Konflik Vertikal Pengelolaan Kawasan Hutan

49 dari hak milik, hak sewa, hak pakai, hak penyakapan, dan lain sebagainya, tergantung bagaimana masyarakatnegara yang bersangkutan menentukannya. Setiap jenis hak ini memiliki hubungan khusus dengan kewajiban tertentu yang dilekatkan oleh pihak lain mulai dari individu lain hingga pemerintah dan keberlakuannya dalam suatu kurun waktu tertentu. Dalam konsep sistem tenure tenure system tersebutlah hak pemilikan berada di dalamnya. Pada umumnya, perhatian pada kepemilikan diletakkan sebagai bagian dari sistem tenure, baik yang tumbuh dari proses-proses sosial- budaya-historis “berdasarkan adat” danatau yang ditransplantasikan melalui hukum negara “berdasarkan undang-undang”. Dalam pengelolaan kawasan hutan, bentuk-bentuk konflik tenure yang terjadi adalah klaim status tanah atas kawasan, klaim wilayah masyarakat hukum adat, klaim tata batas kawasan, dan bahkan klaim akses pengusahaan serta penyakapan. 2 Konflik distribusi penguasaan sumberdaya hutan. Masalah penguasaan sumberdaya alam, termasuk hutan di Indonesia cukup memprihatinkan. Persoalan distribusi penguasaan lahan telah menimbulkan pemiskinan struktural masyarakat dan mengurangi kemampuan pengembangan ekonomi rakyat yang berbasis pemanfaatan lahan. Ketidak- seimbangan kepemilikan tanah, memang menjadi masalah di banyak negara berkembang. Penguasaan lahan yang tidak seimbang menyebabkan adanya tekanan yang meningkat terhadap hutan, terutama jika masyarakat petani di perdesaan masih banyak jumlahnya dan sistem penguasaan tanah mereka belum mantap. Terbukti dari sejumlah pemilik tanah di Indonesia, 80 diantaranya tidak memiliki sertifikat tanah sebagai bukti kepemilikan yang “sah” LATIN, 2000. Pengertian sahnya kepemilikan tanah yang dibatasi secara kaku oleh istilah domein verklaring telah menimbulkan berbagai gugatan yang datang dari komunitas masyarakat hukum adat yang tidak memiliki bukti dokumen kepemilikan tanah namun secara fisik dan turun-temurun memang mereka yang menguasai tanah tersebut. 3 Konflik pengusahaan lahan kawasan hutan. Konflik pengusahaanpengelolaan secara teoritis masih termasuk dalam konflik land tenure dalam arti luas. Berdasarkan pengalaman empiris, jenis konflik tersebut merupakan salah satu bentuk konflik vertikal karena terjadi antara masyarakat dengan pemerintah. Seperti telah diuraikan di dalam Bab Pendahuluan, hutan lindung memiliki keterkaitan erat dengan fungsi ekologis 50 yang bersumber dari hutan. Fungsi ekologis tersebut tercermin dari definisi hutan lindung. Untuk mempertahankan fungsinya, pemerintah menetapkan hutan tersebut sebagai kawasan hutan. Di dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Pada kenyataannya, tidak semua kawasan hutan tersebut benar-benar bebas dari interaksinya dengan manusia. Sejak dahulu sebelum jaman modern, manusia pada dasarnya sudah saling berinterkasi dengan lingkungan di sekitarnya termasuk hutan. Sehingga menjadi suatu hal yang mustahil penunjukkan dan penetapan suatu hutan menjadi kawasan akan tidak bersinggungan dengan kepentingan subsisten dari masyarakat yang telah lama hidup dan berusaha ekonomis di dalam atau di sekitar hutan. Penetapan kawasan hutan di India pada jaman kolonial Inggris hingga pasca kemerdekaan pada dasarnya ditujukan untuk melindungi kepentingan penguasa, dalam hal tersebut adalah pemerintah Robinson, 1998. Pola serupa juga terjadi pada penetapan-penetapan kawasan hutan di Indonesia. Contohnya adalah hak erfpacht yang bersumber dari Undang-undang Kolonialis Belanda yaitu Agrarisch Wet ditujukan untuk memfasilitasi investasi luar negeri masuk ke Indonesia dan memperoleh tanah untuk mengembangkan tanaman komoditi ekspor Fauzi, 2000. Di dalam prakteknya Hak tersebut merupakan bentuk klaim dan “pendudukan” sepihak oleh pemerintah “atas nama” negara untuk mendominasi hutan.

2.5.2.2. Konflik Horizontal Pengelolaan Kawasan Hutan

Konflik horizontal pengelolaan kawasan hutan dapat terjadi baik antar- orangkelompok masyarakat atau etnis maupun antar-pemerintah atau unit teknis pemerintah yang kepentingannya bersinggungan dengan ekosistem hutan. Konflik biasanya dipicu oleh persaingan dalam memperoleh akses pengelolaan sumberdaya hutan dan umumnya untuk alasan ekonomis seperti sebagai sumber pendapatan. Menurut Lake dan Rothchild dalam Agustino 2001, sebab utama pertikaian antar kelompok masyarakat danatau etnis adalah adalah rasa takut dan khawatir yang berlebihan. Menurutnya, ada dua argumentasi penyebab rasa takut yang menjadi debat antropologi sebagai sumber konflik horizontal 51 pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan. Argumentasi pertama, konflik antar kelompok masyarakat bersumber pada dendam yang sangat mengakar, kecemburuan sosial, hingga frustasi yang bersumber dari kejadian-kejadian di masa lalu sehingga dua pihak kelompok masyarakat atau etnis saling bertentangan. Argumentasi kedua, konflik muncul apabila suatu kelompok masyarakatetnis merasa cemas akan nasibnya di hari depan, apalagi ketika ketersediaan sumberdaya alam semakin hari semakin langka. Pada kasus konflik yang demikian rumit, kedua argumentasi tersebut bisa saja terjadi bersamaan contohnya pada kasus konflik etnis Dayak dan Madura di Sanggau Ledo tahun 1997, Sambas tahun 1999, dan Kalimantan Tengah tahun 2001 di Pulau Pulau Kalimantan yang terkenal dengan kekayaan sumberdaya hutannya Marzali, 2001.

2.6. Kajian Tentang Model Penanganan Konflik

Dari uraian sebelumnya tentang metode penanganan konflik, secara umum metode penanganan konflik terdiri atas: 1 metode penanganan yang ditempuh melalui jalur peradilan formal, dan 2 metode penanganan yang ditempuh di luar jalur peradilan formal. Hakekat penanganan konflik adalah “proses”. Artinya, penanganan konflik terdiri atas tahapan-tahapan yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: 1 tahap analisis konflik yang menghasilkan peta konflik beserta komponen-komponennya seperti akar konflik, gaya konflik, tipe konflik, dan polarisasi sifat konflik; dan 2 tahap penanganan konflik yang sesungguhnya menyangkut pilihan-pilihan pendekatan negosiasi, mediasi, fasilitasi, arbitrasi atau proses hukum. Suatu fakta bahwa konflik disebabkan oleh berbagai perbedaan. Glasl dalam Yasmi 2002 menyatakan bahwa yang harus menjadi catatan dalam penelitian konflik yaitu tidak semua perbedaan identik dengan konflik, terkecuali perbedaan-perbedaan yang menimbulkan gangguankerusakan impairment terhadap pihak lain. Glasl mengembangkan sebuah model konflik berdasarkan empat buah perbedaan yang dianggap dapat menggangu suatu pihak seperti ditayangkan dalam Gambar 2.7. Jika menilik Model Konflik Glasl tersebut, Glasl lebih menekankan pada analisis peta konflik terbatas pada pengaruh perbedaan terhadap perilaku suatu pihak kepada pihak lainnya. 52 Gambar 2.7. Model Konflik Glasl Sumber: Glasl dalam Yasmi, 2002 Dari beberapa teori konflik yang telah diuraikan sebelumnya, model tersebut lebih menekankan pada analisis akar konflik yang dirasakan oleh suatu pihak, kemudian melihat bagaimana perilaku pihak tersebut dan apa pengaruhnya terhadap pihak lain. Glasl tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana kemudian konflik antar-pihak tersebut ditangani. Model lain adalah model dikembangkan oleh ICRAF International Center For Research in Agroforestry yang disebut dengan model Negosiation Support System – Natural Resources Management Sistem Pendukung Negosiasi – Pengelolaan Sumberdaya Alam atau sering disingkat dengan NSS-NRM atau SPN-PSA seperti ditayangkan dalam Gambar 2.8. Gambar 2.8. Model Sistem Pendukung Negosiasi Pengelolaan Sumberdaya Alam Sumber: Noordwijk, 2000 Perbedaan dalam berfikir, pandangan, dan persepsi Perbedaan dalam emosi Perbedaan dalam kepentingan Perilaku Pihak A Gangguan yang dialami oleh pihak B Sain dan Pengetahuan terperbaiki • Biofisik • Kebijakan Guna lahan Filter Jalan,kanal Interaksi sumberdaya dalam mosaik lansekap perubahan berkesepakatan perubahan spontan dialog stake-holders Negosiasi Proses SISTIM PENDUKUNG NEGOSIASI; 2 1 3 4 Inovasi