Analisis Mengukur Dukungan Terhadap Skenario Ideal Penyelesaian Konflik Status Lahan

Gambar 5.30. Grafik Gradient Pooling Hasil Perhitungan Secara Rahasia Tentang Dukungan Para Pihak Terhadap Beberapa Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura. Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka dengan mengadopsi Teknik Gradient Polling– Chevalier 2003; Notasi para pihak pada Lampiran 14. Pelepasan Sesuai Prosedur 9 5 7 9 7 7 9 7 5 7 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Pihak Yang Berkonflik S e ko r D u ku n g a n Relokasi 3 3 7 3 1 7 7 3 7 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Pihak Yang Berkonflik S e ko r D u ku n g a n Tukar Lahan 1 3 5 1 1 1 3 3 3 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Pihak Yang Berkonflik S e ko r D u ku n g a n Revisi Tata Ruang 7 5 5 5 7 5 7 5 3 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Pihak Yang Berkonflik S ek or D uk u nga n Pengukuran Ulang Luas Kaw asan 7 3 3 1 7 5 5 5 5 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Pihak Yang Berkonflik S e ko r D u ku n g a n Keterangan Sekor Dukungan: 1 = Menolak 2 = Tidak Suka tetapi tidak mengganggu 3 = Ragu-ragu 4 = Setuju dengan catatan 5 = Mendukung Tabel 5.5.10 Sekor Dukungan Kolektif Semua Pihak Terhadap Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan. SKENARIO PENYELESAIAN SEKOR DUKUNGAN KOLEKTIF 1 3 5 7 9 1-2,5 2,6-4 4,1-5,5 5,6-7 7,1-9 Menolak Tidak suka, tetapi tidak akan meng halangi Ragu-ragu Setuju dengan catatan Mendukung Pelepasan Sesuai Prosedur 7,2 Sekor = 9 Pelepasan dengan tukar menukar lahan 2,2 Sekor = 1 Relokasi 4,2 Sekor = 5 Pengukuran Ulang 4,2 Sekor = 5 Revisi Tata Ruang 5,8 Sekor = 7 Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka dengan mengadopsi Teknik Gradient Polling– Chevalier 2003; Lampiran 14. Tabel 5.5.11 Pemilihan Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Berdasarkan Kriteria Kebutuhan Biaya, Waktu, Ketersediaan Sumberdaya Manusia, dan Dukungan Para Pihak. KRITERIA SkenarioOpsi yang diinginkan Prefered options Pelepasan Sesuai Prosedur Pelepasan dengan tukar menukar lahan Relokasi Pengukuran Ulang Revisi Tata Ruang Biaya Rp.juta 5 1 1 5 1 Waktu bulan 6 1 1 6 5 Ketersediaan SDM 3 4 4 2 3 Keberlanjutan dilihat dari dukungan semua pihak 9 1 5 5 7 TOTAL 23 7 11 18 16 PERINGKAT 1 5 4 2 3 Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka dengan mengadopsi Matriks Prefered Options – Chevalier 2003. D. Pengambilan Keputusan Skenario Terpilih dan Penyusunan Upaya Ke Depan Untuk Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura. Berdasarkan seluruh rangkaian analisis selama semiloka yang dilakukan oleh para pihak khususnya oleh kelompok diskusi konflik status lahan, memutuskan bahwa upaya penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura Kecamatan Sumberjaya yang berada di dalam kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis akan ditempuh melalui usulan pelepasan areal kawasan sesuai dengan prosedur peraturan dan perundangan yang berlaku. Hal tersebut diperkuat dengan pertimbangan kualitatif yang berkembang selama diskusi bahwa: 1 Apabila status areal yang diklaim diubah melalui skenario revisi tata ruang tanpa menunggu proses pelepasan kawasan dikhawatirkan akan menimbulkan polemik baru yaitu benturan kewenangan pusat-daerah dan benturan-benturan peraturan perundangan lainnya yang dapat berpotensi mengeskalasi konflik. 2 Skenario pengukuran ulang luas kawasan amat spekulatif dan dikhawatirkan hasilnya tidak bisa mengakomodir kepentingan semua pihak. 3 Skenario relokasibedol desa, pemindahan masyarakat ke daerah yang mempunyai kondisi geografis yang memungkinkan untuk dijadikan pemukiman, memilik resiko waktu yang lama serta belum adanya kepastian tataran pemerintah yang mana yang akan menanggung biaya relokasi. Selain itu pengalaman relokasi melalui program transmigrasi lokal penduduk kawasan hutan lindung tersebut pada tahun 1994-1996 dari Pekon Dwi Kora yang bertetanggaan dengan Pekon Sukapura ke daerah Mesuji Kabupaten Tulang Bawang menyisakan sejarah buruk tentang gagalnya mereka beradaptasi dengan agroekosistem baru berupa lahan rawa-rawa di daerah tujuan. 4 Skenario tukar menukar lahan amat tidak populer di mata masyarakat karena keberadaan mereka di areal tersebut sudah lebih dari 2 generasi dan kedatangan awal mereka adalah atas program transmigasi BRN yang dilakukan oleh pemerintah. Masyarakat berprinsip bahwa kondisi tersebut adalah akibat dari kelalaian pemerintah yang tidak melakukan administrasi sertifikasi kepemilikan lahan sejak ketika pertama kali mereka ditempatkan. Beranjak dari pilihan atas skenario tersebut, para pihak kemudian mengembangkan 6 tahap penting yang perlu ditempuh dalam proses pelepasan sesuai prosedur yaitu sebagai berikut Gambar 5.31: 1 Tahap permohonan ulang pelepasan areal yang diklaim oleh masyarakat kepada Bupati Lampung Barat. 2 Bupati merespon permohonan tersebut dan sesuai dengan Surat Keputusan SK Bupati No. B231Kpts012003 menugaskan Tim Terpadu Pengkajian Permohonan Tanah di Hutan Lindung Register 45B Sekitar Pekon Sukapura untuk melakukan kajian pendukung. Beberapa peraturan teknis yang direkomendasikan untuk dipergunakan sebagai dasar kajian diantaranya: 1 Surat Keputusan Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan No.724AVII-294 tentang Petunjuk PelaksanaTeknis Penyelesaian Enclave Dalam Kawasan Hutan; 2 Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.70Kpts- II2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Fungsi Status dan Fungsi Kawasan Hutan; 3 Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.32Kpts- II2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan hutan; dan 4 Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.48Menhut-II2004 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan No.70Kpts-II2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Fungsi Status dan Fungsi Kawasan Hutan. Gambar 5.31. Skema Tahap-tahap Penting Dalam Skenario Pelepasan Lahan Kawasan Sesuai Prosedur Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka. 3 Penyampaian permohonan pelepasan oleh Bupati kepada Menteri kehutanan dilampiri persetujuan DPRD Kabupaten dan Hasil Kajian Tim Terpadu. Perlunya persetujuan DPRD Kabupaten sempat memunculkan perdebatan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.70Kpts-II2001 persetujuan tersebut memang disyaratkan, namun berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.48Menhut-II2004 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan No.70Kpts-II2001, persetujuan tersebut tidak 1. Permohonan masyarakat 4. Kunjungan Lapang oleh Tim Terpadu Pusat 3. Surat Permohonan dari Bupati kepada Menteri Kehutanan cq Baplan dilampiri Persetujuan DPRD Kabupaten dan Hasil Kajian Tim Daerah 2. Pengkajian oleh Tim Terpadu Kabupaten Pembahasan lintas Dirjen di dalam Departemen Kehutanan Penetapan Ulang Kawasan Hutan 5. Dukungan institusi dan kegiatan lapang oleh masyarakat dan pemda Hasil Kajian Tim Terpadu Pusat Rekonstruksi Tata Batas Pelepasan areal dan Penunjukan Ulang Kawasan Hutan 6 disyaratkan lagi perubahan pada Pasal 16 ayat 4. Namun demikian akhirnya para pihak memutuskan bahwa bagaimanapun juga dukungan politik dari DPRD Kabupaten tetap diperlukan, oleh karenanya walaupun tidak disyaratkan, persetujuan dari DPRD Kabupaten akan tetap disertakan. Hal tersebut selaras dengan arahan Sekretaris Jenderal Menteri Dalam Negeri dalam kunjungan lapangnya ke lokasi. 4 Tim Terpadu Pusat melakukan kunjungan dan kajian lapang. Tim terpadu Pusat adalah tim gabungan yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan terdiri dari lembaga pemerintah terkait Pusat dan Daerah yang mempunyai kompetensi dan otoritas ilmiah, bersifat independen dan okyektif dalam melaksanakan tugasnya. 5 Pemerintah Kabupaten dan masyarakat memberikan dukungan institusi dan kegiatan lapang terhadap Tim terpadu Pusat yang melakukan kajian. 6 Berdasarkan hasil kajian Tim Terpadu Pusat, hasil kajian tersebut dibahas dari aspek hukum dan teknis oleh Eselon I lingkup Depatemen Kehutanan untuk kemudian disampaikan sebagai saranpertimbangan teknis kepada Menteri Kehutanan. Berdasarkan saranpertimbanagn teknis tersebut, Menteri Kehutanan dapat memberikan persetujuan pelepasan areal dan melakukan penunjukan ulang kawasan yang diikuti dengan rekonstruksi tata batas yang dilaksanakan oleh Panitia Tata Batas PTP. PTB kemudian membuat Berita Acara Tata Batas BATB dan Peta Tata Batas yang baru untuk kemudian oleh Menteri dijadikan sebagai dasar Penetapan Ulang Kawasan Hutan. Sebagai catatan dialog, kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis saat ini berstatus ”penunjukkan” sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.256Kpts-II2000 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Lampung seluas ± 1.004.735 hektar. Menurut Undang-Undang No.51960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau sering disingkat dengan UUPA, sebenarnya hal tersebut dapat memberi peluang bahwa sepanjang masyarakat dapat menunjukkan bukti kepemilikan tanah domain verklaring, maka mereka tidak menjadi objek penunjukkanpenetapan kawasan. Dualisme Undang-undang Kehutanan dan UUPA tersebut yang diduga menyebabkan saat ini terdapat adanya 11 buah sertifikat hak milik di dalam kawasan hutan linsung Register 45B Bukit Rigis. Namun demikian, atas dasar semangat penyelesaian konflik secara konstruktif, para pihak sepakat untuk memenuhi UU No.41199 tentang Kehutanan terutama Pasal 1 Ayat 3 yaitu ” Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap ” walapun pada Ayat 4 dinyatakan bahwa ” Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah ”. Untuk itu para pihak, khususnya masyarakat, tetap berkeinginan menyelesaikan konflik status lahan melalui skenario pelepasan lahan sesuai “prosedur”. Berdasarkan kesepakatan para pihak, keenam tahap yang akan ditempuh dalam skenario tersebut dimandatkan kepada Tim Terpadu Pengkajian Permohonan Tanah di Hutan Lindung Register 45B sekitar Pekon Sukapura sesuai dengan Surat Keputusan Bupati Lampung Barat No.B231Kpts012003. Langkah- langkah yang direkomendasikan kepada Tim tersebut diantaranya yaitu: • Tim membentuk kelompok kerja Pokja yang bertugas mengkaji: 1 Pokja I mengkaji aspek sosial – ekonomi termasuk aspek hukum 2 Pokja II mengkaji aspek fisik lahan. • Di tingkat Pekon Sukapura: 1 Pelibatan aparat pekon, tokoh masyarakat, tokoh agama, serta mereka yang pernah terlibat dalam penyusunan proposal pengajuan pelepasan kawasan sejak tahun 1994-an sebelum terbentuknya tim terpadu kabupaten. 2 Pemetaan partisipatif dalam pengajuan status pelepasan lahan difasilitsi oleh LSM Watala. 3 Pendataan penduduk dibantu oleh masyarakat dan difasilitasi oleh LSM, aparat pekon dan aparat kecamatan. Pengukuran tingkat dukungan para pihak yang berkonflik terhadap skenario terpilih merupakan faktor penentu. Tanpa dukungan para pihak maka Gambar 5.32. Nara sumber dari Fakultas Sosial Politik - Universitas Lampung memberikan analisis hukum dalam pengembangan tahap penting skenario pelepasan lahan kawasan hutan secara prosedural Sumber photo: Peneliti sebaik apapun skenario yang dipilih dalam penyelesaian konflik akan sulit diwujudkan. Jika dianalisis lebih dalam, walapun dukungan kolektif terhadap sekenario pelepasan sesuai prosedur memiliki sekor = 9 yaitu didukung oleh semua pihak, namun jika dilihat dukungan secara individual terdapat beberapa pihak yang masih ragu-ragu. Hasil perhitungan secara rahasia secret ballot yang ditayangkan pada Gambar 5.33 menunjukkan bahwa terdapat dua pihak yaitu pihak ke-2 dan pihak ke-9 yang menyatakan ragu-ragu sekor = 5 dalam mendukung skenario pelepasan. Kedua pihak tersebut adalah Peratin Kepala Pekon Sukapura dan LSM Watala Lampiran 14. Selama proses analisis dilakukan hingga kini, kedelapan pihak yang lain tidak mengetahui identitas kedua pihak tersebut. Kerahasian tersebut ditujukan untuk mengatasi hambatan- hambatan psikologis agar dialog tetap berlangsung secara konstruktif dan para pihak tidak saling menyalahkan satu sama lain. Bagi peneliti yang secara tidak langsung juga melakukan mediasi konflik, indikasi keragu-raguan dari kedua pihak tersebut merupakan informasi yang teramat penting untuk melakukan intensifikasi konflik melalui wawancaradialog terpisah. Teknik wawancara terpisah tersebut dikenal dengan sebutan sebagai systematic client consultation World Bank, 1995. Setelah semiloka, dilakukan wawancara ulang terhadap kedua pihak tersebut dengan hasil-hasil sebagai berikut: 1 Peratin Pekon Sukapura merasa ragu-ragu karena pada dasarnya selama ini beberapa tokoh masyarakat telah berulang kali mencoba mendialogkan upaya penyelesaian konflik status lahan kepada instansi pemerintah terkait terutama sektor kehutanan. Upaya tersebut bahkan sudah dimulai sejak pelaksanaan konstruksi tata-batas yang kontraversial yang dilakukan pada tahun 1994, namun tidak ada hasil yang konkrit. Penyelesaian konflik status lahan hingga kini masih status quo. 2 Keragu-raguan serupa juga datang dari LSM Watala mengacu kepada pelaksanaan Surat Keputusan SK Bupati No.B231Kpts012003 tentang Pelepasan Sesuai Prosedur 9 5 7 9 7 7 9 7 5 7 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Pihak Yang Berkonflik S e ko r D u ku n g a n Gambar 5.33. Grafik Gradient Polling dukungan para pihak terhadap skenario pelepasan lahan sesuai prosedur Pekon Sukapura Tim Terpadu Pengkajian Permohonan Tanah di Hutan Lindung Register 45B Sekitar Pekon Sukapura. Sejak dikeluarkannya SK tersebut, hingga dilangsungkannya semiloka belum ada langkah-langkah konkrit bahwa Tim akan bekerja secara intensif. Disinyalir hal tersebut diantaranya disebabkan oleh tidak adanya dukungan dari DPRD Kabupaten Lampung Barat terhadap kebutuhan anggaran bagi operasional kerja tim. Tercatat bahwa sudah dua Tahun Anggaran TA kabupaten yaitu TA 2004 dan TA 2005, usulan kebutuhan anggaran kandas dalam rapat anggaran antara pihak eksekutif dan legislatif Kabupaten Lampung Barat TA 2004, sedangkan pada TA 2005 anggaran keluar pada bulan November 2005 sehingga tidak dapat dipergunakan. Untuk menghadapi sikap keragu-raguan tersebut, selain melalui upaya intensifikasi konflik, juga perlu dilakukan upaya rekonstruksi rasa saling percaya Pretty dan Ward, 2001. Upaya yang terakhir tersebut merupakan modal sosial yang penting terutama dalam mewujudkan kegiatan kolaboratif yang amat diperlukan bagi penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura. Selain itu, tentunya komitmen dari pihak aktual lainnya amat diperlukan. Aspek lainnya yang tidak kalah penting adalah melakukan intervensi terhadap faktor femacu dan peredam konflik terutama faktor-faktor yang paling relevan dengan pencapaian keberhasilan skenario penyelesaian.

5.6 Pengembangan Model Penanganan Konflik Lingkungan Berdasarkan Integrasi Hasil Analisis

5.6.1 Konstruksi Model Penelitian Penanganan Konflik

Seperti telah diruraikan pada Bab 2 sebelumnya, batasan konflik lingkungan pengelolaan hutan yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki danatau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan dalam pengelolaan hutan karena adanya perbedaan-perbedaan hubungankomunikasi sosial, kepentingan, data dan informasi, nilai, dan struktural, yang terjadi di dalam suatu ruang, sehingga fungsi lingkungan dari hutan menjadi terganggu. Berdasarkan kerangka pemikiran model yang akan dikembangkan sebagamana dipaparkan pada Gambar 1.3 di Bab -1, fokus penelitian diberikan pada; Bagaimanakah peta konflik di lokasi studi hal ini mencakup akarfaktor penyebab konflik, gaya konflik, polarisasi konflik; Pendekatan penanganan dan metode seperti apa yang menjadi pilihan para pihak yang berkonflik; dan Bagaimanakah umpan balik terhadap kebijakan penyelesaian konflik. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian dijawab dengan melakukan: 1 Analisis faktor penyebab konflik; memetakan akar konflik dan para pihak yang berkonflik. . 2 Analisis gaya mengelola konflik; Memilih bentuk alternatif penyelesaian konflik. 3 Pelaksanaan alternatif penyelesaian terpilih Secara diagram alur, kegiatan tersebut kemudian menghasilkan model kegiatan penelitian yang dilakukan Gambar 5.34. 1 Analisis Faktor Penyebab Konflik; Memetakan akar konflik dan para pihak yang berkonflik. Analisis faktor penyebab konflik di dalam penelitian ini beranjak dari informasi awal bahwa di lokasi terjadi konflik lingkungan di dalam kawasan hutan. Informasi tersebut kemudian dideskripsikan menjadi berbagai peubah faktor penyebab konflik melalui wawancara pakar, yaitu para pihak atau orang- orang yang dianggap mengetahui tentang konflik yang terjadi. Proses informasi awal tersebut apabila diaplikasikan ke dalam proses administrasi sebuah mekanisme pengaduan penyelesaian perselisihan, dapat disebut sebagai “Tahap Penerimaan Pengaduan”. Terkait dengan penelitian ini, berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap faktor-faktor penyebab konflik, hasil penelitian menunjukkan bahwa sub-model eksternalitas yang diwakili oleh peubah konversi lahan memiliki koefisien jalur terbesar. Hal tersebut memperkuat kesimpulan teori empiris yang dinyatakan oleh Buckles 1999 bahwa konflik sumberdaya alam terjadi oleh karena adanya eksternalitas negatif, dimana sebuah aktivitas manusia yang mengubah keseimbangan ekosistem di suatu wilayah mengakibatkan masalah lingkungan di wilayah lainnya 1 . 1 Konversi lahan yang terjadi di dalam kawasan Hutan Lindung Register 45 Bukit Rigis telah memicu terjadinya erosi permukaan, baik yang bersumber dari lahan hutan yang terkonversi ke dalam bentuk lain seperti pertanian kopi monokultur tanpa pendekatan teknis konservasi tanah, maupun dari jalan tanah yang menghubungi kebun kopi monokultur di dalam hutan kawasan. Penelitian ini tidak mengkuantifikasi volume erosi permukaan, tetapi secara fisik dilaporkan oleh unit pembangkit listrik DAM Way Besay bahwa proses pendangkalan akibat sedimentasi erosi. permukaan terjadi di badan sungai Way Besay yang membentang mengelilingi kawasan hutan tersebut. 258 Gambar 5.34. Model Penelitian Penanganan Konflik Lingkungan yang Dihasilkan. 2 Mengidentifikasi Gaya Konflik dan Memilih Alternatif Penyelesaian Alternatif Penyelesaian Monitoring dan Evaluasi, serta Pembelajaran Pelaksanan KesepakatanKeputusan 1 Memetakan Akar Konflik dan Para Pihak Yang Berkonflik Keinginan dan Komitmen Untuk Memulai ADR 3 Pelaksanaan Alternatif Penyelesaian Terpilih a. Pemetaan Ulang Akar Konflik Secara Kolaboratif d. Membuat KesepakatanKeputusan b. Ramifikasi dan Pengembangan Proposal Penyelesaian c. Mengurai dan Memilih Proposal Ideal Mengidentifikasi Gaya Konflik