VI. KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang dilakukan untuk menjawab tujuan dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketakonflik
lingkungan secara eksplisit diatur di dalam Undang-Undang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana penyelesaiannya dapat dilakukan melalui
dua cara yaitu: melalui jalur pengadilan dan jalur diluar pengadilan. Khusus mekanisme di luar jalur pengadilan, diperkuat oleh PP No.54 Tahun 2000 tentang
Lembaga Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Di dalam UU Kehutanan menyebutkan, bahwa penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. Keduanya UUPPLH dan UU Kehutanan menyatakan bahwa
penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pelanggaran pidana, namun demikian dalam pelaksanaannya UUPPLH mengedepankan asas
subsidiaris. Turunan UUPA tidak ada yang secara tegas menyatakan bagaimana
sengketa lingkungan, khususnya sumberdaya lahan, di dalam kawasan hutan diselesaikan melalui kedua cara tersebut. Namun demikian, dalam rangka
penanganan sengketa konflik pertanahan, BPN mengeluarkan Petunjuk Teknis No. 05JUKNISD.V2007 tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi. Hingga saat ini
belum ada contoh kasus penanganan sengketa lahan di dalam kawasan yang menggunakan juknis tersebut.
Di dalam Undang-undang Penataan Ruang, pengaturan penyelesaian konflik penataan ruang sedikit sekali disinggung. UU ini hanya menyatakan bahwa
penyelesaian sengketa penataan ruang pada tahap pertama diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat, apa bila tidak diperoleh
kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan. Hingga saat ini belum ada turunan kebijakan yang mengatur tentang itu.
Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, penyelesaian sengketakonflik mengandung makna bahwa yang
diselesaikan lebih pada perselisihan kewenangan antar tataran pemerintah danatau lembaga pemerintah.
Di dalam Undang-undang Pelayanan Publik dinyatakan bahwa setiap penyelenggara pemerintahan bahkan termasuk didalamnya adalah BUMN
diwajibkan untuk membangun mekanisme untuk mengelola pengaduan. Amanat penyelesaian konflik lingkungan tidak secara konsisten
ditindaklanjuti kedalam turunan kebijakan. Dari kelima kebijakan yang dikaji, hanya turnan UUPPLH dan UUPA yang mengatur penyelesain konflik termasuk cara-
caranya seperti fasilitasi, mediasi, arbitrase, dan lain-lain. Pelaksanaan penyelesaian konflik lingkungan di daerah penelitian,
khususnya penyelesaian di luar pengadilan, tidak ada satupun yang ditempuh melalui kebijakan tersebut di atas. Hal tersebut disebabkan oleh belum tersedianya
mekanisme pengaduan dan penyelesaian konflik di daerah. Di samping itu, karena masih lemahnya sosialisasi Undang-Undang yang telah dihasilkan tersebut, sejauh
ini masyarakat menyampaikan tuntutannya melalui DPRD atau dengan difasilitasi oleh LSM sehingga masyarakat bisa berdialog dengan lembaga pemerintah.
Sebelum tahun 2000 sebanyak dua kali masyarakat mencoba mencari penyelesaian melalui DPRD, namun tidak menghasilkan solusi apapun.
Berdasarkan hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konflik dalam pengelolaan kawasan hutan lindung, dapat disimpulkan bahwa .
• Pada submodel eksternalitas, peubah bencana alam antropogenik X
1
berpengaruh negatif sebesar 0,058 dan merupakan akar konflik yang paling tinggi mempengaruhi motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi
lahan X
6
Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Bencana alam antropogenik diukur dari ragam bencana akibat ulah manusia yang pernah
dihadapi responden dalam mengolah lahan garapan mereka di luar kawasan. Di dalam penelitian ini, bencana-bencana tersebut adalah: 1 kebakaran hutan, 2
erosi dan longsor, 3 banjir dan penggenangan, dan 4 serangan penyakit dan hama tanaman. Berpengaruh negatif menunjukkan bahwa semakin beragam
bencana yang mereka hadapi di luar kawasan, maka motivasi keputusan responden dalam mengkonversi lahan kawasan akan semakin rendah.
Hubungan terbalik tersebut dapat ditafsirkan bahwa responden memiliki perhitungan kehawatiran akan terjadinya bencana serupa jika membuka lahan
dan bertani di dalam kawasan hutan. Rendah tingginya motivasi responden dalam mengkonversi lahan dicerminkan oleh ragam motivasi yang dimiliki
responden. • Pada sub model persepsi dan ketimpangan struktural, terdapat dua persamaan
jalur secara paralel, yang pertama yaitu sub-model ketimpangan struktural yang ditujukan untuk mengukur tingkat ordinasi responden X
10
yang berdasarkan
hasil analisis terbesar dipengaruhi positif oleh oleh tingkat kesejahteraan sosial responden X
8
sebesar 0,18. Artinya semakin tinggi tingkat
kesejahteraan sosial responden maka akan semakin tinggi pula tingkat ordinasi responden. Persamaan kedua di dalam sub model persepsi dan ketimpangan
struktural adalah sub-model persepsi. Hasil analisis menunjukkan bahwa peubah eksogen kosmopolitansi responden X
18
memiliki nilai koefisien jalur yang paling tinggi dan positif terhadap ketiga peubah endogen yaitu 0,41
terhadap persepsi tentang status kawasan hutan negara X
12
, 0,36 terhadap persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan X
13
, dan 0,36 terhadap persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan X
14
. Hal tersbut menunjukkan bahwa semakin kosmopolitan responden, maka semakin baik
persepsi dan pemahaman mereka tentang status kawasan hutan negara, fungsi lingkungan dari hutan, dan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan.
Pada tahap selanjutnya, sub-model Persepsi dan Ketimpangan Struktural kemudian dibangun dengan memadukan persamaan 22 dan 23 serta dengan
penambahan peubah eksogen baru yaitu peubah tindakan represif oleh pemerintah X
11
. Berdasarkan hasil analisa jalur, dibandingkan dengan peubah
eksogen lainnya, peubah persepsi tentang status kawasan hutan negara X
12
memiliki koefisien jalur tertinggi dan berpengaruh positif terhadap peubah
endogen keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi X
15
yaitu sebesar 0,25. Oleh karenanya dapat ditafsirkan bahwa semakin baik persepsi
responden tentang status dan fungsi lingkungan kawasan hutan maka semakin intensif keterlibatan mereka di dalam peristiwa-peristiwa dialog dan negosiasi.
• Pada Submodel Kelangkaan, berdasarkan hasil analisis jalur, peubah status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan X
20
memiliki