Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel Kelangkaan

terdiri atas 0,5 hektar untuk rumah dan pekarangan dan 1,5 hektar untuk lahan pertanian. Dengan luas lahan tersebut diasumsikan kebutuhan hidup setiap keluarga transmigran dapat tertopang dengan layak. Hasil analisis deskriptif terhadap X 19 menunjukkan bahwa sebesar 10 persen responden yang memiliki lahan pertanian seluas ≥ 1,51 hektar, sebesar 9 persen memiliki 1,1 – 1,5 hektar, sebesar 18 persen memiliki 0,51 – 1 hektar. Ironisnya, diperoleh fakta bahwa sebesar 36 persen tidak memiliki lahan pertanian di luar kawasan dan mereka bahkan tinggal di dalam kawasan, lalu sebesar 27 persen pemilik lahan antara 0 - 0,5 hektar. Berdasarkan kenyataan ini, distribusi penguasaan lahan memiliki pengaruh penting terhadap persepsi responden atas kebutuhan lahan garapan di dalam kawasan. Gambar 5.11. Salah satu profil responden transmigran BRN yang saat ini tinggal dan bertani di dalam kawasan hutan lindung lokasi penelitian. Asisten peneliti diterima di “ruang tamunya” yang juga merangkap sebagai tempat tidur dan dapur, Maret 2005 Sumber photo: Peneliti. 2 Dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 31Kpts- II2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, akses mayarakat setempat untuk dapat mengelola kawasan hutan lindung menjadi terbuka, walaupun implementasinya masih memerlukan berbagai penyesuaian terutama pada lahan-lahan yang secara historis sudah digarap oleh masyarakat sejak jaman sebelum kemerdekaan dan masa transmigrasi BRN. 3 Ketidakpastian akan masa depan diantaranya seperti pergulatan politik kekuasaan nasional dan lokal yang berimplikasi terhadap berubah-ubahnya kebijakan termasuk kebijakan kehutanan, lingkungan, dan pertanian, kondisi perekonomian negara yang tidak kunjung pulih diindikasikan oleh inflasi dan harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi, serta inkonsistensi pelaksanaan kebijakan di tingkat lapang. Faktor yang terakhir faktor ketidakpastian masa depan tersebut juga diduga merupakan faktor yang menjadi penyebab mengapa peubah pendapatan rumah tangga responden di luar kawasan X 21 berpengaruh negatif terhadap peubah X 22 dengan koefisien jalur sebesar -0.10 yang artinya semakin meningkat pendapatan rumah tangga responden yang diperoleh di luar kawasan semakin menurun persepsi responden tentang kebutuhan lahan garapan di dalam kawasan hutan. Seyogyanya semakin tinggi pendapatan semakin rendah keinginan untuk menduduki lahan kawasan hutan negara. Namun demikian hasil penelitian ini menemukan fakta bahwa, ternyata sebesar 70 persen responden berpendapatan minus artinya pengeluaran per bulan lebih besar dari pendapatan yang diterima, lalu sebesar 4 persen responden pendapatan dan pengeluaran per bulannya impas, dan hanya sebesar 26 persen responden yang pendapatannya surplus artinya lebih besar dari pengeluaran per buannya. Pandangan lain yang patut untuk dipertimbangkan sebagai faktor penyebab adalah bahwa kawasan hutan negara adalah public good good atau benda dalam penelitian ini adalah lahan kawasan hutan negara dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya dimanfaatkan oleh masyarakat luar, tanpa mensegmentasi manfaatnya untuk kelompok tertentu secara ekslusif sebagaimana sebuah private good disediakan. Seringkali paham tersebut ditafsirkan secara sempit sehingga dalam paraktiknya hutan negara “dimanfaatkan” oleh pengguna masyarakat, perusahaan, dan lain-lain dengan anggapan apabila terjadi kerusakan merupakan tanggungjawab pemerintah untuk memulihkannya. Apabila kondisi tersebut berlangsung, maka kemudian yang terjadi adalah sebuah contoh nyata dari public land conflict dalam pengelolaan sumberdaya alam Solberg dan Miina, 1997.

5.3.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel Etik Lingkungan

Di dalam teori ekologi prinsipal radical ecology, etik lingkungan adalah salah satu paham mashab, pemikiran yang berkembang yang memiliki ranting- ranting yaitu etik egosentris juga dikenal dengan etik antroposentris, etik homosentris, dan etik ekosentris Merchant, 1992. Dalam perspektif lingkungan, paham etik antroposentris dipakai untuk mengartikulasikan bahwa secara individu manusia “diijinkan atau dimungkinkan” untuk mengektraksi sumberdaya alam bagi kesejahteraan dirinya atau komunitasnya namun terbatas pada tetangga dekat. Sementara pada etik homosentris sumberdaya alam diekstraksi untuk kepentingan komunal, misalnya seperti pada suatu komunitas sosial yang tata kehidupannya masih lekat diatur oleh institusi adat. Sedangkan etik ekosentris didasarkan pada pemahaman kosmotik yang didalamnya semua benda mati dan benda hidup termasuk manusia terikat dalam kesatuan tata nilai dan interaksi yang saling berketergantungan sehingga etik ini dipergunakan untuk mengartikulasikan bahwa ekstraksi sumberdaya alam oleh manusia harus menempatkan kepentingan makhluk lainnya. Oleh Buckles 1999, manifestasi etik lingkungan tersebut berpengaruh terhadap perilaku manusia dalam mengelola sumberdaya alam, termasuk konflik-konflik yang ditimbulkan. Di dalam penelitian ini, etik lingkungan yang akan diteliti adalah etik antroposentris dan etik ekosentris. Etik homosentris belum diperhitungkan mengingat masyarakat wilayah Sumberjaya adalah masyarakat plural terdiri dari berbagai suku, budaya, dan agama. Atas pertimbangan tersebut, sub-model etik lingkungan dibangun ke dalam sebuah persamaan model seperti pada persamaan 26 dan Gambar 5.12. X 25 = 0.064X 23 + 0.073X 24 ……………………………….26 Keterangan: X 25 = peubah akibat manifestasi etik lingkungan responden dalam penanganan konflik X 23 = peubah etik antroposentris X 24 = peubah etik ekosentrik Gambar 5.12. Diagram jalur Sub-model Etik Lingkungan Berdasarkan hasil analisis jalur menunjukkan bahwa peubah etik ekosentrik X 24 memiliki koefisien jalur terbesar dan berpengaruh positif 0.073 terhadap peubah etik lingkungan X 25 . Artinya semakin tinggi keyakinan responden terhadap paham ekosentris, semakin baik etik lingkungan yang dimanifestasikan oleh responden dalam mengelola lahan garapannya Lihat deskripsi skor pada Lampiran 8A Tabel 18. Sementara itu peubah etik ekosentris X 23 juga memberikan pengaruh positif sebesar 0.064 terhadap peubah X 25 . Artinya semakin responden tidak meyakini dan bahkan menolak paham antroposentris semakin baik etik lingkungan yang dimanifestasikan oleh mereka Lihat deskripsi Skor pada Lampiran 8A Tabel 17. Kedua peubah eksogen X 23 dan X 24 sama-sama berpengaruh positif terhadap peubah endogen manifestasi etik lingkungan X 25 dan walaupun kekuatan pengaruhnya berbeda namun nilai koefisien jalurnya relatif berdekatan. Manifestasi etik lingkungan responden X 25 adalah perilakupraktik berdasarkan paham dan keyakinan responden tentang keterkaitan antara tata sosial seseorangkelompok terhadap kelestarian lingkungan hidup disekitarnya yang dilihat dari kegiatan mereka dalam pengelolaan sumberdaya alam. Di dalam penelitian ini, kegiatan-kegiatan responden yang diamati adalah 1 topografi, kemiringan lahan yang diusahakan, 2 usaha pencegahan erosi, 3 jenis tanaman yang ditanam, 4 cara membersihkan lahan land clearing, 5 cara mengolah lahan, 6 penggunaan pupuk, 7 pengunaan pestisida, dan 8 golongan pestisida kimiawi yang digunakan Lihat Lampiran 2 Tabel Pengukuran peubah etik lingkungan X 25 . Contoh visual di lapang seperti terlihat pada Gambar 5.13. Manifestasi etik lingkungan responden dalam penanganan konflik X25 Etik Ekosentris X24 Etik Antroposentris X23 0,073 0,064 Gambar 5.13.a Gambar 5.13.b Gambar 5.13. Pada Gambar 5.13.a Desember 2004 terlihat bagaimana petani menggunakan teknik natural vegetatif strip dalam usaha mencegah erosi permukaan pada kebun kopi monokultur tua di dalam kawasan Sumber photo: Agus Fahrmudin. Sementara itu Gambar 5.13.b Mei 2005 menunjukkan bagaimana teknik polikultur diterapkan oleh petani dengan kombinasi kopi, kayu gelam Glirisidae spi, dan pohon kemiri di lahan garapan mereka dalam kawasan hutan lindung Bukit Rigis; lima tahun yan lalu tutupan lahan di hamparan tersebut masih berupa alang-alang dan tanah terbuka Sumber photo: Peneliti

5.3.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel Eskalasi Konflik

Konflik dapat mengalami eskalasi peningkatan intensitas dan dapat pula sebaliknya mengalami deskalasi peredaan ketegangan. Eskalasi konflik didefinisikan sebagai peningkatan tindakan kekerasan atau pemaksaan dan pada kondisi kasus tertentu disertai peningkatan keterlibatan pihak-pihak yang berkonflik, sebaliknya deskalasi konflik adalah penurunan perjuangan destruktif dan terkadang disertai penurunan kekerasan dan keterlibatan para pihak tersebut Kiesberg, 1998. Deskalasi konflik selanjutnya menjadi konflik tersembunyi laten atau bahkan akhirnya tidak ada konflik. Dalam konstruktif konflik, eskalasi konflik tidak selalu identik dengan peningkatan kekerasan namun wujudnya lebih berupa peningkatan kegiatan perundingan-perundingan yang berakhir dengan tercapainya kesepakatan antar pihak yang berkonflik. Konflik bukanlah sesuatu yang harus ditakuti karena konflik pada dasarnya bisa dikelola Borrini dan Feyerabend, 2000. Di dalam penelitian ini, sub-model eskalasi konflik dibangun dari gabungan persamaan jalur beberapa sub-model sebelumnya yaitu sub-model eksternalitas persamaan 21, sub-model persepsi dan ketimpangan struktural persamaan 22 dn 24, sub-model kelangkaan Persamaan 25, dan sub-model etik lingkungan Persamaan 26. Pada rumusan persamaan jalur sub-model eskalasi konflik, peubah endogen X 6 , X 10 , X 15 , X 22 , dan X 25 dari kelima sub-model