40 desa yang mendenda penduduk yang membuang hajat sembarangan. Aturan
berjalan efektif, karena saat ini tidak ada lagi penduduk yang membuang hajat di jalanan atau penambatan perahu.
3. Pendidikan
Sarana dan prasarana pendidikan di Desa Matotonan dan Sagulubbek masih terbatas pada sekolah dasar SD. Di Desa Matotonan, lulusan SD melanjutkan
sekolah lanjutan tingkat pertama SLTP di Desa Madobak yang baru berdiri sekitar 3-4 jam berjalan kaki dan sekolah lanjutan tingkat atas SLTA yang
harus ditempuh di kota kecamatan, Muara Siberut. Di Desa Sagulubbek, lulusan SD melanjutkan SLTP dan SLTA harus ke kota kecamatan Muara Siberut. Hal
ini berbeda dengan Desa Saibi Samukop yang telah memiliki fasilitas pendidikan hingga jenjang SLTA. Namun untuk melanjutkan ke jenjang strata satu,
masyarakat harus ke Padang. Kondisi seperti ini menyebabkan tidak semua lulusan SD di Matotonan, Sagulubbek, dan Saibi Samukop terutama dusun yang
jauh dari pusat desa dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, karena memerlukan biaya tambahan, yakni biaya makan dan penginapan. Pada umumnya
mereka yang dapat melanjutkan ke SLTP atau SLTA adalah penduduk yang mampu dan atau mempunyai famili di Muara Siberut. Fasilitas penginapan yang
lebih murah juga disediakan oleh Yayasan Sekolah Nasrani di Muara Siberut dan Muara Sikabaluan, tetapi kapasitasnya terbatas dan hanya untuk anak-anak
yang bersekolah di yayasan tersebut. Saat ini banyak pemerintah desa yang membangun asrama untuk anak-anak dari desa mereka di Muara Siberut dan
Muara Sikabaluan.
4. Sarana Sosial Ekonomi
Sarana sosial ekonomi sosek yang dimaksudkan di sini adalah infrastruktur yang digunakan penduduk untuk memenuhi kebutuhan aktifitas sosek, antara lain
pasar, dermaga, dan warung. Sedangkan, prasarana sosek adalah perlengkapan penunjang yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sosek.
Sarana sosek di lokasi penelitian hampir di seluruh perdesaan masih sangat terbatas. Tidak ada dermaga permanen untuk mobilitas sosek perdesaan. Dermaga
yang ada hanya dermaga non permanen yang tersebar di masing-masing permukiman penduduk. Dermaga perahu di desa pada dasarnya dibangun secara
swadaya oleh masyarakat. Penduduk cenderung membangun tempat bersandar perahu sendiri yang disesuaikan dengan kedekatan dengan tempat tinggal dan
kondisi pasang-surut sungai. Tidak terdapat pasar desa di tiga lokasi penelitian. Sarana ekonomi yang ada hanya berupa warungtoko. Warung melayani
kebutuhan pokok penduduk, seperti sembako sembilan bahan kebutuhan pokok, kebutuhan rumah tangga lainnya, dan bahan bakar. Warung juga berperan sebagai
penampung hasil bumi yang dijual masyarakat. Pemilik warungtoko umumnya pendatang dari Suku Minang dan Suku Batak.
Prasarana sosek yang banyak digunakan adalah perahu motor yang berukuran besar jenis perahu yang dapat menampung 6-7 orang yang biasa
disebut speedboat dengan kapasitas mesin 25 PK ke atas. Jenis perahu bermotor ini tidak dimiliki oleh setiap penduduk, biasanya hanya pemilik warung yang
41 memilikinya karena harga mesin dan sampannya yang mahal serta boros bahan
bakar. Selain speedboat, kendaraan air lainnya yang sedang digandrungi masyarakat adalah pompong perahu yang dipasang mesin 3-8 PK. Menurut
masyarakat, pompong mempunyai keunggulan yakni dapat membawa banyak penumpang barang, penggunaan bahan bakarnya jauh lebih irit dibandingkan
speedboat, biaya pembuatan yang murah sampan hanya diberi dudukan mesin, dan dapat mengarungi sampai hulu sungai di Pulau Siberut yang dangkal. Di sisi
lain, pompong mempunyai kelemahan yakni memakan waktu tempuh yang relatif lama, hampir dua kali lipat dibandingkan speedboat.
Perahu motor tersebut, selain untuk mengangkut barang dagangan, juga sebagai sarana transportasi penduduk desa ke desa lain atau ke ibukota kecamatan
yang menjadi pusat ekonomi. Selain perahu motor, perahu sampan masih menjadi moda transportasi tradisional yang dimiliki hampir seluruh masyarakat. Perahu
sampan umumnya digunakan untuk mobilitas jarak pendek dari rumah ke ladang atau untuk mencari ikan. Seiring dengan tersedianya jalan desa yang terbuat dari
semen, maka banyak penduduk yang memiliki sepeda motor. Sepeda motor ini mulai mengganti fungsi perahu sampan sebagai moda transportasi jarak dekat,
khususnya ke ladang. Di Desa Matotonan, ketika jalan menuju ibukota kecamatan masih baik, intensitas masyarakat ke pasar cukup tinggi.
3.3.4 Sumber Daya Finansial
1. Mata Pencaharian
Sebagian besar masyarakat di lokasi penelitian, sebagaimana umumnya masyarakat Mentawai di CBPS, bermata pencaharian utama sebagai peladang.
Seperti dijelaskan pada Subbab 3.3.1 tentang Keterampilan Penduduk. Hasil perladangan atau hasil hutan yang bersifat subsisten langsung dikonsumsi,
sedangkan yang bernilai dipasaran dijual langsung ke pengumpul. Hasil ladang yang umumnya dijual seperti kakao, kelapa, pinang, nilam, cengkeh, sedangkan
hasil meramu dari hutan, seperti manau, gaharu, madu, dan buah. Cara berladang sebagian masyarakat masih tradisional, belum banyak mendapat sentuhan
teknologi baru yang lebih produktif, sehingga kuantitas dan kualitas hasil dari usaha berladang masih rendah.
Di sela-sela aktivitas berladang, masyarakat juga melakukan pekerjaan lain yang sifatnya temporal untuk mendapatkan uang tunai dengan menjadi buruh pada
pembangunan sarana prasarana desa yang sedang banyak dilakukan. Beberapa penduduk di tepian pantai berprofesi sebagai nelayan. Di Muara Saibi sekitar 10
orang dan di Sagulubbek sekitar 5 orang berprofesi sebagai nelayan. Kebanyakan mereka dari Suku Minang. Kegiatan melaut umumnya dilakukan pada malam hari,
ketika gelombang laut tidak besar atau kuat. Di siang hari, nelayan tersebut masih mengelola ladang. Hasil tangkapan yang lebih dari konsumsi sendiri, dijual di
sekitar desa. Daliyono et al. 2007 menyatakan bahwa masyarakat di Saibi Samukop merupakan nelayan dengan pekerjaan sampingan sebagai peladang atau
petani. Namun dalam penelitian ini menemukan fakta sebaliknya bahwa masyarakat Desa Saibi Samukop merupakan masyarakat peladang, hanya
beberapa orang saja yang mempunyai pekerjaan sampingan sebagai nelayan.