produk kebijakan dan peraturan yang secara evolutif mengatur desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat
1
.
Perubahan paradigma pembangunan kehutanan nasional menuju pengelolaan sumberdaya hutan yang bertumpu pada masyarakat desa telah
mendorong Pemerintah mengembangkan kebijakan hutan kemasyarakatan sejak awal dekade 90-an. Selama lima tahun terakhir menjelang tahun 2000, konsep
dan kebijakan hutan kemasyarakatan HKm telah mengalami reformulasi dari model partisipasi rakyat dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan 1995,
kemudian model pemberian hak pengusahaan hutan kemasyarakatan kepada koperasi 1998, lantas model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada
kelompok-kelompok masyarakat setempat 1999 dan akhirnya menjadi model pengelolaan hutan desa oleh masyarakat setempat secara mandiri atau model
pengelolaan hutan bersama masyarakat desa di kawasan hutan negara yang dikuasakan kepada swasta atau badan otorita lainnya 2000.
Kebijakan HKm pada Tahun 1995. Legitimasi kebijakan HKm pada
tahun tersebut diawali dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.622 Kpts-II95 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan HKm.
HKm didefinisikan sebagai sistem pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya dengan mengikutsertakan masyarakat. Tujuan kebijakan HKm yaitu untuk: 1
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar dan di dalam hutan; 2 meningkatkan mutu dan produktivitas hutan sesuai dengan fungsi dan
peruntukkannya; dan 3 Menjaga kelestarian hutan dan lingkungan hidup. Definisi masyarakat yang dilibatkan di dalam kebijakan tersebut adalah orang
yang sumber kehidupannya dari hutan atau kawasan hutan yang secara sukarela berperan aktif dalam kegiatan HKm. Peserta adalah mereka yang ditunjuk oleh
Dinas Kehutanan Dati I. Mereka dapat secara individual, kelompok, atau koperasi.
1
Desentralisasi dapat diartikan sebagai pelimpahan wewenang dan tanggung jawab fungsi publik dari Pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Propinsi danatau Kabupatenkota atau
organisasi pemerintah semi independen atau sektor swasta Word Bank Institute, 1999. Hutabarat 2001 menyatakan bahwa tipe desentralisasi yang paling luas adalah devolusi, yaitu
tipe desentralisasi yang dicirikan oleh pelimpahan wewenang secara otonom. Diberikannya sejumlah kewenangan oleh Pemerintah kepada Propinsi dan KabupatenKota seperti adanya UU
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan suatu contoh devolusi dan telah membentuk tatanan pemerintahan baru, termasuk dalam kebijakan dan peraturan
pengelolaan kehutanan.
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan HKm mulai dari perencanaan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan, pemungutan, pengolahan, dan
pemasaran. Jenis pohon dan tanaman yang ditanam adalah jenis pohontanaman serbaguna yang dapat menghasilkan buah-buahan, getah-
getahan, dan sebagainya yang bermanfaat bagi peserta. Luas maksimum areal hutan yang diijinkan untuk dikelola adalah 4 hektar per orang atau dikalikan
jumlah anggota bagi kelompok atau koperasi pengelola. Peserta hanya diijinkan mengambil hasil hutan bukan kayu HH-BK. Seluruh hasil non-kayu yang
diangkut keluar dari areal hutan tersebut harus dilengkapi dengan dokumen yang menyertai pengangkutan dan masing-masing peserta wajib membayar iuran hasil
hutan bukan kayu IHH-BK sesuai dengan peraturan yang berlaku. Di tingkat lapang, pelaksanaan kebijakan tersebut menghadapi dilema
terutama berkaitan dengan hasil hutan yang boleh diangkut oleh masyarakat. Peraturan untuk menanam jenis pohon multi purposes tree species MPTS
menyulitkan para petani kawasan yang pola pertaniannya amat beragam sesuai dengan kebutuhan subsisten termasuk kayu rakyat danatau pasar lokal.
Terminologi “penunjukan” yang dipergunakan oleh Pemerintah dalam menetapkan siapa peserta HKm yang memenuhi syarat, menunjukkan
subjektivitas dan hegemoni kepentingan Pemerintah dalam mengelola hutan tertimbang mengedepankan kebutuhan masyarakat lokal.
Kebijakan HKm pada Tahun 1998. Perubahan pradigma kebijakan
HKm terjadi pada tahun 1998 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.677Kpts-II1998 tentang Hutan
Kemasyarakatan. Definisi HKm adalah hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh menteri untuk diusahakan oleh masyarakat setempat dengan
tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitikberatkan kepentingan menyejahterakan masyarakat. Masyarakat
pengelola HKm adalah kelompok-kelompok orang yang tinggal dalam di dalam atau disekitar hutan dengan ciri komunitas.
Beberapa perubahan mendasar dalam SK yang dikeluarkan pada tahun 1998 dibandingkan dengan SK sebelumnya. Namun demikian, implementasinya
masih menemui berbagai kendala. Perubahan pada SK tahun 1998 dan kendala yang dihadapi tersebut diantaranya yaitu:
• Masyarakat pengelola HKm adalah kelompok dalam bentuk koperasi dan bukan perorangan. Keharusan dalam bentuk koperasi, pada beberapa kasus
mengakibatkan praktik birokratisme dan praktik KKN dalam perijinan pendirian koperasi.
• Masyarakat melalui koperasinya mengusulkan permohonan untuk mendapat hak pengusahaan atas kawasan hutan yang disebut dengan Hak
Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan HPHKm. Model ini mendapat kritik dari pemerhati kehutanan terutama kalangan LSM yang menyatakan bahwa
HKm adalah bentuk HPH baru berkamuflase atas nama masyarakat. Model ditengarai dapat semakin mempercepat kerusakan hutan. Apalagi di dalam
SK tersebut pengusahaan hutan didefinisikan sebagai kegiatan pemanfaatan hutan yang didasarkan atas azas kelestarian fungsi dan azas perusahaan.
• Kepala Kantor Wilayah menetapkan kelayakan permohonan tersebut, tidak seperti SK sebelumnya yaitu pemerintah Dinas Kehutanan Dati I menunjuk
kelompok pengelola. Artinya, terjadi penarikan sentralisasi kemenangan kembali ke pusat, semula kewenangan berada di daerah Dinas Kehutanan
Dati I kini menjadi Kanwil Kehutanan. • Tidak ada batasan maksimum areal pengelolaan seluas 4 hektar per orang.
• Kontrak pengelolaan HKm memiliki tenggang waktu selama maksimum 35 tahun.
• Definisi HKm sebagai hutan negara yang “dicadangkan” dan “ditetapkan” oleh Pemerintah untuk dikelola masyarakat telah mendorong aparat
kehutanan di daerah untuk melakukan “modifikasi” zona pengelolaan hutan dan berlomba mencadangkan areal hutan untuk HKm, contohnya di Propinsi
Lampung Lampiran 1. Hal ini terjadi diduga karena program HKm dipandangan memiliki peluang untuk “dijadikan proyek HKm”.
Kebijakan HKm pada tahun 1999. Model HKm tahun 1998 banyak
mendapat kritik dari para pemerhati kehutanan terutama dari kalangan perguruan tinggi dan LSM. Kritik terutama ditujukan pada hal-hal sebagai berikut:
• Persyaratan memperoleh hak pengelolaan yang demikian rumit menyulitkan masyarakat calon pengelola dan berkonsekuensi biaya tinggi. Misalnya
pemetaan hamparan, proposal yang “layak”, dll. • Azas perusahaan mendapat kritik yang amat keras karena azas tersebut
justru menutup peluang masyarakat lokal untuk turut mengelola. • Hegemoni Pemerintah demikian kuat dalam mengontrol kegiatan HKm.
Atas beberapa kritik tersebut, pata tahun 1999 dikeluarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.865Kpts-II1999 tentang Penyempurnaan
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677Kpts-II1998 tentang Hutan Kemasyarakatan. Di dalam SK yang baru tersebut, terdapat beberapa
kemajuan, namun juga terdapat beberapa kemunduran yang fundamental. Beberapa kemajuan tersebut diantaranya:
• Penghapusan azas perusahaan sebagai salah satu azas pengelolaan HKm, yang selanjutnya pengelolaannya berdasarkan azas kelestarian.
• Pengubahan istilah dari “pengusahaan” menjadi “pemanfaatan” hutan kemasyarakatan.
• Rencana pemanfaatan tidak hanya dinilai oleh Pemerintah, tetapi juga dinilai oleh lembaga kemasyarakatan lain dan masyarakat umum. Hal ini amat
konstruktif terutama dalam mengurangi hegemoni dan subjektifitas Pemerintah.
• Masyarakat menentukan sistem dan kelembagaan, sementara Pemerintah hanya sebagai fasilitator dan pemantau. Dengan demikian, tidak ada
keharusan bagi masyarakat untuk berkelompok dalam bentuk lembaga koperasi, bagi Pemerintah yang terpenting kelompok tersebut eksis,
akuntabel, dan memiliki ikatan komunitas yang layak sebagai sebuah kelompok pengelola.
• Hak dan kewajiban ditentukan Pemerintah bersama masyarakat; hal ini berbeda dengan SK-SK sebelumnya yaitu Pemerintah menetapkan hak dan
kewajiban masyarakat pengelola secara sepihak tanpa mengindahkan konteks lokal.
Satu kemunduran kebijakan HKm di dalam SK No.865 adalah pengubahan istilah “Hak” Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan menjadi “Ijin”
Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan. Beberapa kalangan menganggap penggunaan kata “ijin” mengaburkan “konsep negara” dalam definisi hutan
negara. Dengan meminjam definisi negara merupakan kesatuan antara teritorialwilayah-rakyatmasyarakat-Pemerintah, maka hutan negara haruslah
memiliki pengertian fundamental bahwa masyarakat memiliki hak terhadap hutan. Penggunaan kata “ijin” merupakan indikasi sisa-sisa hegemoni
Pemerintah yang masih dipertahankan di dalam pengelolaan HKm, demikian pandangan yang berkembang saat itu.
Kebijakan HKm pada tahun 2001. Terjadinya reformasi sistem
penyelenggaraan pemerintahan yang lebih ke arah desentralisasi telah melahirkan undang-undang otonomi daerah yaitu UU RI No.22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah yang kemudian dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah PP No.25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan
Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Kedua UU dan PP tersebut harus diikuti dengan perubahan UU dan peraturan pengelenggaraan
pemerintahan termasuk sektor-sektor pembangunan yang diantaranya adalah sektor kehutanan. Dalam rangka memenuhi semangat otonomi daerah tersebut,
dikeluarkanlah Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.31Kpts-II2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Beberapa perubahan penting
diantaranya adalah: • HKm adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan
untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya.
• HKm diselenggarakan dengan azas kelestarian fungsi hutan, kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya alam yang
demokratis, keadilan sosial, akuntabilitas publik, serta kepastian hukum. • Desentralisasi pengelolaan HKm, yang semula perijinan menjadi
kewenangan Kanwil Kehutanan Propinsi dilimpahkan menjadi kewenangan BupatiWalikota. Demikian pula kawasan HKm adalah kawasan yang
diusulkan oleh BupatiWalikota melalui Gubernur untuk ditetapkan oleh Menteri.
• Pemanfaatan hutan meliputi pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan non-
kayu, pemungutan hasil hutan kayu, dan pemungutan hasil hutan non kayu; sepanjang tidak mengganggu fungsi pokok hutan tersebut.
• Dibentuknya Forum Pemerhati Kehutanan dan terdiri dari unsur Pemerintah, organisasi profesi kehutanan, tokoh masyarakat, pemerhati kehutanan, serta
Forum Hutan Kemasyarakatan. • Format Rencana Pengelolaan HKm yang diusulkan oleh masyarakat lebih
sederhana dari peraturan sebelumnya. Terlepas dari berbagai kemajuan, terutama apakah hasil hutan kayu
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, SK No.31Kpts-II2001 masih menyimpan kelemahan bahkan bagi sebagian kalangan semakin mengaburkan kapastian
hukum masyarakat pengelola HKm. Indikasi tersebut ditemukan dengan pengubahan istilah “Ijin Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan” menjadi “Ijin
Kegiatan Hutan Kemasyarakatan”. Perkembangan terakhir, legitimasi SK No.31Kpts-II2001 dipertanyakan
oleh banyak kalangan terutama praktisi hukum lingkungan karena jika dikaitkan dengan TAP MPR No.IIIMPR2001 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-Undangan, SK tersebut tidak memiliki kekuatan mengatur. Menyadari hal tersebut, kemudian Pemerintah dalam hal ini Departemen
Kehutanan mempersiapkan reformulasi naskah hukum HKm minimal dalam bentuk Peraturan Pemerintah PP yang hingga saat tersebut “belum selesai”.
Tabel 5.2.1. Perbandingan akses masyarakat tempatan terhadap sumberdaya hutan dalam evolusi kebijakan HKm nasional.
No .
Isu kebijakan
Kebijakan HKm dan Perubahannya
SK No:622 Kpts-II1995
SK No:677Kpts-
II1998 SK
No.865Kpts- II1999
SK No.31Kpts-
II2001 1
Pemanfaatn hasil hutan
kayu Tidak ada akses Tidak ada akses Tidak ada akses Kayu pada blok
budidaya Hkm di Hutan
Produksi
2
Askes pemanfatan
kawasan Penunjukkan
Ijin HKm Hak
Pengusahaan Hutan
Kemasyarakat- an 35 tahun
Ijin Pemanfaatan
Hutan Kemasyarakat-
an Ijin Kegiatan
Hutan Kemasyarakat-
an
B. Pemanfaatan Kawasan Hutan Oleh Masyarakat Setempat dalam Kebijakan Kehutanan Indonesia 2001 – 2010.
Reformulasi kebijakan pada periode ini ditandai dengan ditempatkan isu akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan ke dalam kerangka
kebijakan Pemberdayaan Masyarakat di sekitar hutan. Pada tahun 2004, Menteri Kehutanan mengeluarkan Permenhut No.P.01Menhut-II2004 tentang
Pemberdayaan Masyarakat Setempat Di Dalam Dan Atau Sekitar Hutan Dalam Rangka Social Forestry. Keluarnya permenhut ini sempat mengundang
pertanyaan besar dari pemerhati kebijakan kehutanan nasional yang menengarai bahwa saat tersebut terjadi pergulatan konsep pemikiran di dalam Departemen
Kehutanan tentang social forestry versus hutan kemasyarakan. Hal tersebut terbukti dikemudian hari ketika diterbitkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
2
, serta Pemanfaatan Hutan sebagai penyempurnaan dari PP No.34 Tahun 2002,
yang kemudian drevisi lagi melalu PP No.3 Tahun 2008 tentang Revisi atas PP No.6 Tahun 2007 tersebut. Di dalam PP ini tertulis bahwa pelaksanaan kebijakan
pemberdayaan masyarakat setempat oleh pemerintah diatur dalam 3 bentuk kebijakan yaitu:
1 Kemitraan, merupakan pengaturan akses masyarakat setempat terhadap
kawasan hutan yang sudah dibebani ijin pemanfaatan di atasnya. Bentuk ini misalnya perlaku pada kawasan hutan yang dikelola oleh BUMN bidang
kehutanan misalnya Perhutani di Pulau Jawa, 2
Hutan Kemasyarakan, sebagai penegasan kembali dari kebijakan terkait yang telah berevolusi sebelumnya, dan
3 Hutan Desa, kawasan hutan yangdikelola untuk masyarakat setempat oleh
lembaga desa.
Dari ketiga bentuk kebijakan tersebut, pertanyaan besar para pemerhati kehutanan tentang adanya kontra konsep pemikiran antara social forestry dan
hutan kemasyarakatan terbukti Apalagi pada perkembangan selanjutnya, fokus pengembangan turunan PP tersebut lebih diberikan pada Hutan Kemasyarakatan
dengan terbitnya Permenhut No.3 Tahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan yang kemudian direvisi kembali melalui Permenhut No.18 Tahun 2009 dan
Hutan Desa dengan terbitnya Permenhut No.49 Tahun 2008 tentang Hutan Desa. Yang menarik adalah, hingga saat ini formulasi kebijakan tentang Hutan
Adat masih belum rampung padahal hal ini secara tertulis diamanatkan di dalam UU Kehutanan No 41 Tahun 1999. Apabila kondisi tersebut terus berlangsung,
dikhawatirkan isu-isu yang berkaitan dengan penyelesaian konflik di pembangunan sektor kehutanan dikhawatirkan tidak memperoleh porsi perhatian
yang memadai.
2
Pada periode ini struktur peraturan perundang-undangan merujuk kepada Undang Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang kemudian diganti
Undang Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam UU No 10 Tahun 2004 tersebut, dinyatakan bahwa setelah Undang-undangPeraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang, hirarki berikutnya adalah Peraturan Pemerintah. Menyesuaikan dengan UUU No.10 Tahun 2004, Departemen Kehutanan melakukan
pembenahan tata peraturan sektoral. Dikeluarkan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan merupakan respon
pembenahan tidak hanay payung kebijakan HKm, juga payung kebijakan hutan desa dan kemitraan.
5.2.3 Kebijakan Yang Berkaitan Dengan Pengelolaan Konflik Lingkungan Terkait Dengan Pemanfaatan Kawasan Hutan oleh Masyarakat
Tempatan.
A. Pengertian Sengketa Lingkungan Hidup dalam UUPLH No.231997.
Seperti diuraikan pada Bab-2, konflik atau sengketa dapat diartikan dari berbagai sudut pandangan. Demikian juja konflik atau sengketa lingkungan
hidup. Namun pengertian sengketa lingkungan yang dikemukakan di sini adalah menurut hukum positif yang berlaku. Menurut Pasal 1 angka 19 UUPLH,
sengketa lingkungan hidup adalah “perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran danatau perusakan
lingkungan hidup”. Meskipun menurut penjelasan otentik pasal tersebut disebutkan “cukup jelas”, namun di sini perlu diberi beberapa penjelasan
berkaitan dengan pengertian sengketa lingkungan hidup itu. Pertama, sengketa adalah perselisihan, konflik atau kontroversi yang
berkaitan dengan suatu tuntutan atau hak. Sengketa di sini ada kaitannya dengan perbedaan kepentingan. Sengketa lingkungan hidup muncul sebagai
perselisihan akibat tuntutan orang akan hak-hak mereka yang “ditolak” oleh pihak lain. Misalnya dalam Pasal 5 ayat 1 UUPLH disebutkan, bahwa setiap orang
mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Maka ketika ada pencemaran lingkungan misalnya, hak orang atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat itu telah dilanggar baca: ditolak, tidak dihiraukan oleh pelaku pencemaran.
Kedua, siapakah yang dimaksud dengan dua pihak atau lebih itu?. Yang dimaksud dengan dua pihak atau lebih itu adalah pihak pencemar danatau
perusak lingkungan pelaku serta pihak korban pencemaran danatau perusakan lingkungan. Secara teoritis, pihak pelaku itu bisa orang perseorangan, danatau
kelompok orang, danatau badan hukum ini sesuai dengan pengertian “orang” menurut Pasal 1 angka 24 UUPLH. Sementara itu pihak korban adalah manusia
dan lingkungan hidup. Seperti dikemukakan di atas, manusia yang menjadi korban adalah manusia yang kehilangan haknya atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat. Selain manusia, yang juga menjadi korban ialah lingkungan hidup itu
sendiri. Apakah lingkungan hidup itu?. Menurut Pasal 1 angka 1 UUPLH, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Terlepas dari kemungkinan bahwa definisi itu masih dapat diperdebatkan,
yang jelas yang menjadi korban pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup itu sangat luas. Bahkan dengan mengutip definisi lingkungan hidup
tersebut, kawasan hutan merupakan suatu ruang yang memenuhi unsur-unsur lingkungan hidup, sehingga sejatinya dapat ditafsirkan bahwa konflik status dan
pemanfaatan kawasan hutan dapat menjadi salah satu yang diatur di dalam UUPLH.
Lingkungan hidup memang tidak dapat menuntut “hak”nya seperti halnya manusia, atau berperkara sendiri di pengadilan, karena sifatnya yang inanimatif.
Namun kepentingannya diwakili oleh Organisasi Lingkungan Hidup. Organisasi Lingkungan Hidup inilah yang menurut Pasal 38 UUPLH bertindak untuk dan
atas nama atau mewakili lingkungan hidup yang menjadi korban itu. Organisasi Lingkungan Hidup mempunyai hak untuk mengajukan gugatan untuk mewakili
kepentingan lingkungan hidup, meskipun bukan class action seperti halnya masyarakat.
Di samping pihak-pihak yang disebutkan di atas, masih ada yang disebut sebagai “pihak-pihak yang berkepentingan”. Dalam penjelasan Pasal 31 UUPLH
disebutkan, bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui perundingan di luar pengadilan dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang
berkepentingan stakeholder, yaitu para pihak yang mengalami kerugian, yang mengakibatkan kerugian, instansi pemerintah yang terkait dengan subjek yang
disengketakan serta dapat melibatkan pihak yang mempunyai kepedulian terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Keterlibatan instansi pemerintah yang
dimaksud dapat saja menimbulkan pertanyaan mengenai netralitas sebagai syarat yang diutamakan oleh UUPLH sendiri.
Sekedar catatan saja, soal definisi itu sebenarnya dapat membingungkan pemahaman orang mengenai lingkungan hidup. Yang disebut lingkungan hidup
menurut UUPLH sendiri tidak hanya soal pencemaran dan perusakan saja tidak hanya soal daya dan keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia sendiri.
Maka seharusnya sengketa lingkungan hidup mencakup semuanya itu, termasuk soal kewenangan atau bahkan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup.
Pembatasan yang ada dalam definisi di atas itu hanya akan menimbulkan “kekacauan” pada pemahaman teoritis mengenai pengertian lingkungan hidup itu
sendiri.
B. Pengertian Penyelesaian Konflik Lingkungan Hidup dalam UUPLH
Dalam UUPLH tidak disebutkan pengertian penyelesaian sengketa atau konflik lingkungan hidup. Walaupun demikian yang dimaksud dengan
penyelesaian sengketa di sini adalah prosedur yang dilalui untuk mencari atau mendapatkan keputusan, solusi atau penyelesaian atas sengketa lingkungan
hidup karena pencemaran danatau perusakan, baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan. Prosedur yang dimaksud di sini adalah tahapan-
tahapan tertentu yang mesti dilalui sebelum sampai pada hasil akhirnya. Hasil akhir itu dapat berupa keputusan hakim perdata, sanksi pidana untuk proses
peradilan pidana, dan kesepakatan untuk penyelesaian di luar pengadilan. UUPLH
mengenal dua jalur penyelesaian sengketa lingkungan, yaitu
melalui pengadilan yang diatur dalam Pasal 30 ayat 1, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39, serta di luar pengadilan yang diatur
dalam Pasal 31 sd Pasal 33. Khusus untuk penyelesaian di luar pengadilan, UUPLH menentukan bentuk-bentuk alternatif, misalnya melalui mediasi,
arbitrase, negosiasi, dan lain-lain. Sebagai catatan, dalam Pasal 30 ayat 1 UUPLH disebutkan bahwa
penyelesaian sengketa baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan itu dilakukan berdasarkan pada pilihan sukarela dari pihak yang bersengketa.
Pilihan sukarela tersebut hanya berlaku untuk perbuatan melanggar hukum onrechtmatige daad yang bersifat keperdataan. Untuk tindak pidana
lingkungan hidup tidak ada pilihan lain, selain harus melalui pengadilan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 30 ayat 2 UUPLH yang menegaskan, bahwa
penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UUPLH sendiri. Tidak
mungkin seseorang yang telah diduga atau disangka melakukan tindak pidana lingkungan, atau yang sedang disidik oleh penyidik lalu meminta agar tindak
pidana itu diselesaikan di luar pengadilan saja, misalnya melalui negosiasi atau mediasi. Penyelesaian di luar pengadilan hanya berlaku bagi kasus-kasus
lingkungan hidup yang bersifat perdata. Selanjutnya Pasal 30 ayat 3 UUPLH menyatakan, bahwa apabila telah
dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh, apabila upaya tersebut
dinyatakan tidak berhasil oleh dalah satu atau para pihak yang bersengketa. Ini
berarti, bagi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan masih terbuka kemungkinan untuk diselesaikan lagi melalui pengadilan, kalau dalam
penyelesaian di luar pengadilan itu tidak tercapai kata sepakat. Boleh juga dikatakan, bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
tidak bersifat final, jika salah satu atau para pihak yang sebelumnya memilih jalur itu menyatakan penyelesaian tersebut tidak berhasil.
Pasal-pasal yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan itu adalah Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 33 UUPLH.
Dengan hanya tiga pasal itu, sebenarnya UUPLH sangat sedikit mengatur penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan. Padahal, sering
disebutkan dalam berbagai pustaka, bahwa penyelesaian di luar pengadilan ini lebih menguntungkan para pihak sendiri, terutama pihak yang menderita
kerugian. Dengan kekurangan pengaturan itu sebenarnya agak menghambat penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan. Karena kekurangan
pengaturan itu pula, maka dibutuhkan berbagai peraturan pelaksanaan agar pasal-pasal tersebut dapat dipergunakan, di antaranya:
1 Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2000 Tentang Lembaga Jasa Penyedia Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkunagn Hidup Di Luar Pengadilan
2 Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 77 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian
Sengketa Lingkungan Hidup Di Luar Pengadilan LPJP2SLH Pada Kementerian Lingkungan Hidup
3 Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 78 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Pengelolaan Permohonan Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup Di Luar Pengadilan Pada Kementerian Lingkungan Hidup 4 Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 19 Tahun 2004
Tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran Dan Atau Perusakan Lingkungan Hidup
C. Penyelesaian Konflik Lingkungan dalam UU No.411997 Tentang Kehutanan dan UU Pokok No.51960 Tentang Peraturan Dasar Pokok
Pokok Agraria
Sumberdaya hutan merupakan unsur yang meniasi bagian dari sistem lingkungan, oleh karenanya penyelesaian sengketa lingkungan secara teoritis
mancakup penyelesaian sengketa sumberdaya hutan. Mengenai jalur
penyelesaian sengketa tersebut juga dapat terdapat di dalam UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Pasal 74 ayat 1 UU itu menyebutkan, bahwa
penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang
bersengketa. Demikian juga, bahwa penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU
Kehutanan itu Pasal 75 ayat 1. Selanjutnya dinyatakan pada Pasal 75 ayat 2 bahwa penyelesaian
sengketa kehutanan di luar pengadilan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti-rugi, dan atau
mengenai bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan. Tidak ada satupun pasal yang memuat pengaturan tentang
sengketa status lahan di dalam kawasan hutan, hal-hal yang berkaitan dengan topik tersebut lebih banyak diatur dalam UU Pokok Agrararia beserta peraturan-
peraturan yang menyertainya. Namun pada praktek yurisdiksi di lapang, masalah sengketa status tanah di dalam kawasan hutan seringkali sulit dilaksanakan. Ada
resistensi kebijakan Departemen Kehutanan untuk mempertahankan luas kawasan hutan yang walau secara hukum pertanahan, kebijakan tersebut masih
lemah. Menurut Harsono 1997, seharusnya dari pandangan hukum pertanahan,
sebidang tanah yang tumbuh hutan di atasnya, pengusaan tanahnya diatur oleh Hukum Tanah UUPA. Pengelolaan haknya diberikan kepada Departemen
Kehutanan seperti yang dimandatkan dalam Undang-undang Kehutanan. Dalam hal ini pemberian dan pengakuan hak-hak atas tanah akan diterbitkan oleh BPN
dengan menggunakan Hukum Pertanahan. Di sisi lain Sumardjono 2001 dan Fay dan Sirait 2004 pada saat proses revisi Undang Undang Pokok Kehutanan
No. 5 tahun 1967 menyatakan bahwa ruang lingkup Rancangan Undangundang Kehutanan seharusnya dibatasi pada pengaturan tentang
pemanfaatan sumber daya hutan. Penentuan kawasan hutan diperlukan untuk membatasi luasnya kewenangan pengelolaan pemanfaatan sumber daya hutan
dan tidak dimaksud untuk memberikan wewenang untuk mengatur tentang penguasaan tanah di dalam kawasan hutan tersebut. Pemberian hak untuk
memanfaatkan kawasan hutan HPH HPHTI dilakukan oleh Departemen Kehutanan, sedangkan pemberian hak atas tanah, misalnya HGU dan lain-lain
dilakukan oleh BPN.
Dengan pemahaman dua argumentasi pakar hukum pertanahan tersebut maka Departemen Kehutanan hanya dapat memberikan hak pengusahaan dan
hak pemungutan hasil hutan, sedangkan segala proses yang berkaitan dengan penguasaan atas tanah dilakukan oleh instansi lain BPN.
Berbeda halnya dengan UUPLH, Undang-undang Kehutanan tidak mengatur adanya lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa di luar
pengadilan. Pasal 75 ayat 3 menyatakan bahwa dalam penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat
digunakan jasa pihak ketiga yang ditunjuk bersama oleh para pihak dan atau pendampingan organisasi non-pemerintah untuk membantu penyelesaian
sengketa kehutanan. Dengan demikian ada ruang hukum bagi LSM berperan dalam berbagai penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan, namun
ayat ini belum dilanjutkan dengan pembuatan peraturan yang melengkapinya. Akibatnya, ketika terdapat LSM yang mencoba melakukan mediasi sengketa
kawasan hutan acapkali eksistensi hukum sebagai mediator “resmi” selalu dipertanyakan bahkan tidak jarang dianggap sebagai “provokator” terutama
ketika pada kegiatan fact finding dalam proses mediasi tersebut ditemukan justri kebijakan kehutananlah yang menjadi penyebab sengketa.
D. Isu Penyelesaian Konflik dalam Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Sektor Kehutanan.
Sejauh ini amat disayangkan tidak ada turunan dari UU Kehutanan No.41 yang secara spesifik mengatur bagaimana penyelesaian konflik status dan
pemanfaatan kawasan hutan yang timbul dari sebuah pelaksanaan kebijakan sektor kehutanan diselesaikan, termasuk mekanisme pengaduan apabila
klaimtuntutan datang dari masyarakat setempat dari dalam dan atau sekitar kawasan hutan. Pada tahun 2008 dikeluarkan Permenhut No.48 tapi hanya
mengatur tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dengan Satwa Liar. Ada kesan bahwa pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan,
meletakkan upaya penyelesaian sengketakonflik ditempuh melalui jalur peradilan formal yang sulit diakses oleh masyarakat setempat, baik secara
individu maupun kelompok, apalagi masyarakat di dalam danatau di sekitar hutan yang pada umumnya lemah secara sosial-politik.
Dalam pelaksanaan kebijakan hutan kemasyarakatan, terjadi kemunduran yang amat signifikan bagaimana Departemen Kehutanan
memberikan perhatian dalam penyelesaian konflik yang terjadi. Baik di dalam Permenhut No. 37 Tahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan dan Permenhut
No. 18 Tahun 2009 tentang Perubahan atas PP No.37 Tahun 2007, tidak ada satupun pasal yang mengatur bagaimana konflik diselesaikan oleh masyarakat
setempat dan bagaimanai masyarakat luar bisa melakukan pengawasan publik. Padahal, dibandingkan dengan SK Menhut No.31 Tahun 2001 tentang Hutan
Kemasyarakatan yang lahir di awal deade reformasi nasional, walau dirasa masih amat terbatas, diatur bahwa:
1 Dalam rangka kesiapan kelembagaan masyarakat setempat, terbentuknya kelompok Hutan Kemsyarakatan setidaknya memiliki aturan-aturan internal
kelompok yang mengikat dalam pengambilan keputusan, penyelesaian konflik, dan aturan lainnya dalam pengelolaan organisasi Pasal 12 Ayat
1.a. 2 Apabila pengelolaan hutan kemasyarakatan menimbulkan kerugian bagi
kepentingan umum dari segi lingkungan hidup, masyarakat luas dapat melakukan gugatan perwakilan kepada Pemerintah KabupatenKota, dan;
Apabila gugatan perwakilan diterima maka dapat dilakukan peninjauan kembali atas izin kegiatan hutan kemasyarakatan atau perubahan rencana
pengelolaan Pasal 54 Pengawasan oleh Masyarakat Luas, Ayat 1 dan Ayat 2. Implikasi dari pasal ini, masyarakat luas dapat melakukan kontrol publik,
tidak hanya kepada masyarakat kelompok hutan kemasyarakatan namun juga kepada Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah selaku
penyelenggara kebijakan, termasuk kontrol terhadap penyelesaian konflik- konflik yang ditimbulkan.
Permasalahan pembangunan kehutanan secara umum disebabkan oleh lemahnya kapasitas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, masyarakat
termasuk dunia usaha. Juga belum tersedianya pra-syarat pemungkin seperti kepastian hak atas sumberdaya hutan, infrastruktur ekonomi, dan lain-lain. Untuk
itu, Dewan Kehutanan Nasional DKN yang terbentuk pada September 2006 melalui Kongres Kehutanan Indonesia IV dengan 4 perangkat presidium yang
terdiri dari lima kelompok konstituen yaitu, pemerintah, bisnis, masyarakat, LSM, dan akademisi pada tanggal bulan Mei tahun 2007 telah menginisisasi
konsolidasi para pihak untuk mempercepat restrukturisasi kehutanan. Pada akhir tahun 2007, DKN dalam laporan tahunannya merancang berbagai gagasan
bagaimana konflik kehutaan di Indonesia akan diselesaikan DKN, 2007. Di
dalam 4 agenda DKN Hutan dan Tata Kepemerintahan, Hutan dan Ekonomi, Hutan dan Kemiskinan, dan Hutan dan Lingkungan, isu-isu yang berkaitan
dengan penyelesaian konflik pendataan, pengembangan metodelogi, penyelesaian, dan transformasi kelembagaan menjadi salah satu prioritas dalam
masing-masing agenda tersebut. Sebagai langkah lanjut, pada tahun 2009 DKN membentuk Desk Resolusi Konflik untuk melaksanakan agenda tersebut.
Kehadiran DKN dan Desk Resolusi Konflik memberikan secercah harapan bagi khalayak kehutanan tentang terselesaikannya konflik-konflik kehutanan yang
banyak terbengkalai hingga saat ini. Walaupun keterlibatan pemerintah dalam lahirnya dan bagaimana DKN bekerja cenderung dominatif sehingga banyak
pihak meragukan apakah DKN mampu mengemban prinsip-prinsip netralitas dalam penyelesaian konflik kehutanan, namun publik menunggu hasil-hasilnya.
E. Penyelesaian Konflik Di Dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah
Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, penyelesaian sengketakonflik terdapat dalam Pasal 198 Ayat :
1 Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kabupatenkota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan
perselisihan dimaksud. 2 Apabila terjadi perselisihan antarprovinsi, antara provinsi dan
kabupatenkota di wilayahnya, serta antara provinsi dan kabupatenkota di luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan
dimaksud. 3 Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 bersifat final.
Pasal tersebut menggunakan istilah perselisihan dan yang diatur lebih pada fungsi pemerintahan. Selain itu pula ia mengandung makna bahwa yang
diselesaikan lebih pada perselisihan kewenangan antar tataran pemerintah danatau lembaga pemerintah. Namun demikian, apabila di dalam perselisihan
terdapat materi yang menyangkut pengaduan masyrakat, dapat ditafsirkan bahwa pasal ini dapat menjadi landasan hukum oleh masyarakat sebagai dasar
untuk menyampaikan pengaduan dan penyelesaian konflik, terutama yang berkaitan dengan tumpang tindih kewenangan antar sektor misalnya antara
Departemen Kehutanan dan BPN dalam kasus status tanah di kawasan hutan maupun antar tataran pemerintah misalnya batas fisik di lapang antara kawasan
hutan konservasi dengan wilayah administrasi pemerintah setempat. Hanya
mekanisme penyelenggaraannya di daerah, hingga kini tidak pernah jelas Kebuntuan upaya penyelesaian konflik terbentur pada:
1 Tidak tersedianya mekanisme pengaduan dan penyelesaian konflik melalu jalur non-peradilan yang diterapkan oleh instansi pemerintah daerah paling
terkait yaitu Bapedalda, Dinas Kehutanan, dan Kantor BPN, baik secara sektoral maupun lintas sektoral.
2 Terjadinya pluralisme penafsiran oleh instansi eksekutif pemerintah dan yudikatif di daerah dalam menilai bahwa apakah suatu peristiwa konflik
disebabkan oleh tumpang tindih antar-kebijakan atau muncul dari sebuah klaim oleh masyarakat, atau murni disebabkan oleh pelanggaran hukum.
Contohnya, sekelompok masyarakat yang memanfaatkan lahan di dalam kawasan karena keyakinannya bahwa lahan itu milik mereka, ditengarai
sebagai perambah dan murni menjadi subyek pelanggaran hukum. 3 Kondisi butir 1 dan butir 2 tersebut mengakibatkan masyarakat melihat
lembaga legislatif sebagai pintu alternative bagi mereka dalam menyampaiakn tuntutan serta upaya penyelesaian konflik lingkungan yang
dihadapi. Banyak kasus diadukan ke DPRD, seperti kasus konflik status kawasan hutan lindung Registes 45B Sumberjaya kabupaten Lampung Barat
yang telah diuraikan pada Bab-4, tapi kemudian itupun tidak menghasilkan opsi-opsi penyelesaian yang permanen dan bahkan hanya menjadi konsumsi
kepentingan infrastruktur politik semata.
F. Penyelesaian Konflik Di Dalam UU Tata Ruang
Orientasi penyelenggaraan tata ruang dipengaruhi oleh ideologi hukum tata ruang yang memayunginya McAuslan, 1980 yaitu:
1 Private Interest Ideology – keberadaan hukum untuk melindungi hak dan kemerdekaan individual common law perspective
2 Public Interest Orthodox public administration Ideology – keberadaan hukum untuk memfasilitasi pengamblan keputusan oleh birokrasi statutory
perspective, dan 3 Public Participation Ideology – keberadaan hukum untuk menyediakan
partisipasi publik secara lebih luas dalam pembuatan keputusan penataan ruang.
Konsensus pilihan terhadap salah satu ideologi hukum penataan ruang tersebut akan berimplikasi pada jawaban atas “apa, kenapa, bagaimana, kapan, dan oleh
siapa” yang dipertanyakan dalam penataan ruang. Menurut Andi Oetomo 2006, secara hukum, di Indonesia, khususnya
untuk ‘ruang darattanah’ berangkat dari “public interest ideology” kepentingan umum di atas kepentingan privat, sehingga:
• Selain UUPA UU No. 560 juga terdapat UU No. 201961 tentang “Pencabutan Hak Hak Tanah Dan Benda Benda Yang Ada Diatasnya”,
disertai dengan Inpres No. 9 tahun1973 yang kemudian diganti dengan Keppres No 55 tahun 1993 dan akhirnya diganti kembali dengan Perpres 36
tahun 2005. • UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang juga menganut “public
interest ideology”, termasuk dengan kelengkapannya seperti PP No. 69 Tahun 1996 Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang dan
Permendagri No. 8 Tahun 1998 Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah.
Berdasarkan hal tersebut yang di atas, nampak bahwa kebijakan penataan ruang di Indonesia secara de jure mengindikasikan pemihakan pada
“public interest ideology”. Namun dalam fakta penyelenggaraan penataan ruang yang justru dapat berjalan selama ini adalah apabila dilaksanakan secara
“partisipatif” dan hal ini dapat dibuktikan dengan adanya PP No.69 Tahun 1996. Walaupun di dalam PP tersebut partisipasi masyarakat masih terbatas sebagai
penyedia indormasi, secara de facto dapat dinyatakan bahwa kebijakan penataan ruang Indonesia menuju pada ideologi ke tiga, yaitu public participation
ideology dimana pada prinsipnya digunakan proses negosiasi dan musyawarah dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang
kepentingan publik dan privat dari masyarakat sama-sama dipertimbangkan. Wacana konflik penataan ruang perlu ditinjau dari tipologi konflik di sektor
ini. Menurut Minnery, 1985, tipologi konflik dalam penataan ruang terdiri atas: 1 Konflik terhadap over penataan ruang; mencakup konflik dalam dimensi
manusia, konflik dalam konteks sosial, dan konflik dalam konteks negara- bangsa,
2 Konflik mengenai of penataan ruang; mencakup metoda pendekatan, sistem dan desain, dan aspek politik,
3 Konflik dalam in penataan ruang; mencakup konflik sumber daya alam, fisik, informasi, dll, dan
4 Konflik melalui through penataan ruang; mencakup konflik akibat profesi, konflik antar organisasi pemerintah versus organisasi profesional, dll.,
konflik akibat alat dan teknik. Berdasarkan tipologi konflik tersebut, dapat diidentifikasi bahwa konflik
lingkungan di dalam penataan ruang kawasan hutan di Indonesia mencerminkan semua tipologi, contohnya:
• Konflik hutan adat dan wilayah masyarakat adat merupakan contoh tipologi konflik terhadap penataan ruang dalam konteks pranata sosial kelembagaan
masyarakat adat. Di dalam UU No.41 tentang Kehutanan, masyarakat adat diakui apabila kelembagannya masih berlangsung dan diakui oleh peraturan
daerah. Hal ini tentunya amat absurd untuk didapati di lapang karena kelembagaan masyarakat adat sudah terleburkan oleh keluarnya Undang-
undang No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Selain itu, peraturan derah tentang masyarakat adat pada umumnya berisi dinamika masyarakat
adat dalam hal budaya customary ceremony dan bukan dalam hal hak atas sumberdaya alam. Di Propinsi Lampung misalnya, pada tahun 1978 terjadi
“penyerahan” secara masal oleh Kepala Negeri untuk melaksanan sistem penyelenggaraan pemerintah desa dan meninggalkan sistem pemerintahan
negeri. Hal ini kemudian memicu konflik batas desa yang telah memecah unit social masyarakat adat secara geografi termasuk negeri-negeri yang berada
di sekitar kawasan hutan. • Tumpang tindih klaim atas kawasan hutan yang dipicu karena perbedaan
antara metode teknis penunjukkan kawasan iklim, fisik lahan, kepentingan stratgeis yang dipakai oleh Departemen Kehutanan dengan pendekatan
sejarah dan batas-batas alam yang dipakai secara tradisional oleh masyarakat setempat, merupakan contoh dari konflik mengenai penataan
ruang. • Tipologi
konflik dalam tata ruang dapat dicontohkan oleh konflik yang terjadi karena kompetisi terhadap penguasaan sumberdaya alam dan ini kerap
terjadi pada sector-sektor pembanguan berbasis lahan sekala besar seperti pembukaan perkebuna kelapa sawit oleh swasta.
• Konflik melalui tata ruang yang ditimbulkan dari perbedaan kepentingan profesi dan lembaganya dapat dicontohkan bagaimana saat ini terdapat
banyak konflik yang terjadi antara sektor pertambangan dan sektor kehutanan.
Penyelesaian konflik penataan ruang di dalam kawasan hutan pada dasarnya sudah menjadi agenda politis oleh siapa saja yang memimpin kedua
sektor tersebut. Pada tahun 2003 pada Rapat Kerja Nasional Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional BKTRN, Menteri Permukiman Dan Prasarana Wilayah
selaku Ketua Tim BKTRN menyatakan bahwa dalam melaksanakan otonomi daerah dijumpai berbagai isu dan permasalahan pembangunan yang bersifat
strategis yang membutuhan suatu pendekatan atau instrumen yang mampu menterpadukan kebijakan dan strategi pembangunan, serta mensinergikan
pemanfaatan sumberdaya secara optimal bagi kepentingan masyarkat luas. Beberapa isu dan permasalahan dimaksud antara lain 1 terjadinya konflik
penataan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, 2 terjadinya percepatan kerusakan lingkungan hingga taraf yang mengkhawatirkan, 3 terjadinya
kesenjangan tingkat perkembangan antar wilayah di berbagai bagian wilayah nasional, serta 4 lemahnya koordinasi dalam penyelenggaraan penataan ruang,
baik di pusat dan daerah. Sementara itu, Menteri Kehutanan Kabinet Bersatu Jilid-2. Zulkifli Hasan, menegaskan, dalam Program 100 Hari kepemimpinannya,
pihaknya akan segera menyelesaikan konflik tata ruang kehutanan Tempo interaktif, 16 November 2009
Komitmen-momitmen serupa acapkali dilakukan namun sejarah menunjukan bahwa yang diselesaikan hanya simpton-simpton dari suatu
peristiwa konflik tanpa diikuti perubahan kebijakan secara sistemik dan siginifikan yang menjadi penyebabnya. Dengan mengambil contoh penetapan TGHK Tata
Guna Hutan Kesepakatan, sejauh ini yang bersepakat hanya kepentingan antar sektor danatau antara tataran pemerintah, tanpa kesertaan masyarakat secara
aktif apakah mereka menjadi bagian yang turut menyepakati TGHK tersebut. Pengaturan penyelesaian konflik penataan ruang sedikit sekali disinggung
di dalam undang-undang Penataan Ruang yang terbaru yaitu UU NO.26 Tahun 2007. Di dalam Pasal 67 tentang Penyelesaian Sengketa hanya dijelaskan
bahwa: 1 Penyelesaian sengketa penataan ruang pada tahap pertama diupayakan
berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat Ayat 1. 2 Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak
diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian
sengketa melalui pengadilan atau di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan Ayat 2.
Namun pada kenyataannya, apabila masyarakat tidak menyepakati pelaksanaan kebijakan penataan ruang, pada kasus pembebasan tanah misalnya, maka
pemerintah cukup meninggalkan kompensasi uang ganti rugi di Pengadilan Negeri setempat yang dihitung perdasarkan estimasinya sendiri, sementara di
lapangan pengambil alihan lahan dan pencabutan hak masyarakat atas tanah yang akan dijadikan untuk kepentingan umum terus dilakukan dan bahkan
secara paksa
3
. Artinya, ketika pemerintah menafsirkan kepentingan publik atas perspektif development right, maka kebijakan pemerintah cenderung menganut
public interest ideology dimana pembangunan adalah domain publik pemerintah dan ia berhak mengambil hak privat. Padahal, di dalam suatu kewenangan
dimana didalamnya hak dan kewajiban melekat satu sama lain Bagir Manan dalam Ridwan HR, 2006, maka pemerintah wajib menghargai hak privat warga
negara terutama jika hak privat tersebut sebelumnya sudah diakui oleh negara. Apabila kecenderungan tersebut terus berlangsung, maka konflik penataan ruang
termasuk kawasan hutan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan akan terus terjadi. Ke depan, selain dibutuhkan perubahan kebijakan secara sistemik,
ideologi hukum penataan hutan yang sepatutnya ditempuh dengan public participation ideology secara utuh.
.
G. Pengaduan Perselisihan di Dalam UU Pelayanan Publik
Seluruh lembaga pemerintah, bahkan termasuk badan usaha milik pemerintah, berdasarkan sudut pandang peningkatan pelayanan publik sesuai
dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia wajib memiliki mekanisme mengelola pengaduan dan penyelesaian
konflik seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
pada tanggal 18 Juli 2009. Undang-undang ini penting karena umumnya konflik lingkungan yang terjadi di dalam pemanfaatan kawasan hutan oleh masyarakat
pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 2:
3
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
1 Kelompok pertama: Konflik yang muncul karena ditetapkan dan atau dilaksanakannya suatu peraturan danatau kebijakan pemerintah ternyata
tidak mampu menjawab isu-isu yang baitan atas klaim masyarakat tempatan atas sumberdaya suatu kawasan hutan Negara. Misalnya klaim tanah oleh
masyarakat adat, klaim kepemilikan tanah oleh masyarakat tempatan atau suatu kebijakan perluasan danatau penunjukkan kawasan hutan,
2 Kelompok kedua: Konflik yang muncul murni disebabkan oleh pelangaran yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok masyarakat tempatan dan
murni menjadi subjek KUHP. Misalnya pembalakkan liar, perburusan satwa lindung, dan lain-lain.
Konflik yang tergolong ke dalam kelompok pertama tersebut adalah konflik-koflik yang sejatinya masuk ke dalam mekanisme pengaduan yang dimaksud di dalam
undang-undang tersebut. Dalam Undang-undang No.25 Tahun 2009 tersebut, setiap
penyelenggara pemerintahan bahkan termasuk didalamnya adalah BUMN diwajibkan untuk membangun mekanisme untuk mengelola pengaduan. Dari
sudut pandang ini, dapat dikatakan bahwa tidak ada alasan bagi sebuah lembaga pemerintah untuk tidak membangun kelembagaan pengaduan dan
penanganan konflik atas sebuah kewenangan yang diberikan kepadanya. Undang-undang ini penting untuk diselenggarakan oleh instansi sektoral. Untuk
lebih jelasnya tentang bagaimana UU No. 25 tahun 2009 mengatur tentang kelembagaan pengaduan ini dapat dilihat dalam pasal-pasal yang terdapat dalam
Kotak-1 halaman berikut. 5.2.4 Pentingnya Kebijakan Afirmatif dan Kebijakan Responsif untuk
Penyelesaian Konflik Lingkungan di dalam Kawasan Hutan
Kebijakan afirmatif affirmative policy adalah kebijakan yang memberikan kepastian untuk bertindak, kemudahan-kemudahan, atau memberikan
pengecualian, termasuk jika payung hukum yang lebih tinggi belum tersedia. Hasil wawancara pada saat penelitian ini berlangsung dengan seorang praktisi
hukum sumberdaya alam lembaga HuMA, Ricardo Sinamarta, menyatakan bahwa kebijakan afirmatif merupakan hasil dari kewenangan diskresioner, yaitu
kewenangan untuk “menyimpang” dari struktur undang-undang karena beberapa hal yaitu:
1 Jika peraturan perundangan yang lebih tinggi tidak tersedia.
2 Jika peraturan dan perundangan yang mengatur tentang subjek tidak jelas. 3 Disusun untuk orientasi kemanfaatan dan kepentingan umum dan bukan
orientasi kepastian karena kasus empirik memerlukan kebijakan segera, misalnya kelestarian lingkungan.
Kotak-5.1
Mekanisme Pengaduan dan Penyelesaian di Dalam UU No.252009 tentang Pelayanan Publik.
Pasal 36 1
Penyelenggara berkewajiban menyediakan sarana pengaduan dan menugaskan Pelaksana yang kompeten dalam pengelolaan pengaduan.
2 Penyelenggara berkewajiban mengelola pengaduan yang berasal dari penerima
pelayanan, rekomendasi ombudsman, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
KabupatenKota dalam batas waktu tertentu.
3 Penyelenggara berkewajiban menindaklanjuti hasil pengelolaan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 2.
4 Penyelenggara berkewajiban mengumumkan nama dan alamat penanggung jawab
pengelola pengaduan serta sarana pengaduan yang disediakan. Pasal 40
1 Masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik kepada Penyelenggara, ombudsman, danatau Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KabupatenKota.
2 Masyarakat yang melakukan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dijamin hak-haknya oleh peraturan perundang-undangan.
3 Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan terhadap: a. Penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban danatau melanggar
larangan; dan b. Pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan.
Kewenangan diskresioner diberikan kepada pejabat atau badan tata usaha negara, dan dipergunakan untuk hal-hal yang “konkrit”. Dalam melaksanakan
kewenangan tersebut oleh Pemerintah Daerah, badan tata usaha di daerah memiliki kewenangan atributis yaitu kewenangan yang diberikan untuk membuat
perda seperti halnya diatur dalam UU No.322004 tentang Pemerintahan Daerah Lihat halaman 13 UU322004.
Selain kebijakan afirmatif, dalam penyelanggaran ketata negaraan, pembuatan kebijakan responsif responsive regulation dapat dilakukan.
Kebijakan responsif merupakan peraturan dan perundangan yang akomodatif terhadap kebutuhan empiris. Implikasinya bisa saja menyimpang secara
struktural dari Tata Urutan Peraturan dan Perundang-undangan namun secara normatif masih berpijak kepada kepentingan umum yang menjadi tanggung-
jawab pemerintah untuk melayaninya. Oleh karenanya, bentuk-bentuk penyelesaian konflik secara alternative Arternative Dispute Resolution diluar
payung kebijakan yang mengatur untuk itu, dapat dibenarkan sepanjang para pihak yang berkonflik menyepakati untuk menempuhnya dan sepanjang
kesepakatan yang dihasilkan adalah untuk kepentingan umum dalam arti luas. Fasilitasi pelaksanaan ADR tersebut dapat dilakukan oleh individu atau lembaga
independen walau yang bersangkutan tidak memiliki sertifikasi sebagai seorang mediator misalnya.
5.3 Hasil dan Pembahasan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik
Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya suatu konflik ada yang
tunggal dan ada yang majemuk dan bahkan bertingkat berbentuk seperti pohon masalah. Pada penelitian ini, faktor-faktor yang menjadi akar konflik adalah
majemuk terdiri dari 26 faktor akar konflik yang selanjutnya di dalam analisis jalur disebut sebagai peubah eksogen dan kemudian dikelompokkan ke dalam 9
sub-model. Penanganan konflik merupakan serangkaian upaya untuk menciptakan
perdamaian. Dengan pertimbangan skala prioritas penyelesaian konflik, maka tentunya tidak semua akar konflik diselesaikan secara bersamaan, melainkan
secara bertahap utamanya terlebih dahulu pada akar konflik yang paling peka dan paling berpengaruh terhadap terjadinya konflik. Di dalam penanganan
konflik, penanganan yang bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak
yang bersengketa melalui penyelesaian akar konflik yang paling dominan disebut sebagai Pengelolaan Konflik Fisher et al, 2001. Pengelolaan konflik conflict
management berangkat dari pemahaman bahwa tidak semua konflik dapat diselesaikan conflict settlement, conflict resolution, konsekuensinya
penggunaan terminolgi conflict management mengandung makna bahwa pengendalian konflik tidak selamanya mensyaratkan sebuah penyelesaian
sebagai hasil akhir namun dapat berupa perubahan situasi ke arah yang lebih baik dan konstruktif Solberg dan Miina, 1997. Implikasinya terhadap analisis
statistika yang dilakukan di dalam penelitian ini adalah, pada masing-masing model tidak akan dilihat seberapa nyata significance masing-masing peubah
eksogen peubah penyebab berpengaruh terhadap peubah endogen peubah akibat, melainkan lebih diutamakan untuk mengetahui dari seluruh peubah
eksogen yang ada, peubah eksogen yang manakah yang paling berpengaruh terhadap peubah endogen dengan cara mengetahui koefisien jalur yang memiliki
nilai terbesar.
5.3.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel
Eksternalitas
Pada submodel eksternalitas, peubah endogen motivasi keputusan konversi lahan kawasan oleh responden X
6
dipengaruhi oleh peubah-peubah eksogen bencana alam antropogenik X
1
, penerimaan kotor komoditas utama yang dihitung setara dengan beras yang dikonsumsi responden X
2
, informasi pasar X
3
, pengaruh pasar X
4
, dan sarana pendukung X
5
. Dari hasil analisis jalur diperoleh koefisien pengaruh masing-masing
peubah eksogen seperti pada Persamaan 21 dan Gambar 5.1 berikut. X
6
= - 0,058X
1
– 0,024X
2
+ 0,041X
3
+ 0.049X
4
+ 0.036X
5
…… 21 Keterangan:
X
6
= peubah akibat keputusan konversi lahan kawasan oleh responden X
1
= peubah bencana alam antropogenik X
2
= peubah penerimaan kotor komoditas utama yang dihitung setara dengan beras yang dikonsumsi responden
X
3
= peubah informasi pasar X
4
= peubah pengaruh pasar X
5
= peubah sarana pendukung
Gambar 5.1. Diagram Jalur Sub-model Eksternalitas.
Dari kelima peubah eksogen yang dianalisis, peubah bencana alam antropogenik X
1
berpengaruh negatif sebesar 0,058 dan jika dibandingkan
dengan peubah eksogen lainnya, merupakan akar konflik yang paling tinggi mempengaruhi motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan
Bencana alam antropogenik X1
Penerimaan Kotor X2
Informasi pasar X3
Sarana pendukung X5
Keputusan Konversi Lahan
Kawasan Oleh Responden X6
Pengaruh Pasar X4
-0,024 0,041 -0,049 0,036
-0,058
hutan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya. Bencana alam antropogenik diukur dari ragam
bencana akibat ulah manusia yang pernah dihadapi responden dalam mengolah lahan garapan mereka di luar kawasan. Di dalam penelitian ini, bencana-
bencana tersebut adalah: 1 kebakaran hutan, 2 erosi dan longsor, 3 banjir dan penggenangan, dan 4 serangan penyakit dan hama tanaman. Berpengaruh
negatif menunjukkan bahwa semakin beragam bencana yang mereka hadapi di luar kawasan, maka motivasi keputusan responden dalam mengkonversi lahan
kawasan akan semakin rendah. Berdasarkan hasil analisis deskriptif peubah eksogen X
1
, sebesar 70 persen responden menyatakan menghadapi 3 jenis bencana alam antropogenik
Tabel 5.3.1. Sementara responden yang menyatakan menghadapi 4 jenis bencana adalah sebesar 16 persen, sedangkan responden yang menyatakan
menghadapi setidaknya 1 hingga 2 jenis bencana adalah sebesar 13 persen.
Tabel 5.3.1. Analisa deskriptif peubah bencana alam antropogenik X
1
Peubah Eksogen
Skor Frekuensi
Persen Deskripsi Skor
X
1
,00 1
1,0 SKOR = 1, jika responden menyatakan tidak
pernah ada bencana antropogenik. SKOR = 2, jika responden memilih satu buah
bencana antropogenik. SKOR = 3, jika responden memilih dua buah
bencana antropogenik. SKOR = 4, jika responden memilih tiga buah
bencana antopogenik . SKOR = 5, jika responden memilih empat buah
bencana antropogenik. Bencana antropogenik: 1 Kebakaran hutan, 2
Erosi dan longsor, 3 Banjir dan penggenangan, 4 Serangan penyakit dan hama tanaman.
1,00 2,00
2 2,0
3,00 11
11,0 4,00
70 70,0
5,00 16
16,0 Total
100 100,0
Sumber: Wawancara, data diolah dengan program SPSS 11.
Berdasarkan analisis deskriptif tersebut dapat dinyatakan bahwa semakin banyak bencana alam yang dihadapi oleh responden di luar kawasan yang
dicerminkan oleh nilai skor yang semakin tinggi maka motivasi keputusan responden dalam mengkonversi lahan kawasan akan semakin surutrendah.
Hubungan terbalik tersebut dapat ditafsirkan bahwa responden memiliki perhitungan kehawatiran akan terjadinya bencana serupa jika membuka lahan
dan bertani di dalam kawasan hutan. Rendah tingginya motivasi responden dalam mengkonversi lahan dicerminkan oleh ragam motivasi yang dimiliki