26
pria = 1 hari kerja pria HKP, 1 wanita = 0,7 HKP, 1 ternak = 2 HKP, dan 1 anak = 0,5 HKP.
3 Modal
Modal dalam usahatani digunakan untuk membeli sarana produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal
diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit kredit bank, pelepas uangfamilitetangga, hadiah, warisan, usaha lain ataupun kontrak sewa.
4 Pengelolaan atau manajemen
Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani untuk menentukan, mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang
dikuasai dengan sebaik-baiknya dan mampu memberikan hasil yang diharapkan. Pengenalan pemahaman terhadap prinsip teknis dan ekonomis
perlu dilakukan untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil. Prinsip teknis tersebut meliputi: a perilaku cabang usaha yang diputuskan, b
perkembangan teknologi, c tingkat teknologi yang dikuasai, dan d cara budidaya dan alternatif cara lain berdasarkan pengalaman orang lain.
Prinsip ekonomis antara lain: a penentuan perkembangan harga, b kombinasi cabang usaha, c pemasaran hasil, d pembiayaan usahatani, e
penggolongan modal dan pendapatan serta tercermin dari keputusan yang diambil agar resiko tidak menjadi tanggungan pengelola.
3.2. Lahan sebagai Faktor Produksi
Lahan pada hakekatnya adalah permukaan bumi yang merupakan bagian dari alam, sehingga lahan tidak terlepas dari pengaruh alam sekitarnya, seperti:
sinar matahari, curah hujan, angin, kelembaban udara dan lain sebagainya. Fungsi lahan dalam usahatani adalah tempat menyelenggarakan kegiatan produksi
pertanian usaha bercocok tanam dan pemeliharaan ternak dan tempat pemukiman keluarga tani Tjakrawiralaksana 1985.
Menurut Hernanto 1988 pada umumnya di Indonesia lahan merupakan faktor produksi yang relatif langka dibandingkan dengan faktor produksi lainnya
dan distribusi penguasaannya tidak merata di masyarakat. Oleh karena itu lahan mempunyai beberapa sifat, antara lain: a bukan merupakan barang produksi; b
luas relatif tetap atau dianggap tetap atau tidak dapat diperbanyak; c tidak dapat
27
dipindah-pindahkan; d dapat dipindahtangankan dan atau diperjualbelikan; e tidak ada penyusutan tahan lama; dan f bunga atas lahan dipengaruhi oleh
produktivitas lahan. Karena sifatnya yang khusus tersebut, lahan kemudian dianggap sebagai salah satu faktor produksi usahatani.
Lahan merupakan jenis modal yang sangat penting yang harus dibedakan dari jenis modal lainnya sehingga faktor lahan perlu digunakan atau dimanfaatkan
secara efisien. Usaha-usaha untuk meningkatkan efisiensi pengusahaan lahan antara lain pemilihan komoditas cabang usahatani dan pengaturan pola tanam.
Ukuran efisiensi penggunaan lahan adalah perbandingan antara output dan input. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam usahatani berkaitan dengan lahan yang
digunakan adalah sumber dan status lahan, nilai lahan, fragmentasi lahan, lahan sebagai ukuran usahatani, serta perkembangan penguasaan lahan di Indonesia.
1 Sumber Pengusahaan Lahan
Hernanto 1988 mengutarakan bahwa lahan yang diusahakan petani diperoleh dari berbagai sumber, yakni: a lahan milik, dibuktikan
dengan surat bukti pemilikan sertifikat yang dikeluarkan oleh negara melalui Direktorat Jenderal Agraria; b lahan sewa, sebaiknya bukti
dibuat oleh pejabat yang berwenang agar apabila terjadi hal yang tidak diinginkan dapat diselesaikan secara hukum; c lahan sakap, telah diatur
oleh undang-undang bagi hasil UUBH atau UU No. 2 tahun 1960; d lahan pemberian negara atau lahan milik negara yang diberikan kepada
seseorang yang mengikuti program pemerintah dan berjasa kepada negara, dalam hal ini pemilikannya dapat melalui prosedur gratis, ganti rugi dan
kredit; e lahan waris, lahan yang karena hukum tertentu agama dibagikan kepada ahli warisnya; f lahan wakaf, lahan yang diberikan atas
seseorang atau badan kepada pihak lain untuk kegiatan sosial; dan g lahan yang dibuka sendiri.
2 Status Penguasaan Lahan
Lahan-lahan yang diusahakan oleh para petani biasanya mempunyai status yang menunjukkan hubungan hukum antara petani
dengan lahan yang diusahakannya. Dengan demikian status lahan tersebut akan memberikan kontribusi bagi penggarapnya. Tjakrawiralaksana 1985
28
membagi status-status hukum lahan menjadi status hak milik, status hak sewa, status hak bagi hasil sakap, status hak gadai dan status hak pakai
atau hak guna usaha HGU. Status lahan merupakan faktor penting dalam usaha pengembangan usahatani, karena faktor ini dapat mempengaruhi
kesediaan para petani melakukan investasi pada lahan atau menggunakan teknologi baru yang menguntungkan.
Dalam hubungannya dengan pengelolaan usahatani dikaitkan dengan lahan sebagai faktor produksi, status lahan mempunyai
keunggulan-keunggulan maupun kelemahan-kelemahan. Keunggulan lahan dengan hak milik petani, diantaranya adalah: a petani bebas
mengusahkan lahannya; b petani bebas merencanakan seseuatu kepada lahannya baik jangka pendek maupun jangka panjang; c petani bebas
menentukan cabang usaha untuk lahan sesuai dengan faktor-faktor fisik dan faktor ekonomi yang dimiliki; d petani bebas menggunakan
teknologi dan cara budidaya tanpa campur tangan orang lain; dan e petani bebas memperjualbelikan, menyewakan, dan menggadaikan
lahannya. Lahan dengan hak sewa mempunyai kewenangan seperti lahan
dengan hak milik di luar batas jangka waktu sewa yang disepakati. Penyewa tidak mempunyai kewenangan untuk menjual dan menjaminkan
lahan sebagai anggunan. Dalam hal perencanaan usaha, penyewa harus mempertimbangkan jangka waktu sewa. Lahan dengan hak sakap tidak
mempunyai kewenangan untuk menjual lahan. Dalam setiap kegiatan pengusahaan usahatani, seperti penentuan cabang usaha dan pilihan
teknologi harus dikonsultasikan dengan pemilknya. Status lahan yang terdapat di perdesaan Pulau Jawa menimbulkan
semacam tangga pertanian agricultural lader, yaitu status pemilikan lahan secara bertahap yang menunjukkan tingkatan atau status sosial di
dalam masyarakat dari petani pemilik ke buruh tani, misalnya: petani dengan hak milik terhadap lahan pada tangga pertanian memiliki posisi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani dengan hak sakap terhadap lahan Tjakrawiralaksana 1985.
29
3 Nilai Lahan
Semakin terbatasnya lahan yang tersedia dan semakin terjaminnya kepastian akan pemilikan lahan, maka akan selalu terjadi jual beli lahan.
Nilai lahan sangat bervariasi dari unsur waktu dan tempat. Di daerah perkotaan, lahan usahatani mempunyai nilai yang cukup tinggi, bahkan
terkadang tidak sebanding dengan nilai ekonomis dari hasil lahan tersebut. Soeharjo dan Patong 1973 mengutarakan nilai lahan tergantung kepada:
a tingkat kesuburan lahan, harga lahan yang lebih subur baik fisik maupun kimiawi lebih tinggi daripada lahan yang tidak subur; b fasilitas
pengairan, nilai lahan yang berpengairan baik lebih tinggi daripada lahan yang tidak berpengairan; dan c posisi lokasi, nilai lahan yang dekat
dengan jalan atau sarana penghubung lebih tinggi daripada lahan yang tidak dekat dengan jalan atau sarana penghubung.
4 Fragmentasi Lahan
Lahan yang diusahakan oleh para petani seringkali tidak merupakan satu kesatuan bidang, melainkan terdiri dari beberapa pecahan
yang letaknya tersebar. Keadaan lahan demikian sering diberi istilah fragmentasi lahan, sedangkan bagian-bagian pecahannya disebut fragmen
atau persil. Tjakrawiralaksana 1985 mengutarakan bahwa terjadinya fragmentasi pada lahan usahatani dipengaruhi oleh: kepadatan penduduk,
adat pewarisan harta benda yang berlaku dalam masyarakat, faktor alam misalnya: tanah longsor serta pergeseran aliran sungai dan aktivitas
manusia misalnya: pembuatan jalan, pembuatan terusan serta pembuatan saluran pengairan. Soeharjo dan Patong 1973 mengungkapkan kerugian
yang ditimbulkan oleh fragmentasi lahan, diantaranya adalah: a semakin sempitnya lahan-lahan petani; b menimbulkan pemborosan waktu dan
tenaga sehingga biaya produksi lebih tinggi; c menimbulkan kesulitan dalam pengawasan terutama serangan hama dan penyakit sehingga
produksi tidak setinggi pencapaian yang diharapkan; d petani tidak leluasa memilih tanaman atau komoditas yang paling menguntungkan; e
banyaknya lahan-lahan produktif yang hilang atau dikorbankan; f pembagian air pengairan sukar diatur; g alat-alat mekanisasi tidak dapat
30
digunakan; dan h kemungkinan percecokan antar petani lebih tinggi karena banyaknya tetangga lahan.
5 Lahan Sebagai Ukuran Usahatani
Lahan sebagai unsur produksi seringkali juga dipakai untuk pengukuran besaran usahatani size of business. Menurut Soeharjo dan
Patong 1973 ukuran-ukuran tersebut antara lain: a luas total lahan usahatani, yakni mengukur semua lahan yang dimiliki sebagai satu
kesatuan produksi; b luas tanam pertanaman, yakni mengukur luas tanaman yang diusahakan; c luas total tanaman, yakni memperhitungkan
luas dari semua cabang usahatani yang diusahakan; dan d luas tanaman utama, yakni mengukur luas tanaman pokok yang diusahakan. Namun,
menurut Tjakrawiralaksana 1985 ukuran tersebut bukanlah cara yang terbaik, keberatan-keberatan dalam pemakaiannya antara lain: a
pengukurannya tidak menyertakan keterangan mengenai kualitas daripada lahannya; b pengukurannya tidak menggambarkan hubungan dengan
pemakaian unsur-unsur produksi lainnya yang secara bersama-sama dapat mempengaruhi tingkat produksi; dan c pengukurannya tidak
memperhatikan adanya perbedaan letak ekonomis daripada lahan itu sendiri.
6 Perkembangan Penguasaan Lahan di Indonesia
Selama kurun waktu tiga dekade ini, perkembangan penguasaan lahan pertanian di Indonesia, termasuk didalamnya lahan sawah petani
padi, terbagi dalam tiga macam perkembangan ekonomi lahan, yakni: perkembangan konversi lahan pertanian, perkembangan distribusi
penguasaan lahan pertanian, serta perkembangan rumah tangga pertanian RTP dan luasan penguasaan lahan pertanian. Berdasarkan data hasil
sensus pertanian pada periode 1983, periode 1993, dan periode 2003 oleh BPS 2004, diacu dalam Lokollo et al. 2007, ketiga aspek tersebut dapat
dibahas secara spesifik dengan kemungkinan mempertimbangkan keterkaitan satu aspek dengan aspek lainnya. Ketiga aspek ekonomi lahan
tersebut pada dasarnya memiliki keterkaitan. Semakin besar proporsi RTP dengan status petani lahan sempit akan mendorong distribusi penguasaan
31
lahan yang semakin pincang, dan selanjutnya eksistensi petani lahan sempit akan mendorong terjadinya alih fungsi lahan konversi lahan
pertanian dan atau alih profesi ke sektor lain yang dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Perkembangan RTP menurut luas penguasaan lahan selama periode 1983-2003 Tabel 5 menunjukkan beberapa indikasi, diantaranya adalah:
a secara keseluruhan, pada sepuluh tahun terakhir selama periode 1993- 2003, terdapat indikasi polarisasi penguasaan lahan yang semakin serius;
b fakta empirisnya adalah RTP dengan penguasaan lahan 0,50 ha dan 2,0 ha meningkat relatif tajam, masing-masing sekitar 31,95 persen dan
74,95 persen. c sementara itu, kategori dengan luas 0,50-0,99 ha dan 1,00-1,99 ha hanya meningkat sebesar 5,28 persen dan 10,48 persen; d
hal yang serupa juga terjadi di luar Pulau Jawa yang diwakili oleh Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Kalimantan Selatan.
Tabel 5. Jumlah RTP Menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai di Provinsi
Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan pada Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003
Propinsi Golongan
luas lahan Jumlah rumah tangga
1983 1993
2003 1983-
1993 1993-
2003 Jabar
0,50 0,50-0,99
1,00-1,99 =2,00
1.630.281 674.801
393.820 173.595
2.305.065 544.761
242.540 90.853
2.557.823 465.297
194.910 76.317
41,39 20,90
38,41 47,66
10,97 12,83
19,64 16,00
Sumsel 0,50
0,50-0,99 1,00-1,99
=2,00 39.000
79.176 144.026
185.122 156.152
192.596 245.753
179.812 186.860
135.616 257.892
323.995 300,39
143,25 70,63
2,87 19,67
29,59 4,94
80,19 Kalsel
0,50 0,50-0,99
1,00-1,99 =2,00
85.787 67.735
72.108 53.464
143.009 92.150
69.259 35.061
180.449 98.953
87.031 77.062
66,70 36,04
3,95 34,42
26,18 7,38
25,66 119,79
Indonesia 0,50
0,50-0,99 1,00-1,99
=2,00 6.412.246
3.671.243 2.922.294
2.168.315 10.631.887
4.348.303 3.132.145
1.601.409 14.028.589
4.578.053 3.460.406
2.801.627 65,81
18,44 7,18
26,15 31,95
5,28 10,48
74,95
Sumber : Badan Pusat Statistika 2004, diacu dalam Lokollo et al. 2007
Perkembangan jumlah RTP, luas lahan yang dikuasai dan rataan luas penguasaan lahan di Indonesia, selama dua dasawarsa periode 1983-
32
2003, memberikan sejumlah informasi Tabel 6, diantaranya adalah: a jumlah RTP petani gurem meningkat secara konsisten, yaitu untuk RTP
0,10 ha sebesar 9,87 persen dan RTP 0,10-0,49 ha sebesar 2,03 persen; b jumlah RTP 2,0 ha petani luas menurun sebesar 2,19 persen namun
luasan yang dikuasai sangat besar mendekati 50,0 persen; c rataan luas lahan yang dikuasai petani gurem menurun, yaitu RTP 0,10 ha sebesar
0,03 ha dan RTP 0,10-0,49 ha sebesar 0,21 ha; d rataan luas penguasaan lahan petani luas periode 1993-2003 meningkat sebesar 0,46 ha; dan e
RTP 0,50-0,99 ha, rataan luasan lahannya meningkat sebesar 0,34 ha dan RTP 1,00-1,99 ha sebesar 0,15 ha, sehingga secara umum distribusi
penguasaan lahan antar kelompok petani nampak semakin timpang.
Tabel 6
. Jumlah RTP Pengguna Lahan Menurut Luas Lahan yang Dikuasai di Indonesia pada Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003.
Lahan yang
diusaha- kan
1983 1993
2003 1
2 3
1 2
3 1
2 3
0,10 1.245.960
7,30 63.722
0,38 0,05
1.594.375 7,54
82.979 0,49
0,05 4.269.044
17,17 96.255
0,49 0,02
0,10- 0,49
6.355.004 37,21
1.703.678 10,12
0,27 7.986.510
37,75 747.406
4,46 0,09
9.795.545 39,24
876.587 4,46
0,09 0,50-
0,99 4.000.264
23,42 2.655.352
15,77 0,66
4.373.203 20,67
3.906.272 23,29
0,89 4.578.053
18,41 4.581.431
23,29 1,00
1,00- 1,99
3.179.270 18,61
4.087.770 24,27
1,29 4.422.493
20,90 4.253.652
25,36 0,96
3.460.406 13,91
4.988.852 25,36
1,44 2,00
2.298.818 13,46
8.331.72 49,47
3,62 2.779.390
13,14 7.784.770
46,41 2,80
2.801.627 11,27
9.130.287 46,41
3,26 17.079.316
100,00 16.842.248
100,00 0,99
21.155.971 100,00
16.774.170 100,0
0,79 24.868.675
100,00 19.673.412
100,00 0,79
Sumber : Badan Pusat Statistika 2004, diacu dalam Lokollo et al. 2007 Keterangan : 1=Jumlah RTP; 2=luas tanah yang dikuasai; 3=rata-rata luas tanah yang kuasai
3.3. Pendapatan Usahatani