35
Tabel 2.3. Perkembangan Kebijakan Model Hutan Kemasyarakatan
Tahun Dasar Kebijakan
SK Mentri Kehutanan, PP, dll
Deskripsi Hutan Kemasyarakatan
1995 SK No.622Kpts-II1995 tentang
Pedoman Hutan Kemasyarakatan Model partisipasi rakyat dalam kegiatan
reboisasi dan rehabilitasi hutan 1998
SK No.677Kpts-II1998 tentang Hutan Kemasyarakatan
Model pemberian hak pengusahaan hutan kemasyarakatan kepada koperasi
1999 SK No.865Kpts-II1999 tentang
Penyempurnaan SK No.677Kpts- II1998 tentang Hutan
Kemasyarakatan Model pemberian ijin pemanfaatan hutan
kepada kelompok-kelompok masyarakat setempat
2000 SK No.31Kpts-II2001 tentang
Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan
Model pengelolaan hutan desa oleh masyarakat setempat secara mandiri atau
model pengelolaan hutan bersama masyarakat desa di kawasan hutan negara
yang dikuasakan kepada swasta atau badan otorita lainnya
2007 Peraturan Pemerintah
No.6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan.
Pemberdayaan masyarakat setempat dapat dilakukan melalui :
a. hutan desa; b. hutan kemasyarakatan; atau
c. kemitraan.
2007 Permenhut Nomor: P.37Menhut-
II2007 tentang Hutan Kemasyarakatan
Model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok masyarakat
setempat, baik pemanfaatan hasil hutan non kayu IUPHKm pada hutan lindung dan
hutan produksi, maupun hasil hutan kayu IUPHHK HKm pada hutan produksi.
2008 Permenhut No: P.49Menhut-
II2008 tentang Hutan Desa Dalam rangka pemberdayaan masyarakat di
dalam dan sekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan hutan yang adil
dan lestari, hutan negara dapat dikelola untuk kesejahteraan desa melalui Hutan
Desa.
• Desentralisasi pengelolaan HKm, yang semula perijinan menjadi kewenangan Kanwil Kehutanan Propinsi dilimpahkan menjadi kewenangan
BupatiWalikota. Demikian pula kawasan HKm adalah kawasan yang diusulkan oleh BupatiWalikota melalui Gubernur untuk ditetapkan oleh
Menteri. • Pemanfaatan hutan meliputi pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan non- kayu, pemungutan hasil hutan kayu, dan pemungutan hasil hutan non kayu;
sepanjang tidak mengganggu fungsi pokok hutan tersebut.
36 Terlepas dari berbagai kemajuan, legitimasi SK No.31Kpts-II2000
digugat oleh banyak kalangan terutama praktisi hukum lingkungan karena jika dikaitkan dengan TAP MPR No.IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-Undangan, SK tersebut tidak memiliki kekuatan mengatur. Karena hal tersebut, saat ini Pemerintah dalam hal ini Departemen
Kehutanan sedang memproses legal draft HKm dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah RPP menjadi Peraturan Pemerintah PP. Selain itu
tidak semua pihak menerima program HKm, terutama pihak-pihak yang masih menyimpan konflik terhadap pemerintah akibat selesainya penanganan masalah
gugatan status dan kepemilikan lahan dalam kawasan hutan. Pada awal tahun 2004, belum saja polemik kebijakan HKm selesai, Pemerintah telah
mengeluarkan kebijakan baru tentang Social Forestry. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan, secara terus-menerus
melakukan perbaikan kebijakan pengelolaan hutan bagi masyarakat. Kebijakan yang cukup monumental adalah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. PP ini memandatkan bahwa, pengelolaan hutan oleh
masyarakat setempat dilaksanakan dalam konteks pemberdayaan masyarakat Pasal 84 melalui skim kebijakan: hutan desa, hutan kemasyarakatan; atau
kemitraan. Secara kontinum, PP ini kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Permenhut Nomor: P.37Menhut-II2007 tentang Hutan
Kemasyarakatan yang memungkinkan pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok masyarakat setempat, baik pemanfaatan hasil hutan non
kayu IUPHKm pada hutan lindung dan hutan produksi, maupun hasil hutan kayu IUPHHK HKm pada hutan produksi. Dimungkinkannya akses masyarakat
terhadap hasil hutan kayu dalam skim kebijakan HKm merupakan sebuah kebijakan yang dinantikan sejak tahun 1995 ketika HKm saat itu pertama kali
didesain sebatas dalam bentuk model partisipasi rakyat dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan. Kebijakan HKm yang dinantikan selanjutnya adalah
bagaimana skim ini diterjemahkan pelaksanaannya di dalam kawasan hutan konservasi sebagaimana dimungkinakn oleh Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.
Pembaharuan kebijakan tidak berhenti di HKm saja. Pada tahuan 2008, kemudian diterbitkan Permenhut No: P.49Menhut-II2008 tentang Hutan Desa
37 dimana dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan
hutan serta mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari, hutan negara dapat dikelola untuk kesejahteraan desa melalui Hutan Desa. Hadirnya skim
kebijakan Hutan Desa bagi sebagian kalangan menjadi jalan tengah pengembangan akses secara komunal dalam bentuk komunitas desa atas belum
terjawabnya bagaimana hutan adat diatur kemudian. Kalangan tersebut melihat, ketika bingkai kebijakan tentang hutan adat belum dicapai, maka kebijakan hutan
desa bisa menjadi alternative masyarakat adat memiliki akses komunal melalui pemerintahan desa.
2.5. Konflik Lingkungan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
Konflik selalu ada. Manusia hidup selalu berkonflik. Menurut Wijardjo dkk 2001, konflik dapat menciptakan perubahan, konflik memiliki dua sisi yang
membawa potensi resiko dan potensi manfaat, dan konflik menciptakan energi yang bersifat merusak atau dapat bersifat kreatif. Menurut Borrini dan
Feyerabend 2000, konflik dapat mengarah ke kondisi konstruktif dan sebaliknya dapat destruktif. Kondisi konstruktif terjadi ketika konflik ditangani secara
persuasif dengan mengedepankan azas manfaat yang akan diperoleh para pihak jika konflik tidak terjadi, sedangkan kondisi destruktif terjadi pada bila konflik tidak
ditangani dengan arif sehingga menimbulkan perilaku yang menjurus saling tidak percaya, perseteruan, bahkan kekerasan violence fisiknon-fisik.
Konflik ada di alam dan hadir dalam kehidupan manusia, dengan demikian konflik akan selalu terjadi di lingkungan tempat berlangsungnya
interaksi manusia dengan sekelilingnya. Menurut Borrini dan Feyerabend 2000, pengelolaan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan, merupakan suatu
arena yang syarat dengan muatan politik, baik itu politik sosial-ekonomi maupun politik lingkungan, hampir semua konflik yang berkaitan dengan pengelolaan
sumberdaya alam selalu berawal dari perbedaan beragam kepentingan. Perbedaan kepentingan tersebut menjadikan sumberdaya alam sebagai arena
konflik. Di dalam Propenas 2000-2004, pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia terdiri atas sumber-sumber daya air, laut, udara, mineral, dan hutan.
2.5.1. Batasan Tentang Konflik
Kata konflik berasal dari bahasa latin yaitu confligere yang artinya menyerang bersama. Aslinya, kata tersebut lebih memiliki konotasi fisik daripada
38 moral; namun di dalam bahasa inggris kedua konotasi tersebut terkandung di
dalam kata konflik Burton dan Dukes, 1990. Kata konflik dalam bahasa Indonesia memiliki arti percekcokan, perselisihan, atau pertentangan.
Pendefinisian konflik secara spesifik merupakan suatu yang rumit
karena banyaknya overlapping tumpang-tindih komponen proses dan dinamika yang terlibat; oleh karenanya pendifinisian akan cenderung mengkombinasikan
berbagai komponen tersebut Isenhart dan Spangle, 2000. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan berbagai pengertian tentang konflik yang didefinisikan oleh
beberapa ahli seperti ditayangkan pada Tabel 2.4. Tabel 2.4. Beberapa Definisi Tentang Konflik
Sumber Definisi Konflik
Tekanan Perbedaan
Fisher et al 2001 Hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki,
atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan.
Sasaran
Wijarko dkk
2001 Suatu situasi yang terjadi apabila seseorang atau
sekelompok orang bisa lebih menunjukkan praktek- praktek untuk menghilangkan pengakuan hak orang
atau kelompok lainnya mengenai benda atau kedudukan yang diperebutkan.
Hak atas benda
danatau kedudukan.
LATIN 2000 Benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang
disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya.
Nilai, status, kekuasaan,
kelangkaan sumberdaya.
Kriesberg 1998 Suatu kondisi sosial ketika dua orangpihak atau lebih
memanifestasikan keyakinan mereka akan suatu tujuan yang saling berbeda.
Keyakinan, tujuan.
Coser 1967 Perjuangan terhadap suatu gugatan dan nilai yang
disebabkan oleh kelangkaan status, kekuasaan, dan sumberdaya.
Nilai, status, kekuasaan,
sumberdaya. Bush dan Folger
1994 Suatu perbedaan kebutuhan dan kepentingan antar
para-pihak yang nampak dan nyata. Kebutuhan,
kepentingan.
Rubin et al 1994 Perbedaan kepentingan yang dirasakan atau diyakini
yang mebuat aspirasi para pihak tidak dapat dicapai secara simultan.
Kepentingan Hocker dan Wilmot
1991 Eskpresi perjuangan antara minimal dua pihak yang
saling berketergantungan yang saling merasa berketidak-sesuaian dalam tujuan, kelangkaan
sumberdaya, dan adanya campur-tangan oleh pihak lain dalam mencapai tujuan mereka.
Tujuan, kelangkaan
sumberdaya,
Keterangan: Sumber: Isenhart dan Spangle 2000
39 Pada tabel tersebut, definisi konflik yang paling sederhana adalah
hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan Fisher et al. 2001. Sementara itu,
Kriesberg 1998 lebih mendefinisikan pengertian konflik dengan penekanan pada kondisi sosial. Dari berbagai pengertian tentang konflik yang disajikan,
terdapat suatu kondisi yang selalu menyertai dalam pendefinisian konflik yaitu adanya perbedaan. Letak perbedaan tersebut di antaranya adalah perbedaan-
perbedaan dalam keyakinan, nilai, status, kekuasaan, sasaran, tujuan, kebutuhan, kepentingan, hak atas benda danatau kedudukan, dan kelangkaan
sumberdaya, yang kesemuanya melekat pada masing-masing pihak yang berkonflik.
Berdasarkan berbagai perbedaan tersebut, Isenhart dan Spangle 2000 mengelompokkan sumber perbedaan yang paling sering muncul dan menjadi
penyebabakar konflik yaitu berangkat dari perbedaan-perbedaan dalam hal: 1 data, 2 kepentingan, 3 komunikasi, 4 prosedur, 5 nilai-nilai, 6 hubungan
sosial dan 7 struktur peran. Pemilahan yang hampir serupa namun lebih terincik tentang sumber-sumber konflik juga dilakukan oleh Wijardjo dkk 2001
dan Moore 1996. Menurut mereka, konflik terjadi karena adanya perbedaan- perbedaan: 1 hubungan sosial, 2 kepentingan, 3 data, 4 nilai, dan 5
struktural, seperti ditayangkan dalam Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Perbedaan-Perbedaan Yang Sering Menjadi Sumber Konflik. Sumber: Wijardjo, 2001; Moore, 1996
PERBEDAAN DATA: •
Kurang informasi, salah informasi,
• Perbedaan pandangan dalam
relevansi data •
Perbedaan interpretasi, •
Perbedaan prosedur penilaian PERBEDAAN KEPENTI NGAN:
• Kebutuhan dan cara untuk
memenuhinya atau tata cara maupun mental psikolog sikap,
emosi MASALAH HUBUNGAN SOSI AL:
• Hubungan emosi yang kuat
• Salah persepsi atau stereotip
• Kurang atau salah komunikasi
• Repetisi perilaku negatif
PERBEDAAN STRUKTRUAL:
Tidak meratanya distribusi kekuasaan kewenangan,
dan Sumberdaya, Pengambilan Keputusan,
Faktor fisik, geografis, dan lingkungan
PERBEDAAN NI LAI : •
Nilai pandangan hidup, norma, ideologi, agama
• Nilai universal seperti HAM
• Nilai yang diperjuangkan seperti
kasta, jender, ras, dll