Polarisasi Konflik Pemanfaatan Hasil Analisis Gaya Konflik Untuk Penanganan Konflik Selanjutnya
208
Gambar 5.19 Peta Perbedaan Kepentingan Antar Pihak Dalam Konflik Status, Tata Batas, dan Akses Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit
Rigis Kabupaten Lampung Utara.
PolisiTNI Departemen
Kehutanan Dishut
Propinsi
PLTA Disperi
ndag Diskan
Pungli kepada petani HKm terutama yang
ijinnya belum terbit. Oknum PolriTNI
melakukan illegal logging.
Aparat kecamatan dan pekon tidak
pernah memberikan
bimbingan. Status
lembaga ini tidak jelas.
Tidak peduli dengan ketersediaan air
masyarakat. Melanggar tata
batas
Dishutkab Lampung
Barat
Oknum PolriTNI melakukan illegal logging.
Lemah persepsi
tentang akses
DPRD Lambar
Oknum Dinas
melakukan illegal
logging.
Watala
Tata batas lahan pengganti PLTA tidak
jelas dan menduduki tanah marga
Bapeda Lambar
Tidak tuntas menyelesaian tata batas, status, dan akses
Propinsi dan Pusat kurang mendukung akses bagi masyarakat.
Sistem tanam GERHAN tidak sesuai dengan kondisi Sumberjaya.
Tidak mendukung akses bagi
masyarakat
BPLH Lambar
Penyalah gunaan
PAD retribusi
Lembaga Kecamatan
dan Pekon
• Penyelesaian masalah status, akses, tata batas hanya untuk kepentingan Dishut.
• Tidak menyelesaikan kasus penebangan liar. • Tidak ada kepastian tentang HKm definitif
Akses hanya kepentingan
Dishut
Oknum PolriTNI melakukan illegal
logging.
Yacili
Dishut tidak menyelesaikan
tata batas LSM hanya
oportunis Tidak
mendukung penyelesaian
tata batas
ICRAF
BPN UPTD
Bukit Rigis
Tidak membantu pembangunan
ekonomi masyarakat
Masyarakat Petani
Tidak menjaga kelestarian
lingkungan Tidak
menyelesaikan tata batas dan status
Tata batas tidak tuntas.
Perguruan Tinggi
Tabel 5.4.4. Pengelompokkan Perbedaan Para Pihak Berdasarkan Pernyataan Mereka Terhadap Masing-masing Isu Konflik
Pernyataan Pihak Isu
Konflik Pernyataan Pihak
Bappeda Lampung Barat, masyarakat, perguruan tinggi, Watala, ICRAF,
Kecamatanpekon
Dishut Lampung Barat tidak menyelesaikan masalah konflik status lahan di dalam
kawasan
Status Lahan
Dishut Lampung Barat Bappeda Lampung Barat, BPN
Lampung Barat, masyarakat, perguruan tinggi, Watala, ICRAF.
Dishut Lampung Barat tidak menyelesaikan masalah tata batas kawasan
Tata Batas
Kawasan Dishut Lampung Barat
Petanimasyarakat melanggar tata batas
BPN
LSM Yacili, Watala, ICRAF hanya opportunist
ICRAF
BPN tidak mendukung penyelesaian tata batas
Kecamatan dan Pekon
Tata batas lahan pengganti PLTA tidak jelas dan menduduki tanah marga
PLTA Way Besay, BPN Lampung Darat
Yacili
Akses hanya kepentingan Dishut Kabupaten
Akses Dishut Kabupaten
Status lembaga Yacili tidak jelas
Dishut Lampung Barat, Watala, ICRAF
Propinsi dan Pusat kurang mendukung akses bagi masyarakat.
Dishutprop, Departemen Kehutanan
Dishut Lampung Barat, masyarakat, Kecamatanpekon, UPTD Bukit Rigis
Oknum polisiTNI melakukan illegal ligging.
PolisiTNI DPRD Lampung Barat
Masyarakat lemah persepsi tentang akses
Masyarakat UPTD Bukit Rigis
Oknum Dishut melakukan illegal logging
Dishut Lampung Barat UPTD Bukit Rigis
PLTA tidak membantu pembangunan ekonomi masyarakat
PLTA Way Besay Masyarakat Petani
Aparat kecamatan dan pekon tidak pernah memberikan bimbingan
Kecamatan dan Pekon Masyarakat Petani
PLTA tidak perduli dengan kebutuhan air masyarakat
PLTA Way Besay Masyarakat Petani
Tidak memberikan kepastian tentang ijin HKM definitif
Dishut Lampung Barat Masyarakat Petani
Oknum polisi pungli kepada petani terutama yang ijinnya belum terbit
PolisiTNI BPLH Lampung Barat, Kecamatan dan
Pekon
Dishut menyalah gunakan PADretribusi hasil hutan
Dishut Lampung Barat
Sumber: Wawancara, data diolah.
• Posisi pihak kecamatan dan pekon beregangan dengan Kantor PLTA Way Besay Lampung Barat. Pihak kecamatanpekon menyatakan bahwa tata
batas lahan pengganti PLTA tidak jelas dan menduduki tanah masyarakat. Kasus ini berawal ketika pembangunan PTLA Way Besay dimulai pada tahun
1994. Pada saat itu, untuk membangun infrastruktur diperlukan lahan
kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis seluas 50 hektar tepatnya di Pekon Sukapura. Karena tujuannya adalah untuk pembangunan infrastruktur
strategis, pihak kehutanan mengijinkan pemakaian lahan tersebut dengan mekanisme “tukar pakai”. Pihak PLTA diwajibkan mencari lahan pengganti
dengan luasan yang sama. Selama tenggat waktu 1994-2000, pihak PLTA berupaya memenuhi kewajiban tersebut dengan membeli lahan masyarakat
yang berbatasan langsung dengan kawasan. Pembelian, pembebasan, dan sertifikasi lahanpun dilakukan. Hamparan lahan tersebut letaknya
berkelompok di Dusun Bodong, Pekon Sukajaya, Kecamatan Sumberjaya. Pada akhir tahun 2000, sertifikasi selesai dilakukan dilanjutkan dengan serah
terima lahan pengganti tersebut dari pihak PLTA Way Besay kepada Dinas Kehutanan Propinsi Lampung. Proses pembebasan lahan tersebut masih
meninggalkan masalah tata batas yaitu: 1 tata batas antara lahan yang dibebaskan dengan lahan masyarakat di lapang masih tidak tuntas, bahkan
masyarakat merasa tidak mendapat harga ganti rugi yang pantas 2 dengan masuknya lahan pembebasan ke dalam kawasan hutan lindung, tata batas
kawasan hutan yang baru belum direkonstruksi. Akibat kedua hal tersebut, hingga saat ini banyak masyarakat yang masih mengelola bahkan mendiami
lahan yang telah dibebaskan tersebut. • Posisi pihak Kantor BPN Badan Pertanahan Nasional Lampung Barat
beregangan dengan pihak LSM Yacili, Watala, ICRAF. Pihak BPN menyatakan bahwa dalam konflik-konflik tata batas yang terjadi, LSM
hanyalah lembaga-lembaga yang opportunist yaitu mencari peluang untuk kepentingan sendiri. Sebaliknya, ICRAF menyatakan justru BPN Lampung
Barat adalah lembaga yang saat ini secara operasional belum mendukung penyelesaian tata batas di lapang.
Polarisasi pada konflik akses pengelolaan lebih beragam dibandingkan
dengan konflik status dan tata batas Tabel 5.4.4. Pada konflik akses terjadi keregangan hubungan terjadi pada kepentingan-kepentingan berikut:
• Keregangan hubungan terjadi antara LSM Yacili Yayasan Cinta Alam dengan Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat. Pihak Yacili
menyatakan bahwa hak akses masyarakat dalam mengelola kawasan hutan hanyalah untuk kepentingan dinas dalam rangka memperoleh retribusi hasil
hutan semata. Sebaliknya pihak dinas menyatakan bahwa Yacili adalah LSM yang “statusnya” tidak jelas.
Sebagaimana LSM lainnya Kotak 3, Yacili adalah LSM yang turut meramaikan kegiatan pendampingan masyarakat petani dalam memperoleh
ijin HKm di kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis. Gaya pendampingannya yang konfrontatif membuat lembaga tersebut kurang
disukai oleh pihak lain terutama instansi pemerintah. Namun demikian, hingga kini lembaga tersebut masih aktif.
Kotak 5.4 Beberapa LSM yang Melakukan Pendampingan Masyarakat Petani di Sekitar
Kawasan Hutan Lindung Register 45b Bukit Rigis, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat.
•
FP3KLB Forum Peduli Petani “Perambah” Kawasan Lampung Barat. Berdiri tahun 1998. Dipimpin oleh Sobran dan beralamat di Pekon Pura Jaya. Mereka memfasilitasi
4 kelompok tani untuk memperoleh ijin HKm. •
MPKH Masyarakat Peduli Kawasan Hutan. Berdiri tahun 1999. Dipimpin oleh Banan, bekas Peratin Pekon Purajaya. Mereka memfasilitasi Pekon Tribudisyukur dan
Simpang Sari untuk memperoleh ijin HKm. Sebanyak 8 kelompok diantaranya berasal Pekon Tribudi Sukur.
•
Yacili Yayasan Cinta Alam. Berdiri tahun 2000. Dipimpin oleh Rahmat. Alamat di Dusun Suka Raja Pekon Way Tenong, Kecamatan Sumberjaya. Pada tahun 2003
mendampingi masyarakat melakukan penghijauan di Hutan Kalpataru. Hutan tersebut adalah hutan rakyat yang pada tahun 1985 mendapat penghargaan Kalpataru oleh
Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Hutan tersebut merupakan sumber air irigasi Pekon Way Tenong di daerah hilir. Sementara lokasi hutan berada di wilayah
lain di hulu yaitu di Dusun Talang Tegajul Pekon Padang Tambak, yang setelah terjadi pemekaran menjadi Pekon Tambak Jaya. Lokasi tersebut berbatasan dengan
kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis dan Taman Nasional Bukit Barisan. Pada tahun 2002 terjadi konversi hutan Kalpataru oleh masyarakat Tambak Jaya yang
umumnya adalah suku Sunda dan Jawa. Peristiwa tersebut menyulut kemarahan masyarakat Pekon Way Tenong yang umumnya Suku Semendo karena hutan
tersebut merupakan sumber air irigasi mereka. Hampir terjadi konflik antar etnis. Pada tahun yang sama, dilakukan mediasi oleh Yacili dan Lembaga Konservasi Abada 21
LK21 dari Bandar Lampung. Instansi pemerintah juga turut memediasi diantaranya Bapedalda Propisi Lampung, Bupati Lampung Barat, dan Dinas Kehutanan Lampung
Barat.
•
Dharma Putra. Berdiri tahun 1998. Melakukan pendampingan di Pekon Fajar Bulan. Kegiatannya kurang terpublikasi.
•
TUL Tunas Utama Lampung. Mereka adalah LSM dari Bandar Lampung. Datang ke Pekon Sukapura bulan Januari 2000. Mereka mengumpulka uang dari petani untuk
“menguruskan” ijin HKm. Mereka kemudian diusir oleh Kepala Pekon Sukapura. •
Bina Usaha Tani BUT. Berdiri tahun 1999 di Pekon Purajaya. Mereka memasok kebutuhan pupuk dan pestisida bagi petani yang pada umumnya petani kawasan
hutan. •
WATALA. Berdiri tahun 1978. Sebuah LSM yang cukup mapan dan beralamat di Bandar Lampung. Datang ke Sumberjaya tahun 1995 dan melakukan pendampingan
terhadap masyarakat petani yang lahan pertaniannya terbenam oleh reservoir DAM PLTA Way Besay. Mereka mendampingi hingga tahun 1999 terutama pendampingan
alih mata pencaharian dari pertanian lahan kering ke perikanan air tawar. Kemudian sejak bulan Juni tahun 1999 mereka aktif mefasilitasi kelompok tani untuk
memperoleh ijin HKm dan turut aktif melakukan mediasi konflik di Sumberjaya.
• Yang menarik adalah keregangan yang terjadi antara pihak-pihak Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat, Watala, dan ICRAF terhadap Dinas
Kehutanan Propinsi Lampung dan Departemen Kehutanan. Mereka menyatakan bahwa propinsi dan departemen di tingkat lapang kurang
mendukung pemberian hak akses bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan. Hal tersebut terutama berkaitan dan pencadangan areal HKm Kabupaten
Lampung Barat yang hingga kini prosesnya terkatung-katung. Ketidak tegasan kebijakan Departemen Kehutanan tentang keberlanjutan kebijakan
HKm juga menjadi faktor penyulut lainnya. Sebagai contoh, alas hukum kebijakan HKm tidak ternaungi di dalam Peraturan Pemerintah PP No.34
Tahun 2002 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan sehingga
terjadi status quo pelaksanaan HKm di daerah. Sebagai catatan, saat ini sedang berlangsung revisi PP tersebut dan sudah pada bulan Agustus 2006
sudah mencapai tahap pembahasan naskah revisi ke-43. • Keregangan lainnya terjadi antara pihak-pihak Dishut Lampung Barat,
masyarakat, Kecamatanpekon, UPTD Bukit Rigis terhadap pihak POLRITNI. Mereka menyatakan bahwa di hutan lindung Register 45B Bukit Rigis terjadi
pembalakan liar yang dilakukan oleh oknum aparat oknum polisiTNI. Sudah pernah dilaporkan tetapi tidak ada proses hukum yang ditegakkan.
• Keregangan terjadi antara UPTD Unit Pelaksana Teknid Daerah Kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis terhadap Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung
Barat. Mereka menyatakan bahwa pembalakan liar dilakukan oleh oknum polisi hutan dinas tersebut.
• Keregangan juga terjadi antara pihak masyarakat terhadap oknum polisiTNI yang kerapkali melakukan pungutan liar terutama kepada petani kawasan
yang proses perijinannya belum selesai. Pada kasus ini nampak sekali bahwa ketika petani tidak memiliki kepastian hak akses akan menjadi objek
pemerasan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. • Pihak masyarakat petani beregangan dengan Dinas Kehutanan dan PSDA
Lampung Barat. Mereka menyatakan bahwa dinas tidak memberikan kepastian tentang ijin HKm denitif yang berlaku untuk 25 tahun. Hal tersebut
menimbulkan ketidak pastian terhadap kelompok yang masa berlaku ijin sementara 5 tahunnya sudah habis.
Di samping para pihak yang terlibat konflik secara aktual, juga terdapat para pihak yang potensial terlibat konflik yaitu Dinas Perikanan dan Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Lampung Barat. Pihak aktual seperti Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat, BPLH Badan Pengendalian Lingkungan
Hidup Lampung Barat mentengarai bahwa tekanan penduduk terhadap kawasan sehingga menimbulkan konflik akan dapat dikurangi apabila kedua pihak
potensial tersebut serius melaksanakan peningkatan kesejahteraan masyarakat petani sekitar kawasan terutama melalui pemberdayaan ekonomi rumahtangga.
Kasus ini memberi petunjuk lemahnya koordinasi pembangunan lintas sektoral di tataran Pemerintah Kabupaten Lampung Barat.
Dalam suatu peristiwa konflik, sering didapati bahwa secara internal suatu pihak mengalami perpecahan kepentingan yang menjurus kepada konflik intern.
Di dalam kasus ini perpecahan justru terjadi antara UPTD Bukit Rigis dengan Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat yang berada dalam satu garis
hirarki, yaitu UPTD Bukit Rigis mentengarai adanya oknum dinas yang melakukan pembalakkan liar. Kepentingan yang tidak monolitik di dalam suatu
pihak sering menjadi faktor penghambat penanganan-penanganan konflik ketika pihak tersebut berhadapan dengan pihak luar Isenhart dan Spangle, 2000.