, 2004. 4.4 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsinya Tahun 1997 – 2001 94 4.5 Luas dan Fungsi Kawasan Hutan Per KabupatenKota di Propinsi Lampung Menurut SK.Menhutbun No.256KPts- II2000. 95 4.6 Kondisi Penutupan Lahan pada Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Poduksi di Propinsi Lampung Tahun 2000 97 4.7 Keadaan Lahan Kritis di Propinsi Lampung Tahun 1998 – 2000 99 4.8 Penyelesaian Kasus Tanah di Propinsi Lampung Tahun 1999 - 2002 101 4.9 Penggunaan lahan di Kecamatan Sumberjaya, Tahun 2000 108 4.10 Presentasi perubahan penggunaan lahan di Sumberjaya tahun 1978 – 1990 . 112 4.11 Perubahan Sebaran Tutupan Lahan Hutan forest land cover di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis 113 4.12 Nama Kelompok yang telah mendapatkan hak akses melalui Ijin Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. 118 5.2.1 Perbandingan akses masyarakat tempatan terhadap sumberdaya hutan dalam evolusi kebijakan HKm nasional. 126 5.3.1 Analisa deskriptif peubah bencana alam antropogenik X 1 145 5.3.2 Analisa deskriptif peubah motivasi responden dalam memutuskan mengkonversi lahan hutan kawasan X 6 146 5.3.3 Analisa deskriptif peubah pengaruh pasar X 4 147 5.3.4 Analisis deskriptif peubah tingkat kesejahteraan sosial responden X 8 154 5.3.5 Daftar insentif material dan upah kerja dalam pelaksanaan Proyek GNRHL di Sumberjaya, 2004. 158 5.3.6 Penelusuran indikator manifestasi etik lingkungan di SK Menhutbun No. 31Kpts-II2001 tentang HKm 185 5.3.7 Peubah yang paling berpengaruh pada masing-masing sub- model 191 5.4.1 Komposisi Para Pihak Yang Dipilih Dalam Analsis Gaya Mengelola Konflik. 194 5.4.2 Hasil Analisis Statistik Perbedaan Nilai Tengah Para Pihak Terhadap Konflik. 195 5.4.3 Daftar Ijin HKm Juni 2006 yang Lokasinya Berpotensi Menimbulkan Konflik Tata Batas Kawasan Hutan Antar Kabupaten. 202 5.4.4 Pengelompokkan Perbedaan Para Pihak Berdasarkan Pernyataan Mereka Terhadap Masing-masing Isu Konflik 206 5.4.5 Pernyataan Responden Tentang Kesesuaian Tupoksi Lembaganya Terhadap Penyelesaian Konflik 214 5.4.6 Kebersediaan Responden Untuk Hadir dalam Perundingan 215 5.4.7 Preferensi Responden Terhadap bentuk Perundingan 216 5.4.8 Upaya Responden Dalam Menyatakan Perbedaan Kepentingan dalam konflik Status Lahan, Tata Batas, dan Hak Akses. 218 5.4.9 Komitmen Responden Untuk Tetap Hadir Selama Perundingan 219 5.5.1 Indeks Kekhasan saliency Pemangku Kepentingan. 225 5.5.2 Daftar Nama Transmigran BRN Tahun 1951-1952 Yang Masih Hidup Sebagai Saksi Sejarah Pekon Sukapura. 232 5.5.3 Penggunaan lahan Pekon Sukapura, 2004. 232 5.5.4 Analisis Rentang Waktu Beberapa Peristiwa Penting Yang berkaitan dengan Konflik Status Lahan Pekon Sukapura di Dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kecamatan Sumberjaya 234 5.5.5 Analisa Kekuatan, Kepentingan, dan Legitimasi Para Pihak Yang Berkonflik Dalam Kasus Status Lahan Pekon Sukapura 236 5.5.6 Pemeringkatan Skenario Ideal Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura 244 5.5.7 Penetapan Kriteria, Sekala, dan Sekor Masing-masing Skenario Penyeselaian 245 5.5.8 Pemilihan Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Berdasarkan Kriteria Kebutuhan Biaya, Waktu, dan Ketersediaan Sumberdaya Manusia. 246 5.5.9 Sekor Dukungan Masing-masing Pihak Terhadap Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan 247 5.5.10 Sekor Dukungan Kolektif Semua Pihak Terhadap Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan. 250 5.5.11 Pemilihan Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Berdasarkan Kriteria Kebutuhan Biaya, Waktu, Ketersediaan Sumberdaya Manusia, dan Dukungan Para Pihak. 250 5.6.1 Perbandingan antara UU Kehutanan dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup tentang Penyelesaian Sengketa. 263 5.6.2 Perbedaan antara Hak Positif dan Hak Normatif Stone, 2001 269 DAFTAR GAMBAR Gambar halaman 1.1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Hubungan Pengaruh Model Faktor-Faktor Yang Menimbulkan Konflik Lingkungan 13 1.2. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Model Identifikasi Peta Konflik 16 1.3. Kerangka Pemikiran Model Kognitif Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung 17 2.1. Penggunaan Lahan Dunia, 1990 Sumber: WRI Dalam Cunningham Dan Saigo, 1995. 23 2.2. Luas Kawasan Hutan Di Indonesia Pada Tahun 1999 Sumber: Badan Planologi Departemen Kehutanan, 2001; Grafis Diolah 26 2.3. Perbedaan-Perbedaan Yang Sering Menjadi Sumber Konflik. Sumber: Wijardjo, 2001; Moore, 1996 39 2.4. Hubungan Antara Tingkat Perbedaan Sasaran dan Prilaku Yang Ditimbulkan Sumber: Fisher Et Al, 2001. 41 2.5. Model Dua Dimensi Penentu Gaya Konflik Sumber: Avruch Et Al, 1991 44 2.6. Interaksi Multi Track Diplomacy Dalam Penciptaan Perdamaian Diamond Dan Mcdonald, 1996 46 2.7. Model Konflik Glasl Sumber: Glasl Dalam Yasmi, 2002 52 2.8 Model Sistem Pendukung Negosiasi Pengelolaan Sumberdaya Alam Sumber: Noordwijk, 2000 52 3.1. Peta Lokasi Studi, Propinsi Lampung 56 3.2. Teknik Mendengarkan Dalam Mewawancara Konflik Sumber: Hendricks, 1992 63 3.3. Teknik CAPS Dalam Penanganan Konflik Sumber: Mitchell Dan Banks, 1996 64 3.4 Kerangka Hubungan Antara Tahapan Kebijakan, Analisis Kebijakan, dan Kemungkinan KeluaranRekomendasi Diadopsi Dari Dunn 2000 Dan Hempel 1996 70 3.5 Hubungan Dependensi Di Dalam Persamaan Struktural 72 3.6 Diagram Jalur Antara Sub-Model Eksternaliti, Persepsi dan Ketimpangan Struktural, Kelangkaan, dan Etik Lingkungan; Terhadap Eskalasi Konflik 79 4.1 Peta Administrasi Propinsi Lampung 91 4.2 Peta Penutupan Lahan Propinsi Lampung, 2000 Sumber: Badan Planologi Kehutanan, 2002 98 4.3 Pendudukan lahan Taman Nasional Way Kambas oleh masyarakat adat Marga Subing Sumber photo 4.3a: Peneliti; dan Demonstrasi rakyat yang menggugat status pertanahan di Kantor Gubernur Propinsi Lampung Sumber photo 4.3b: Lampung Post 101 4.4 Kondisi HPT yang masih terjaga di Desa Pahmongan Kecamatan Pesisir Tengah Gambar 4.4a dan kondisi HPT yang sudah rusak di Hutan Titi Liut Desa Kota Jawa Kecamatan Bengkunat Gambar 4.4b, Kabupaten Lampung Barat. Sumber 103 photo: Peneliti 4.5 Bukti dokumen sejarah diresmikannya nama Sumberjaya oleh Presiden Sukarno. Gambar 4.5b adalah Presiden Sukarno pada saat peresmian Sumberjaya, 14 November 1952 Sumber photo dan dokumen: Kepala Desa Sukapura, Kecamatan Sumberjaya. 104 4.6 Peta Situasi Perkampungan Tua Suku Semendo pada tahun 1920-1930 dan desa-desa gelombang kedua dari penduduk Sunda dan Jawa sejak tahun 1950 Sumber: Benoit 1989 dalam Verbist dan Pasya 2004. 105 4.7 Pertumbuhan Penduduk di Sumberjaya Sumber: Verbist 2001; Biro Pusat Statistik Lampung Barat 2003; Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung 2005. 106 4.8 Peta situasi beberapa kawasan hutan lindung di dalam Kecamatan Sumberjaya Sumber: ICRAF. 110 4.9 Kondisi deforestasi kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis awal Tahun 2000 Sumber photo: ICRAF. 111 4.10 Peta wilayah Desa Sukapura yang berada di dalam kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis; Poligon berwarna merah muda adalah areal seluas 302,5 hektar yang diklaim oleh warga untuk dialih-fungsikan Sumber: Watala, 2003. 115 4.11 Perbedaan batas TGHK di Sumberjaya Sumber: Verbist, 2001 116 5.1 Diagram Jalur Sub-model Eksternalitas. 144 5.2 Kendaraan berpenggerak roda 4 seperti pada Gambar 5.2.a adalah jenis yang umumnya melayani transportasi hingga ke tepi bahkan hingga ke dalam kawasan hutan Sumber photo: Kusworo. Sedang Gambar 5.2.b adalah ojeg motor trail yang mampu mengangkut kopi keluar dari lahan yang berada di jantung kawasan hutan Sumber photo: Peneliti. 151 5.3 Diagram Jalur Sub-model Tingkat Ordinasi Responden. 153 5.4 Kelompok petani hutan memperoleh insentif material berupa pupuk dari Proyek Perlindungan DAS Way Besay. Petani kemudian menebarkan pupuk tersebut ke tanaman raboisasi di lahan garapan dalam kawasan dan untuk itu mereka memperoleh upah kerja. Lokasi: Dusun Rigis Jaya, Desa Gunung Terang, Sumberjaya, 3 Desember 2004. Sumber photo: Peneliti 156 5.5 Insentif GNRHL berupa bantuan bibit yang diterima oleh kelompok HKm – MWLS sedang ditranspor menuju hamparan lahan di dalam kawasan hutan lindung Bukit Rigis. Lokasi: Desa Tugusari Sumberjaya, 20 Januari 2005. Sumber photo: Peneliti 157 5.6 Diagram Jalar Sub-model Persepsi 160 5.7 Areal penghijauan yang dahulunya dikenal dengan “Hutan Pinus” Gambar 5.7.a, Juli 2006 kini telah terkonversi ke dalam bentuk penggunaan lain Sumber photo: Nurka C. Ningsih, asisten peneliti. Gambar 5.7.b Januari 2005 adalah rona fisik pemukiman penduduk Desa Sukapura yang berada di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, mereka 163 adalah bagian dari Transmigrasi BRN tahun 1951-1953 Sumber photo: Peneliti. 5.8 Contoh “Weapon of the Weak” di Tahura Wan Abdul Rahman, Desember 2002. Pohon Sonokeling hasil reboisasi dikerat pangkal batangya oleh orang tidak dikenal hingga akhirnya pohon tersebut mati secara perlahan. Semakin subur pohon tersebut, maka tanaman bertajuk rendah dibawahnya perlahan- lahan menjadi tidak produktif. Hal tersebut yang diduga menjadi penyebab. Sumber Photo: Peneliti 164 5.9 Diagram jalur Submodel Persepsi dan Ketimpangan Struktural 165 5.10 Diagram Jalur Sub-model Kelangkaan 171 5.11 Salah satu profil responden transmigran BRN yang saat ini tinggal dan bertani di dalam kawasan hutan lindung lokasi penelitian. Asisten peneliti diterima di “ruang tamunya” yang juga merangkap sebagai tempat tidur dan dapur, Maret 2005 Sumber photo: Peneliti. 173 5.12 Diagram jalur Sub-model Etik Lingkungan 176 5.13 Pada Gambar 5.13.a Desember 2004 terlihat bagaimana petani menggunakan teknik natural vegetatif strip dalam usaha mencegah erosi permukaan pada kebun kopi monokultur tua di dalam kawasan Sumber photo: Agus Fahrmudin. Sementara itu Gambar 5.13.b Mei 2005 menunjukkan bagaimana teknik polikultur diterapkan oleh petani dengan kombinasi kopi, kayu gelam Glirisidae spi, dan pohon kemiri di lahan garapan mereka dalam kawasan hutan lindung Bukit Rigis; lima tahun yan lalu tutupan lahan di hamparan tersebut masih berupa alang-alang dan tanah terbuka Sumber photo: Peneliti 177 5.14 Digram Jalur Sub-model Eskalasi Konflik 178 5.15 Adopsi Alur Konflik Konstruktif Kiersbeg 1998 Pada Sejarah Singkat Konflik Konstruktif Hak Akses Hutan Masyarakat di Kawasan Hutan Lindung Resgister 45B Sumberjaya, Tahun 2000-2005 183 5.16 Struktur Diagram Jalur yang Disederhanakan Berdasarkan Hubungan Antar Sub-Model 189 5.17 Hasil Analisis Jalur Model Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Berkaitan Dengan Fungsi Lingkungan dari Hutan 190 5.18 Konflik tata batas kawasan hutan hutan Register 33 Kota Agung Utara sudah terjadi sejak lama dan tak kunjung selesai. Pada bulan Maret 2003, peneliti memfasilitasi dialog lapangan antara Kepala Kantor TN Bukit Barisan Selatan, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Tanggamus, Kepala Bagian RRL Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat, aparat Pekon Trimulyo, dan kelompok HKm Tri Buana Sumber Photo: Peneliti. 201 5.19 Peta Perbedaan Kepentingan Antar Pihak Dalam Konflik Status, Tata Batas, dan Akses Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Kabupaten Lampung Utara. 208 5.20 Semiloka Model Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis 221 yang diselenggarakan selama 4 hari pada tanggal 24 – 27 Mei 2005 di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat Sumber photo: Rozi, asisten peneliti. 5.21 Tahap-tahap Sistim Analisis Sosial Dalam Pengembangan Model Kognitif Pengelolaan Konflik Lingkungan Chevalier, 2003. 223 5.22 Indikator Kekhasan Power, Interest, dan Legitimacy Chevalier, 2003. 224 5.23 FGD Kelompok Status Lahan tentang Rekonstruksi Pohon Masalah Penyebab dan Dampak Konflik Status Lahan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kabupaten Lampung Barat. Sumber Photo: Nurka C Ningsih 227 5.24 Bagan Rekonstruksi Pohon Masalah Penyebab dan Dampak Konflik Status Lahan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kabupaten Lampung Barat. 228 5.25 Faktor Pemacu dan Peredam Konflik Status Lahan 229 5.26 Diagram Venn Kekhasan saliency ke-12 Pihak dalam proses penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura dalam kawasan hutan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. 237 5.27 Diagram Analisis Hubungan Antara yang Kuat dan yang Lemah dalam Kasus Konflik Status Lahan Pekon Sukapura Sumber: Diskusi selama semiloka, mengadopsi mengadopsi Matriks Analisis Hubungan Kuat-Lemah - Chevalier 2003. 241 5.28 Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura Bedasarkan Ramifikasi Terhadap Hubungan Sebab-Akibat Akar Konflik. 243 5.29 Peneliti sedang memandu penghitungan hasil Analisis Gradient Pooling secara secret ballot terhadap skenario penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kabupaten Lampung Barat. Sumber Photo: Nurka C Ningsih 248 5.30 Grafik Gradient Pooling Hasil Perhitungan Secara Rahasia Tentang Dukungan Para Pihak Terhadap Beberapa Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura. Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka dengan mengadopsi Teknik Gradient Polling– Chevalier 2003; 249 5.31 Skema Tahap-tahap Penting Dalam Skenario Pelepasan Lahan Kawasan Sesuai Prosedur Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka. 252 5.32 Nara sumber dari Fakultas Sosial Politik - Universitas Lampung memberikan analisis hukum dalam pengembangan tahap penting skenario pelepasan lahan kawasan hutan secara prosedural Sumber photo: Peneliti 254 5.33 Grafik Gradient Polling dukungan para pihak terhadap skenario pelepasan lahan sesuai prosedur Pekon Sukapura 255 5.34 Model Penelitian Penanganan Konflik Lingkungan yang Dihasilkan. 258 5.35 Model Kelembagaan Penanganan Konflik Lingkungan 267 DAFTAR KOTAK Kotak halaman 5.1 Mekanisme Pengaduan dan Penyelesaian di Dalam UU No.252009 tentang Pelayanan Publik. 142 5.2 Beberapa Platform Dialog dan Negosiasi Multipihak Di Kabupaten Lampung Barat 167 5.3 Peran Serta Pihak Kecamatan dan Desa dalam Proses Kajian Perubahan Status Kawasan Hutan, Kasus Pekon Sukapura Kecamatan Sumberjaya. 197 5.4 Beberapa LSM yang Melakukan Pendampingan Masyarakat Petani di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Register 45b Bukit Rigis, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat. 211 5.5 Preferensi Bentuk Perundingan Yang Mencerminkan Oleh Pernyataan Responden 215 5.6 Pilihan-pilihan Bentuk Penanganan Sengketa Secara Alternatif Alternative Dispute Resolution Berdasarkan Gaya Bersengketa Para Pihak 260 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran halaman 1 Konflik-konflik Status, Kepemilikan, Dan Pemanfaatan Lahan Di Dalam Kawasan Hutan Di Propinsi Lampung, Tahun 1999. 2 Kuesioner Penelitian Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan. 3 Kuseioner Penelitian Conflict Management Style 4 Petunjuk Pengisian Tabulasi 5 Data Hasil Overlay Peta Penutupan Lahan Tahun 2000 dengan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Propinsi Lampung. 6 Raw Data responden Soft copy 7 Raw Data Responden Soft copy 8 Hasil Uji Statistik Pathway Analysis 8-A Tabulasi Analisis Deskriptif Akar Konflik 9 Daftar Kelompok Penerima Ijin HKM di Kabupaten Lampung Barat, Juni 2006. 10 Hasil Uji Statistika Analisis Nilai Tengah Berpasangan 10A Analisis Deskritif Gaya Mengelola Konflik 11 Form Konfrimasi Kesediaan LangsungBerwakil 12 Matriks Perbedaan Kepentingan 13 Panduan Sistem Analisis Sosial dan Aplikasinya Dalam Upaya Penyelesaian Konflik

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk demikian pesat berimplikasi terhadap deplesi sumberdaya alam. Semakin jumlah penduduk meningkat, semakin banyak kebutuhan hidup yang perlu dipenuhi dan dapat bersumber dari sumberdaya alam. Untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, pemerintah melaksanakan pengelolaan sumberdaya alam yang ditempuh dengan berbagai kebijakan dan mengimplementasikannya ke dalam program pembangunan. Di sisi lain, dalam kehidupan sehari-hari masyarakatpun mengelola sumberdaya alam sesuai dengan kebutuhan sosial dan ekonominya. Satu di antara berbagai sumberdaya alam potensial yang masih menjadi sektor tumpuan masyarakat dan Pemerintah Indonesia saat ini adalah hutan. Dalam ekosistem hutan terdapat fungsi lingkungan yang mencakup fungsi ekologis, fungsi sosial, dan fungsi ekonomis. Selain itu, ekosistem hutan amat penting tidak hanya bagi kehidupan manusia namun juga bagi kelangsungan flora dan fauna di dalamnya. Berdasarkan UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Sesuai dengan U.U. tersebut, Pemerintah mengelola kawasan hutan berdasarkan fungsi pokoknya yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Hutan lindung memiliki keterkaitan erat dengan fungsi lingkungan yang bersumber dari hutan. Fungsi lingkungan tersebut tercermin dari definisi hutan lindung yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan manusia untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Dari definisi yang terdapat di dalam U.U. RI Nomor 41 Tahun 1999 tersebut, maka dapat dikatakan bahwa fungsi lingkungan kawasan hutan lindung lebih ditekankan atas pertimbangan ekologis. Selain itu, dalam keterkaitannya dengan perubahan iklim global, hutan memiliki fungsi sebagai rosot karbon Murdiyarso, dkk., 1998. Dalam mewujudkan fungsi lingkungan tersebut, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan upaya pengelolaan hutan secara lestari. Kenyataannya adalah bahwa saat ini banyak kawasan hutan dengan kemampuan dalam menyediakan fungsi lingkungan yang semakin menurun. Hal 2 tersebut diantaranya disebabkan oleh salah penetapan kebijakan yang diikuti dengan salah pengelolaan. Masalah kebijakan pengelolaan kehutanan tidak terlepas dari masalah agraria dan penting untuk dibenahi dalam rangka mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari. Kebijakan tersebut ternyata terlalu kaku karena: 1 keliru dalam merumuskan masalah, 2 penyusunan kebijakan yang tidak partisipatif, 3 lemahnya sinkronisasi antara kebijakan dan implementasi di lapang, 4 lemahnya koordinasi lintas sektor, dan 5 lemahnya kemampuan aparatur. Selain itu, adanya cara pandang yang sempit para birokrat kehutanan yang memisahkan pembangunan kehutanan dengan pembangunan pertanian dan manusia menjadikan kebijakan pengelolaan hutan amat bersifat sektoral Robinson. 1998. Akibatnya, produk kebijakan kehutanan gagal berfungsi malfunction. Contoh produk kebijakan yang hingga kini masih belum menjadi dokumen publik dan lemah legitimasinya dalam mengatur pemanfaatan hutan adalah dokumen Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK yang seharusnya diharapkan dapat berfungsi menjadi dasar penetapan status dan perencanaan tataguna kawasan hutan negara. Selain masalah kebijakan, masalah sosial ekonomi seperti pertumbuhan penduduk dan kemiskinan ditengarai menjadi penyebab lainnya sehingga hutan semakin tidak mampu menyangga fungsi lingkungan. Adanya tekanan penduduk ke dalam kawasan hutan diduga telah mengakibatkan tidak terkendalinya konversi hutan ke dalam bentuk penggunaan lainnya seperti lahan pertanian, perladangan dan permukiman. Ditambah dengan krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997 utamanya hingga saat ini semakin mendorong pergerakan penduduk masuk ke dalam kawasan hutan untuk bertahan hidup. Masalah tersebut menjadi semakin rumit ketika wilayah-wilayah hutan yang mendapat tekanan adalah wilayah yang berstatus kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Terhadap masalah-masalah tersebut, pada dasarnya Pemerintah telah melakukan upaya penanganan yang diindikasikan oleh terjadinya perubahan orientasi kebijakan pembangunan kehutanan yaitu: 1 Pergeseran penekanan dari aspek ekonomi orientasi pada labakeuntungan kepada suatu orientasi dengan penekanan keseimbangan aspek sosial, ekologis, dan ekonomi hutan; 2 Pergeseran dari kebijakan dan pengembangan hutan dengan penekanan pada pengelolaan hasil kayu, kepada suatu orientasi dengan penekanan pada 3 pengelolaan hutan multiguna yaitu bahwa, selain kayu, hutan dapat memberikan keuntungan lain seperti pengaturan hidrologis, produk hutan non-kayu lainnya, rekreasi, dan pengaturan iklim mikro; dan 3 Memberikan penekanan pada pembangunan kehutanan berbasis masyarakat Community Based Forestry untuk memperkuat perekonomian daerah dan memberdayakan masyarakat setempatlokal Hutabarat, 2001. Selain itu, pemerintah amat menyadari bahwa pengelolaan hutan secara lestari sulit dicapai dengan baik tanpa partisipasi masyarakat setempat. Kebijakan dan orientasi kebijakan secara konkrit dituangkan ke dalam berbagai produk peraturan dan perundangan yang mengatur desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan. Diberikannya sejumlah kewenangan oleh Pemerintah kepada Propinsi dan KabupatenKota seperti adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan suatu contoh devolusi dan telah membentuk tatanan pemerintahan baru, termasuk dalam kebijakan dan pengaturan pengelolaan kehutanan. Selain itu, lahirnya kedua UU tersebut merupakan tanggapan terhadap tekanan sosial, ekonomi, dan politik baik dari dalam negeri maupun dari masyarakat internasional Hutabarat. 2001. Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999, Pemerintah harus memberikan sebagian besar wewenangnya kepada Propinsi dan KabupatenKota, terutama dalam lingkup kegiatan operasional. Namun hingga tahun 2001, sebanyak 11 buah Rancangan Peraturan Pemerintah RPP 1 yang menindaklanjuti substansi UU Nomor 41 Tahun 1999 belum juga mendapat pengesahan menjadi Peraturan Pemerintah PP. Hal tersebut menempatkan Pemerintah dalam posisi yang lemah karena: 1 UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah berlaku efektif Mei 1999; oleh karena berbagai RPP pengelolaan kehutanan belum disahkan, banyak pemerintah Propinsi dan KabupatenKota menyusun Peraturan Daerah Perda yang bersentuhan dengan pengelolaan kehutanan dengan 1 RPP-RPP tersebut yaitu: 1 Perencanaan Kehutanan, 2 Pengelolaan hutan, 3 Hutan Kota, 4 Hutan Adat, 5 Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan, serta Pelatihan dan Perluasan Hutan, 6 Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Hutan, 7 Reklamasi dan Rehabilitasi Hutan, 8 Perlindungan Hutan, 9 Pengawasan Hutan, dan 10 Hutan Kemasyarakatan, 11 Pengelolaan Dana Reboisasi Sumber: Wawancara dengan Biro Hukum Departemen Kehutanan, 2002. Baru pada tahun 2002 telah dikeluarkan dua buah PP yaitu PP No. 34 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan, Dan PP No.35 Tahun 2002 Tentang Dana Reboisasi.