Hubungan Penguasaan Lahan Sawah dengan Pendapatan Usahatani Padi (Studi Kasus Kelompok Tani Harum IV Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi)

(1)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2011), peranan penting sektor pertanian dalam arti luas (Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan)dapat terlihat dari kontribusinya terhadap nilai PDB, atas dasar harga berlaku tahun 2010 PDB pertanian sebesar 985,1 triliun rupiah atau sebesar 15,33 persen terhadap total nilai PDB. Selain itu, sektor pertanian juga mampu menyerap tenaga kerja sebesar 41.494.941 jiwa atau sebesesar 38,35 persen terhadap total nilai tenaga kerja1. Peran penting sektor pertanian lainnya dapat terlihat dari sumbangannya terhadap devisa negara. Total devisa yang diperoleh dari kegiatan ekspor pertanian di tahun 2008 mampu mencapai US$ 17.979.58 juta2.

Salah satu produk pertanian strategis Indonesia yang menjadi komoditi utama ketahanan pangan nasional adalah padi. Padi merupakan sumber makanan pokok mayoritas penduduk Indonesia, ketersediannya sangat tergantung pada dinamika produksi dan konsumsi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2010), produksi padi dari tahun 2008-2010 mengalami peningkatan sebesar 9,37 persen. Pada tahun 2010, produksi padi sebesar 65.980.670 ton Gabah Kering Giling (GKG), dengan tingkat rendemen sebesar 0,6 jumlah ketersediaan gabah tersebut diperkirakan setara dengan 39.588.402 ton beras. Untuk melihat dinamika kebutuhan beras nasional, dapat didekati dari tingkat konsumsi beras per kapita. Menurut Deputi Bidang Statistik Produksi Badan Pusat Statistik (BPS), Subagio Dwijosumono, asumsi konsumsi beras per kapita per tahun rakyat Indonesia sebanyak 139,15 kg3. Oleh karena itu, untuk mencukupi kebutuhan konsumsi 237.556.363 jiwa penduduk Indonesia, diperlukan beras sebanyak 38 juta ton. Sekilas berdasarkan perhitungan angka angka statistik tersebut, terlihat bahwa Indonesia sebetulnya mengalami surplus beras. Akan tetapi dengan melihat fakta

1

Badan Pusat Statistik. 2010. Penduduk 15 Tahun Ke Atas Menurut Status Pekerjaan Utama 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009 dan 2010.

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=06&notab=3. [26 Maret 2011].

2

Kementrian Pertanian. 2010. Rancangan Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. http://agribisnis.deptan.go.id/organisasi/renstra_Ditjen_PPHP.pdf. [28 Maret 2011].

3

Berita Terbaru. 2011. BPS: Jika dihitung, Indonesia Surplus Beras 4 Juta Ton.

http://www.berita-terbaru.com/berita-nasional/bps-thn-2011-seharusnya-beras-surplus-4jt-ton-tapi-kemana-yah-larinya-ayo-tebak.html. [29 Maret 2011].


(2)

2

adanya impor beras yang jumlahnya relatif besar dan kelangkaan beras di penghujung tahun 2010, mengindikasikan kenyataan sebaliknya, bahwa ketersediaan beras nasional Indonesia belum aman dan masih tergantung pada impor luar negeri.

Keragaan ekspor dan impor beras Indonesia dapat terlihat pada Tabel 1. Berdasarkan tabel tersebut, impor beras di tahun 2008 mencapai 289.689,411 ton. Namun, pada tahun 2009 jumlah tersebut menurun 13,5 persen menjadi sebesar 250.473,149 ton. Pada tahun 2010 impor beras kembali mengalami penurunan sebesar 31,6 persen menjadi sebesar 171.442,022 ton. Akibat kelangkaan beras di akhir tahun 2010, pada tahun 2011 ini, pemerintah telah mengeluarkan izin impor beras sebanyak 1,5 juta ton untuk mencukupi stok Badan Urusan Logistik (Bulog)4. Terakhir Indonesia mengimpor beras dalam jumlah besar pada tahun 1998 sebesar 5,8 juta ton dan 4 juta ton pada tahun 1999 dengan rata-rata impor sebesar 2 juta ton/tahun5. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara importer beras terbesar di dunia dan menunjukkan rentannya kemandirian pangan, padahal sejarah mencatat pada tahun 1984 Indonesia mampu mendapatkan penghargaan oleh Badan Pangan Sedunia (FAO) karena dinilai telah berhasil memenuhi kebutuhan pangan nasional (swasembada beras).

Tabel 1. Ekspor-Impor Beras Indonesia Tahun 2008 -2011

Sumber : Badan Pusat Statistik (2010) Ket : *) Rencana Impor Bulog 2011

4

Berita Terbaru. 2011. BPS: Jika dihitung, Indonesia Surplus Beras 4 Juta Ton.

http://www.berita-terbaru.com/berita-nasional/bps-thn-2011-seharusnya-beras-surplus-4jt-ton-tapi-kemana-yah-larinya-ayo-tebak.html. [29 Maret 2011].

5

Husodo SY. 2003. Membangun Kemandirian di Bidang Pangan: Suatu Kebutuhan bagi Indonesia. Jurnal Ekonomi Rakyat Artikel - Th. II - No. 6.

http://www.ekonomirakyat.org/edisi_18/artikel_3.htm. [16 April 2011]

Tahun Ekspor

(Ton)

Laju Ekspor (%)

Impor (Ton)

Laju Impor (%)

2008 722,364 289.689

2009 2.344,057 224,5 250.473 -13,5

2010 203,284 -91,3 171.442 -31,6


(3)

3

Salah satu upaya mengurangi impor beras adalah dengan peningkatan produksi padi. Peningkatan produksi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu intensifikasi dan ektensifikasi. Salah satu hambatan program intensifikasi maupun ekstensifikasi adalah adanya alih fungsi (konversi) lahan pertanian. Masalah ini muncul seiring dengan semakin tinggi dan bertambahnya kebutuhan dan permintaan terhadap lahan, khususnya dari sektor non pertanian seperti sektor perumahan, sebagai dampak kegiatan pembangunan.

Salah satu sumber data yang menjadi acuan dalam menjelaskan terjadinya konversi lahan adalah Sensus Pertanian (SP) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik. SP dilakukan secara periodik setiap 10 tahun sekali, mulai 1973, 1983, 1993, dan 2003. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian yang sudah dilakukan selama tiga dekade terakhir, yaitu pada tahun 1983, 1993, dan 2003 oleh Badan Pusat Statistik (Tabel 2), selama periode 1983-1993 konversi lahan pertanian mencapai 1.280.268 ha, dan sebagian besar terjadi di Jawa (79,3 persen). Pada dasawarsa berikutnya (1993-2003), besaran konversi lahan pertanian relatif tidak mengalami perubahan yang berarti, yaitu sebesar 1.264.140 ha, dan sebagian besar terjadi di Sumatera (92,3 persen). Sejalan dengan dinamika pembangunan, sebaran konversi lahan pertanian cenderung mengalami pergeseran dari Jawa ke luar Jawa terutama Sumatera.

Tabel 2. Konversi Lahan Pertanian di Indonesia, 1983-2003 (Hektar)

Wilayah Total lahan pertanian Konversi lahan

SP 19831)

SP 19932)

SP 20033)

1983-1993 1993-2003 Jawa 5.422.449 4.407.029 4.019.887 -1.015.420 -387.142 Bali & Nusa

Tenggara 1.208.164 1.060.218 1.095.551 -147.946 +35.293 Sumatera 5.668.811 5.416.601 4.249.706 -252.210 -1.166.895 Sulawesi 1.637.811 1.772.444 2.184.508 +134.693 +412.064 Kalimantan 2.222.153 2.191.596 2.096.230 -30.557 -95.357

Maluku 378.662 400.339 351.970 +21.717 -48.369

Irian Jaya 166.322 175.777 142.043 +9.455 -33.734 INDONESIA 16.704.272 15.424.004 16.704.272 -1.280.268 -1.264.140 Sumber: Badan Pusat Statistik 2004, diacu dalam Lokollo et al. 2007

1) Sensus Pertanian Seri J3, 1983 2) Sensus Pertanian Seri J3, 1993 3) Sensus Pertanian Seri A3, 2003


(4)

4

pengurangan sebanyak 1.402.562 ha atau sebanyak 70.128,1 ha/tahun. Konversi lahan pertanian ke non pertanian berdasarkan ketentuan UUPA No 5 Tahun 1960 dibenarkan jika dalam waktu yang bersamaan terjadi pencetakan lahan pertanian baru yang disesuaikan dengan kualitas lahannya. Minimnya program pencetakan lahan baru, menyebabkan dampak utama konversi lahan adalah berkurangnya produksi pertanian. Seberapa besar dampak kehilangan ini dapat digambarkan dengan ilustrasi jika semua luas areal pertanian yang hilang tersebut dimanfaatkan untuk budidaya padi. Dengan asumsi intensitas pertanaman (IP) sebesar 150, produktifitas padi sebesar 5,6 ton/ha serta rendemen gabah-padi sebesar 60 persen, maka konversi lahan telah mengurangi potensi gabah sebesar 589.076,04 ton gabah/tahun atau 353.445,62 ton beras/tahun, dengan harga beras medium saat ini sebesar Rp 6000/kg, maka nilai kehilangan beras diperkirakan sebesar 2,12 triliun rupiah/tahun.

Oleh karena itu, pengendalian laju konversi sangat penting dilakukan untuk tercapainya ketersediaan beras nasional. Jika konversi terus berlangsung dan upaya untuk melaksanakan ekstensifikasi tidak terwujud atau terkendala, maka produksi gabah atau beras nasional akan semakin berkurang. Upaya pengendalian konversi lahan pertanian tersebut menjadi cukup mendesak mengingat pertumbuhan produksi beras akhir-akhir ini mengalami stagnasi akibat terkendala oleh kejenuhan teknologi.

Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa lahan merupakan faktor produksi utama dalam usaha pertanian. Dengan kata lain, eksistensi lahan dapat dianggap sebagai tumpuan dalam produksi usahatani khususnya padi untuk memenuhi ketersediaan beras nasional. Oleh karena itu, upaya untuk terus meningkatkan penguasaan dan pengusahaan lahan secara optimal, khususnya lahan sawah perlu semakin ditingkatkan dengan pertimbangan: (a) swasembada beras saat ini masih belum stabil, kemungkinan impor beras masih mungkin terjadi, salah satu penyebab utamanya adalah peningkatan bencana alam di Indonesia; (b) pasar pangan padi di dunia semakin kecil, akibat negara produsen padi cenderung untuk mengamankan produksi dalam negerinya; (c) keterbatasan devisa Indonesia, sebagai gambaran selama periode 1996-2005 devisa negara berkurang sebanyak 14,7 triliun rupiah per tahun untuk mengimpor beras; (d) berkembangnya


(5)

5

bioenergi yang berdampak terhadap menurunnya ketersediaan pangan yang berimplikasi terhadap peningkatan harga pangan secara umum; dan (e) mengimbangi pertumbuhan penduduk Indonesia yang selalu bernilai positif (Surya 2011).

Selain adanya konversi lahan pertanian, ketersediaan gabah atau beras juga dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penguasaan lahan sawah oleh rumah tangga petani padi. Tabel 3 menyajikan data SP 1983, 1993 dan 2003 mengenai jumlah rumah tangga pertanian (RTP) penggunaan lahan berdasarkan luas lahan yang dikuasai. Berdasarkan tabel tersebut terlihat jumlah rumah tangga petani pengguna lahan yang < 0,49 ha mengalami peningkatan yang cukup besar. Jika pada tahun 1983 jumlahnya sebanyak 7,600,964 RTP, maka pada tahun 2003 jumlahnya menjadi 14,064,589 RTP. Dengan demikian kenaikan jumlah RTP luas lahan < 0,49 ha selama 20 tahun sebesar 85,04 persen. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui rata-rata kepemilikan lahan petani pada tahun 1983 sebesar 0,23 ha dan kepemilikan ini semakin kecil karena di tahun 2003 menjadi 0,07 ha. Berkurangnya lahan yang dikuasi oleh petani mengindikasikan kesejahteraan petani semakin berkurang.

Tabel 3. Jumlah RTP Pengguna Lahan Menurut Luas Lahan yang Dikuasai di Indonesia pada Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003.

Luas Lahan (ha) 1983 1993 2003

RTP Luas Lahan (Ha) RTP Luas Lahan (Ha) RTP Luas Lahan (Ha) < 0.49 7,600,964 1,767,400 9,580,885 830,385 14,064,589 972,842

44.50 18.92 45.29 4.95 56.47 4.94

0.5-0.99 4,000,264 2,655,352 4,373,203 3,906,272 4,578,053 4,581,431

23.42 28.42 20.67 23.29 18.38 23.29

1-1.99 3,179,270 4,087,770 4,422,493 4,253,652 3,460,406 4,988,852

18.61 43.75 20.90 25.36 13.89 25.36

> 2 2,298,818 833,172 2,779,390 7,784,770 2,801,627 9,130,287

13.46 8.92 13.14 46.41 11.25 46.41

17,079,403 9,343,785 21,156,058 16,775,133 24,904,764 19,673,466 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Sumber: Badan Pusat Statistika 2004, diacu dalam Lokollo et al. 2007

Semakin sempitnya luas kepemilikan lahan, maka produksi padi yang dihasilkan per rumah tangga petani semakin berkurang, implikasinya pendapatan


(6)

6

petani pun semakin berkurang. Dilihat dari perspektif penguasaan lahan, salah satu upaya yang akan dilakukan oleh petani untuk mempertahankan kehidupannya pada kondisi pendapatan petani semakin berkurang adalah dengan cara meningkatkan penguasaan lahan. Penguasaan lahan oleh petani dapat dilakukan dengan cara membeli, menyakap, menyewa, dan meminjam. Mengingat profil petani Indonesia yang sebagian besar merupakan kelompok berpendapatan rendah, maka upaya penguasaan lahan yang paling banyak dilakukan oleh petani adalah dengan cara menyakap, menyewa dan meminjam.

1.2. Perumusan Masalah

Pembangunan pertanian di Indonesia dihadapkan pada berbagai perubahan kondisi sosial ekonomi petani dan usaha pertanian di perdesaan. Beberapa perubahan yang juga menjadi permasalahan dalam pembangunan pertanian di Indonesia, antara lain: (1) semakin meningkatnya Rumah Tangga Petani, sementara pengusahaan dan penguasaan lahan pertanian per keluarga petani semakin kecil, yang diakibatkan karena tingginya laju konversi lahan ke penggunaan non pertanian; (2) Tenaga kerja pertanian didominasi oleh tenaga kerja usia tua serta tidak tertariknya tenaga kerja muda dan berpendidikan tinggi untuk bekerja di sektor pertanian; (3) Ada kecenderungan menurunnya penggunaan berbagai input produksi (pupuk dan pestisida) disebabkan daya beli dan nilai tukar petani yang makin menurun; dan (4) Peranan sektor pertanian pada PDB semakin menurun, namun tidak diikuti oleh menurunnya penyerapan tenaga kerja. Hal ini menyebabkan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian relatif rendah dibanding sektor non pertanian sehingga pendapatan rumah tangga petani yang diperoleh rendah (Lokollo et al. 2007).

Gambaran terhadap tantangan pembangunan pertanian di atas juga diperkuat dari beberapa kesimpulan yang bisa diperoleh dari hasil Sensus Pertanian tahun1983-2003, yaitu: (1) jumlah rumah tangga petani semakin meningkat dan peningkatan tersebut didominasi oleh petani dengan skala < 0,5 ha, (2) rata-rata kepemilikan lahan petani yang termasuk ke dalam kelompok < 0,5 ha semakin kecil, dan (3) semakin banyaknya petani yang tidak memiliki lahan atau tunakisma. Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka dapat muncul suatu pertanyaan “Apakah


(7)

7

dengan semakin kecilnya kepemilikan lahan pertanian akan berpengaruh terhadap semakin kecilnya pendapatan petani?”.

Status lahan pertanian dapat dilihat berdasarkan penguasaan dan pengusahaan lahan. Penguasaan lahan diartikan sebagai lahan yang dikuasai oleh petani dan dilakukan melalui pembelian lahan, sakap, sewa, gadai, dan pinjam. Akan tetapi tidak semua lahan yang dikuasi tersebut diusahakan oleh petani. Besar kecilnya penguasaan dan pengusahaan lahan pertanian dapat berhubungan dengan pendapatan rumah tangga petani, tergantung pada struktur mata pencaharian rumah tangga petani. Kesimpulanpenelitian yang dilakukan oleh Supriyati, Saptana, dan Supriyatna Y (2003) tentang “Hubungan Penguasaan Lahan dan Pendapatan Rumah Tangga di Perdesaan”, memberikan gambaran sebegai berikut ini: pertama, jika mata pencaharian rumah tangga petani di dominasi dari sektor pertanian, maka terjadi pola hubungan yang positif antara penguasaan lahan dengan pendapatan petani. Kedua, jika mata pencaharian rumah tangga petani di dominasi dari sektor non pertanian, maka terjadi hubungan yang negatif antara penguasaan lahan dengan pendapatan petani. Dengan demikian, konsep yang tepat untuk menggambarkan hubungan antara status lahan dan pendapatan petani bukan dengan konsep penguasaan lahan melainkan dengan konsep pengusahaan lahan.

Fenomena semakin kecilnya kepemilikan lahan oleh petani diindikasikan hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Kota Sukabumi. Sebagai salah satu kota di Propinsi Jawa Barat, dinamika penguasaan lahan rumah tangga petani di Kota Sukabumi menarik untuk dikaji dengan pertimbangan sebagai berikut ini :

1. Berdasarkan data Sensus Pertanian terakhir, yaitu Sensus Pertanian Tahun 2003, rata rata luas lahan yang dikuasai rumah tangga pertanian di Kota Sukabumi sebesar 0,14 ha, sedikit lebih kecil dibandingkan dengan Kabupaten Cianjur yang memiliki rata rata luas lahan yang dikuasai rumah tangga petani sebesar 0,15 ha. Kita semua mengetahui bahwa Kabupaten Cianjur merupakan kabupaten sentra produksi beras, meskipun demikian merupakan hal yang menarik untuk mempelajari karakteristik petani di Kota Sukabumi terutama hubungannya dengan penguasaan dan pengusahaan


(8)

8

lahan, mengingat rata rata kepemilikan lahannya yang tidak jauh berbeda dengan Kabupaten Cianjur.

2. Berdasarkan laporan dari Bank Indonesia tahun 2010, dibandingkan dengan kota lainnya di Jawa Barat seperti Kota Bogor, Bandung, Cirebon, Bekasi, Depok, dan Kota Tasikmalaya, maka inflasi untuk sektor perumahan di Kota Sukabumi adalah yang paling tinggi, yaitu sebesar 11,32 persen6. Mencermati angka inflasi tersebut terlihat bahwa prospek industri perumahan di Kota Sukabumi sangat baik, terlebih setelah lesunya industri perumahan di Kota Depok dan Bekasi yang ditandai dengan nilai inflasi yang negatif. Membaiknya prospek industri perumahan di Kota Sukabumi akan mengakibatkan besarnya permintaan akan lahan, sehingga dengan kata lain permintaan lahan yang tinggi akan memicu terjadinya konversi lahan. 3. Konversi di Kota Sukabumi secara tidak langsung akan mempengaruhi pola

distribusi penguasaan dan pengusahaan lahan oleh rumah tangga petani. Pola distribusi penguasaan lahan selanjutnya akan berhubungan dengan pendapatan rumah tangga petani.

Tabel 4. Luas Wilayah, Jumlah Petani, dan Luas Sawah Irigasi Desa Tiap Kecamatan 2007

No Kecamatan Luas

(Km2)

Jumlah Petani

Luas Lahan Sawah

Luas Panen Bersih (ha)

Produkti-fitas Padi (ton/ha)

Produksi Padi (ton)

1 Baros 6,11 2.114 289,60 707,75 8,22 5.817,71

2 Citamiang 4,04 661 79,41 279,30 7,62 2.128,27

3 Warudoyong 7,60 1.762 25,99 690,65 7,15 4.938,15

4 Gunung Puyuh 5,50 2.315 14,70 482,60 8,13 3.925,47

5 Cikole 7,08 535 10,98 387,60 7,12 2.759,71

6 Lembursitu 8,90 3.100 344,70 641,25 8,10 5.194,13

7 Cibeureum 8,77 2.325 505,44 895,85 7,32 6.557,62

Sumber: Kota Sukabumi dalam Angka (2008)

6

Berdasarkan Kajian Ekonomi Regional Propinsi Jawa Barat oleh Bank Indonesia pada triwulan 4 tahun 2010, diketahui inflasi sektor perumahan di tiap kota di Jawa Barat, yaitu ;Kota Sukabumi 11,32 persen, Kota Bogor 1,62 persen, Kota Bandung 1,74 persen, Kota Cirebon 3,64 persen, Kota Bekasi – 0,29 persen, Kota Depok, -0,69 persen dan Kota Tasikmalaya 6,47 persen.


(9)

9

Secara administratif, Kota Sukabumi terbagi menjadi 7 (tujuh) kecamatan, yaitu Kecamatan Baros, Citamiang, Warudoyong, Gunung Puyuh, Cikole, Lembursitu, dan Cibeureum. Tabel 4 menyajikan luas wilayah, jumlah petani, luas sawah irigasi desa, luas panen bersih, produktifitas padi dan produksi padi di tiap tiap kecamatan. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa dari luas wilayah, Kecamatan Lembursitu paling luas dibandingkan kecamatan lainnya, selain itu jumlah petani di Kecamatan Lembursitu pun paling banyak, akan tetapi jika dilihat dari luas areal sawah irigasi desa, Kecamatan Cibeureum merupakan kecamatan yang paling luas areal sawah irigasinya.

Jika dikaitkan dengan isu ketimpangan penguasaan lahan, maka kajian terhadap Kecamatan Lembursitu akan lebih menarik dibandingkan dengan kecamatan lainnya, dengan jumlah petani yang relatif banyak, akan tetapi luas panen bersih tanaman padi yang tidak sebesar Kecamatan Cibeureum dan Warudoyong, maka diperkirakan bahwa rata-rata penguasaan lahan sawah petani di Kecamatan Lembursitu relatif kecil jika dibandingkan dengan Cibeureum dan Warudoyong. Gejala awal konversi akan terlihat dari perpindahan hak milik yang mengakibatkan ketimpangan pola distribusi lahan. Dengan rata-rata kepemilikan lahan yang kecil, maka diperkirakan pola distribusi penguasaan lahan di Kecamatan Lembursitu relatif timpang. Kondisi ini dapat mengakibatkan terhadap perubahan struktur petani yang didominasi oleh kelompok petani penggarap.

Kelurahan Situmekar merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Lembursitu Kota Sukabumi yang memiliki potensi dalam menghasilkan padi sawah. Luas areal lahan sawah berdasarkan jenis pengairan di Kelurahan Situmekar mencapai 63,330 ha (40,84 % dari luas Kelurahan Situmekar sebesar 155,040 ha). Meskipun sistem irigasi yang digunakan hanyalah sistem irigasi sederhana, namun kelurahan ini mampu menghasilkan kualitas padi sawah terbaik dibandingkan dengan kelurahan-kelurahan lain yang ada di Kecamatan Lembursitu, karena letaknya yang paling dekat dengan sumber air yaitu dekat dengan Sungai Cikadulawang.

Hal lainnya yang menarik untuk di kaji di Kelurahan Situmekar adalah rendahnya rata rata penguasaan lahan dan adanya gap pendapatan antara petani pemilik lahan dengan petani bukan pemilik lahan. Salah satu potret rendahnya


(10)

10

rata-rata penguasaan lahan dan adanya gap pendapatan antara petani pemilik lahan dengan petani bukan pemilik lahan terjadi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi. Berdasarkan hasil pendataan penyuluh pertanian kota Sukabumi tahun 2009, rata-rata penguasaan lahan sawah di Kelompok Tani Harum IV, baik berdasarkan pengelompokan lahan milik dan bukan milik (sewa, bagi hasil/sakap, gadai, dan pinjam) adalah sebesar 0,09 ha/petani dengan jumlah petani sebanyak 32 orang. Selain itu berdasarkan hasil pendataan penyuluh pertanian (2008), terdapat gap yang cukup besar pada rata-rata tingkat pendapatan usahatani/ha/tahun antara petani lahan milik dan petani bukan milik, yaitu masing-masing sebesar Rp 8.250.000,00 dan Rp 3.987.750,00, sehingga diperkirakan kecenderungan pendapatan yang diperoleh antara petani lahan milik dan bukan milik masing masing sebesar Rp 618.750,00 per bulan dan Rp 299.081,25 per bulan. Hal ini tentu saja jauh dari standar upah minimum regional (UMR) atau ukuran kesejahteraan di wilayah manapun.

Kecilnya pendapatan dari usahatani padi di Kelompok Tani Harum IV, mengakibatkan RTP mencari pekerjaan lain di luar usahataninya untuk melindungi mereka dari tingkat kesejahteraan yang semakin menurun. Menurut Handewi et al. (2002) peranan pendapatan yang berasal dari usahatani padi pada berbagai strata penguasaan lahan sawah diperkirakan hanya dapat mengatasi 21 persen hingga 38 persen terhadap keseluruhan pengeluaran rumah tangga sehingga petani padi harus meningkatkan luasan penguasaan lahan sawahnya apabila ingin mengatasi pengeluaran rumah tangganya dan tetap fokus dalam usahatani padi.

Berdasarkan uraian sebelumnya, kajian terhadap status lahan dan pendapatan petani di Kota Sukabumi dimulai dengan pemahaman terhadap tingginya inflasi perumahan yang memungkinkan terjadinya konversi lahan di wilayah tersebut. Motivasi petani untuk menjual atau mempertahankan lahan yang dimilikinya akan dipengaruhi oleh persepsi petani atas kemampuan usahatani dalam menghidupi keluarganya. Kemampuan petani dalam meningkatkan penguasaan lahan pertanian akan mempengaruhi terhadap struktur pendapatan rumah tangga pertanian, apakah rumah tangga tersebut akan bergantung pada


(11)

11

sektor pertanian atau tergantung pada sektor non pertanian. Dengan demikian berdasarkan uraian permasalahan, penulis mencoba untuk merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut ini:

1) Bagaimana pola distribusi penguasaan lahan petani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi?

2) Apakah terdapat perbedaan pendapatan usahatani padi sawah berdasarkan status penguasaan lahan sawahnya di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi?

3) Apakah terdapat hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi?

4) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah petani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini, yaitu:

1) Menganalisis pola distribusi penguasaan lahan petani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi.

2) Menganalisis pendapatan usahatani padi sawah berdasarkan status penguasaan lahan sawahnya di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi.

3) Menganalisis hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan

pendapatan usahatani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi.

4) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah petani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi.


(12)

12

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: (1) penulis sebagai sarana pembelajaran dan penerapan ilmu; (2) petani sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam melakukan penguasaan lahan di Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi; (3) pihak penyuluh pertanian sebagai bahan informasi dan evaluasi program yang akan datang; (4) pemerintah dalam upaya penyusunan strategi dan kebijakan pertanian yang lebih baik; dan (5) peneliti lain yang ingin mengembangkan penelitian ini pada tahap berikutnya.

1.5. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan dengan lingkup regional yaitu Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi, Propinsi Jawa Barat dengan padi sawah sebagai komoditi yang akan diteliti. Petani yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah petani padi sawah yang tergabung dalam Kelompok Tani Harum IV.

Objek penelitian ini meliputi penguasaan lahan yang dibedakan berdasarkan statusnya serta faktor-faktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan lahan dalam penelitian ini adalah status penguasaan lahan (terdiri dari: kelompok status pemilik, kelompok status pemilik dan penggarap, serta kelompok status penggarap), umur, pendidikan, pengalaman bertani, jumlah tanggungan keluarga, jumlah keluarga yang bekerja di sektor pertanian, jumlah hari kerja, jumlah organisasi yang diikuti, interaksi pertemuan di kelompok tani, hutang, aset, luas lahan sawah yang dikuasai, luas lahan milik, produktivitas padi, biaya usahatani, penerimaan usahatani, dan pendapatan usahatani.

Selain itu, untuk memenuhi tujuan penelitian tentang hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani, maka yang menjadi variabel dependentnya adalah luas pengusahaan lahan sawah, sedangkan yang menjadi variabel independentnya adalah pendapatan. Hubungan ini tidak bersifat simultan, artinya dalam penelitian ini tidak dilakukan hubungan sebaliknya.


(13)

13

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan

Menurut Wiradi (2008) dalam tulisannya tentang “Pola Penguasaan

Tanah dan Reforma Agraria”, istilah land tenure dan land tenancy sebenarnya

merupakan dua sejoli, namun pengertian atau bidang yang diartikan oleh masing-masing istilah tersebut dalam penggunannya agak berbeda. Kata land memang sudah jelas yaitu tanah, sedangkan kata tenure berasal dari kata dalam bahasa latin tenere yang mencakup arti: memelihara, memegang, memiliki. Oleh karena itu, land tenure memperoleh arti: hak atas tanah atau penguasaan tanah. Istilah land

tenure biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah yang

pokok-pokok umumnya adalah mengenai status hukum dari penguasaan tanah seperti hak milik, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Uraian itu menunjukkan kepada pendekatan juridis. Artinya penelaahannya biasanya bertolak dari sistem yang berlaku yang mengatur kemungkinan penggunaan, mengatur syarat-syarat untuk dapat menggarap tanah bagi penggarapnya, dan berapa lama penggarapan itu dapat berlangsung.

Kata land tenancy secara etimologis adalah saudara kembar dari kata land tenure. Sebab, kata tenant mempunyai arti: orang yang memiliki, memegang, menempati, menduduki, menggunakan atau menyewa sebidang tanah tertentu. Tetapi, suatu uraian yang menggunakan istilah ini biasanya menunjuk kepada pendekatan ekonomis. Artinya, penelaahannya meliputi hal-hal yang menyangkut hubungan penggarapan tanah. Objek penelaahan itu biasanya berkisar di sekitar pembagian hasil antara pemilik dan penggarap tanah, faktor-faktor tenaga kerja, investasi-investasi, besarnya nilai sewa, dan sebagainya.

Di Indonesia, nampaknya soal peristilahan hubungan penguasa tanah belum dibakukan. Ada yang berpendapat bahwa land tenancy sebaiknya diterjemahkan dengan penyakapan. Dengan demikian maka hubungan-hubungan sewa-menyewa, bagi hasil, kedokan, ceblokan, gadai, dan sebagainya tercakup dalam istilah penyakapan. Tetapi ada juga yang menggunakan istilah penyakapan khusus untuk menunjuk kepada bagi hasil (misal Studi Dinamika Perdesaan


(14)

14

Survei Agro Ekonomi atau SDP-SAE). Sedangkan hubungan-hubungan lainnya disebut dengan istilah aslinya (sewa-menyewa dan sebagainya).

Kiranya perlu juga dibedakan antara istilah pemilikan, penguasaan, dan pengusahaan tanah. Kata pemilikan menunjuk kepada penguasaan formal, sedangkan kata penguasaan menunjuk kepada penguasaan efektif. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya. Jika seorang menggarap tanah miliknya sendiri, misalnya 2 ha, lalu menggarap juga 3 ha tanah yang disewa dari orang lain, maka ia menguasai 5 ha. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 56/1960, atau yang dikenal sebagai UU Land Reform, batas luas maksimum dikenakan bukan saja pada pemilikan tanah tetapi juga penguasaan tanah (Pasal 1 Undang-Undang No 56/1960). Kata pengusahaan nampaknya cukup jelas, yaitu menunjuk kepada bagaimana caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif.

Susilowati dan Suryani (1996) serta Suhartini dan Mintoro (1996) juga mengutarakan hal mengenai pemahaman pola pemilikan dan pengusahaan lahan. Pola pemilikan lahan pertanian menggambarkan keadaan pemilikan faktor produksi utama dalam produksi pertanian. Keadaan pemilikan lahan sering dijadikan suatu indikator bagi tingkat kesejahteraan masyarakat perdesaan walaupun belum mencerminkan keadaan yang sebenarnya bagi tingkat kesejahteraan itu sendiri. Namun demikian, pola pemilikan lahan dapat dijadikan gambaran tentang pemerataan penguasaan faktor produksi utama di sektor pertanian yang dapat dijadikan sumber pendapatan bagi pemiliknya. Pada pola pengusahaan lebih ditekankan pada pemanfaatan secara langsung sumberdaya lahan untuk usahatani yang dilakukan oleh rumah tangga petani (RTP).

Perbandingan antara tingkat pemilikan lahan dengan tingkat pengusahaan lahan dapat menunjukkan gambaran mengenai kemampuan RTP dalam mengusahakannya. Di samping itu, dengan melihat pola pengusahaan lahan dapat dilihat suatu gambaran mengenai adanya transaksi pelepasan lahan dari pemilik lahan kepada penggarap, sehingga penggarap dapat aktif dalam kegiatan produksi sebagai bagian dari kegiatan ekonomi perdesaan. Adanya transaksi pelepasan lahan dari pemilik ke penggarap akan menciptakan suatu sistem pasar lahan di


(15)

15

perdesaan dan terciptanya suatu kelembagaan yang berkaitan dengan hubungan kerja antara petani pemilik lahan dengan penggarap (Saleh dan Zakaria 1996).

Sumaryanto (1996) memasukan hak pengusahaan atau penggarapan bersama hak kepemilikan dalam cakupan hak penguasaan. Hak pengusahaan merupakan salah satu produk kelembagaan sehingga dinamikanya berkaitan erat dengan perubahan nilai, norma atau hukum yang dianut dan berlaku dalam suatu komunitas. Dibandingkan dengan hak kepemilikan, derajat okupasi hak pengusahaan lebih rendah. Pemilik mempunyai hak dan kewenangan untuk menjual, menukarkan, menghibahkan atau mewariskan lahannya itu kepada orang lain, sedangkan penggarap pada hakekatnya hanyalah memiliki hak untuk mengelola atau menggarap lahan tersebut sebagaimana diatur dalam sistem kelembagaan yang lazim dianut dalam komunitas tersebut.

Sugiarto (1996) dan Syukur et al. (1996) membagi sistem kelembagaan pengusahaan lahan menjadi empat bagian, yakni : sistem sewa-menyewa, sistem bagi hasil, sistem gadai dan sistem kombinasi. Sistem sewa merupakan pengalihan hak garap kepada orang lain dengan imbalan yang pada umumnya berupa uang tunai kepada pemilik lahan. Besarnya tingkat sewa biasanya ditentukan sesuai dengan harga pasar lahan setempat. Selanjutnya setelah transaksi sewa terjadi maka pengelolaan atas lahan dan risikonya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penyewa. Sistem sakap atau bagi hasil merupakan pengalihan hak garap kepada orang lain, dimana antara pemilik dan penggarap terjadi ikatan pengusahaan usahatani dan pembagian produksi. Dalam sistem sakap, pemilik lahan menyediakan lahan sedangkan penggarap menyediakan tenaga kerja sepenuhnya. Siapa yang menanggung sarana produksi dan bagaimana pembagian hasil produksi tergantung dari tradisi setempat dan perjanjian sebelumnya.

Sistem gadai merupakan pengalihan hak garap kepada orang lain yang sifatnya lebih sebagai jaminan atas pinjaman pemilik lahan terhadap penggarap. Dibandingkan dengan sewa, penetapan besarnya nilai lahan pada gadai tidaklah selugas sewa dan sangat tergantung kepada lamanya pemilik lahan mampu mengembalikan pinjamannya. Pada umumnya pemilik uang (dalam hal ini sebagai penggarap atau yang mengusahakan lahan tersebut) sebagai penentu harga. Sistem kombinasi merupakan sistem modifikasi bentuk pengusahaan lahan, seperti:


(16)

16

pemilik-penyewa, pemilik-penyakap, pemilik-penggadai, penyewa-penyakap, penyewa-penggadai, penyakap-penggadai dan lain sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem penguasaan lahan dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu : (1) petani yang mengusahakan lahan milik sendiri, (2) petani yang mengusahakan lahan bukan milik sendiri, dan (3) gabungan dari keduanya. Bagi petani yang mengusahakan lahan orang lain dapat dilakukan dengan cara menyewa, bagi hasil/sakap, dan gadai serta sangat dimungkinkan terjadinya kombinasi antar petani milik, menyewa, bagi hasil, dan gadai dalam satu rumah tangga petani. Selain itu penguasaan lahan dan pengusahaan lahan merupakan konsep yang berbeda. Penguasaan lahan merujuk pada kewenangan seseorang dalam menguasai lahannya yang diakibatkan karena memiliki, menyewa, sakap, gadai, dan pinjam.

Sedangkan pengusahaan lahan merujuk pada seberapa luas

pemanfaatan/penggunaan lahan yang dikuasi oleh petani. Tidak semua lahan yang dikuasai oleh petani diusahakan semuanya.

2.2. Pola dan Distribusi Lahan Petani

Sumaryanto dan Rusastra (2000) menelaah data Sensus Pertanian (SP) 1983 dan 1993 untuk melihat struktur penguasaan tanah di tingkat makro. Hasil SP 1993 menunjukkan bahwa struktur pemilikan tanah rumah tangga pertanian cukup timpang, sekitar 49 persen rumah tangga pertanian tanaman pangan termasuk kelompok dengan penguasaan kurang dari 0,5 ha, dengan rata-rata luas penguasaan sekitar 0,24 ha. Sementara pada tahun 1983 sebesar 41 persen, dengan rata-rata luas penguasaan 0,26 ha. Di sisi lain, terjadi kecenderungan menurunnya proporsi rumah tangga yang termasuk kelompok penguasaan tanah 0,51 ha ke atas, tetapi rata-rata luas penguasaannya bervariasi.

Pada kelompok penguasaan 15 ha ke atas, proporsinya turun drastis dari 0,19 persen menjadi 0,06 persen tetapi rata-rata luas penguasaannya meningkat dari 20,7 ha menjadi 22,2 ha. Dengan demikian selama periode 1983-1993 terjadi perubahan struktur penguasaan rumah tangga pertanian dan yang paling menonjol adalah makin banyaknya petani gurem dengan luas penguasaannya yang semakin menyempit, dan di sisi lain terjadi pengumpulan penguasaan pada sebagian kecil rumah tangga bertanah luas. Fenomena ini telah mengindikasikan


(17)

17

terjadinya polarisasi penguasaan tanah di perdesaan.

Pada awal tahun 1980-an, menurut Wiradi dan Makali (1984) terdapat 2 kelompok pakar/peneliti yang berbeda pendapat tentang struktur penguasaan tanah di perdesaan. Kelompok pertama, yaitu Geertz, Hayami, dan Kikuchi berpendapat bahwa masyarakat perdesaan di Jawa tidak terkutub menjadi petani luas (tuan tanah) dan petani gurem (hamba tani), namun lebih merupakan stratifikasi yang meningkat. Kelompok lain adalah Sayogyo, Collier, Lyon, dan Kano yang berpendapat bahwa pengutuban masyarakat desa dalam hal penguasaan tanah memang sedang terjadi. Dinamika struktur penguasaan tanah 1983-1993 memperkuat pendapat kelompok kedua (Sumaryanto dan Rusastra 2000; Rusastra dan Sudaryanto 1997).

Data di tingkat mikro juga menunjukkan gejala ketimpangan pemilikan lahan dan peningkatan proporsi rumah tangga tunakisma terutama di perdesaan Jawa. Hasil penelitian Studi Dinamika Perdesaan (SDP) pada tahun 1982 di 12 desa di Jawa dan 3 desa di luar Jawa (Sulawesi Selatan) menunjukkan bahwa hampir di semua desa, Indeks Gini pemilikan tanah di atas 0,60. Terutama di Jawa, 6 dari 12 desa, indeks Gininya di atas 0,80, suatu tingkat ketimpangan yang berat. Temuan lain yang sangat bermakna adalah hampir di semua desa, 30 persen atau lebih rumah tangga tidak memiliki tanah, sedangkan kurang dari 20 persen rumah tangga memiliki setengah atau lebih dari total luas sawah yang ada (Wiradi dan Makali, 1984).

Hasil penelitian Panel Petani Nasional (PATANAS) tahun 1994/1995 dan 1998/1999 juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Selama periode tersebut, proporsi rumah tangga yang tidak mempunyai tanah cenderung meningkat, kecuali di desa perkebunan di luar Jawa. Indeks Gini di Jawa cenderung meningkat dari 0,72 menjadi 0,78, demikian juga di luar Jawa, meningkat dari 0,53 menjadi 0,54. Nampak bahwa ketimpangan pemilikan tanah di Jawa lebih besar dibandingkan luar Jawa (Adnyana 2000).

2.3. Pendapatan Usahatani Padi

Penelitian mengenai analisis pendapatan usahatani padi telah banyak dilakukan dan berikut beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini: Perbedaan biaya sewa lahan antara dua daerah yang mempunyai karakteristik


(18)

18

geografis yang berbeda juga dapat mempengaruhi pendapatan usahatani di Kabupaten Subang (Disti 2006). Penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan dan biaya usahatani yang dikeluarkan petani program PTT di Desa Cijengkol lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya total petani Desa Mulyasari. Selain itu, penggunaan faktor-faktor produksi baik petani PTT Desa Mulyasari dan Desa Cijengkol juga belum mencapai kondisi optimal karena rasio NPM dan BKM tidak sama dengan satu sehingga baik petani PTT Desa Mulyasari maupun petani PTT Desa Cijengkol belum efisien. Berdasarkan perbandingan tingkat pendapatan terlihat bahwa penggunaan faktor produksi usahatani masih dapat ditingkatkan. Hal ini ditunjukkan dengan R/C rasio atas biaya tunai lebih besar daripada R/C rasio aktual. R/C rasio atas biaya tunai untuk petani PTT Desa Mulyasari pada kondisi optimal sebesar 5,28. Sedangkan R/C rasio tunai yang aktual sebesar 1,44. R/C rasio tunai untuk petani PTT Desa Cijengkol pada kondisi optimal sebesar 3,91 dan rasio tunai yang aktual sebesar 1,52.

Penjelasan Handayani (2006) lebih jauh mengungkapkan bahwa pendapatan usahatani milik luas lebih menguntungkan daripada pendapatan usahatani milik sempit. Nilai R/C pada usahatani milik luas adalah sebesar 2,12 sedangkan pada usahatani milik sempit adalah sebesar 1,97. Lebih rendahnya keuntungan yang diterima pada usahatani milik sempit disebabkan proporsi biaya yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan usahatani milik luas, khususnya biaya tenaga kerja dalam keluarga. Di sisi lain, pendapatan usahatani bukan milik luas memiliki keuntungan yang lebih kecil dibandingkan pendapatan usahatani bukan milik sempit. Nilai R/C pada usahatani bukan milik luas adalah sebesar 1,32 sedangkan nilai R/C pada usahatani bukan milik sempit adalah sebesar 1,36. Namun, secara umum keseluruhan usahatani padi sawah yang dilakukan di Desa Karacak cukup menguntungkan dan memberikan intensif untuk dilaksanakan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai R/C yang lebih besar dari nilai satu.

Penelitian Hantari (2007) mengenai analisis pendapatan dan produksi usahatani padi sawah lahan sempit yang dilakukan di Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul. Petani responden di daerah penelitiannya terbagi menjadi petani pemilik lahan dan petani penggarap lahan dengan status bagi hasil. Simpulan penelitiannya memperlihatkan bahwa penerimaan total petani padi


(19)

19

dengan status lahan milik dalam satu musim tanam adalah sebesar Rp. 10.924.794,00 dengan biaya total yang dikeluarkan adalah sebesar Rp. 6.468.045,00. Simpulan penelitian Hantari (2007) yang lain memperlihatkan bahwa penerimaan total petani padi dengan status lahan bagi hasil dalam satu musim tanam adalah sebesar Rp. 8.264.285,00 dengan biaya total yang dikeluarkan adalah sebesar Rp. 9.588.958,00. Kondisi ini jika dibandingkan dengan petani pemilik lahan, maka petani penggarap lahan dengan status bagi hasil memiliki keuntungan yang jauh lebih rendah.

Kondisi perekonomian petani yang kurang beruntung, diperkirakan pula terjadi di Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi. Penerimaan RTP dari sektor pertanian padi belum dapat memenuhi pengeluaran rumah tangga secara keseluruhan sehingga diperlukan analisis pendapatan usahatani lahan untuk mengetahui apakah usahatani yang dilaksanakan menguntungkan atau tidak menguntungkan dan analisis perbandingan struktur pendapatan usahatani lahan antara petani pemilik lahan, petani pemilik dan penggarap, serta petani penggarap untuk mengetahui status penguasaan mana yang paling memberikan keuntungan maksimal bagi petani.

2.4. Hubungan Status Pengusahaan Lahan dengan Pendapatan Petani Studi-studi untuk menentukan hubungan status pengusahaan lahan dengan pendapatan petani juga masih jarang dilakukan, sehingga akan lebih dipaparkan mengenai kajian-kajian pada studi-studi yang memiliki kaitan kuat terhadap hubungan status penguasaan lahan dengan pendapatan petani.

Selama ini ada anggapan bahwa pendapatan yang diperoleh rumah tangga perdesaan dari usahatani berhubungan dengan status penguasaan sawah (milik dan bukan milik). Semakin luas tanah yang dimiliki, semakin tinggi pendapatan yang diperoleh dari usahatani. Schrevel (1989) melakukan studi kasus di desa Cidurian (desa yang berbatasan dengan kota besar), dan menyatakan bahwa akses atas tanah tampaknya tidak memadai lagi dijadikan indikator tingkat pendapatan rumah tangga perdesaan. Penelitian di Cidurian itu menunjukkan peran kegiatan di luar pertanian justru semakin menentukan dan hanya terdapat korelasi positif yang rendah antara tingkat penguasaan tanah dengan tingkat pendapatan non pertanian.


(20)

20

Hasil penelitian Studi Dinamika Perdesaan (SDP) di 15 desa menunjukkan bahwa apabila distribusi pendapatan dikaitkan dengan strata luas pemilikan tanah, masih jelas nampak bahwa makin besar luas tanah milik makin besar pula pendapatan rata-rata rumah tangga. Namun, separuh dari jumlah desa yang diteliti ternyata sektor non pertanian memberikan sumbangan lebih dari 50 persen dari total pendapatan, semakin dekat dengan daerah perkotaan semakin besar proporsi pendapatan dari sektor non pertanian. Dengan demikian, rumah tangga yang memiliki tanah luas lah yang mempunyai jangkauan lebih besar ke sumber non pertanian (Wiradi dan Makali 1984).

Tingkat pendapatan rumah tangga perdesaan menurut luas pemilikan tanah hasil penelitian Patanas 1994/1995 dan 1998/1999 menunjukkan struktur yang berbeda. Proporsi sumbangan pendapatan dari sektor non pertanian yang relatif besar terjadi pada kelompok tunakisma dan pemilikan tanah rendah/sempit, baik di Jawa maupun luar Jawa. Sementara itu, proporsi pendapatan dari usaha pertanian berkorelasi positif dengan luas pemilikan tanah, semakin tinggi luas pemilikan tanah semakin tinggi proporsi pendapatan dari usaha pertanian. Proporsi pendapatan dari usaha pertanian meningkat pada kelompok tunakisma, pemilikan rendah dan sedang. Sementara pada kelompok pemilikan luas cenderung menurun, penurunan ini terutama terjadi di luar Jawa. Di Jawa proporsi pendapatan dari usaha pertanian cenderung meningkat untuk semua kelompok. Di Jawa sumbangan pendapatan dari sektor non pertanian meningkat hanya pada kelompok tunakisma, sementara pada rumah tangga yang memiliki tanah cenderung menurun. Sementara di luar Jawa meningkat untuk semua kelompok.

Supriyati, Saptana, dan Supriyatna (2003), Secara stastistik, korelasi antara pendapatan pertanian dengan luas lahan milik dan juga dengan lahan garapan tidak nyata dan korelasi antar dua variabel tersebut relatif kecil. Pada Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat dan Kabupaten Landak, Kalimantan Barat terjadi pola hubungan yang searah antara pendapatan sektor pertanian dan luas pemilikan serta luas garapan, namun di Klaten, Jawa Tengah terjadi pola hubungan terbalik antara dua variabel tersebut. Pada fenomena yang pertama antara lain disebabkan oleh rata-rata dan keragaman luas pemilikan lahan relatif besar dan kegiatan usaha di luar sektor pertanian relatif belum


(21)

21

berkembang. Fenomena kedua disebabkan oleh rata-rata dan keragaman luas pemilikan dan garapan serta kegiatan usaha di luar sektor pertanian sudah sangat berkembang terutama di desa contoh yang dekat dengan pusat industri.

Korelasi antara total pendapatan dengan lahan milik di Sumatera Barat nyata dengan koefisien korelasi 0,29. Sementara korelasi pada kasus yang lain tidak nyata. Kasus di Jawa Tengah dan Kalimantan Barat menunjukkan bahwa ada hubungan terbalik antara total pendapatan dan luas pemilikan lahan. Pada kasus di Jawa Tengah menunjukkan peran kegiatan usaha di luar pertanian sudah cukup besar terutama pada desa contoh yang dekat sentra industri. Sedangkan di Kalimantan Barat menunjukkan masih banyaknya lahan milik yang belum tergarap dengan baik atau penggarapan di lakukan dengan cara gilir balik, serta masih rendahnya teknologi produksi yang diterapkan.

2.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengusahaan Lahan

Studi-studi untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah masih jarang dilakukan sehingga akan lebih dipaparkan mengenai kajian pada studi yang menunjukkan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan, termasuk pengusahaan dan pemilikan lahan. Beberapa kajian tersebut menjadi landasan utama dalam penetapan variabel-variabel di dalam penelitian ini.

Wiradi dan Manning (1984) mengungkapkan penyebab perubahan struktur agraria penguasaan lahan petani beberapa desa di DAS Cimanuk terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah umur petani, lama pendidikan petani, pendapatan RTP, akses memperoleh lahan, dan jumlah tanggungan keluarga, sedangkan faktor eksternal yang dimaksud adalah pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah melalui rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW), intervensi swasta, faktor ekonomi (kesejahteraan), faktor sosial budaya (warisan), faktor alam dan kelembagaan hukum pertanian.

Kondisi perubahan penguasaan lahan semakin dipertegas melalui penelitian Tim Patanas Indonesia (1996) yang dilakukan di tujuh provinsi Indonesia, yaitu di Daerah Istimewa Aceh, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa telah terjadi penurunan penguasaan lahan yang


(22)

22

disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan pengalaman petani, rendahnya kesadaran dalam kehadiran dalam penyuluhan, rendahnya proporsi pendapatan usahatani terhadap total penerimaan RTP, rendahnya pemerataan pendapatan, tingginya jumlah tanggungan keluarga dan jumlah ahli waris, keterbatasan modal kerja dan tabungan, rendahnya akses terhadap penggunaan lahan sawah, rendahnya akses terhadap informasi, rendahnya akses untuk memperoleh kredit modal kerja, rendahnya harga hasil pertanian, tidak adanya dukungan kebijakan pemerintah (meliputi: harga, perpajakan, dan agraria yang wajar), ketidakjelasan arah pengembangan teknologi (meliputi: peralatan mekanisasi dan tingkat penggunaan input modern), tidak adanya dukungan faktor alam (meliputi: kesuburan lahan atau produktivitas lahan dan serangan hama penyakit) serta tingginya faktor risiko lahan.

Setiawan (2006), menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi semakin merosotnya penguasaan lahan. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah faktor ekonomi (misal: lemahnya proporsi pendapatan usahatani terhadap total penerimaan RTP), faktor alam (misal: banjir, kekeringan, erosi, pencemaran, iklim, cuaca, serangan hama penyakit yang semakin intensif, luas dan bervariasi sehingga sulit untuk diprediksi dan dikendalikan), kebijakan pemerintah tidak mengutamakan pertanian (kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian penguasaan sudah banyak dibuat, namun implementasinya tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap proaktif yang memadai dari pemangku kepentingan), akses petani terhadap penggunaan lahan pertanian yang tersedia, jumlah tanggungan keluarga (anak-anak pewaris tidak mendapatkan pekerjaan di luar sektor pertanian, akibatnya lahan warisan dibagi-bagi hingga jelas batas-batas kepemilikannya), faktor sosial ekonomi (misalnya: tingginya biaya sekolah anak) dan terbatasnya kredit modal kerja di sektor pertanian.

Mayrowani et al. 2004, hak pemilikan lahan memiliki derajat okupasi yang relatif tinggi dibanding hak penggarapan. Pemilik tanah memiliki hak dan kewenangan untuk menjual, menukarkan, menghibahkan atau mewariskan tanahnya itu kepada orang lain, sedangkan seorang penggarap pada hakekatnya hanyalah memiliki hak untuk menggarap tanah tersebut sesuai sistem kelembagaan hubungan kerja yang berlaku di wilayah tersebut. Perubahan status


(23)

23

pemilikan atas tanah dapat terjadi, karena : (1) transaksi jual beli, (2) pertukaran, (3) hibah, dan (4) pewarisan. Sementara, perubahan hak penggarapan dapat disebabkan oleh faktor seperti : (1) transaksi sewa, (2) bagi hasil, (3) hak penguasaan lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, faktor-faktor serupa juga diduga mempengaruhi pengusahaan lahan pertanian di Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi. Perbedaannya dalam penelitian ini, faktor-faktor yang diduga mempengaruhi pengusahaan lahan sawah, antara lain: status penguasaan lahan (terdiri dari: kelompok status pemilik, kelompok status pemilik dan penggarap, serta kelompok status penggarap), umur, pendidikan, pengalaman bertani, jumlah tanggungan keluarga, jumlah keluarga yang bekerja di sektor pertanian, jumlah hari kerja, jumlah organisasi yang diikuti, interaksi pertemuan di kelompok tani, hutang, aset, luas lahan sawah yang dikuasai, luas lahan milik, produktivitas padi, biaya usahatani, penerimaan usahatani, dan pendapatan usahatani.


(24)

24

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Teori Usahatani

Menurut Soeharjo dan Patong (1973), usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang diusahakan oleh perorangan atau sekumpulan orang untuk menghasilkan output yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga ataupun orang lain disamping bermotif mencari keuntungan. Analisis pendapatan usahatani memiliki tujuan untuk menggambarkan keadaan sekarang suatu usaha dan untuk menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan.

Menurut Mosher 1968, diacu dalam Mubyarto 1979, usahatani adalah himpunan dari sumber-sumber alam yang terdapat di tempat itu yang diperlukan untuk produksi pertanian, seperti tubuh tanah dan air, perbaikan-perbaikan yang telah dilakukan atas tanah itu, sinar matahari, bangunan-bangunan yang didirikan di atas tanah dan sebagainya.

Menurut Rifai 1960, definisi dari usahatani adalah setiap organisasi dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Ketatalaksanaan organisasi ini berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seorang atau sekumpulan orang-orang segolongan sosial, baik yang berikatan geneologis maupun tertorial sebagai laksanawannya.

Menurut Suratiyah (2008) ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seorang mengusahakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan semaksimal mungkin.

Merujuk pada penjelasan di atas, penulis menganggap bahwa definisi usahatani menurut Bachtiar Rifai (1960) merupakan definisi yang paling tepat untuk menggambarkan suatu usahatani dan mengandung pengertian yang paling sesuai dengan kondisi di Indonesia. Berdasarkan beberapa literatur, penulis memandang usahatani merupakan suatu organisasi yang dibentuk dalam upaya


(25)

25

memanfaatkan sumber daya pertanian untuk diproduksi sehingga mendatangkan keuntungan. Jika usahatani diartikan sebagai setiap organisasi alam, kerja, dan modal untuk produksi pertanian, maka usahatani mencakup segala bentuk organisasi produksi. Di Indonesia, terdapat banyak variasi organisasi produksi yang memenuhi definsi Bachtiar Rifai. Misalnya, seorang petani mengusahakan sebidang sawah untuk keperluan konsumsi keluarganya. Contoh ini menekankan bahwa pengertian usahatani yang dikemukakan Bachtiar Rifai tidak membatasi apakah produk yang dihasilkan oleh petani digunakan untuk keperluan konsumsi keluarga atau untuk tujuan komersial. Karena itu, misalnya, seorang petani mengusahakan tambak udang, di wilayah pantai utara Pulau Jawa (disebut Pantura), juga dapat disebut usahatani. Demikian halnya sebuah perusahaan pertanian yang menggunakan teknologi modern, seperti greenhouse, merupakan suatu usahatani7.

Menurut Hernanto (1989), terdapat empat unsur pokok dalam usahatani yang sering disebut sebagai faktor-faktor produksi, yaitu:

1) Tanah

Tanah usahatani dapat berupa tanah pekarangan, tegalan dan sawah. Tanah tersebut dapat diperoleh dengan cara membuka lahan sendiri, membeli, menyewa, bagi hasil (menyakap), pemberian negara, warisan atau wakaf. Penggunaan tanah dapat diusahakan secara monokultur maupun polikultur atau tumpangsari. Tanah atau lahan adalah faktor produksi utama dalam pelaksanaan kegiatan usahatani.

2) Tenaga Kerja

Jenis tenaga kerja dibedakan menjadi tenaga kerja pria, wanita dan anak-anak yang dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, tingkat kesehatan dan faktor alam seperti iklim dan kondisi lahan. Tenaga ini dapat berasal dari dalam dan luar keluarga (biasanya dengan cara upahan). Dalam teknis perhitungan, dapat dipakai konversi tenaga kerja dengan cara membandingkan tenaga pria sebagai ukuran baku, yaitu: 1

7

Bahan perkuliahan mata kuliah usahatani mengenai pengertian dan ruang lingkup usahatani tahun 2009


(26)

26

pria = 1 hari kerja pria (HKP), 1 wanita = 0,7 HKP, 1 ternak = 2 HKP, dan 1 anak = 0,5 HKP.

3) Modal

Modal dalam usahatani digunakan untuk membeli sarana produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit bank, pelepas uang/famili/tetangga), hadiah, warisan, usaha lain ataupun kontrak sewa. 4) Pengelolaan atau manajemen

Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani untuk menentukan, mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasai dengan sebaik-baiknya dan mampu memberikan hasil yang diharapkan. Pengenalan pemahaman terhadap prinsip teknis dan ekonomis perlu dilakukan untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil. Prinsip teknis tersebut meliputi: a) perilaku cabang usaha yang diputuskan, b) perkembangan teknologi, c) tingkat teknologi yang dikuasai, dan d) cara budidaya dan alternatif cara lain berdasarkan pengalaman orang lain. Prinsip ekonomis antara lain: a) penentuan perkembangan harga, b) kombinasi cabang usaha, c) pemasaran hasil, d) pembiayaan usahatani, e) penggolongan modal dan pendapatan serta tercermin dari keputusan yang diambil agar resiko tidak menjadi tanggungan pengelola.

3.2. Lahan sebagai Faktor Produksi

Lahan pada hakekatnya adalah permukaan bumi yang merupakan bagian dari alam, sehingga lahan tidak terlepas dari pengaruh alam sekitarnya, seperti: sinar matahari, curah hujan, angin, kelembaban udara dan lain sebagainya. Fungsi lahan dalam usahatani adalah tempat menyelenggarakan kegiatan produksi pertanian (usaha bercocok tanam dan pemeliharaan ternak) dan tempat pemukiman keluarga tani (Tjakrawiralaksana 1985).

Menurut Hernanto (1988) pada umumnya di Indonesia lahan merupakan faktor produksi yang relatif langka dibandingkan dengan faktor produksi lainnya dan distribusi penguasaannya tidak merata di masyarakat. Oleh karena itu lahan mempunyai beberapa sifat, antara lain: (a) bukan merupakan barang produksi; (b) luas relatif tetap atau dianggap tetap atau tidak dapat diperbanyak; (c) tidak dapat


(27)

27

dipindah-pindahkan; (d) dapat dipindahtangankan dan atau diperjualbelikan; (e) tidak ada penyusutan (tahan lama); dan (f) bunga atas lahan dipengaruhi oleh produktivitas lahan. Karena sifatnya yang khusus tersebut, lahan kemudian dianggap sebagai salah satu faktor produksi usahatani.

Lahan merupakan jenis modal yang sangat penting yang harus dibedakan dari jenis modal lainnya sehingga faktor lahan perlu digunakan atau dimanfaatkan secara efisien. Usaha-usaha untuk meningkatkan efisiensi pengusahaan lahan antara lain pemilihan komoditas cabang usahatani dan pengaturan pola tanam. Ukuran efisiensi penggunaan lahan adalah perbandingan antara output dan input. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam usahatani berkaitan dengan lahan yang digunakan adalah sumber dan status lahan, nilai lahan, fragmentasi lahan, lahan sebagai ukuran usahatani, serta perkembangan penguasaan lahan di Indonesia.

(1) Sumber Pengusahaan Lahan

Hernanto (1988) mengutarakan bahwa lahan yang diusahakan petani diperoleh dari berbagai sumber, yakni: (a) lahan milik, dibuktikan dengan surat bukti pemilikan (sertifikat) yang dikeluarkan oleh negara melalui Direktorat Jenderal Agraria; (b) lahan sewa, sebaiknya bukti dibuat oleh pejabat yang berwenang agar apabila terjadi hal yang tidak diinginkan dapat diselesaikan secara hukum; (c) lahan sakap, telah diatur oleh undang-undang bagi hasil (UUBH) atau UU No. 2 tahun 1960; (d) lahan pemberian negara atau lahan milik negara yang diberikan kepada seseorang yang mengikuti program pemerintah dan berjasa kepada negara, dalam hal ini pemilikannya dapat melalui prosedur gratis, ganti rugi dan kredit; (e) lahan waris, lahan yang karena hukum tertentu (agama) dibagikan kepada ahli warisnya; (f) lahan wakaf, lahan yang diberikan atas seseorang atau badan kepada pihak lain untuk kegiatan sosial; dan (g) lahan yang dibuka sendiri.

(2) Status Penguasaan Lahan

Lahan-lahan yang diusahakan oleh para petani biasanya mempunyai status yang menunjukkan hubungan hukum antara petani dengan lahan yang diusahakannya. Dengan demikian status lahan tersebut akan memberikan kontribusi bagi penggarapnya. Tjakrawiralaksana (1985)


(28)

28

membagi status-status hukum lahan menjadi status hak milik, status hak sewa, status hak bagi hasil (sakap), status hak gadai dan status hak pakai atau hak guna usaha (HGU). Status lahan merupakan faktor penting dalam usaha pengembangan usahatani, karena faktor ini dapat mempengaruhi kesediaan para petani melakukan investasi pada lahan atau menggunakan teknologi baru yang menguntungkan.

Dalam hubungannya dengan pengelolaan usahatani dikaitkan dengan lahan sebagai faktor produksi, status lahan mempunyai keunggulan-keunggulan maupun kelemahan-kelemahan. Keunggulan lahan dengan hak milik petani, diantaranya adalah: (a) petani bebas mengusahkan lahannya; (b) petani bebas merencanakan seseuatu kepada lahannya baik jangka pendek maupun jangka panjang; (c) petani bebas menentukan cabang usaha untuk lahan sesuai dengan faktor-faktor fisik dan faktor ekonomi yang dimiliki; (d) petani bebas menggunakan teknologi dan cara budidaya tanpa campur tangan orang lain; dan (e) petani bebas memperjualbelikan, menyewakan, dan menggadaikan lahannya.

Lahan dengan hak sewa mempunyai kewenangan seperti lahan dengan hak milik di luar batas jangka waktu sewa yang disepakati. Penyewa tidak mempunyai kewenangan untuk menjual dan menjaminkan lahan sebagai anggunan. Dalam hal perencanaan usaha, penyewa harus mempertimbangkan jangka waktu sewa. Lahan dengan hak sakap tidak mempunyai kewenangan untuk menjual lahan. Dalam setiap kegiatan pengusahaan usahatani, seperti penentuan cabang usaha dan pilihan teknologi harus dikonsultasikan dengan pemilknya.

Status lahan yang terdapat di perdesaan Pulau Jawa menimbulkan semacam tangga pertanian (agricultural lader), yaitu status pemilikan lahan secara bertahap yang menunjukkan tingkatan atau status sosial di dalam masyarakat dari petani pemilik ke buruh tani, misalnya: petani dengan hak milik terhadap lahan pada tangga pertanian memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani dengan hak sakap terhadap lahan (Tjakrawiralaksana 1985).


(29)

29

(3) Nilai Lahan

Semakin terbatasnya lahan yang tersedia dan semakin terjaminnya kepastian akan pemilikan lahan, maka akan selalu terjadi jual beli lahan. Nilai lahan sangat bervariasi dari unsur waktu dan tempat. Di daerah perkotaan, lahan usahatani mempunyai nilai yang cukup tinggi, bahkan terkadang tidak sebanding dengan nilai ekonomis dari hasil lahan tersebut. Soeharjo dan Patong (1973) mengutarakan nilai lahan tergantung kepada: (a) tingkat kesuburan lahan, harga lahan yang lebih subur (baik fisik maupun kimiawi) lebih tinggi daripada lahan yang tidak subur; (b) fasilitas pengairan, nilai lahan yang berpengairan baik lebih tinggi daripada lahan yang tidak berpengairan; dan (c) posisi lokasi, nilai lahan yang dekat dengan jalan atau sarana penghubung lebih tinggi daripada lahan yang tidak dekat dengan jalan atau sarana penghubung.

(4) Fragmentasi Lahan

Lahan yang diusahakan oleh para petani seringkali tidak merupakan satu kesatuan bidang, melainkan terdiri dari beberapa pecahan yang letaknya tersebar. Keadaan lahan demikian sering diberi istilah fragmentasi lahan, sedangkan bagian-bagian pecahannya disebut fragmen atau persil. Tjakrawiralaksana (1985) mengutarakan bahwa terjadinya fragmentasi pada lahan usahatani dipengaruhi oleh: kepadatan penduduk, adat pewarisan harta benda yang berlaku dalam masyarakat, faktor alam (misalnya: tanah longsor serta pergeseran aliran sungai) dan aktivitas manusia (misalnya: pembuatan jalan, pembuatan terusan serta pembuatan saluran pengairan). Soeharjo dan Patong (1973) mengungkapkan kerugian yang ditimbulkan oleh fragmentasi lahan, diantaranya adalah: (a) semakin sempitnya lahan-lahan petani; (b) menimbulkan pemborosan waktu dan tenaga sehingga biaya produksi lebih tinggi; (c) menimbulkan kesulitan dalam pengawasan terutama serangan hama dan penyakit sehingga produksi tidak setinggi pencapaian yang diharapkan; (d) petani tidak leluasa memilih tanaman atau komoditas yang paling menguntungkan; (e) banyaknya lahan-lahan produktif yang hilang atau dikorbankan; (f) pembagian air pengairan sukar diatur; (g) alat-alat mekanisasi tidak dapat


(30)

30

digunakan; dan (h) kemungkinan percecokan antar petani lebih tinggi karena banyaknya tetangga lahan.

(5) Lahan Sebagai Ukuran Usahatani

Lahan sebagai unsur produksi seringkali juga dipakai untuk pengukuran besaran usahatani (size of business). Menurut Soeharjo dan Patong (1973) ukuran-ukuran tersebut antara lain: (a) luas total lahan usahatani, yakni mengukur semua lahan yang dimiliki sebagai satu kesatuan produksi; (b) luas tanam pertanaman, yakni mengukur luas tanaman yang diusahakan; (c) luas total tanaman, yakni memperhitungkan luas dari semua cabang usahatani yang diusahakan; dan (d) luas tanaman utama, yakni mengukur luas tanaman pokok yang diusahakan. Namun, menurut Tjakrawiralaksana (1985) ukuran tersebut bukanlah cara yang terbaik, keberatan-keberatan dalam pemakaiannya antara lain: (a) pengukurannya tidak menyertakan keterangan mengenai kualitas daripada lahannya; (b) pengukurannya tidak menggambarkan hubungan dengan pemakaian unsur-unsur produksi lainnya yang secara bersama-sama dapat mempengaruhi tingkat produksi; dan (c) pengukurannya tidak memperhatikan adanya perbedaan letak ekonomis daripada lahan itu sendiri.

(6) Perkembangan Penguasaan Lahan di Indonesia

Selama kurun waktu tiga dekade ini, perkembangan penguasaan lahan pertanian di Indonesia, termasuk didalamnya lahan sawah petani padi, terbagi dalam tiga macam perkembangan ekonomi lahan, yakni: perkembangan konversi lahan pertanian, perkembangan distribusi penguasaan lahan pertanian, serta perkembangan rumah tangga pertanian (RTP) dan luasan penguasaan lahan pertanian. Berdasarkan data hasil sensus pertanian pada periode 1983, periode 1993, dan periode 2003 oleh BPS 2004, diacu dalam Lokollo et al. (2007), ketiga aspek tersebut dapat dibahas secara spesifik dengan kemungkinan mempertimbangkan keterkaitan satu aspek dengan aspek lainnya. Ketiga aspek ekonomi lahan tersebut pada dasarnya memiliki keterkaitan. Semakin besar proporsi RTP dengan status petani lahan sempit akan mendorong distribusi penguasaan


(31)

31

lahan yang semakin pincang, dan selanjutnya eksistensi petani lahan sempit akan mendorong terjadinya alih fungsi lahan (konversi lahan) pertanian dan atau alih profesi ke sektor lain yang dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Perkembangan RTP menurut luas penguasaan lahan selama periode 1983-2003 (Tabel 5) menunjukkan beberapa indikasi, diantaranya adalah: (a) secara keseluruhan, pada sepuluh tahun terakhir (selama periode 1993-2003), terdapat indikasi polarisasi penguasaan lahan yang semakin serius; (b) fakta empirisnya adalah RTP dengan penguasaan lahan <0,50 ha dan >2,0 ha meningkat relatif tajam, masing-masing sekitar 31,95 persen dan 74,95 persen. (c) sementara itu, kategori dengan luas 0,50-0,99 ha dan 1,00-1,99 ha hanya meningkat sebesar 5,28 persen dan 10,48 persen; (d) hal yang serupa juga terjadi di luar Pulau Jawa yang diwakili oleh Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Kalimantan Selatan.

Tabel 5. Jumlah RTP Menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai di Provinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan pada Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003

Propinsi Golongan luas lahan

Jumlah rumah tangga

1983 1993 2003

1983-1993 1993-2003 Jabar <0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 >=2,00 1.630.281 674.801 393.820 173.595 2.305.065 544.761 242.540 90.853 2.557.823 465.297 194.910 76.317 41,39 (20,90) (38,41) (47,66) 10,97 (12,83) (19,64) (16,00) Sumsel <0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 >=2,00 39.000 79.176 144.026 185.122 156.152 192.596 245.753 179.812 186.860 135.616 257.892 323.995 300,39 143,25 70,63 (2,87) 19,67 (29,59) 4,94 80,19 Kalsel <0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 >=2,00 85.787 67.735 72.108 53.464 143.009 92.150 69.259 35.061 180.449 98.953 87.031 77.062 66,70 36,04 (3,95) (34,42) 26,18 7,38 25,66 119,79 Indonesia <0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 >=2,00 6.412.246 3.671.243 2.922.294 2.168.315 10.631.887 4.348.303 3.132.145 1.601.409 14.028.589 4.578.053 3.460.406 2.801.627 65,81 18,44 7,18 (26,15) 31,95 5,28 10,48 74,95 Sumber : Badan Pusat Statistika 2004, diacu dalam Lokollo et al. 2007

Perkembangan jumlah RTP, luas lahan yang dikuasai dan rataan luas penguasaan lahan di Indonesia, selama dua dasawarsa (periode


(32)

1983-32

2003), memberikan sejumlah informasi (Tabel 6), diantaranya adalah: (a) jumlah RTP petani gurem meningkat secara konsisten, yaitu untuk RTP <0,10 ha sebesar 9,87 persen dan RTP 0,10-0,49 ha sebesar 2,03 persen; (b) jumlah RTP >2,0 ha (petani luas) menurun sebesar 2,19 persen namun luasan yang dikuasai sangat besar (mendekati 50,0 persen); (c) rataan luas lahan yang dikuasai petani gurem menurun, yaitu RTP < 0,10 ha sebesar 0,03 ha dan RTP 0,10-0,49 ha sebesar 0,21 ha; (d) rataan luas penguasaan lahan petani luas (periode 1993-2003) meningkat sebesar 0,46 ha; dan (e) RTP 0,50-0,99 ha, rataan luasan lahannya meningkat sebesar 0,34 ha dan RTP 1,00-1,99 ha sebesar 0,15 ha, sehingga secara umum distribusi penguasaan lahan antar kelompok petani nampak semakin timpang.

Tabel 6. Jumlah RTP Pengguna Lahan Menurut Luas Lahan yang Dikuasai di Indonesia pada Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003.

Lahan yang

diusaha-kan

1983 1993 2003

1 2 3 1 2 3 1 2*) 3

<0,10 1.245.960 7,30

63.722 0,38 0,05

1.594.375 7,54

82.979 0,49 0,05

4.269.044 17,17

96.255 0,49 0,02

0,10-0,49

6.355.004 37,21

1.703.678 10,12 0,27

7.986.510 37,75

747.406 4,46 0,09

9.795.545 39,24

876.587 4,46 0,09

0,50-0,99

4.000.264 23,42

2.655.352 15,77 0,66

4.373.203 20,67

3.906.272 23,29 0,89

4.578.053 18,41

4.581.431 23,29 1,00

1,00-1,99

3.179.270 18,61

4.087.770 24,27 1,29

4.422.493 20,90

4.253.652 25,36 0,96

3.460.406 13,91

4.988.852 25,36 1,44

>2,00 2.298.818 13,46

8.331.72 49,47 3,62

2.779.390 13,14

7.784.770 46,41 2,80

2.801.627 11,27

9.130.287 46,41 3,26 17.079.316

100,00

16.842.248 100,00 0,99

21.155.971 100,00

16.774.170 100,0 0,79

24.868.675 100,00

19.673.412 100,00 0,79

Sumber : Badan Pusat Statistika 2004, diacu dalam Lokollo et al. 2007

Keterangan : 1=Jumlah RTP; 2=luas tanah yang dikuasai; 3=rata-rata luas tanah yang kuasai

3.3. Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan (Soekartawi, 1986). Besarnya pendapatan yang diterima merupakan imbalan untuk jasa petani dan keluarganya serta modal yang dimilikinya. Bentuk dan jumlah pendapatan memiliki fungsi yang sama, yaitu memenuhi keperluan sehari-hari dan memberikan kepuasan petani agar dapat melanjutkan kegiatannya. Pendapatan ini akan digunakan juga untuk mencapai


(33)

33

keinginan-keinginan dan memenuhi kewajiban-kewajibannya. Dengan demikian, pendapatan yang diterima petani akan dialokasikan pada berbagai kebutuhan.

Analisa pendapatan mempunyai kegunaan bagi petani maupun bagi pemilik faktor produksi. Soeharjo dan Patong (1973) mengutarakan tujuan utama dari analisa pendapatan, yaitu menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usahatani dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan. Bagi seorang petani, analisa pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur apakah kegiatan usahanya pada saat ini berhasil atau tidak. Suatu usahatani dikatakan sukses, apabila pendapatan yang diperoleh memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : (a) cukup untuk membayar semua pembelian sarana produksi termasuk biaya angkutan dan biaya administrasi; (b) cukup untuk membayar bunga modal yang ditanamkan, termasuk pembayaran sewa tanah dan pembayaran dana depresiasi modal; dan (c) cukup untuk membayar upah tenaga kerja yang dibayar atau bentuk-bentuk upah lainnya untuk tenaga kerja yang tidak diupah.

Analisis pendapatan usahatani memerlukan informasi mengenai seluruh penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang telah ditetapkan (Soeharjo dan Patong, 1973). Penerimaan merupakan total nilai produk yang dihasilkan dari perkalian antara jumlah produk yang dihasilkan dengan harga dari produk tersebut, sedangkan pengeluaran merupakan semua pengorbanan sumberdaya ekonomi yang diperlukan untuk menghasilkan suatu output dalam satu periode produksi. Penerimaan usahatani dapat berbentuk hasil penjualan tunai, produk yang dikonsumsi keluarga petani, dan kenaikan hasil inventaris selisih nilai akhir tahun dengan nilai awal tahun. Sementara itu, bentuk pengeluaran dalam usahatani berupa pengeluaran tunai dan pengeluaran yang diperhitungkan. Pengeluaran tunai adalah pengeluaran yang dibayarkan menggunakan uang tunai, seperti biaya pengadaan sarana produksi usahatani dan pembayaran upah tenaga kerja luar keluarga, sedangkan pengeluaran diperhitungkan adalah pengeluaran yang digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petani jika bunga modal dan nilai kerja keluarga diperhitungkan.


(34)

34

3.4. Hubungan Penguasaan Lahan dengan Pendapatan Petani

Studi Rasahan (1988) menunjukkan bahwa terdapat dua pola utama yang mencirikan keadaan struktur dan distribusi pendapatan masyarakat perdesaan, yaitu: (1) Ada hubungan searah antara distribusi pendapatan dengan penguasaan lahan pertanian. Pola ini umumnya dikenal pada masyarakat agraris di mana sumberdaya lahan (land base agriculture) memegang peranan sangat dominan dalam menciptakanarus masuk pendapatan masyarakat perdesaan, hal ini tampak di perdesaan Jawa maupun luar Jawa. Dengan kata lain, ketimpangan maupun pemerataan distribusi pendapatan dapat dijelaskan atau terefleksikan pada ketimpangan maupun pemerataan distribusi penguasaan lahan ataupun penggarapan lahan pertanian; dan (2) Ada hubungan terbalik antara konsentrasi pendapatan dengan konsentrasi penguasaan atau penggarapan lahan pertanian. Kegiatan atau usaha-usaha non-pertanian atau usaha non land base agriculture dilihat sebagai alternatif sumber pendapatan rumahtangga perdesaan. Usaha tersebut dapat memberikan bias negatif maupun positif terhadap distribusi masyarakat perdesaan. Bias negatif apabila kehadiran usaha non land base agriculture sebagai sumber kegiatan menghasilkan arus pendapatan yang justru memperburuk distribusi pendapatan, dan sebaliknya untuk bias positif.

3.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengusahaan Lahan

Pengusahaan lahan sawah oleh petani padi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang memiliki keterkaitan antara faktor yang satu dengan faktor yang lainnya. Barlowe (1978) dengan teori lahannya mengutarakan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan penggunaan atau pengusahaan lahan, diantaranya adalah perkembangan teknologi, tingkat pendidikan, proporsi pendapatan usahatani terhadap penerimaan rumah tangga, jumlah tabungan, perkembangan usia, faktor alam dan dukungan kebijakan pemerintah.

Rincian faktor-faktor pengusahaan lahan yang semakin menurun lebih mendalam lagi telah dipaparkan oleh Soekartawi (1986) mengenai faktor-faktor tingginya petani kecil (petani dengan pengusahaan lahan < 0,25 ha), baik di dunia maupun di Indonesia, diantaranya adalah; (1) umur petani yang sudah tua; (2) pendidikan petani yang sangat rendah; (3) Pengalaman petani yang rendah; (4) jumlah ahli waris lahan tinggi sebanding dengan tekanan jumlah tanggungan


(1)

No. Res 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32

Peran Keluarga: 1. suami, 2. istri, 3. orang tua, 4. mertua, 5. saudara (adik/kakak), 6. anak

peran (bentuk partisipasi) dlm meningkatkan penguasaan lahan: membeli lahan

mewariskan lahan

menjual lahan pada responden

menerima lahan

akad bekerja menabung memberikan ide

mengambil keputusan

mendukung keputusan

menawarkan lahan

pernahkah lahan garapan dipindah ke orang lain? 1. ya, 2. tidak

PK 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 LPKO

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

5 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2


(2)

No. Res 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32

jk ya, kapan terjadinya?

jika ya, jelaskan alasannya? 1. dipindahkan hak garap/sewanya, 2. digadaikan/diakadkan, 3. dihadiahkan, 4. dijual

jika ya, jelaskan alasannya?

Luas Lahan Persil Padi

Luas Lahan Persil Palawija

Luas Lahan Persil Buah Buahan

Luas Lahan Persil Kayu Kayuan & Bambu

Luas Lahan

Persil Sayuran Total Persil Padi

RATA RATA LUAS PERSIL

Rata-rata Luas Sawah Per Persil

Ya, kpn (thn) Alasan LPKO Alasan LPKO 2 LLPP (Ha) LLPPlw(Ha) LLPB (Ha) LLPK (Ha) LLPS (Ha) TPP RRTP RLSPP (ha)

2005 1 Pemilik Lahan Me 1.15 5 0.229 0.23

0 0 0 0.35 2 0.175 0.18

1995 1 Responden Pinda 0.15 2 0.075 0.08

0 0 0 0.08 1 0.08 0.08

1980 1 Pemilik Lahan Me 0.33 0.23 0.08 2 0.165 0.17

0 0 0 0.10 0.04 1 0.1 0.10

0 0 0 0.20 1 0.2 0.20

0 0 0 0.14 0.03 1 0.14 0.14

1979 1 Pemilik Lahan Me 0.12 3 0.04 0.04

0 0 0 0.24 5 0.048 0.05

0 0 0 0.11 2 0.0525 0.05

1974 1 Produksi Yang Dih 0.65 0.5 1 0.65 0.65

0 0 0 0.05 1 0.05 0.05

0 0 0 0.06 2 0.0315 0.03

2011 2 Pemilik Lahan Me 0.30 2 0.15 0.15

0 0 0 0.21 2 0.105 0.11

0 0 0 0.10 1 0.1 0.10

2008 3 Pemilik Lahan Me 0.78 4 0.195 0.20

1988 4 Menjual Lahan 0.87 0.3 0.3 3 0.29 0.29

1985 1 Responden Pinda 0.06 1 0.06 0.06

0 0 0 0.18 3 0.06 0.06

0 0 0 0.72 0.025 0.06 5 0.144 0.14

0 0 0 0.44 3 0.146666667 0.15

0 0 0 0.20 1 0.2 0.20

0 0 0 0.59 0.09 2 0.295 0.30

2001 1 Penggarap Menga 0.37 2 0.185 0.19

0 0 0 0.47 0.14 4 0.11625 0.12

0 0 0 0.47 0.1 2 0.235 0.24

0 0 0 0.28 2 0.14 0.14

0 0 0 0.34 2 0.17 0.17

0 0 0 0.25 0.1 3 0.081666667 0.08


(3)

No. Res 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32

luas lahan Garap Sewa

Nama pemilik lahanGarap Sewa

hub. Responden dg pemilik lahan: 1. ada hubungan kekerabatan, 2. tidak ada hubungan kekerabatan

luas lahan Garap Sewa

Nama pemilik lahanGarap Sewa

luas lahan Garap Sewa

Nama pemilik lahanGarap Sewa

luas lahan Garap Sewa

Nama pemilik lahanGarap Sewa

luas lahan Garap Sewa

Nama pemilik lahanGarap Sewa

LLGS (ha) 1 NPLLGS 1 HDP 1 LLGS (ha) 2 NPLLGS 2 LLGS (ha) 3 NPLLGS 3 LLGS (ha) 4 NPLLGS 4 LLGS (ha) 5 NPLLGS 5

0.12 Oom 1 0.43 H. Mirka 0.25 Kartobi 0 0 0 0

0.35 Shidiq 2 0 0 0 0 0 0 0 0

0.08 Ela 2 0.07 Ros 0 0 0 0 0 0

0.08 H. Mahpudin 2 0 0 0 0 0 0 0 0

0.06 Mbah Maman 2 0.04 Mbah Maman 0 0 0 0 0 0

0.06 Kartobi 1 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0.11 Betty 2 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0.06 Omi 1 0.04 Omi 0.04 Omi 0.04 Omi 0.06 Omi

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0.15 H. Mahpudin 2 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0.18 H. Mahpudin 2 0.12 H. Mahpudin 0 0 0 0 0 0

0.13 Pak Rinto 2 0.08 Mak Een 0 0 0 0 0 0

0.1 H. Mahpudin 2 0 0 0 0 0 0 0 0

0.48 Esih 1 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0.4 Pak Istoharo 2 0 0 0 0 0 0 0 0

0.3 Asep 2 0.07 Asep 0 0 0 0 0 0

0.065 Mak Ocah 1 0 0 0 0 0 0 0 0

0.1 H. Mahpudin 2 0 0 0 0 0 0 0 0

0.17 Udin 2 0.11 Ian 0 0 0 0 0 0

0.18 H. Mahpudin 2 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0


(4)

No. Res 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32

luas lahan Garap Akad

Nama pemilik lahanGarap Akad

hub. Responden dg pemilik lahan: 1. ada hubungan kekerabatan, 2. tidak ada hubungan kekerabatan

luas lahan Garap Akad

Nama pemilik lahanGarap Akad

Rata Rata Lama Garap Sewa

Rata Rata Lama Garap Akad

Rata Rata Biaya Sewa (Kg/Ha)

Biaya Ustan Per Ha

Rata Rata Biaya Sewa (Rp)

Produksi Padi Total LLGA (ha) 1 NPLLGA 1 HDP 1 LLGA (ha) 2 NPLLGA 2 RRLGS (Thn) RRLGS (Thn) RBS(Kg/Ha) BUT (Rp/Ha) RBS (Rp) PPT (Ton/Ha)

0 0 0 0 0 3.67 2806.59 5,126,904 7,016,473 7,498

0 0 0 0 0 26.00 3142.86 5,342,857 7,857,143 5,714

0 0 0 0 0 8.50 2991.07 5,000,000 7,477,679 7,500

0 0 0 0 0 18.00 3125.00 6,875,000 7,812,500 6,250

0 0 0 0 0 4.00 2050.00 5,850,000 5,125,000 6,000

0 0 0 0 0 9.00 3000.00 6,700,000 7,500,000 9,333

0 0 0 0 0 4,775,000 0 6,500

0 0 0 0 0 4.00 3000.00 5,018,182 7,500,000 7,273

0.04 Pak Cucum 2 0.03 Ibu Omi 4.00 5,833,333 0 6,667

0 0 0 0 0 3.65 3000.00 7,166,667 7,500,000 8,000

0 0 0 0 0 6,190,476 0 9,524

0 0 0 0 0 32.00 3066.67 4,666,667 7,666,667 6,667

0 0 0 0 0 6,350,000 0 5,900

0.04 M. Eman 1 0 0 1.00 6,507,937 0 7,826

0 0 0 0 0 9.00 2777.78 6,233,333 6,944,444 5,333

0 0 0 0 0 3.00 2788.46 6,547,619 6,971,154 7,619

0 0 0 0 0 21.00 3000.00 5,300,000 7,500,000 5,000

0 0 0 0 0 3.00 2500.00 6,603,846 6,250,000 6,026

0 0 0 0 0 5,175,439 0 6,842

0 0 0 0 0 6,666,667 0 9,333

0 0 0 0 0 7,227,778 0 6,389

0 0 0 0 0 6,066,142 0 6,142

0 0 0 0 0 4,189,773 0 5,318

0 0 0 0 0 5,085,000 0 7,500

0 0 0 0 0 1.00 3075.00 5,400,000 7,687,500 4,800

0 0 0 0 0 6.00 3107.14 7,027,027 7,767,857 12,162

0.05 Ibu Mumun 1 0 0 16.00 6.00 3076.92 6,461,538 7,692,308 8,308

0 0 0 0 0 3.00 5,555,556 0 4,889

0 0 0 0 0 9.00 3061.50 4,285,714 7,653,743 5,000

0 0 0 0 0 26.00 2777.78 5,294,118 6,944,444 6,667

0 0 0 0 0 7,000,000 0 6,897


(5)

No. Res 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32

Penerimaan Ustan Padi

(Rp/Ha) Keuntungan

Keuntungan Bersih setelah bayar garap

Keuntungan Bersih per musim tanam Rumah Tanga (Rp)

Jumlah nilai aset (Rp)

sumber biaya beli/akad lahan:

tabungan jual emas pinjam tetangga Skor Benih Skor Pupuk Skor Legowo Skor Traktor

PUP (Rp/Ha) KU (Rp/Ha) KB (Rp/Ha) KBRTUP (Rp) JNA Uang TabunganMenjual Perhiasaninjam Kerabat/TetanSB SP SL ST

18,746,193 13,619,289 6,602,816 6,503,774 127,000,000 1 0 0 10 10 10 10

14,285,714 8,942,857 1,085,714 380,000 31,000,000 0 0 0 10 10 0 10

18,750,000 13,750,000 6,272,321 940,848 17,000,000 0 0 0 10 10 0 10

15,625,000 8,750,000 937,500 75,000 30,000,000 0 0 0 10 10 10 10

15,000,000 9,150,000 4,025,000 402,500 20,000,000 0 0 0 10 0 0 10

23,333,333 16,633,333 9,133,333 548,000 65,000,000 1 0 0 10 10 10 10

16,250,000 11,475,000 11,475,000 2,295,000 52,000,000 1 0 0 10 0 0 10

18,181,818 13,163,636 5,663,636 623,000 11,000,000 0 0 0 10 0 0 10

16,666,667 10,833,333 10,833,333 1,300,000 4,000,000 1 0 0 10 0 0 10

20,000,000 12,833,333 5,333,333 1,280,000 0 0 0 0 10 10 10 10

23,809,524 17,619,048 17,619,048 1,850,000 38,000,000 1 0 0 10 0 10 10

16,666,667 12,000,000 4,333,333 650,000 10,000,000 0 0 0 10 10 10 10

14,750,000 8,400,000 8,400,000 420,000 25,000,000 0 0 0 10 10 10 10

19,565,217 13,057,281 13,057,281 300,317 53,000,000 0 1 0 10 0 10 10

13,333,333 7,100,000 155,556 46,667 10,000,000 1 0 0 10 0 0 10

19,047,619 12,500,000 5,528,846 1,161,058 52,000,000 0 0 0 10 0 0 10

12,500,000 7,200,000 -300,000 -30,000 12,000,000 0 0 0 10 0 0 10

15,064,103 8,460,256 2,210,256 1,724,000 50,000,000 1 0 0 10 10 10 10

17,105,263 11,929,825 11,929,825 6,800,000 157,000,000 1 0 0 10 0 10 10

23,333,333 16,666,667 16,666,667 1,000,000 50,000,000 1 0 0 10 0 0 10

15,972,222 8,744,444 8,744,444 1,574,000 50,000,000 0 0 0 10 0 10 10

15,354,331 9,288,189 9,288,189 5,898,000 50,000,000 1 0 1 10 10 0 10

13,295,455 9,105,682 9,105,682 4,006,500 35,000,000 0 0 0 10 0 10 10

18,750,000 13,665,000 13,665,000 2,733,000 50,200,000 1 0 0 10 10 10 10

12,000,000 6,600,000 -1,087,500 -543,750 50,000,000 1 0 0 10 0 10 10

30,405,405 23,378,378 15,610,521 5,775,893 38,000,000 0 0 0 10 10 10 10

20,769,231 14,307,692 6,615,385 2,150,000 41,000,000 0 0 0 10 0 0 10

12,222,222 6,666,667 6,666,667 3,000,000 15,750,000 1 0 0 10 0 0 10

12,500,000 8,214,286 560,542 156,952 6,500,000 1 0 0 10 0 0 10

16,666,667 11,372,549 4,428,105 797,059 25,000,000 1 0 0 10 0 0 10

17,241,379 10,241,379 10,241,379 1,485,000 35,000,000 1 0 0 10 10 10 10


(6)

No. Res 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32

Skor Hayati Skor Organik Skor Total

1.20-33, 2. 34-47, 48-60

Pengeluaran rumah tangga (Rp/tahun)

SH SO Stot K.Stot R/C PRT (Rp/thn)

10 10 60 3 3.656435644 43,480,000

0 10 40 2 2.673796791 4,080,000

0 10 40 2 3.75 12,642,000

10 10 60 3 2.272727273 12,156,000

0 10 30 1 2.564102564 8,280,000

10 10 60 3 3.482587065 27,798,400

0 0 20 1 3.403141361 13,708,000

0 0 20 1 3.623188406 8,196,000

0 10 30 1 2.857142857 5,550,000

10 0 50 3 2.790697674 6,792,000

0 0 30 1 3.846153846 7,473,600

0 10 50 3 3.571428571 6,780,000

0 0 40 2 2.322834646 9,892,000

10 0 40 2 3.006362672 22,740,000

0 0 20 1 2.139037433 7,860,000

0 10 30 1 2.909090909 10,020,000

0 10 30 1 2.358490566 12,324,000

0 10 50 3 2.281110464 14,160,000

0 0 30 1 3.305084746 11,088,000

10 0 30 1 3.5 17,460,000

0 0 30 1 2.209838586 6,240,000

10 10 50 3 2.531152648 7,548,000

0 0 30 1 3.173311635 9,780,000

10 10 60 3 3.687315634 6,484,000

10 10 50 3 2.222222222 20,690,000

0 10 50 3 4.326923077 18,240,000

0 0 20 1 3.214285714 15,900,000

0 0 20 1 2.2 7,041,000

0 10 30 1 2.916666667 9,676,000

0 0 20 1 3.148148148 12,100,000

0 0 40 2 2.463054187 4,888,000


Dokumen yang terkait

Peranan Kelompok Tani Dalam Peningkatan Pendapatan Usahatani Padi Sawah ( Oriza sativa)

79 517 91

Analisis Komparisi Pendapatan Usaha Tani Padi Sawah Pengguna Benih Sang Hyang Sri dengan Benih Penangkaran Swadaya (Kasus : Desa Naga Kisar Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai)

3 79 94

Analisis Komparasi Usahatani Padi Sawah Sistem Irigasi Dengan Padi Sawah Sistem Tadah Hujan (Studi Kasus : Desa Bakaran Batu Dan Kelurahan Paluh Kemiri Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang)

1 53 152

Analisis Komparasi Usahatani Padi Sawah Sistem Irigasi Dengan Padi Sawah Sistem Tadah Hujan (Studi kasus : Desa Bakaran Batu dan Kelurahan Paluh Kemiri Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang).

14 80 152

Analisis Usahatani Padi Sawah Berdasarkan Jenis Saluran Irigasi (Studi Kasus: Desa Sarimatondang, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun)

8 82 59

Hubungan Tingkat Kosmopolitan Dengan Sikap Petani Padi Sawah Terhadap Kelompok Tani Di Kabupaten Deli Serdang. (Studi Hasil : Kelompok Tani Kampung Baru, Tani Jaya, Hotma Jaya, Desa Pasar Melintang, Kecamatan Lubuk Pakam)

3 44 87

Hubungan Dinamika Kelompok Tani Dengan Produktivitas Dan Pendapatan Usaha Tani Kopi (Kasus : Kelurahan Tigarunggu, Kabupaten Simalungun)

18 102 69

Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Sistem Tanam Jajar Legowo Dengan Sistem Tegel Kelurahan Situmekar, Sukabumi

8 45 60

Studi Pemekaran Kelurahan Lembursitu Kecamatan Lembursitu Kota Sukabumi.

0 2 15

Peranan Kelompok Tani Dalam Peningkatan Pendapatan Usahatani Padi Sawah ( Oriza sativa)

0 2 16