propinsi ditambah luas kawasan konservasi perairan dan luas pulau-pulau kecil yang belum dipetakan ketika dilakukan pemaduserasian.
Hasil penampalan kedua datapeta Propinsi Lampung tersebut disajikan pada Tabel 4.6 yang memperlihatkan kondisi penutupan lahan di kawasan hutan
khususnya Hutan Lindung dan Hutan Produksi tahun 2000, sedangkan data yang lengkap termasuk kawasan konservasi disajikan pada Lampiran 5.
Tabel 4.6 Kondisi Penutupan Lahan pada Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Poduksi di Propinsi Lampung Tahun 2000
No Penutupan Lahan
Hutan Lindung
Ha Hutan
Produksi Terbatas
Ha Hutan
Produksi Tetap
Ha
A. Areal Berhutan
1. Hutan Lahan Kering Primer
5.951,54 512,50
2. Hutan Lahan Kering Sekunder
46.081,81 10.067,44
13,11 3.
Hutan Mangrove Primer 4.
Hutan Mangrove Sekunder 47,02
5. Hutan Tanaman
71.607,08 6.
Hutan Rawa Primer 2.411,60
7. Hutan Rawa Sekunder
Jumlah-A 54.491,97
10.579,94 71.620,19
B. Areal Tidak Berhutan
8. Semak Belukar
35.697,43 6.867,85
5.425,43 9.
Perkebunan 1.135,18
6.121,52 10.
Permukiman 18,20
41.046,44 320,73
11. Tanah Terbuka
12. Tubuh Air
13. Belukar Rawa
3.224,90 14.
Pertanian Lahan Kering 634,87 1.264,76
3.994,24 15.
Pert. Lhn. Krg. Campur Semak 195.781,87
15.615,67 67.684,76
16. Sawah
347,29 628,63
4.823,39 17.
Pertambangan 18.
Tambak 1.367,25
13,59 509,74
19. Transmigrasi
20. Rawa
2.707,45 4.705,10
Jumlah – B 237.689,54
65.436,94 96.809,81
C. Tidak Ada
Data
21. Tertutup awan
25.504,09 3.503,73
Jumlah – C 25.504,09
3.503,73 TOTAL A+B+C
317.685,60 76.016,88 171.933,73
Sumber : Badan Planologi Kehutanan, 2002 Berdasarkan pada Tabel 4.6 tersebut, pada Tahun 2000 di Propinsi Lampung,
• Kawasan Hutan Lindung seluas 317.685,6 hektar yang masih berhutan tinggal seluas 54.491,97 hektar 17,15 , sedangkan sebagian besar tidak berhutan
seluas 237.689,54 hektar 74,82 , sisanya tidak dapat diidentifikasi karena di areal tersebut citra satelitnya tertutup awan.
• Pada Hutan Produksi Terbatas seluas 65.436,94 hektar sebesar 86,08 tidak berhutan lagi, dan seluas 10.579,94 hektar 13,92 berhutan.
• Untuk Hutan Produksi Tetap seluas 96.809,81 hektar 56,31 tidak berhutan dan sisanya seluas 71.620,19 hektar 41,66 masih berhutan.
Gambar 4.2 Peta Penutupan Lahan Propinsi Lampung, 2000
Sumber: Badan Planologi Kehutanan, 2002
4.2.4 Lahan Kritis
Di dalam kebijakan kehutanan Propinsi Lampung, pengertian lahan kritis disini adalah lahan-lahan yang dianggap tidak mampu lagi menyangga fungsi sesuai
peruntukannya secara minmal. Menurut Balai Pengelolaan Daerah aliran Sungai BPDAS Way Seputih – Way Sekampung 2002, luas lahan kritis di Propinsi
Lampung meningkat sepanjang tahunnya. Hal tersebut disebabkan oleh konversi lahan yang eksploitatif, tidak jelasnya status lahan di berbagai bagian wilayah
sehingga terjadinya okupasi lahan, dan lemahnya praktik-praktik manajemen konservasi lahan di wilayah tersebut. Selama tenggat waktu Tahun 1998 – 2000,
tercatat peningkatan jumlah lahan kritis di dalam kawasan hutan seluas 46.710 hektar, sementara di luar kawasan hutan meningkat seluas 90.895 hektar. Secara
rincik terdapat di dalam Tabel 4.7.
Tabel 4.7. Keadaan Lahan Kritis di Propinsi Lampung Tahun 1998 – 2000 No
KAB.KOTA 1998
1999 2000
Dalam Kawasan
Ha
Luar Kawasan
Ha
Dalam Kawasan
Ha
Luar Kawasan
Ha
Dalam Kawasan
Ha
Luar Kawasan
Ha
1. Lampung
Selatan 127.758 21.038 110.613 29.714 44.226 52.437
2. Bandar
Lampung - - - - - -
3. Tanggamus - - - -
80.672 19.937
4. Lampung
Barat 63.900 56.943 65.273 64.596 74.520 148.086 5.
Lampung Utara 40.329 108.555 61.686 94.497 13.960 6.740
6. Way
Kanan - - - - 17.530
7.830 7.
Tulang Bawang
- - - - 21.500
75.000 8.
Lampung Timur
- - - - 22.000
15.000 9.
Lampung Tengah
17.391 70.165 31.030 30.232 22.580 22.566 10.
Metro - - - - - -
JUMLAH 249.378 256.701 268.602 219.039 296.988 347.596
Sumber : BPDAS Way Seputih - Way Sekampung, 2002.
Permasalahan lahan kritis yang timbul akibat aktifitas manusia antroposentris baik di dalam dan di luar kawasan hutan selalu menjadi perhatian
karena implikasi bencana alam yang dapat ditimbulkan. Demikian pula dengan kawasan Hutan Lindung di Propinsi Lampung yang sebesar 74,82 persen
wilayahnya sudah tidak berhutan lagi ditengarai sebagai penyebab bencana alam tersebut terutama longsor dan banjir. Penengaraaan tanpa melihat kondisi di
lapangan, misalnya sejarah pendudukan lahan oleh masyarakat, acapkali menimbulkan konflik vertikal antara pemerintah dengan rakyat. Hal ini amat sering
terjadi di Propinsi Lampung. Menurut Kurworo 2000, dalam bidang kehutanan Lampung acapkali disebut sebagai salah satu ’contoh terbaik’ dari ‘gagalnya’
kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia di samping daerah-daerah lainnya seperti Kalimantan; kerusakan hutan yang telah dan tengah berlangsung dan maraknya
konflik kehutanan di Lampung menjadi indikasi pernyataan tersebut.
4.3 Konflik Pertanahan Dalam Kawasan Hutan Di Propinsi Lampung
Beragamnya penduduk, baik antara penduduk asli dan pendatang, antar etnissuku, maupun penguasaan lahan oleh perusahaan perkebunan dalam jumlah
besar serta kurangnya perhatian pengusaha pada kehidupan perekonomian masyarakat sekitar, merupakan salah satu penyebab timbulnya konflik kepemilikan
lahan. Konflik ini semakin sulit diatasi, karena masing-masing pihak yang bersengketa bertahan dengan argumentasi yang didasarkan pada bukti-bukti formal
yang dimiliki. Di satu sisi pihak pengusaha mengacu pada hukum positif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan bukti produk hukum sertifikat
HGU, HPH, HGB, dll, yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah yang berwenang, sementara disisi lain masyarakat berpegang pada paradigma hukum adat seperti
hak ulayat, hak marga, dan hak kekerabatan. Sengketa pertanahan pada awal reformasi awal tahun 1998 mengalami
peningkatan dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Kebijakan pertanahan pada masa 1998 - 2000 berdasarkan pada Pokok-Pokok Reformasi Daerah Lampung
mengamanatkan “Penyelesaian secara bertahap kasus-kasus pertanahan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan mempersiapkan proses penyelesaian
kasus pertanahan yang berpihak pada kebenaran hukum dan berpihak kepada rakyat yang benar secara hukum dan tidak mengabaikan azas kelestarian
lingkungan“ Kinerja Pemerintah Daerah dalam menyelesaikan kasus pertanahan dari
tahun 1998 - 2002 cenderung meningkat. Pada tahun 1998 hingga pertengahan tahun 1999 terjadi 220 kasus yang muncul dan terselesaikan sebanyak 44 kasus
atau sebesar 20. Pada akhir tahun 1999 dari 260 kasus yang terjadi, yang terselesaikan sebanyak 71 kasus 27 dan sisanya 169 kasus menjadi kasus di
tahun 2000 ditambah kasus baru yang sehingga total kasus di Tahun 2000 sebanyak 260 kasus, dan yang dapat diselesaikan sebanyak 101 kasus 39. Pada
tahun 2001 dari 327 kasus persengketaan tanah yang terselesaikan sebanyak 240 kasus 73, selanjutnya pada tahun 2002 dari 327 kasus yang dapat diselesaikan
sd Juli 2002 sebanyak 249 kasus 76, dan sisanya 78 kasus akan diselesaikan pada masa selanjutnya secara bertahap. Rincian penyelesaian sengketa tanah
yang ada di Propinsi Lampung sampai dengan bulan Juli 2002 tercantum dalam Tabel 4.8.