4.3 Konflik Pertanahan Dalam Kawasan Hutan Di Propinsi Lampung
Beragamnya penduduk, baik antara penduduk asli dan pendatang, antar etnissuku, maupun penguasaan lahan oleh perusahaan perkebunan dalam jumlah
besar serta kurangnya perhatian pengusaha pada kehidupan perekonomian masyarakat sekitar, merupakan salah satu penyebab timbulnya konflik kepemilikan
lahan. Konflik ini semakin sulit diatasi, karena masing-masing pihak yang bersengketa bertahan dengan argumentasi yang didasarkan pada bukti-bukti formal
yang dimiliki. Di satu sisi pihak pengusaha mengacu pada hukum positif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan bukti produk hukum sertifikat
HGU, HPH, HGB, dll, yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah yang berwenang, sementara disisi lain masyarakat berpegang pada paradigma hukum adat seperti
hak ulayat, hak marga, dan hak kekerabatan. Sengketa pertanahan pada awal reformasi awal tahun 1998 mengalami
peningkatan dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Kebijakan pertanahan pada masa 1998 - 2000 berdasarkan pada Pokok-Pokok Reformasi Daerah Lampung
mengamanatkan “Penyelesaian secara bertahap kasus-kasus pertanahan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan mempersiapkan proses penyelesaian
kasus pertanahan yang berpihak pada kebenaran hukum dan berpihak kepada rakyat yang benar secara hukum dan tidak mengabaikan azas kelestarian
lingkungan“ Kinerja Pemerintah Daerah dalam menyelesaikan kasus pertanahan dari
tahun 1998 - 2002 cenderung meningkat. Pada tahun 1998 hingga pertengahan tahun 1999 terjadi 220 kasus yang muncul dan terselesaikan sebanyak 44 kasus
atau sebesar 20. Pada akhir tahun 1999 dari 260 kasus yang terjadi, yang terselesaikan sebanyak 71 kasus 27 dan sisanya 169 kasus menjadi kasus di
tahun 2000 ditambah kasus baru yang sehingga total kasus di Tahun 2000 sebanyak 260 kasus, dan yang dapat diselesaikan sebanyak 101 kasus 39. Pada
tahun 2001 dari 327 kasus persengketaan tanah yang terselesaikan sebanyak 240 kasus 73, selanjutnya pada tahun 2002 dari 327 kasus yang dapat diselesaikan
sd Juli 2002 sebanyak 249 kasus 76, dan sisanya 78 kasus akan diselesaikan pada masa selanjutnya secara bertahap. Rincian penyelesaian sengketa tanah
yang ada di Propinsi Lampung sampai dengan bulan Juli 2002 tercantum dalam Tabel 4.8.
Tabel 4.8. Penyelesaian Kasus Tanah di Propinsi Lampung Tahun 1999 - 2002
TAHUN Kasus
yang terjadi Jumlah Kasus
Selesai Persentase
Kasus Selesai 1988 220 44
20 1999 260 71
27 2000 260 101 39
2001 327 240 73 2002 327 249 76
Sumber : Bappeda Lampung dan ICRAF, 2003.
Gambar 4.3a, Tahun 2003 Gambar 4.3b, Tahun 2000
Gambar 4.3 Pendudukan lahan Taman Nasional Way Kambas oleh masyarakat adat Marga Subing Sumber photo 4.3a: Peneliti; dan Demonstrasi rakyat yang menggugat status
pertanahan di Kantor Gubernur Propinsi Lampung Sumber photo 4.3b: Lampung Post Untuk memberikan kepastian hukum atas hak tanah di luar kawasan hutan
kepada masyarakat maka pemerintah memberikan pelayanan penerbitan sertipikat. Agar sertifikasi tanah dapat diterbitkan dalam jumlah yang banyak dan secara
serempak ditempuh upaya pensertipikatan tanah secara massal. Kegiatan sertipikasi secara massal mempermudah masyarakat untuk memperoleh sertipikat karena
segala layanan administrasi dilakukan di lokasi. Kegiatan pensertipikatan tanah secara massal pada awalnya didanai dari
pemerintah. Mengingat kemampuan pemerintah mendanai kegiatan pensertipikatan tanah secara massal terbatas sedangkan sasaran kegiatan masih sangat besar
maka diupayakan sumber dana melalui pola swadaya masyarakat. Kegiatan pensertipikatan tanah secara massal yang dilaksanakan dapat melalui proses 1
PRONA APBN, 2 Pensertipikatan tanah transmigrasi, 3 PRONA swadaya, 4 Ajudikasi swadaya, dan 5 Redistribusi tanah swadaya. Secara keseluruhan jumlah
sertipikat tanah yang diterbitkan dari tahun 1998 -1999 sd 2002 sebanyak 170.489 bidang, yang diterbitkan melalui sbb : 1 Prona APBN sebanyak 23.165 bidang
14, 2 Prona Swadaya sebanyak 71.361 bidang 42, 3 Ajudikasi swadaya sebanyak 22.745 Bidang 13, 4 Redistribusi tanah swadaya sebanyak 12.249
bidang 7, 5 Tanah transmigrasi sebanyak 40.969 bidang 24. Dari semua kasus tanah yang diselesaikan, kasus-kasus yang terjadi di
dalam kawasan hutan hingga kini penyelesaiannya masih menghadapi kebuntuan. Seperti dinyatakan dalam Bab 1.2 penelitian ini, pada tahun 1999 sebanyak 45
kasus konflik pertanahan terjadi di dalam kawasan hutan yang diantaranya adalah di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Kabupaten Lampung Barat.
4.4 Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kecamatan
Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat. 4.4.1 Kondisi Umum Tata Guna Hutan Di Kabupaten Lampung Barat
Kabupaten yang dibentuk berdasarkan UU No. 6 tahun 1991 dan diresmikan pada tanggal 24 September 1991 beribukota di LiwaTotal luas wilayah kabupaten
adalah 474.989 hektar. Berdasarkan Tabel 4.5, total luas kawasan hutan di Lampung Barat yaitu 369.362,37 hektar atau sebesar 77,76 luas wilayah
kabupaten adalah kawasan hutan yang terdiri dari: 1 Hutan Suaka Alam dan Taman Nasional seluas 287.081 hektar, 2 Hutan Produksi Terbatas HPT seluas
33.358 hektar, dan 3 Hutan Lindung HL seluas 48.823,37 hektar. Dengan demikian berarti hanya sebesar 22,24 dari luas wilayah kabupaten yang dapat
diusahakan menjadi kawasan budidaya pertanian, perkebunan, perikanan, permukiman penduduk, sarana umum dan sebagainya. Seperti pada umumnya
kondisi kerusakan hutan di Propinsi Lampung, potret kerusakan hutan di Kabupaten Lampung Barat secara kuantitatif menunjukkan gambaran yang mengkhawatiran.
Menurut Warsito 2006, sebesar 70 dari total luas kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas kondisinya telah rusak.