Kebersediaan Responden dan Preferensi Bentuk Perundingan
Tabel 5.4.6 Kebersediaan Responden Untuk Hadir dalam Perundingan
Pernyataan kesediaan hadir dalam perundingan Frekuensi
Persen Valid
Tidak bersedia 4
9,8 Bersedia hadir langsung
28 68,3
Bersedia hadir diwakili 7
17,1 Total
39 95,1
Missing Tidak menjawab
2 4,9
Total 41
100,0
Berdasarkan hasil analisis gaya konflik dan kebersediaan responden untuk berunding, selanjutnya melalui wawancara dilakukan analisis kualitatif
preferensi responden tentang bentuk perundingan yang diinginkan. Seperti telah diuraikan pada Bab 2, beberapa bentuk perundingan yang sering dipergunakan
dalam penyelesaian konflik yaitu negosiasi, mediasi, fasilitasi, arbitrasi, dan proses hukum ligitasi. Pada analisis preferensi ini, 1 bentuk lainnya yaitu
konsiliasi ditambahkan ke dalam pilihan, sehingga total menjadi 6 pilihan Kotak 4. Sebelum memilih preferensinya, responden diberi kesempatan untuk
memahami definisi bentuk-bentuk tersebut.
Kotak 5.5 Preferensi Bentuk Perundingan Yang Mencerminkan Oleh Pernyataan
Responden
1
Saya merasa sulit untuk memulai KOMUNIKASI karena masing-masing pihak sulit untuk saling bertemu untuk mengetahui perbedaan yang terjadi. Saya memerlukan pihak ketiga
yang netral untuk membantu menjembatani komunikasi agar penyelesaian perbedaan bisa dimulai. KONSILIASI.
2
Saya merasa sulit untuk melakukan pertemuan dengan pihak lain untuk menyampaikan perbedaan yang saya miliki. Saya memerlukan pihak ketiga yang netral untuk membantu
memfasilitasi PERTEMUAN termasuk menyusun agenda waktu dan tempat, bentuk pertemuan, peran masing-masing pihak, dan mempersiapkan agar jika mungkin
pertemuan tersebut bisa menghasilkan kesepakatan. FASILITASI
3
Saya menginginkan masing-masing pihak secara sukarela untuk bertatap muka langsung untuk sama-sama mengidentifikasi perbedaan, saling memahami perbedaan kepentingan
dan kebutuhan, mencoba untuk menemukan berbagai pilihan penyelesaian konflik, dan saling menawarkan syarat, kondisi, dan manfaat dari setiap kesepakatan yang ingin
dicapai. NEGOSIASI.
4
Saya merasa sudah tidak bisa lagi bertemu dengan pihak lain karena perbedaan kepentingan yang terjadi sudah terlalu parah. Saya memerlukan pihak yang netral yang
bisa memediasi tapi tidak mencampuri proses pengambilan keputusan. MEDIASI
5
Saya ingin perbedaan ini diselesaikan secara hukum tapi dilakukan diluar proses peradilan umum. Saya membutuhkan seorang ahli hukum Arbiter yang ditunjuk oleh Pengadilan
Negeri tapi harus bisa diterima oleh semua pihak yang berbeda kepentingan, untuk memberikan putusan mengenai konflik yang terjadi yang kemudian penyelesaiannya
melalui arbitrase. ARBITRASE.
6
Saya amat meyakini kebenaran kepentingan saya, dan saya melihat tidak ada jalan lain bahwa perbedaan dengan pihak lain harus diselesaikan melalui jalur Peradilan Umum.
Saya memerlukan pengacara dan saksi ahli yang bisa mendukung dan memperjuangkan kepentingan saya.LIGITASI.
Sumber: Moore 1996; Kriesberg 1998; Isenhart dan Spangle 2000; dan Margono 2000.
Berdasarkan hasil wawancara, preferensi para pihak untuk menyelesaikan konflik yang paling tinggi adalah dengan cara bernegosiasi yaitu
sebesar 58,5 persen untuk konflik status lahan, 46,3 persen untuk konflik tata batas, dan 56,1 persen untuk konflik hak akses Tabel 5.4.7. Sedangkan cara
fasilitasi adalah merupakan preferensi yang kedua yaitu konflik status lahan sebesar 26,8 persen, konflik tata batas sebesar 22 persen, dan konflik hak akses
sebesar 29,3 persen. Tabel 5.4.7 Preferensi Responden Terhadap bentuk Perundingan
Preferensi bentuk bentuk perundingan yang diinginkan responden
Frekuensi Persen
Konflik status lahan Valid
Konsiliasi 2
4,9 Fasilitasi
11 26,8
Negosiasi 24
58,5 Mediasi
3 7,3
Arbitrase 1
2,4 Total
41 100,0
Konflik tata batas Valid
Konsiliasi 8
19,5 Fasilitasi
9 22,0
Negosiasi 19
46,3 Mediasi
3 7,3
Arbitrase 2
4,9 Total
41 100,0
Konflik hak akses Valid
Konsiliasi 3
7,3 Fasilitasi
12 29,3
Negosiasi 23
56,1 Mediasi
3 7,3
Total 41
100,0 Sumber: Wawancara, data diolah dengan SPSS.
Dalam persentase yang relatif kecil, ada preferensi responden yang memilih penyelesaian konflik status lahan dan konflik tata batas diselesaikan
melalui arbitrase, yaitu masing-masing sebesar 2,4 persen dan 4,9 persen. Hal tersebut menjadi petunjuk bahwa ada sebagian kecil responden yang
menginginkan konflik status lahan dan tata batas diselesaikan secara hukum tapi dilakukan di luar proses peradilan umum dengan cara menggunakan jasa
seorang ahli hukum arbiter yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri serta diterima oleh semua pihak yang berbeda kepentingan, untuk memberikan putusan
mengenai konflik yang terjadi yang kemudian penyelesaiannya melalui arbitrase.
Responden yang menginginkan arbitrase adalah masyarakat petani dan LSM. Alasan mereka yaitu selama ini sudah sering dilakukan upaya penyelesaian
konflik status dan tata batas melalui perundingan ataupun berupa dialog, namun tidak ada keputusan yang berkekuatan mengikat semua pihak agar hasil
kesepakatan dialog dilaksanakan. Oleh karenanya arbitrase menjadi pilihan sehingga semua pihak terikat oleh keputusan tersebut, namun keterikatannya
tidak diperoleh melalui peradilan formal. Hal yang terakhir tersebut dapat dibuktikan bahwa berdasarkan hasil wawancara tak satupun responden yang
memiliki preferensi terhadap bentuk ligitasi dalam menyelesaikan konflik status, tata batas, dan hak akses di kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis.
Pada dasarnya sebagian besar responden baik secara individual maupun antar kelembagaan pernah menyatakan perbedaan kepentingannya kepada
pihak lawan berkonflik dalam rangka menyelesaikan konflik status, tata batas, dan hak akses . Pada masing-masing konflik, responden mendapat tanggapan
yang berbeda-beda yaitu Tabel 5.4.8: 1 Pada konflik status lahan dan tata batas, jumlah responden terbanyak adalah
mereka yang pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian tetapi tidak memuaskan Skor=4. Masing-masing
yaitu sebesar 46,3 persen pada konflik status lahan dan sebesar 41,5 persen pada konflik tata batas. Bahkan jumlah responden yang menyatakan bahwa
perbedaan tersebut tidak berkesudahan dan belum dilakukan penyelesaian secara nyata serta para pihak yang berbeda kepentingan tidak berinisiatif
untuk berunding Skor=1, menempati posisi kedua yaitu sebesar 26,8 persen pada konflik status lahan dan sebesar 34,1 persen pada konflik tata batas.
2 Pada konflik hak akses, tanggapan terhadap perbedaan kepentingan justru relatif lebih baik dibandingkan dengan konflik status lahan dan tata batas.
Jumlah responden terbanyak adalah mereka yang pernah menyatakan perbedaan kepentingan dan mendapat tanggapan penyelesaian yang
memuaskan dari pihak lain Skor=5, yaitu sebesar 46,3 persen. Lalu jumlah responden yang mendapat tanggapan penyelesaian tetapi tidak memuaskan
Skor=4 sebesar 39 persen. Berdasarkan analisis kualitatif tersebut dapat dinyatakan bahwa para pihak
dalam menyelesaikan konflik hak akses hasilnya relatif lebih memuaskan dibandingkan penyelesaian-penyelesaian yang dilakukan pada konflik status
lahan dan tata batas kawasan hutan.
Tabel 5.4.8 Upaya Responden Dalam Menyatakan Perbedaan Kepentingan dalam konflik Status Lahan, Tata Batas, dan Hak Akses.
Upaya yang pernah dilakukan responden dalam menyatakan perbedaan kepentingan
Frekuensi Persen
Konflik Status Lahan Valid
1,00 11
26,8 2,00
4 9,8
4,00 19
46,3 5,00
6 14,6
Total 40
97,6 Missing
Tidak menjawab 1
2,4 Total
41 100,0
Konflik Tata Batas Valid
1,00 14
34,1 2,00
3 7,3
4,00 17
41,5 5,00
4 9,8
Total 38
92,7 Missing
Tidak menjawab 3
7,3 Total
41 100,0
Konflik Hak Akses Valid
1,00 2
4,9 2,00
3 7,3
4,00 16
39,0 5,00
19 46,3
Total 40
97,6 Missing
Tidak menjawab 1
2,4 Total
41 100,0
Keterangan: 1 Perbedaan tersebut tidak berkesudahan dan belum dilakukan penyelesaian yang nyata;
baik saya maupun pihak lain yang berbeda kepentingan tidak berinisiatif untuk berunding. 2 Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut misal: secara lisan, tertulis, atau melakukan
unjuk rasa namun tidak mendapat tanggapan yang dapat menyelesaikan. 3 Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut namun mendapat tanggapan yang menekan
dan anarkis. 4 Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian tetapi
tidak memuaskan. 5 Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian dan
memuaskan. Sumber: Wawancara, data diolah dengan SPSS
Tingginya preferensi para pihak untuk menyelesaikan konflik melalui negosiasi dan fasilitasi Tabel 5.4.7, cukup untuk dijadikan landasan yang kuat
dalam pengambilan keputusan untuk memenuhi tujuan keempat penelitian ini yaitu mengembangkan model penanganan konflik lingkungan secara kognitif
berdasarkan pada pengalaman yang diperoleh para pihak yang berkonflik dan akan dilakukan melalui Semiloka Pengembangan Model Konflik Lingkungan
Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Untuk tujuan tersebut, responden kembali diwawancara tentang komitmennya untuk
tetap hadir selama semiloka. Hasilnya menunjukkan bahwa sebesar 75,6 persen responden menyatakan bersedia “ya”, dan sebesar 14,6 persen menyatakan
ragu-ragu Tabel 5.4.9. Keragu-raguan dalam menjawab karena kehadirannya mungkin akan diwakilkan, atau akan hadir pada hari pertama dan hari berikutnya
diteruskan oleh wakilnya. Selain itu tidak semua responden secara psikologis siap memasuki perundingan terbuka. Kondisi tersebut adalah konsekuensi yang
harus diterima oleh sebuah penelitian partisipatif. Responden adalah subjek penelitian dan bukanlah semata-mata objek penelitian. Mereka berperan serta
secara sukarela dan melakukannya berdasarkan manfaat yang bisa mereka peroleh.
Tabel 5.4.9 Komitmen Responden Untuk Tetap Hadir Selama Perundingan Komitmen Responden Untuk Tetap
Hadir Selama Perundingan Frekuensi
Persen
Valid Ragu-ragu
6 14,6
Ya 31
75,6 Total
37 90,2
Missing Tidak menjawab
4 9,8
Total 41
100,0
Sumber: Wawancara, data diolah dengan SPSS.