Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel Etik Lingkungan

Gambar 5.13.a Gambar 5.13.b Gambar 5.13. Pada Gambar 5.13.a Desember 2004 terlihat bagaimana petani menggunakan teknik natural vegetatif strip dalam usaha mencegah erosi permukaan pada kebun kopi monokultur tua di dalam kawasan Sumber photo: Agus Fahrmudin. Sementara itu Gambar 5.13.b Mei 2005 menunjukkan bagaimana teknik polikultur diterapkan oleh petani dengan kombinasi kopi, kayu gelam Glirisidae spi, dan pohon kemiri di lahan garapan mereka dalam kawasan hutan lindung Bukit Rigis; lima tahun yan lalu tutupan lahan di hamparan tersebut masih berupa alang-alang dan tanah terbuka Sumber photo: Peneliti

5.3.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel Eskalasi Konflik

Konflik dapat mengalami eskalasi peningkatan intensitas dan dapat pula sebaliknya mengalami deskalasi peredaan ketegangan. Eskalasi konflik didefinisikan sebagai peningkatan tindakan kekerasan atau pemaksaan dan pada kondisi kasus tertentu disertai peningkatan keterlibatan pihak-pihak yang berkonflik, sebaliknya deskalasi konflik adalah penurunan perjuangan destruktif dan terkadang disertai penurunan kekerasan dan keterlibatan para pihak tersebut Kiesberg, 1998. Deskalasi konflik selanjutnya menjadi konflik tersembunyi laten atau bahkan akhirnya tidak ada konflik. Dalam konstruktif konflik, eskalasi konflik tidak selalu identik dengan peningkatan kekerasan namun wujudnya lebih berupa peningkatan kegiatan perundingan-perundingan yang berakhir dengan tercapainya kesepakatan antar pihak yang berkonflik. Konflik bukanlah sesuatu yang harus ditakuti karena konflik pada dasarnya bisa dikelola Borrini dan Feyerabend, 2000. Di dalam penelitian ini, sub-model eskalasi konflik dibangun dari gabungan persamaan jalur beberapa sub-model sebelumnya yaitu sub-model eksternalitas persamaan 21, sub-model persepsi dan ketimpangan struktural persamaan 22 dn 24, sub-model kelangkaan Persamaan 25, dan sub-model etik lingkungan Persamaan 26. Pada rumusan persamaan jalur sub-model eskalasi konflik, peubah endogen X 6 , X 10 , X 15 , X 22 , dan X 25 dari kelima sub-model sebelumnya berubah menjadi peubah eksogen terhadap peubah endogen eskalasi konflik X 26 sehingga menghasilkan Persamaan 27 dan grafis model sebagaimana ditayangkan pada Gambar 5.14. X 26 = 0.37X 6 + 0.066X 10 + 0.26X 15 + 0.16X 22 – 0.15X 25 ……27 Keterangan X 26 = peubah akibat eskalasi konflik X 26 = peubah keputusan konversi lahan kawasan oleh responde X 26 = peubah tingkat ordinasi responde X 26 = peubah keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan bernegosiasi X 26 = peubah persepsi tingkat kebutuhan lahan pertanian tambahan X 26 = peubah manifestasi etik lingkungan responden dalam penangan konflik Gambar 5.14. Digram Jalur Sub-model Eskalasi Konflik Berdasarkan hasil analisis jalur, peubah keputusan konversi lahan kawasan oleh responden X 6 adalah peubah yang paling kuat mempengaruhi terjadinya eskalasi konflik X 26 yaitu berpengaruh positif sebesar 0,37. Semakin tinggi motivasi responden mengkonversi lahan kawasan semakin eskalasi konflik yang terjadi. Eskalasi konflik diukur dengan peningkatan ketegangan karena perbedaan kepentingan dan keselarasan perilaku gaya mengelol konflik antar pihak, yang dimulai dari situasi tanpa konflik, potensi konflik, konflik laten, konflik permukaan, hingga menjadi konflik terbuka Lampiran 84A Tabel 20. Keputusan Konversi Lahan Kawasan Oleh Responden X6 Keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi X15 Persepsi Tingkat Kebutuhan Lahan Pertanian tambahan X22 Manifestasi etik lingkungan responden dalam penanganan konflik X25 ESKALASI KONFLIK X26 0,16 0,066 0,37 0,26 -0,15 Tingkat ordinasi responden X10 Pola pengaruh X 6 terhadap X 26 tersebut selaras dengan sejarah konflik lahan pertanian yang terjadi di dalam kawasan hutan lindung Register 45 Bukit Rigis yang sebagian besar telah diuraikan sebelumnya pada Bab 4 penelitian ini. Peristiwa-peristiwa penyulut konflik yang berkaitan penggarapan lahan kawasan hutan lindung oleh masyarakat diantaranya adalah: • Era tahun 1951-1953; Pada era tersebut transmigrasi BRN ditempatkan di lahan-lahan yang pada saat ini termasuk dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Sebagian sudah berupa pemukiman, sebagian lainnya berupa kebun kopi • Era tahun 1973-1986; terjadi gelombang migrasi spontan ke wilayah yang subur tersebut. Dalam satu dekade, penduduk yang semula berjumlah 37.557 jiwa meningkat menjadi dua kali lipat menjadi 57.598 jiwa Gambar 4.7 Bab 4. Pada saat itu terjadi konversi kawasan hutan secara besar-besaran menjadi kebun kopi rakyat. Pada tahun 1973 kebun kopi di dalam kawasan semula luasnya 883 hektar, meningkat menjadi 3.390 hektar pada tahun 1986 hasil interpretasi foto citra satelit LAND SAT oleh ICRAF, Tabel 4.11 Bab 4. Perkembangan tersebut menimbulkan kegemparan di Kanwil Kehutanan Propinsi Lampung. • Era tahun 1990 – 1997: Eskalasi konflik terjadi. Pada awal era ini pemerintah mempersiapkan rencana tapak pembangunan PLTA Way Besay. Pada tahun 1994-1996 penduduk yang bertani di dalam kawasan “diturunkan” diusir keluar kawasan yang dikenang penduduk setempat dengan nama “Operasi Gajah”. Bahkan aparat kanwil Kehutanan menyebut Sumberjaya dengan kata lain yaitu “sumber bencana” • Era tahun 1997 – 2000: era ini adalah era transisi antara puncak eskalasi dan awal deskalasi konflik. Departemen Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677Kpts-II1998 tentang Hutan Kemasyarakatan HKm yang memungkinkan masyarakat setempat mengelola kawasan hutan lindung yaitu memanfaatkan hasil hutan bukan kayu. Karena sebagian besar sejak dahulunya kawasan hutan lindung di Daerah Lampung sudah berupa kopi, kebun-kebun tersebut dikecualikan untuk tetap bisa dikelola oleh masyarakat dan pengecualian ini ditegaskan dalam Perda Propinsi Lampung No. 7 Tahun 2000 tentang Retribusi Izin Pemungutan Terhadap Pengambilan Hasil Hutan Bukan Kayu Di Kawasan Hutan. Adanya kebijakan tersebut dan seiring dengan awal era reformasi