21
berkembang. Fenomena kedua disebabkan oleh rata-rata dan keragaman luas pemilikan dan garapan serta kegiatan usaha di luar sektor pertanian sudah
sangat berkembang terutama di desa contoh yang dekat dengan pusat industri. Korelasi antara total pendapatan dengan lahan milik di Sumatera Barat
nyata dengan koefisien korelasi 0,29. Sementara korelasi pada kasus yang lain tidak nyata. Kasus di Jawa Tengah dan Kalimantan Barat menunjukkan bahwa ada
hubungan terbalik antara total pendapatan dan luas pemilikan lahan. Pada kasus di Jawa Tengah menunjukkan peran kegiatan usaha di luar pertanian sudah cukup
besar terutama pada desa contoh yang dekat sentra industri. Sedangkan di Kalimantan Barat menunjukkan masih banyaknya lahan milik yang belum
tergarap dengan baik atau penggarapan di lakukan dengan cara gilir balik, serta masih rendahnya teknologi produksi yang diterapkan.
2.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengusahaan Lahan
Studi-studi untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah masih jarang dilakukan sehingga akan lebih dipaparkan
mengenai kajian pada studi yang menunjukkan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan, termasuk pengusahaan dan pemilikan lahan.
Beberapa kajian tersebut menjadi landasan utama dalam penetapan variabel- variabel di dalam penelitian ini.
Wiradi dan Manning 1984 mengungkapkan penyebab perubahan struktur agraria penguasaan lahan petani beberapa desa di DAS Cimanuk terdiri dari faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah umur petani, lama pendidikan petani, pendapatan RTP, akses memperoleh lahan, dan jumlah
tanggungan keluarga, sedangkan faktor eksternal yang dimaksud adalah pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah melalui rukun tetangga RT dan
rukun warga RW, intervensi swasta, faktor ekonomi kesejahteraan, faktor sosial budaya warisan, faktor alam dan kelembagaan hukum pertanian.
Kondisi perubahan penguasaan lahan semakin dipertegas melalui penelitian Tim Patanas Indonesia 1996 yang dilakukan di tujuh provinsi
Indonesia, yaitu di Daerah Istimewa Aceh, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Hasil
penelitiannya menyebutkan bahwa telah terjadi penurunan penguasaan lahan yang
22
disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan pengalaman petani, rendahnya kesadaran dalam kehadiran dalam penyuluhan, rendahnya proporsi pendapatan
usahatani terhadap total penerimaan RTP, rendahnya pemerataan pendapatan, tingginya jumlah tanggungan keluarga dan jumlah ahli waris, keterbatasan modal
kerja dan tabungan, rendahnya akses terhadap penggunaan lahan sawah, rendahnya akses terhadap informasi, rendahnya akses untuk memperoleh kredit
modal kerja, rendahnya harga hasil pertanian, tidak adanya dukungan kebijakan pemerintah meliputi: harga, perpajakan, dan agraria yang wajar, ketidakjelasan
arah pengembangan teknologi meliputi: peralatan mekanisasi dan tingkat penggunaan input modern, tidak adanya dukungan faktor alam meliputi:
kesuburan lahan atau produktivitas lahan dan serangan hama penyakit serta tingginya faktor risiko lahan.
Setiawan 2006, menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi semakin merosotnya penguasaan lahan. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah
faktor ekonomi misal: lemahnya proporsi pendapatan usahatani terhadap total penerimaan RTP, faktor alam misal: banjir, kekeringan, erosi, pencemaran,
iklim, cuaca, serangan hama penyakit yang semakin intensif, luas dan bervariasi sehingga sulit untuk diprediksi dan dikendalikan, kebijakan pemerintah tidak
mengutamakan pertanian kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian penguasaan sudah banyak dibuat, namun implementasinya tidak
efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap proaktif yang memadai dari pemangku kepentingan, akses petani terhadap penggunaan lahan pertanian yang
tersedia, jumlah tanggungan keluarga anak-anak pewaris tidak mendapatkan pekerjaan di luar sektor pertanian, akibatnya lahan warisan dibagi-bagi hingga
jelas batas-batas kepemilikannya, faktor sosial ekonomi misalnya: tingginya biaya sekolah anak dan terbatasnya kredit modal kerja di sektor pertanian.
Mayrowani et al. 2004, hak pemilikan lahan memiliki derajat okupasi yang relatif tinggi dibanding hak penggarapan. Pemilik tanah memiliki hak dan
kewenangan untuk menjual, menukarkan, menghibahkan atau mewariskan tanahnya itu kepada orang lain, sedangkan seorang penggarap pada hakekatnya
hanyalah memiliki hak untuk menggarap tanah tersebut sesuai sistem kelembagaan hubungan kerja yang berlaku di wilayah tersebut. Perubahan status
23
pemilikan atas tanah dapat terjadi, karena : 1 transaksi jual beli, 2 pertukaran, 3 hibah, dan 4 pewarisan. Sementara, perubahan hak penggarapan dapat
disebabkan oleh faktor seperti : 1 transaksi sewa, 2 bagi hasil, 3 hak penguasaan lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, faktor-faktor serupa juga diduga mempengaruhi pengusahaan lahan pertanian di Kelurahan Situmekar, Kecamatan
Lembursitu, Kota Sukabumi. Perbedaannya dalam penelitian ini, faktor-faktor yang diduga mempengaruhi pengusahaan lahan sawah, antara lain: status
penguasaan lahan terdiri dari: kelompok status pemilik, kelompok status pemilik dan penggarap, serta kelompok status penggarap, umur, pendidikan, pengalaman
bertani, jumlah tanggungan keluarga, jumlah keluarga yang bekerja di sektor pertanian, jumlah hari kerja, jumlah organisasi yang diikuti, interaksi pertemuan di
kelompok tani, hutang, aset, luas lahan sawah yang dikuasai, luas lahan milik, produktivitas padi, biaya usahatani, penerimaan usahatani, dan pendapatan
usahatani.
24
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.