Hubungan Status Pengusahaan Lahan dengan Pendapatan Petani

19 dengan status lahan milik dalam satu musim tanam adalah sebesar Rp. 10.924.794,00 dengan biaya total yang dikeluarkan adalah sebesar Rp. 6.468.045,00. Simpulan penelitian Hantari 2007 yang lain memperlihatkan bahwa penerimaan total petani padi dengan status lahan bagi hasil dalam satu musim tanam adalah sebesar Rp. 8.264.285,00 dengan biaya total yang dikeluarkan adalah sebesar Rp. 9.588.958,00. Kondisi ini jika dibandingkan dengan petani pemilik lahan, maka petani penggarap lahan dengan status bagi hasil memiliki keuntungan yang jauh lebih rendah. Kondisi perekonomian petani yang kurang beruntung, diperkirakan pula terjadi di Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi. Penerimaan RTP dari sektor pertanian padi belum dapat memenuhi pengeluaran rumah tangga secara keseluruhan sehingga diperlukan analisis pendapatan usahatani lahan untuk mengetahui apakah usahatani yang dilaksanakan menguntungkan atau tidak menguntungkan dan analisis perbandingan struktur pendapatan usahatani lahan antara petani pemilik lahan, petani pemilik dan penggarap, serta petani penggarap untuk mengetahui status penguasaan mana yang paling memberikan keuntungan maksimal bagi petani.

2.4. Hubungan Status Pengusahaan Lahan dengan Pendapatan Petani

Studi-studi untuk menentukan hubungan status pengusahaan lahan dengan pendapatan petani juga masih jarang dilakukan, sehingga akan lebih dipaparkan mengenai kajian-kajian pada studi-studi yang memiliki kaitan kuat terhadap hubungan status penguasaan lahan dengan pendapatan petani. Selama ini ada anggapan bahwa pendapatan yang diperoleh rumah tangga perdesaan dari usahatani berhubungan dengan status penguasaan sawah milik dan bukan milik. Semakin luas tanah yang dimiliki, semakin tinggi pendapatan yang diperoleh dari usahatani. Schrevel 1989 melakukan studi kasus di desa Cidurian desa yang berbatasan dengan kota besar, dan menyatakan bahwa akses atas tanah tampaknya tidak memadai lagi dijadikan indikator tingkat pendapatan rumah tangga perdesaan. Penelitian di Cidurian itu menunjukkan peran kegiatan di luar pertanian justru semakin menentukan dan hanya terdapat korelasi positif yang rendah antara tingkat penguasaan tanah dengan tingkat pendapatan non pertanian. 20 Hasil penelitian Studi Dinamika Perdesaan SDP di 15 desa menunjukkan bahwa apabila distribusi pendapatan dikaitkan dengan strata luas pemilikan tanah, masih jelas nampak bahwa makin besar luas tanah milik makin besar pula pendapatan rata-rata rumah tangga. Namun, separuh dari jumlah desa yang diteliti ternyata sektor non pertanian memberikan sumbangan lebih dari 50 persen dari total pendapatan, semakin dekat dengan daerah perkotaan semakin besar proporsi pendapatan dari sektor non pertanian. Dengan demikian, rumah tangga yang memiliki tanah luas lah yang mempunyai jangkauan lebih besar ke sumber non pertanian Wiradi dan Makali 1984. Tingkat pendapatan rumah tangga perdesaan menurut luas pemilikan tanah hasil penelitian Patanas 19941995 dan 19981999 menunjukkan struktur yang berbeda. Proporsi sumbangan pendapatan dari sektor non pertanian yang relatif besar terjadi pada kelompok tunakisma dan pemilikan tanah rendahsempit, baik di Jawa maupun luar Jawa. Sementara itu, proporsi pendapatan dari usaha pertanian berkorelasi positif dengan luas pemilikan tanah, semakin tinggi luas pemilikan tanah semakin tinggi proporsi pendapatan dari usaha pertanian. Proporsi pendapatan dari usaha pertanian meningkat pada kelompok tunakisma, pemilikan rendah dan sedang. Sementara pada kelompok pemilikan luas cenderung menurun, penurunan ini terutama terjadi di luar Jawa. Di Jawa proporsi pendapatan dari usaha pertanian cenderung meningkat untuk semua kelompok. Di Jawa sumbangan pendapatan dari sektor non pertanian meningkat hanya pada kelompok tunakisma, sementara pada rumah tangga yang memiliki tanah cenderung menurun. Sementara di luar Jawa meningkat untuk semua kelompok. Supriyati, Saptana, dan Supriyatna 2003, Secara stastistik, korelasi antara pendapatan pertanian dengan luas lahan milik dan juga dengan lahan garapan tidak nyata dan korelasi antar dua variabel tersebut relatif kecil. Pada Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat dan Kabupaten Landak, Kalimantan Barat terjadi pola hubungan yang searah antara pendapatan sektor pertanian dan luas pemilikan serta luas garapan, namun di Klaten, Jawa Tengah terjadi pola hubungan terbalik antara dua variabel tersebut. Pada fenomena yang pertama antara lain disebabkan oleh rata-rata dan keragaman luas pemilikan lahan relatif besar dan kegiatan usaha di luar sektor pertanian relatif belum 21 berkembang. Fenomena kedua disebabkan oleh rata-rata dan keragaman luas pemilikan dan garapan serta kegiatan usaha di luar sektor pertanian sudah sangat berkembang terutama di desa contoh yang dekat dengan pusat industri. Korelasi antara total pendapatan dengan lahan milik di Sumatera Barat nyata dengan koefisien korelasi 0,29. Sementara korelasi pada kasus yang lain tidak nyata. Kasus di Jawa Tengah dan Kalimantan Barat menunjukkan bahwa ada hubungan terbalik antara total pendapatan dan luas pemilikan lahan. Pada kasus di Jawa Tengah menunjukkan peran kegiatan usaha di luar pertanian sudah cukup besar terutama pada desa contoh yang dekat sentra industri. Sedangkan di Kalimantan Barat menunjukkan masih banyaknya lahan milik yang belum tergarap dengan baik atau penggarapan di lakukan dengan cara gilir balik, serta masih rendahnya teknologi produksi yang diterapkan.

2.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengusahaan Lahan

Dokumen yang terkait

Peranan Kelompok Tani Dalam Peningkatan Pendapatan Usahatani Padi Sawah ( Oriza sativa)

79 517 91

Analisis Komparisi Pendapatan Usaha Tani Padi Sawah Pengguna Benih Sang Hyang Sri dengan Benih Penangkaran Swadaya (Kasus : Desa Naga Kisar Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai)

3 79 94

Analisis Komparasi Usahatani Padi Sawah Sistem Irigasi Dengan Padi Sawah Sistem Tadah Hujan (Studi Kasus : Desa Bakaran Batu Dan Kelurahan Paluh Kemiri Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang)

1 53 152

Analisis Komparasi Usahatani Padi Sawah Sistem Irigasi Dengan Padi Sawah Sistem Tadah Hujan (Studi kasus : Desa Bakaran Batu dan Kelurahan Paluh Kemiri Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang).

14 80 152

Analisis Usahatani Padi Sawah Berdasarkan Jenis Saluran Irigasi (Studi Kasus: Desa Sarimatondang, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun)

8 82 59

Hubungan Tingkat Kosmopolitan Dengan Sikap Petani Padi Sawah Terhadap Kelompok Tani Di Kabupaten Deli Serdang. (Studi Hasil : Kelompok Tani Kampung Baru, Tani Jaya, Hotma Jaya, Desa Pasar Melintang, Kecamatan Lubuk Pakam)

3 44 87

Hubungan Dinamika Kelompok Tani Dengan Produktivitas Dan Pendapatan Usaha Tani Kopi (Kasus : Kelurahan Tigarunggu, Kabupaten Simalungun)

18 102 69

Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Sistem Tanam Jajar Legowo Dengan Sistem Tegel Kelurahan Situmekar, Sukabumi

8 45 60

Studi Pemekaran Kelurahan Lembursitu Kecamatan Lembursitu Kota Sukabumi.

0 2 15

Peranan Kelompok Tani Dalam Peningkatan Pendapatan Usahatani Padi Sawah ( Oriza sativa)

0 2 16