Hutan Dunia dan Indonesia

25 6 Hutan Pasang Surut. Hutan bakau mangrove adalah bagian yang penting dari hutan pasang surut, luasnya sekitar 4,25 juta hektar. Hutan bakau terutama terdapat di Kalimantan, Sumatera, Irian Jaya, dan Kepulauan Aru, dan sedikit di Sulawesi bagian Selatan serta Jawa bagian Utara. Rhizopora, Avicennia, Sonneratia dan Ceriops adalah genera utamanya. Walaupun ada kesepakatan umum mengenai kekayaan kanekaragaman hayati hutan Indonesia, luas wilayah hutan yang sebenarnya masih menjadi perdebatan. Ini disebabkan oleh berbagai alasan. Pertama, kawasan hutan berarti lahan yang berada di bawah wewenang Departemen Kehutanan dan Perkebunan, bukan hanya daerah berhutan. Berdasarkan pengertian tersebut dan Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK tahun 1980, luas hutan di Indonesia diperkirakan 143,8 juta hektar. Kedua, pelaksanaan inventarisasi hutan relatif terlambat dan hal tersebut masih berlanjut. Keadaan tersebut turut menyulitkan penentuan berapa luas hutan yang sebenarnya. Sebagai contoh, hasil penelitian RePPProT selama tahun 1985-1989 atas dasar foto udara tahun 1982, memperkirakan bahwa wilayah hutan mencakup 63 dari seluruh luas lahan Indonesia Djajadiningrat 1992 dalam Agenda 21 Indonesia. Banyak sumber data tentang statistik luas dan kondisi kawasan hutan di Indonesia baik dari lembaga penelitian maupun dari lembaga teknis departemen namun satu sama lain seringkali menunjukkan perbedaan informasi yang dapat menyulut konflik interpretasi dan persepsi antar pihak yang peduli dengan kondisi hutan di Indonesia. Berdasarkan data yang bersumber dari Badan Planologi Departemen Kehutanan 2001, luas kawasan hutan di Indonesia menurut dokumen Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK Tahun 1983 adalah 140,4 juta hektar, berarti ada perbedaan lebih kecil sebesar 3,4 juta hektar dibandingkan dengan data yang disajikan dalam dokumen Agenda 21 Indonesia yang dikeluarkan oleh Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup 1995. 26 Tabel 2.1. Luas Kawasan Hutan Indonesia Status Kawasan TGHK 1983 TGHK 1999 Padu Serasi Dengan RTRWP Juta ha Luas Kawasan Hutan Rusak Juta ha Juta ha Hutan Konservasi 18,8 13,39 20,5 17,03 3,65 17,80 Hutan Lindung 30,7 21,87 33,52 27,85 2,16 6,44 Hutan Produksi 64,3 45,80 58,26 48,40 14,25 24,46 Hutan Konversi 26,6 18,95 8,08 6,71 Jumlah 140,4 100,00 120,36 100,00 Sumber: Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan - Departemen Kehutanan, 2001. Setelah dilakukan pemaduserasian dengan seluruh Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi RTRWP secara nasional, luas kawasan hutan yang tersisa pada TGHK tahun 1999 adalah 120,36 juta hektar. Secara statistik, hal tersebut dikarenakan adanya penurunan luas kawasan Hutan Produksi sebanyak 6,04 juta hektar dan penurunan luas kawasan Hutan Konversi 18,52 juta hektar seperti ditayangkan pada Gambar 2.2 yang disebabkan oleh konversi hutan untuk transmigrasi, pembangunan infrastruktur strategis seperti irigasi, jalan, dam, dan bentuk-bentuk penggunaan lainnya. 18,8 30,7 64,3 26,6 20,5 33,52 58,26 8,08 13,39 21,87 45,8 18,95 17,03 27,85 48,4 6,71 10 20 30 40 50 60 70 Hutan Konservasi Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Konversi Status Kawasan Hutan Luas Juta ha 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Persen TGHK 83 Juta ha TGHK 99 Juta ha TGHK 83 TGHK 99 Gambar 2.2 Luas Kawasan Hutan Di Indonesia Pada Tahun 1999 Sumber: Badan Planologi Departemen Kehutanan, 2001; Grafis diolah Masih berdasarkan data pada Tabel 2.1, dari total kawasan hutan Indonesia berdasarkan TGHK tahun 1999, seluas 3,56 juta hektar 17,80 27 hutan konservasi, 2,16 juta hektar 6,44 hutan lindung, dan 14,25 juta hektar 24,46 hutan produksi telah mengalami degradasi. Hutan di Indonesia mempunyai peranan baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya maupun ekologi. Namun demikian sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi nasional, tekanan sumberdaya hutan semakin meningkat. Hal ini terlihat dengan tingginya tingkat deforestasi. Menurut Bappenas dalam Agenda 21 Indonesia, faktor-faktor yang menekan hutan Indonesia yaitu: 1 Pertumbuhan penduduk dan penyebarannya yang tidak merata, 2 Konversi hutan untuk pertambangan dan pengembangan perkebunan, 3 Pengabaian atau ketidaktahuan mengenai pemilikan lahan secara tradisional adat dan peranan hak adat dalam memanfaatkan sumberdaya, 4 Program transmigrasi, 5 Pencemaran industri dan pertanian pada hutan lahan basah, 6 Degradasi hutan bakau karena dikonversi menjadi tambak 7 Pemungutan spesies hutan secara berlebihan, dan 8 Introduksi spesies eksotik. Laju deforestasi hutan Indonesia pada tahun 1970-an diperkirakan sebesar 300.000 hektar per tahun dan pada tahun 1980-an sebesar 600.000 hektar pertahun FAO dalam LATIN, 2000. Pada tahun 1990-an, laju deforestasi di Indonesia sebesar 1 juta hektar per tahun Retnowati dalam LATIN, 2000. Data laju deforestasi yang sering digunakan oleh berbagai pihak adalah laju deforestasi antara tahun 1984-1998 yaitu 1,6 juta hektar per tahun Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2001a; Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2001b; WALHI, 2001; Muhshi, 2001. Bahkan pada periode 1999-2001, laju deforestasi diperkirakan mencapai 2–2,4 juta hektar per tahun Hamimah, 2001. Angka laju deforestasi yang sering dipergunakan pada awal tahun 2002 adalah 2 juta hektar per tahun baik oleh Departemen Kehutanan, Forest Watch Indonesia FWI, dan World Research Institute WRI. Pada dekade terakhir, Kementrian Kehutanan mencatat laju kerusakan hutan hingga 2009 mencapai lebih dari 1,08 juta hektar per tahun, angka tersebut diakui Menteri Kehutanan bahwa kondisi hutan Indonesia sudah demikian kritis BBC, 2010. Walapun laju deforestasi kemudian menurun menjadi 0,7 juta per hektar per tahun di tahun 2011, dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan masih terus menghawatirkan karena 28 kemampuan pemulihan baik program pemerintah, swadaya masyarakat, maupun alami hanya sebesar 0,5 juta hektar per tahun KOMPAS, 2011.

2.3. Fungsi Lingkungan dari Hutan

Beranjak dari definisi lingkungan yang diformulasikan oleh Suratmo 1999, maka hutan yang merupakan suatu contoh dari lingkungan di alam, mempunyai fungsi lingkungan yang terdiri atas fungsi ekologis, fungsi sosial, fungsi ekonomis, dan bahkan fungsi politis. Pemisahan keempat fungsi tersebut sebenarnya amat sulit dilakukan mengingat fungsi yang satu dengan lainnya saling berinteraksi. Pemisahan masing-masing fungsi secara ekslusif justru seringkali menimbulkan konflik antar pihak yang berkepentingan dengan peruntukkan dan pemanfaatan hutan beserta fungsinya. Secara umum, kepentingan sumberdaya hutan bagi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan adalah sebagai sumber bahan baku kayu dan non kayu, plasma nuftah flora dan fauna, pengatur udara dan cuaca, pelindung tanah dan air dan alam hidroorologi, sumber ilmu pengetahuan, untuk kegiatan rekreasi, sebagai cadangan lahan, dan penghasil devisa Indrawan, 2000. Menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan 1999, hutan memiliki manfaat untuk peningkatan taraf hidup masyarakat, meningkatkan kebudayaan bangsa, dan pemulihan dan pengawetan lingkungan hidup. Secara ekologis, hutan berfungsi sebagai: 1 tempat konservasi sumberdaya alam yaitu tanah, mineral dan keanekaragaman hayati; 2 konservasi enerji dan daur ulang, baik dalam “diri” hutan tersebut seperti plant succession secara mandiri atau proses regenerasi secara mandiri maupun dari luar hutan; dan 3 memperkecil resiko eksistensial seperti terjadinya tanah longsor, erosi, terkikisnya humus, dan lain- lain. Hutan juga memiliki fungsi rosot karbon Mudiyarso, et al. 1998. Fungsi ekonomis hutan secara umum adalah sebagai sumber kayu, bahan bakar kayu dan hasil hutan non kayu buah-buahan, getah, tanaman obat, dan masih banyak lainnya termasuk hasil-hasil pertanian berbasis hutan agroforest products. Fungsi sosial dari hutan adalah sebagai bagian dari simbol sosial, budaya, dan spiritual terutama masyarakat penganut keyakinankepercayaan animisme danatau ajaran-ajaran reliji non samawi lainnya. Lingkungan udara yang sehat karena adanya pangaruh iklim mikro hutan juga menjadi manfaat sosial bagi manusia terutama dari sisi kesehatan. 29 Sebenarnya sulit untuk menarik batas fungsi lingkungan hutan berdasarkan ekologi, sosial, ekonomi dan politik. Mengambil contoh manfaat hutan untuk penelitian dan pengembangan ilmu; manfaat tersebut dapat masuk ke dalam fungsi ekonomi karena hasil penelitiannya bisa dipergunakan untuk menghasilkan uang, dapat masuk fungsi sosial karena ada unsur pendidikan dan budaya di dalamnya, dan dapat masuk ke dalam ekologis karena manfaat penelitian diantaranya ditujukan untuk kelestarian hutan. Sulitnya memisahkan fungsi lingkungan dari hutan berdasarkan fungsi ekologis, ekonomis, dan sosial, tercermin dari pemilahan yang dilakukan oleh Pearce dan Moran 1994. Mereka lebih melihat pembagian fungsi hutan berdasarkan: 1 fungsi hutan sebagai sumber jasa dan material, 2 hutan sebagai rosot limbah waste sink baik limbah alam maupun limbah karena aktivitas manusia, dan 3 hutan sebagai sistem pendukung kehidupan, seperti ditayangkan pada Tabel 2.2. Saat ini fungsi sosial dari hutan yang terdapat di dalam instrumen kebijakan pemerintah banyak mendapat kritik karena dalam pengelolaannya telah menyingkirkan hak- hak masyarakat lokal termasuk masyarakat hukum adat atas kawasan hutan sebagai wilayah hidup, status sosial, dan kepemilikan lahan. Tabel 2.2 Fungsi Lingkungan dari Hutan Sumber jasa dan material Rosot Limbah Pendukung kehidupan dan lainnya Kayu Penyerap limbah Genetic pool Kayu bakar Daur ulang nutrien Pengatur iklim Produk komersial lainnya Perlindungan DAS Rosot karbon Produk non kayu Perlindungan kualitas tanah dan penahan erosi Habitat bagi manusia, tumbuhan, dan hewan Produk pertanian Estetika, budaya, dan sumber spiritual Rekreasi dan pariwisata Data saintifik Sumber: Pearce dan Moran 1994.

2.4. Otonomi Daerah Otda dan Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan

Kehutanan di Indonesia Desentralisasi merupakan satu diantara berbagai alternatif sistem penyelenggaraan pemerintahan governance dan merupakan reaksi politik terhadap kegagalan sistem manajemen dan administrasi yang terpusat sentralistis. Pemerintahan yang terpusat mungkin lebih mampu untuk menginternalisasi eksternalitas, menerapkan sekala ekonomi dalam penyediaan barang publik, dan mengkoordinasikan kebijakan fiskal. Tetapi, kekuasaan yang 30 terpusat memiliki keterbatasan dalam mengumpulkan informasi dan mengawasi agen-agennya. Pemerintah daerah lebih memiliki informasi, contohnya informasi mengenai kondisi sesungguhnya hutan dan lingkungan di wilayah mereka, atau mengenai kebutuhan masyarakat daerah dalam konteks lokal. Desentralisasi dapat dibagi dalam empat kategori, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi fiskal, desentralisasi pasar atau ekonomi dan desentralisasi administratif Hutabarat, 2001. Desentralisasi politik berorientasi pada pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada warga negara dan wakil rakyat terpilih dalam hal pembuatan keputusan publik. Desentralisasi fiskal berorientasi pada pemberian wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah dan organisasi swasta dalam tanggungjawab keuangan. Desentralisasi pasar atau ekonomi berorientasi pada privatisasi dan deregulasi, yakni pergeseran tanggungjawab beberapa fungsi dari sektor publik ke sektor swasta. Privatisasi berarti memberikan kekuasaan dan tanggungjawab yang lebih besar kepada perusahaan-perusahaan swasta untuk menjalankan fungsinya, yang sebelumnya dimonopoli oleh, atau berada dibawah tanggungjawab pemerintah. Deregulasi berarti mengurangi batasan-batasan hukum sektor swasta untuk berpartisipasi dalam penyediaan jasa atau mengijinkan persaingan para penyedia jasa-jasa swasta yang sebelumnya disediakan oleh pemerintah. Desentralisasi administratif lebih berorientasi pada redistribusi kekuasaan, tanggungjawab dan sumberdaya keuangan untuk menyediakan pelayanan umum antar tingkat pemerintahan yang berbeda. Terdapat tiga tipe desentralisasi administratif Hutabarat, 2001, yaitu: 1 Dekonsentrasi, merupakan redistribusi wewenang dalam hal pembuatan keputusan serta tanggungjawab keuangan dan manajemen antar tingkat pemerintah pusat yang berbeda. Dekonsentrasi dapat dikatakan sebagai bentuk terlemah dari desentralisasi. Contoh dari tipe desentralisasi ini adalah: Kantor Wilayah Departemen Kehutanan. 2 Delegasi, merupakan bentuk desentralisasi yang lebih luas. Dengan delegasi, pemerintah pusat melimpahkan tanggung-jawab dalam hal pembuatan keputusan dan administrasi fungsi-fungsi publik kepada organisasi-organisasi semi otonom yang tidak sepenuhnya diawasi, tetapi pada akhirnya tetap bertanggung-jawab kepada pemerintah pusat. 3 Devolusi, merupakan pelimpahan wewenang dan tanggungjawab dalam hal pembuatan keputusan, keuangan dan manajemen kepada unit-unit otonom