Kerangka Teoritis Penguatan Kelembagaan Lokal Pengelolaan Sumber Daya Alam Sumber Penghidupan Suku Mentawai Di Cagar Biosfer Pulau Siberut

12 CBPS dengan karakteristik yang khas. Pengelolaan SDA oleh masyarakat tidak terlepas dari aturan informal kelembagaan lokal yang berlaku di masyarakat Mentawai, dan dipengaruhi pula oleh aturan formal peraturan perundang- undangan yang ada. Kombinasi antara situasi dan kelembagaan yang ada, membentuk perilaku dalam pengelolaan SDA yang berdampak pada ketiga aspek kelestarian, yaitu kelestarian ekologi, kelestarian ekonomi, dan kelestarian sosial. Perilaku dari masyarakat yang negatif, seperti tidak menanam kembali pohon yang ditebang setelah meramu hasil hutan atau menggunakan racun dalam menangkap ikan, akan merusak atau mengurangi nilai dari SDA. Demikian pula sebaliknya, perilaku masyarakat yang positif akan menjamin kelestarian SDA. Perilaku negatif dari masyarakat mengindikasikan ketidak mampuan atau melemahnya kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan SDA, sehingga diperlukan penguatan kelembagan pengelolaan SDA di CBPS agar masyarakat Mentawai dapat memanfaatkan SDA sekarang dan generasi mendatang. Dengan asumsi bahwa sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi tidak berubah selama proses penelitian, maka fokus peneliti dapat diarahkan pada perbaikan kelembagaan Pakpahan 1989. Kerangka pikir penelitian penguatan kelembagaan pengelolaan SDA Suku Mentawai di CBPS disajikan pada Gambar 1.1.

1.7 Kebaruan Novelty Penelitian

Mengintegrasikan antara kelembagaan formal dan informal khususnya yang berbasis hak kepemilikan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumber daya cagar biosfer di Indonesia. Temuan ini sangat penting untuk tata kelola sumber daya CBPS yang berkelanjutan, dan memperkuat teori kepemilikan bersama Ostrom yang menelaah tentang kepemilikan bersama tidak selalu menyebabkan pemanfataan sumber daya secara berlebihan karena adanya pranata sosial kelembagaan masyarakat setempat yang dilegitimasi oleh seluruh anggota masyarakatnya.

1.8 Struktur Penulisan

Penulisan disertasi ini disusun dalam delapan bab. Bab pertama menyajikan pendahuluan yang berisi latar belakang, kerangka teoritis, kerangka fikir, perumusan masalah, tujuan, manfaat, dan novelti penelitian. Bab kedua menjelaskan karakteristik CBPS. Bab ketiga menjelaskan aset-aset penghidupan Suku Mentawai di CBPS. Bab keempat menjelaskan kepemilikan dan penggunaan lahan secara tradisional di CBPS. Bab kelima menjelaskan tentang stakeholders dalam pengelolaan SDA di CBPS. Bab keenam menjelaskan tentang aturan informal dan formal dalam pengelolaan SDA di CBPS. Bab ketujuh merupakan sintesis penelitian yang menjelaskan keberlanjutan dan strategi penguatan kelembagaan lokal pengelolaan SDA di CBPS. Terakhir bab kedelapan yang berisikan simpulan dan saran. 13 Kelestarian ekologi Kelestarian e konomi Kelestarian s osial Perilaku stakeholders dalam pengelolaan SDA Stakeholder SDA sumber penghidupan Suku Mentawai di CBPS Penguatan kelembagaan Pengelolaan SDA Suku Mentawai di CBPS Situasi SDA di CBPS Aturan informal Aturan formal Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian Penguatan Kelembagaan Lokal Pengelolaan Sumber Daya Alam Sumber Penghidupan Suku Mentawai di Cagar Biosfer Pulau Siberut 14 2 CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT Kepulauan Mentawai banyak menarik perhatian para naturalis karena keterisolasian kepulauan ini dari daratan utama Sumatera sekitar setengah juta tahun yang lalu. Keterisolasian ini menjadikan pulau-pulau di Mentawai mempunyai keunikan flora, fauna, dan kebudayaan masyarakatnya. Kepulauan Mentawai terdiri dari empat pulau besar, yaitu Sipora, Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Siberut. Pulau Siberut lebih menarik perhatian karena mempunyai hutan yang masih luas dibandingkan dengan ketiga pulau lain dan penduduknya masih menerapkan kebudayaan tradisional mereka. Pulau Siberut memiliki luas sekitar 4 030 km² atau 403 000 ha 3 . Pulau ini merupakan pulau terbesar dari empat pulau di Kepulauan Mentawai yang terletak dilepas pantai barat Provinsi Sumatera Barat, Indonesia Gambar 2.1. Pulau Siberut terletak antara 0º 80‟-2º 00‟ LS - 98º 60‟-99º 40‟ BT. Jarak antara Pulau Siberut dengan pulau utama Sumatera sekitar 155 km yang dipisahkan oleh Selat Mentawai. Secara administrasi kepemerintahan, Pulau Siberut termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai yang terdiri atas 5 kecamatan, 20 desa, Gambar 2.1 Peta Kepulauan Mentawai 3 Luas Pulau Siberut berbeda dalam beberapa literatur, yaitu 4 030 km² BTNS 2010, 3 858 km² Dishut Kab. Kep. Mentawai 2013, dan 3 838 km² BPS Kab. Kep. Mentawai 2014. Perbedaan ini dapat terjadi karena penggunaan alat dan peta yang berbeda. P. Siberut P. Sipora P. Pagai Utara P. Pagai Selatan Kota Padang 15 dan 146 dusun Lampiran 1. Kecamatan yang ada di Pulau Siberut, yaitu Siberut Utara beribukota di Muara Sikabaluan, Kecamatan Siberut Selatan beribukota di Muara Siberut, Kecamatan Siberut Barat beribukota di Betaet, Kecamatan Siberut Tengah beribukota di Saibi Samukop, dan Kecamatan Siberut Barat Daya beribukota di Teileleu.

2.1 Karakteristik Biofisik Pulau Siberut

Pulau Siberut beriklim khatulistiwa yang panas dan lembab dengan curah hujan yang tinggi dan tidak ada musim kemarau yang berkepanjangan. Rata-rata curah hujan per tahun sekitar 3 320 mm. Curah hujan paling lebat turun pada bulan April hingga Oktober, sedangkan bulan-bulan yang relatif kering pada Februari hingga Juni. Suhu dan kelembaban relatif konstan dengan kelembaban berkisar antara 81-85 , sementara rata-rata suhu minimum dan maksimumnya adalah 22ºC dan 31ºC tiap harinya. Pulau Siberut merupakan pulau sedimen yang didominasi oleh serpihan, endapan dan marmer berumur relatif muda. Terdapat beberapa daerah kecil yang terdiri atas konglomerasi pra-Miocene yang mengandung lapisan karang tipis sista, kwarsa dan sedikit karang kapur yang mungkin terbentuk pada masa Miocene, serta beberapa batuan vulkanis yang bersebaran yang mungkin berasal dari ledakan gunung api di Sumatera pada masa Meiocene. Sebagian besar dari bentukan geologis muncul pada masa Pliocene, Pleistocene dan Holocen. Topografi Pulau Siberut dicirikan mendatar hingga berbukit dengan puncak tertinggi 384 mdpl meter di atas permukaan laut. Perbukitan tersebut memiliki variasi kemiringan lereng mulai dari kemiringan 25 hingga melebihi 75. Daerah dataran umumnya berada pada kemiringan lereng 0-15 dengan ketinggian mulai dari 0-50 m. Sistem pola aliran di Pulau Siberut menunjukkan sistem pola aliran yang komplek, umumnya membentuk pola aliran paralel sampai sub-trellis. Hal ini diakibatkan karena kondisi medan yang non-resisten, sehingga seringkali terjadi erosi yang menyebabkan perkembangan bentang lahan landscape yang terpotong-potong dan tidak rata dengan sungai dan aliran air, serta kondisi kawasan yang berbukit-bukit. Sistem pola aliran sungai di Pulau Siberut yang sangat rumit menyebabkan proses regenerasi hutan sangat lambat. Peranan hutan menjadi sangat penting mengingat fungsinya sebagai pengontrol hidrologi seluruh pulau. Ditinjau dari batuan dasar pembentuk tanah Pulau Siberut, umumnya berfraksi halusdebu atau berbentuk lempungan, mudah tererosi dan sifat infiltrasinya cenderung rendah. Bukti adanya erosi yang kuat terlihat dari kondisi air sungai yang menjadi keruh akibat adanya pengupasan pada lapisan atas tanah khususnya lapisan humus atau rombakan organik. Infiltrasi yang rendah terlihat dari respon aliran sungai yang kuat terhadap presipitasi. Pada saat terjadi hujan, air sungai akan cepat naik. Hal ini disebabkan air hujan tidak sempat meresap ke dalam tanah dan langsung mengalir menjadi air limpasan permukaan run off, tetapi akan cepat turun beberapa saat setelah hujan berakhir. Di Pulau Siberut banyak mengalir sungai-sungai yang menjadi sumber air minum, mencuci, dan media transportasi bagi masyarakat. Sungai, lokasi, dan luasan daerah aliran sungainya DAS disajikan pada Tabel 2.1. Hampir semua 16 semua hulu sungai besar ini berasal dari area inti CBPS kawasan TNS. Sementara itu, sumber daya air dalam bentuk danau danau gopgip hanya terdapat di Siberut Barat Daya seluas 200 ha. Tabel 2.1 Sungai, lokasi, dan luasan daerah aliran sungai DAS di Pulau Siberut a Nama sungai Lokasi kecamatan Luas DAS ha Nama sungai Lokasi kecamatan Luas DAS ha Buga Siberut Selatan 7 068 Cimpungan Siberut Utara 13 153 Tomiang Siberut Selatan 1 501 Siberut Selatan 4 998 Kalea Siberut Selatan 15 993 Simatalu Siberut Utara 35 547 Laplap Siberut Selatan 1 469 Siberut Selatan 6 059 Mabosoa Siberut Selatan 3 383 Gurukna Siberut Utara 3 190 Maileppet Siberut Selatan 1 197 Labuhan Bajau Siberut Utara 3 535 Makatowal Siberut Selatan 841 Murak Siberut Utara 7 396 Makerumonga Siberut Selatan 971 Puran Siberut Utara 1 274 Mangeungeu Siberut Selatan 6 180 Saibi Siberut Utara 2 158 Mapinang Siberut Selatan 3 287 Sigapokna Siberut Utara 1 265 Noinan Siberut Selatan 24 988 Sigep Siberut Utara 25 765 Pulau Masokut Siberut Selatan 1 661 Sikabaluan Siberut Utara 30 963 Putapiri Siberut Selatan 532 Sikamomui Siberut Utara 6 430 Sagulubek Siberut Selatan 14 332 Simalegi Siberut Utara 27 217 Saibi Siberut Selatan 19 647 Sirilogui Siberut Utara 5 389 Sarabua Siberut Selatan 5 673 Takungan Siberut Utara 13 526 Siberut Siberut Selatan 49 821 Tiniti Siberut Utara 3 281 Silotok Siberut Selatan 1 060 Tobekat Siberut Utara 10 553 Siribakbak Siberut Selatan 9 606 a BPDAS Agam Kuantan 2011. Dari aspek ekologi, ekosistem Pulau Siberut dari pantai Timur ke pantai Barat sangat berbeda Gambar 2.2. Di bagian pantai timur memiliki garis pantai yang tidak beraturan dan terdapat banyak kelompok hutan mangrove, muara sungai yang lebar, dan terumbu karang. Sedangkan, di pantai barat yang menghadap Samudera Indonesia memiliki kelompok hutan baringtonia, pantai yang lurus dengan tebing-tebingnya yang tinggi. Secara umum terdapat lima ekosistem daratan yang terdapat di Pulau Siberut, yaitu hutan dipterocarp primer, hutan campuran, hutan rawa, hutan mangrove dan hutan baringtonia. Di lingkungan perairan juga terdapat beberapa ekosistem, yaitu terumbu karang, padang lamun, dan estuarin.