100 uma terkait penggunaanpemanfaatan lahan, dan setiap uma mengakui
kepemilikan uma lain. Konflik yang jarang terjadi merupakan indikator tenure security Aggarwal dan Elbow 2006.
Tabel 6.3 Karakteristik kelembagaan adat Mentawai dalam pengelolaan sumber daya alam SDA
Kriteria kelembagaan yang kuat menurut Ostrom
Kondisi di kelembagaan adat Mentawai di Siberut Sesuai
kriteria Ostrom
Keterangan 1.
Batasan-batasan didefinisikan dengan jelas
√ Ada batasan wilayah dalam pemanfaat SDA
berdasarkan uma. Pengguna SDA adalah anggota uma sipuuma. Pemanfaatan SDA
oleh pihakuma lain harus seizin pemilik SDA.
2. Kesesuaian aturan dengan
kondisi setempat √
Ada konsep klasifikasi lahan pembagian wilayah dalam rangka memanfaatkan
SDA. Secara umum pemanfataan SDA masih menggunakan peralatan tradisional.
3. Pengaturan pilihan kolektif
√ Masyarakat setempat dapat berpartisipasi
dalam memodifikasi aturan operasional melalui proses musyawarah di tingkat desa.
4. Pengawasan
√ Pengawasan SDA milik uma melibatkan
anggota uma dan uma lain sipasijago melalui suatu kesepakatan.
5. Sanksi yang tegas sesuai
tingkat kesalahan √
Aturan memuat sanksi berupa denda tulou bagi pelanggar. Besaran denda tergantung
dari jenis pelanggaran yang dibuat. 6.
Mekanisme penyelesaian konflik
√ Penyelesaian konflik melalui proses
musyawarah. Dikenal adanya perantara sipasuili dalam konflik yang berat, seperti
lahan, pembunuhan, perzinahan. Konflik yang tidak terselesaikan antar pihakuma,
akan diselesaikan melalui lembaga pemerintah secara berjenjang
pemerintahan dusun, desa, hingga kecamatan.
7. Pengakuan hak untuk
mengelola x
Kelembagaan adat secara formal belum mendapat pengakuan dari pemerintah.
8. Aturan yang berhubungan
dengan aturan yang lebih formal
x Aturan lokal dalam pengelolaan SDA belum
terhubungkan dengan aturan formal dari pemerintah.
Kedua, aturan pemanfaatan dan penyediaan masih sesuai dengan kondisi
setempat. Aturan yang dikembangkan sesuai dengan praktek dan pengalaman nenek moyang mereka secara turun temurun. Soedjito dan Sukara 2006
menyatakan bahwa aturan tradisional umumnya masih melekat di masyarakat di kawasan cagar biosfer di Indonesia. Menurut Scott 2008, pengetahuan
masyarakat, praktek atau kebiasaan budaya yang berkembang di masyarakat yang
101 diwariskan dari generasi ke generasi disebut sebagai dimensi kultural-kognitif
yang merupakan salah satu pilar kelembagaan. Ketiga, anggota masyarakat dapat menyusun dan merevisi aturan operasional melalui proses musyawarah yang
melibatkan semua uma yang ada di desa. Keempat, pengawasan yang efektif dengan melibatkan anggota uma dan uma lain sipasijago melalui suatu
kesepakatan. Efektifitas dalam pemantauan SDA dapat mengurangi biaya transaksi.
Kelima, kelembagaan adat Mentawai sudah mengatur tentang sistem sanksi dalam bentuk denda tulou. Kekuatan kelembagaan ini adalah masih dipatuhinya
aturan adat tersebut. Masih banyak masyarakat Mentawai di CBPS mempunyai keyakinan bahwa setiap perilaku yang melanggar aturan adat akan mengakibatkan
ketidakseimbangan dan mendatangkan malapetaka bagi kehidupan pelanggar. Masyarakat masih meyakini bahwa adanya dunia gaib yang mempunyai kekuatan
di luar kekuatan manusia. Oleh karena itu, mereka masih takut untuk melanggar pantangan kei-kei. Jadi, kepatuhan masyarakat ini dikarenakan faktor religi yang
dimilikinya yang merupakan norma-norma yang harus dipatuhi. Keenam, mekanisme penyelesaian konflik diutamakan melalui proses musyawarah dan
negoisasi dalam pengenaan denda. Mekanisme ini membuat penyelesaian konflik menjadi relatif lebih cepat dan murah dibandingkan penyelesaian secara hukum
formal. Ketujuh, kelembagaan adat masyarakat Mentawai dalam mengelola SDA- nya belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Hal ini terkait dengan
prinsip kedelapan bahwa aturan informal belum terhubung dengan aturan formal.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kelembagaan informal Suku Mentawai dalam mengelola SDA di CBPS memiliki syarat sebagai kelembagaan yang dapat
bertahan lama berdasarkan indikator yang dikembangkan Ostrom. Kelembagaan informal ini mendapatkan legitimasi dari masyarakat setempat sehingga
kelembagaan dapat ditegakkan secara efektif. Walaupun demikian, belum adanya pengakuan mengelola dari pemerintah membuat kelembagaan lokal tersebut
m
udah “dilemahkan” oleh aturan formal dan berujung pada konflik pemanfataan antara masyarakat setempat dengan pengelola kawasan. Untuk itu, pengakuan
mengelola SDA kepada masyarakat lokal mutlak diberikan dalam rangka penguatan kelembagaan lokal mereka.
6.3.2
Aturan Formal
Dalam pengimplementasian konsep Cagar Biosfer di suatu negara, UNESCO cq. Jaringan Cagar Biosfer Dunia JCBD dalam kerangka hukumnya
pada Pasal 2 Butir 3 menyatakan bahwa negara bersangkutan mengambil langkah- langkah yang dianggap perlu menurut peraturan hukum nasionalnya. Sehingga,
aturan formal pengelolaan SDA di Cagar Biosfer mengikuti aturan yang ada di suatu negara. Begitupula di CBPS, pengelolaan SDA mengikuti aturan formal
yang bersumber dari aturan pemerintah baik pusat maupun daerah.
Pengelolaan SDA di CBPS banyak mengikuti aturan dari UU No. 411999 tentang Kehutanan dan UU No. 51990 tentang KSDAHE beserta aturan
turunannya, karena sebagian besar kawasan CBPS merupakan kawasan hutan negara yang terdiri atas kawasan HK, HP, HPK, dan HL Tabel 6.4. Selain itu,
pengelolaan hutan tidak terlepas dari peran pemerintah daerah, dengan diundangkannya UU No. 232014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan
102 bahwa kewenangan pengelolaan HP dan HL dialihkan dari pemerintah
kabupatenkota ke Pemerintah Provinsi. Pengelolaan SDA juga terkait dengan lingkungan hidup, maka UU No. 322009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup diacu dalam kaitan pengelolaan SDA. Kawasan CBPS merupakan bagian dari administratif Kabupaten Kepulauan Mentawai yang
banyak penduduk yang bermukim di kawasan tersebut, maka UU No. 262007 tentang Penataan Ruang dan UU No. 62014 tentang Desa menjadi acuan terkait
pengelolaan SDA.
Tabel 6.4 Luas zona dan statusfungsi hutan di Cagar Biosfer Pulau Siberut
Zonasi Luasan ha
a
Persentase Statusfungsi kawasan
b
Area inti 190 500
47.27 HK Taman Nasional Siberut
Zona penyangga 128 277
31.83 HP, HL, HK HSAW Teluk Saibi Sarabua
Area transisi 84 223
20.90 HPK, APL, lahan milik
a
PHKA 2013;
b
HK: Hutan Konservasi, HP: Hutan Produksi, HPK: Hutan Produksi Konversi, HL: Hutan Lindung, APL: Areal Penggunaan Lain, HSAW: Hutan Suaka Alam dan Wisata.
Berikut diuraikan aturan formal dalam mengelola SDA yang dikaji
berdasarkan prinsip-prinsip desain kelembagaan yang berkelanjutan oleh Ostrom 1990.
1. Batasan-batasan didefinisikan dengan jelas
Batas antara kawasan hutan negara di CBPS belum jelas. Kawasan Taman Nasional Siberut TNS sampai saat ini belum selesai di tata batas temu gelang.
Kawasan TNS yang sudah di tata batas sekitar 98.38 km dari panjang 205 km BTNS 2014. Begitupula dengan kawasan HSAW Teluk Saibi Sarabua belum
pernah di tata batas. Hingga saat ini HSAW Teluk Saibi Sarabua belum jelas apakah tergolong KSA atau KPA. Kawasan hutan produksi masih banyak yang
belum di tata batas, batas kawasan HP yang jelas hanya pada kawasan yang dikelola IUPHHK. Demikian pula dengan batas HL tidak jelas karena belum
pernah di tata batas.
Kawasan hutan yang tidak atau belum selesai di tata batas belum dapat ditetapkan sebagai kawasan hutan. Penetapan kawasan harus melalui proses
pengukuhan sesuai UU No. 411999 Pasal 15 butir 1 yang meliputi proses penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan. Itu itu,
kawasan hutan seharusnya mempunyai batas jelas sesuai UU No. 411999 Pasal 14 butir 2 bahwa pengukuhan kawasan hutan dilakukan untuk memberikan
kepastian hukum atas kawasan hutan. Selanjutnya pada Pasal 15 butir 2 dinyatakan bahwa pengukuhan kawasan tersebut dengan memperhatikan rencana
tata ruang wilayah. Menurut staf BTNS, proses pengukuhan kawasan ini melalui proses yang cukup lama dan rumit karena harus memperoleh kesepakatan dengan
masyarakat yang lahannya di tata batas dan konsultasi publik, sedangkan jangka waktu anggaran hanya satu tahun. Selain itu, penataan batas membutuhkan dana
yang besar yang dapat mengorbankan kegiatan prioritas lain.
103 Dalam UU No. 51990 dan aturan turunannya diatur tentang pemanfaatan
SDA. Menurut peraturan tersebut bahwa SDA yang dapat dimanfaatkan adalah 1 Jenis tumbuhan dan satwa liar, yang terdiri atas kegiatan pengkajian, penelitian
dan pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman obat-obatan, pemeliharaan untuk kesenangan UU 51990 Pasal
36 Ayat 1; dan 2 Kondisi lingkungan yang terdiri atas kegiatan pemanfaatan potensi ekosistem, keadaan iklim, fenomena alam, kekhasan jenis dan peninggalan
budaya PP 282011 Pasal 1 Butir 14, yang telah diubah menjadi pemanfaatan jasa lingkungan yang merupakan pemanfaatan kondisi lingkungan berupa
pemanfaatan potensi ekosistem, keadaan iklim, fenomena alam, kekhasan jenis, dan peninggalan budaya yang berada dalam KSA dan KPA, yang diwujudkan
dalam bentuk kegiatan wisata alam, pemanfaatan air, energi air, penyimpanan danatau penyerapan karbon, pemanfaatan panas matahari, angin, dan
pemanfaatan panas bumi untuk memenuhi kebutuhan listrik PP 1082015 Pasal 1 Butir 14. Dalam PP 282011, KPA dimungkinkan adanya pemanfaatan
tradisional oleh masyarakat setempat melalui kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis
yang tidak dilindungi.
Dalam UU No. 411999 dan aturan turunnya diatur juga tentang pemanfaatan SDA. Hutan produksi HP merupakan kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan Pasal 1 Butir 7, sedangkan hutan lindung HL adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan
tanah Pasal 1 Butir 8. Kegiatan pemanfaatan HP terdiri atas pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan
kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu Pasal 28 Ayat 1. Walaupun HL mempunyai fungsi pokok perlindungan, tetapi beberapa kegiatan
pemanfaatan dapat dilakukan terdiri atas pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu Pasal 26 Ayat 2.
Pemanfaatan SDA di HP dan HL melalui proses perizinan dan dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta BUMS Indonesia, badan
usaha milik negara BUMN atau badan usaha milik daerah BUMD Pasal 26 dan 29. Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap BUMD,
BMUN, dan BUMS yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu IUPHHK, dan izin usaha pemanfaatan
hasil hutan bukan kayu IUPHHBK, diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat Pasal 30.
HP dan HL dapat dikelola untuk tujuan khusus KHDTK guna kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, dan religi dan budaya
Pasal 8. Pengelolaannya dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat, lembaga pendidikan, lembaga penelitian, lembaga sosial dan keagamaan Pasal 34.
Adanya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui, mereka berhak untuk: 1 melakukan
pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; 2 melakukan kegiatan pengelolaan hutan
berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang- undang; dan 3 mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
104 kesejahteraannya Pasal 37. Pengakuan atas hak masyarakat hukum adat untuk
mengelola SDA mereka juga diperkuat oleh serangkaian keputusan Mahkamah Konstitusi MK melalui Putusan MK No. 34PUU-IX2011 bahwa pengusahaan
hutan oleh negara harus memperhatikan dan menghormati hak-hak atas tanah masyarakat, Putusan MK No. 45PUU-IX2011 bahwa pengukuhan kawasan
hutan harus segera dituntaskan untuk menghasilkan kawasan hutan yang berkepastian hukum dan berkeadilan, dan Putusan MK No. 35PUU-X2012
bahwa bahwa hutan adat bukan hutan negara. Namun sampai saat ini belum ada aturan formal yang menyatakan bahwa masyarakat Mentawai sebagai masyarakat
adat yang berhak mengelola hutan hak.
Dari uraian di atas, terdapat fakta bahwa batas wilayah antar kawasan hutan belum jelas, kecuali di areal kerja di IUPHHK. Dalam UU No.51990 dan UU No.
411999 beserta aturan turunannya telah diatur batasan apa dan siapa yang dapat memanfaatkan SDA, tetapi aturan ini di lapangan belum terimplementasi karena
pengakuan hak kepemilikan secara formal atas MHA Mentawai belum dilakukan. Batas wilayah yang tidak jelas ini berakibat pada tidak jelasnya batas status
kawasan di lapangan dan ketidakpastian ruang pengelolaan bagi stakeholders. Ostrom 1990 menyatakan bahwa bila pengguna dan batas sumber daya CPRs
tidak terdefinisi dengan jelas, pemilik sumber daya akan menghadapi resiko pemanfaatan sumber daya oleh orang yang tidak ikut dalam usaha penyediaan dan
pemeliharaan CPRs.
2. Kesesuaian aturan dengan kondisi setempat
Undang-Undang No. 411999 Pasal 17 mengatur adanya pembentukan wilayah pengelolaan hutan di tingkat provinsi, kabupaten dan unit pengelolaan.
Wilayah pengelolaan tersebut dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH yang terdiri atas KPH Produksi KPHP, KPH Lindung KPHL, dan KPH
Konservasi KPHK. Tujuan pembentukan KPH adalah untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari PP No. 442004 Pasal 26 dan PP No.
62007 Pasal 1, termasuk pengaturan ruang kelola KPH. Pembentukan wilayah pengelolaan
hutan di tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah
aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan.
Pertimbangan tersebut menunjukkan bahwa pembentukan wilayah pengelolaan hutan harus sesuai dengan kondisi setempat.
KPHP dan KPHL dikelola berdasarkan ruangnya dalam bentuk blok-blok pengelolaan. Blok tersebut dapat dibagi kembali menjadi petak-petak pengelolaan.
Blok adalah bagian wilayah KPH yang dibuat relatif permanen untuk meningkatkan efektivitas dan efisien pengelolaan, sedangkan petak adalah bagian
dari blok dengan luasan tertentu dan menjadi unit usaha pemanfaatan terkecil yang mendapat perlakuan pengelolaan atau silvikultur yang sama Pemenhut No.
P6Menhut-II2010. Blok-blok pengelolaan pada KPH dan pemanfaatan hutannya dapat dilihat pada Tabel 6.5, yang berdasarkan Perdirjen Planologi No. P.5VII-
WP3H2012 tentang Petunjuk Teknis Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan pada KPHP dan KPHL.
105 Tabel 6.5 Penataan blok Kesatuan Pengelolaan Hutan dan pemanfaatan hutan
Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH
Blok pengelolaan
a
Pemanfataan hutan
a
KPH Lindung Blok Inti
Karbon dan wilayah tertentu
20
Blok Pemanfaatan Izin pemungutan, HKm, HD, dan wilayah
tertentu Blok Khusus
KHDTK dan wilayah tertentu KPH Produksi
Blok Perlindungan Karbon dan wilayah tertentu
Blok Pemanfaatan HHK- HT
IUPHHK-HT, IUPHHK-RE, HTR, dan wilayah tertentu
Blok Pemanfaatan HHK- HA
IUPHHK-HA, IUPHHK-RE, Izin Pemanfaatan HHBK, dan wilayah tertentu
Blok Pemanfaatan Kawasan, Jasa
Lingkungan, dan HHBK IPPKH, Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan,
Izin Usaha Jasa Lingkungan, Izin Pemanfaatan HHBK, dan wilayah tertentu
Blok Khusus KHDTK dan wilayah tertentu
Blok Pemberdayaan Masyarakat
Izin Pemanfaatan, HKm, HD, dan wilayah tertentu
a
HHK-HT: Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman, HHK-HA: Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam, HHBK: Hasil Hutan Bukan Kayu, HKm: Hutan Kemasyarakatan, HD: Hutan Desa, HTR:
Hutan Tanaman Rakyat, KHDTK: Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus, IUPHHK: Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu.
Tabel 6.5 memperlihatkan bahwa KPH merupakan organisasi tingkat tapak yang pemanfaatan SDA hutan berdasarkan blok. Setiap blok dialokasi untuk
kepentingantujuan tertentu sesuai dengan karakteristik biofisik, potensi SDA, kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar, dan keberadaan hak-hak atau izin
usaha pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Tiap blok mempunyai aturan tertentu sesuai tujuan ditetapkanya blok dan ini menjadi aturan operasional
KPHP dan KPHL. Saat ini, Kementerian LHK telah mengoperasikan sekitar 175 KPHP dan 80 KPHL di seluruh Indonesia, tetapi belum satupun KPHP atau
KPHL dibentuk di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Di KPHK, pembagian ruang wilayah ruang dijabarkan dalam PP No. 282011 dan khusus di taman nasional diatur oleh Permenhut No. P.56Menhut-
II2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional dan telah diubah dengan Permen LHK P.76Menlhk-Setjen2015 tentang Kriteria Zona Pengelolaan Taman
Nasional dan Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam sebagai aturan turunan dari UU No. 51990.
Dalam UU No. 51990 Pasal 32 dinyatakan bahwa pengelolaan kawasan taman nasional didasarkan pada sistem zonasi. Oleh karena itu, pemanfaatan SDA
di TNS harus sesuai dengan zonasi dan setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsiperuntukkan zonasi tersebut. Zonasi pertama TNS
didasarkan pada Keputusan Dirjen PHKA No. 14KptsDJ-V2001 tanggal 6 Februari 2001 Gambar 6.1, kemudian ditata kembali sesuai Keputusan Dirjen
20
Wilayah tertentu adalah wilayah hutan yang situasi dan kondisinya belum menarik bagi pihak ketiga untuk mengembangkan usaha pemanfaatannya, sehingga pemerintah perlu menugaskan
KPH untuk memanfaatkannya.
106 PHKA No. 32KptsVI-SET2015 tanggal 4 Februari 2015 Gambar 6.2.
Perubahan zonasi TNS disajikan pada Tabel 6.6.
Tabel 6.6 Perubahan zonasi Taman Nasional Siberut
Zona Luas ha
Sebelum revisi
a
Persentase Sesudah revisi
b
Persentase Zona inti
46 533 24.43
45 620 23.95
Zona rimba 99 555
52.26 85 580
44.92 Zona pemanfaatan tradisional
44 392 23.30
- -
Zona pemanfaatan intensif 20
0,01 -
- Zona pemanfaatan
- -
19 920 10.46
Zona tradisional -
- 24 050
12.62 Zona khusus
- -
15 330 8.05
Total luas 190 500
100 190 500
100
a
Keputusan Dirjen PHKA No. 14KptsDJ-V2001 tanggal 6 Februari 2001;
b
Keputusan Dirjen PHKA No. 32KptsVI-SET2015 tanggal 4 Februari 2015.
Perubahan zonasi TNS dilakukan karena dinamika sosial dan pembangunan
di Pulau Siberut. Pemekaran kecamatan dan desa terjadi di wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai, sehingga desa di dalam kawasan berubah menjadi pusat
kecamatan. Untuk memaduserasikan antara rencana pembangunan dari pemerintah daerah dan kegiatan konservasi yang dilakukan oleh BTNS, maka
dilakukaan penataan kembali zonasi kawasan TNS BTNS 2014. Hal ini mendapat dukungan Bupati Kabupaten Kepulauan Mentawai yang dalam
rekomendasinya No. 522703.1Bup-KMXII-2014 tanggal 15 Desember 2014, Bupati menyatakan bahwa penataan kembali zonasi TNS dengan tetap
mempertimbangkan keberadaan masyarakat Mentawai untuk beraktifitas guna memenuhi kebutuhan hidup serta mempertimbangkan nilai-nilai budaya mereka.
Selanjutnya, penataan zonasi juga mempertimbangkan akses penghubung bagi masyarakat serta memberikan ruang untuk pembangunan sarana dan prasarana
pelayanan umum demi meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat yang berada dalam TNS.
Tabel 6.6 memperlihatkan bahwa terjadi perubahan zona TNS, dimana zona pemanfaatan tradisional dan intensif ditiadakan dan digantikan oleh zona
pemanfataan, zona tradisional dan zona khusus. Zona pemanfataan untuk mengakomodir pengembangan pariwisata alam dan jasa lingkungan serta
pembangunan jalan penghubung antar desadusun, zona tradisional untuk mengakomodir pemanfaatan tradisional oleh masyarakat, serta zona khusus untuk
mengakomodir area yang pemukiman yang sudah ada di kawasan sebelum ditunjuknya TNS. Secara formal di zona tradisional dan khusus ini masyarakat
dapat melakukan pemanfaatan tradisional, tetapi luasan ini berkurang sekitar 5 012 ha dari zonasi pemanfaatan tradisional sebelumnya.
107 Gambar 6.1 Peta zonasi Taman Nasional Siberut berdasarkan SK Dirjen PHKA
No. 14 KptsDJ-V2001
Zona inti Zona rimba
Zona pemanfaatan intensif Zona pemanfaatan tradisional
108
Gambar 6.2 Peta zonasi Taman Nasional Siberut berdasarkan Keputusan Dirjen PHKA No. 32KptsVI-SET2015
Zona inti Zona rimba
Zona pemanfaatan Zona tradisional
Zona khusus Zonasi :
109 Tabel 6.7 Fungsi dan pedoman kegiatan di zona Taman Nasional Siberut
a
ZonaFungsi Pedoman kegiatan
Boleh Tidak boleh
Zona inti
Untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas
beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber
plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar untuk kepentingan penelitian
dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan penunjang budidaya
•
Perlindungan dan pengamanan
•
Inventarisasi dan monitoring sumber daya
hayati SDAH dengan ekosistemnya
•
Penelitian dan pengembangan, ilmu
pengetahuan, pendidikan, dan atau
penunjang budidaya
•
Sarana dan prasarana tidak permanen dan
terbatas untuk kegiatan penelitian dan
pengelolaan
•
Wisata alam dan budaya
•
Pembangunan fasilitas pengelolaan
•
Pembinaan habitat
•
Pemanfaatan jasa lingkungan
•
Pengembangan demplot budidaya
•
Pembinaan populasi
b
•
Pengembangan potensi hidrologis
Zona rimba
Untuk pengawetan dan pemanfaatan SDA dan lingkungan alam bagi
kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat
satwa migrasi, menunjang budidaya dan mendukung zona inti
•
Perlindungan dan pengamanan
•
Inventarisasi dan monitoring SDAH
dengan ekosistemnya
•
Pengembangan penelitian, pendidikan,
wisata alam terbatas, pemanfaatan jasa
lingkungan dan kegiatan penunjang budidaya
•
Pembinaan habitat dan populasi dalam rangka
meningkatkan keberadaan populasi
hidupan liar
•
Pembangunan sarana dan prasarana sepanjang
untuk kepentingan penelitian, pendidikan,
dan wisata alam terbatas
•
Pengembangan demplot budidaya
•
Pengembangan potensi hidrologis
•
Pengembangan budidaya
Zona pemanfaatan
Untuk pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan,
pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang
pemanfaatan, serta kegiatan penunjang budidaya
•
Perlindungan dan pengamanan
•
Inventarisasi dan monitoring SDAH
dengan ekosistemnya
•
Penelitian dan pengembangan
pendidikan, dan penunjang budidaya
•
Kegiatan pemanfaatan yang berpotensi
mengganggu keutuhan populasi, habitat,
ekosistem dan kawasan
110 Tabel 6.7 Fungsi dan pedoman kegiatan di zona Taman Nasional Siberut
a
lanjutan
ZonaFungsi Pedoman kegiatan
Boleh Tidak boleh
•
Pengembangan potensi dan daya tarik wisata
alam
•
Pembinaan habitat dan populasi
•
Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfataan
kondisijasa lingkungan
•
Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan,
penelitian, pendidikan, wisata alam dan
pemanfataan kondisijasa lingkungan
•
Pengembangan wisata yang tidak sesuai
dengan panduan pengelolaan jasa
wisata alam
Zona tradisional
Untuk pemanfaatan potensi tertentu dari taman nasional TN oleh
masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
•
Perlindungan dan pengamanan
•
Inventarisasi dan monitoring potensi jenis
yang dimanfaatkan oleh masyarakat
•
Pembinaan habitat dan populasi
•
Penelitian dan pengembangan
•
Pemanfaatan potensi dan kondisi SDA sesuai
dengan kesepakatan dan ketentuan yang berlaku
•
Pembinaan populasi
b
•
Inventarisasi potensi SDAH dan
ekosistemnya
b
•
Monitoring SDAH dan ekosistemnya
b
Zona khusus
Untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah
tersebut sebelum ditunjuk atau ditetapkan sebagai TN dan sarana
penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari
berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.
•
Perlindungan dan pengamanan
•
Pemanfaatan untuk menunjang kehidupan
masyarakat
•
Rehabilitasi
•
Monitoring populasi dan aktivitas masyarakat
serta daya dukung wilayah
•
Inventarisasi sumber daya hutan dan
ekosistemnya
b
•
Monitoring sumber daya hutan dan
ekosistemnya
b
•
Pembinaan habitat
b
•
Pembinaan populasi
b a
BTNS 2014,
b
Kegiatan yang tidak boleh tetapi seharusnya boleh dilakukan di TNS.
Dokumen Penataan Kembali Zonasi Kawasan TNS menguraikan kegiatan
yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kawasan TNS Tabel 6.7. Namun pada zona tradisional dan zona khusus terdapat “kejanggalan” bahwa kegiatan
seperti inventarisasi SDA hayati, pembinaan habitat, dan populasi tidak boleh dilakukan. Hal ini bertentangan dengan amanah dari PP No. 282011 bahwa
kegiatan konservasi dilakukan di seluruh kawasan TNS. Seharusnya, kegiatan yang tidak diperbolehkan di zona tersebut merupakan kegiatan yang membatasi
111 aktivitas masyarakat berdasarkan kesepakatan dalam memanfaatkan SDA
sehingga kelestarian tetap terjaga, bukan sebaliknya membatasi pengelola kawasan.
Walaupun secara formal pemanfataan SDA oleh masyarakat Mentawai hanya boleh dilakukan di zona tradisional dan zona khusus, faktanya hampir di
seluruh zona di TNS sudah terdapat perladangan tinungglupumonean masyarakat. Hal ini juga terjadi di HSAW Teluk Saibi Sarabua. Perladangan yang
dilakukan masyarakat Mentawai karena klaim mereka bahwa kawasan TNS dan HSAW Teluk Saibi Sarabua merupakan lahan ulayat mereka. Di sisi lain, batas
antar zona TNS tidak diketahui secara jelas di lapangan. Demikian pula dengan aturan tiap zona tidak terdefinisi dengan jelas oleh BTNS dan belum tersosialisasi
di masyarakat.
Sistem zonasi dan blok pengelolaan merupakan sistem pengaturan keruangan di KPA dan KSA serta mengatur kegiatan-kegiatan yang diperbolehkan
atau yang dilarang PP No. 282011 dan Permen LHK P.76Menlhk-Setjen2015. Dengan demikian, sistem zonasi dan blok pengelolaan merupakan aturan
operasional operational rules
yang sehari-hari mempengaruhi keputusan pemanfaat sumber daya yang pada akhirnya mempengaruhi kondisi sumber daya.
Tidak akuratnya aturan dan tidak jelasnya batas zonasiblok menandakan aturan operasional belum mampu mengatur stakeholders khususnya masyarakat setempat
dalam memanfaatkan sumber daya.
3. Pengaturan pilihan kolektif
Aturan dalam mengelola kawasan hutan di Indonesia masih bersifat sentralistik, artinya hak pembuatan aturan pada semua tingkatan yaitu tingkat
operasional, pilihan kolektif, dan konstitusi menjadi kewenangan pemerintah pusat. Oleh karena itu, masyarakat setempat sebagai pemanfaat sumber daya
belum terlibat dalam penyusunan aturan. Susetyo 2014 menyatakan bahwa aturan yang bersifat sentralistik mempunyai beberapa kelemahan, pertama aturan
yang dikeluarkan tidak dapat langsung dilaksanakan karena membutuhkan peraturan pelaksanaan yang lebih rendah dan proses pembuatannya juga
membutuhkan waktu yang lama. Selanjutnya, isi aturan tidak sesuai kondisi setempat, karena peraturan produk yang sentralistik umumnya bersifat seragam
untuk diterapkan di seluruh Indonesia, sementara kondisi kawasan hutan dan pemanfaatnya beragam.
Hal ini terlihat dalam pengelolaan HP, HL, dan HK di CBPS, masyarakat belum ikut berpartisipasi dalam pengaturan dalam memodifikasi aturan tingkat
operasional. Di HP dan HL tidak ada kesepakatan antara Dishut dan masyarakat dalam mengelola hutan. HP dan
HL menjadi “seolah-olah menjadi areal open access
”. Walaupun di kawasan konservasi khususnya TN berdasarkan Permenhut P.56Menhut-II2006 sudah ada ruang untuk peran serta masyarakat dalam bentuk
konsultasi publik Pasal 13 dan memberi saran, informasi dan pertimbangan dalam penyusunan zonasi Pasal 19 Ayat 2, tetapi aturan ini masih bersifat acuan
dasar belum berbicara tentang aturan tingkat operasional apalagi pada aturan tingkat pilihan kolektif. Terlihat dari pedoman kegiatan di zonasi TNS Tabel 6.7,
yang menunjukkan bahwa aturan yang dibuat belum cermat sehingga terdapat kegiatan yang wajib dilakukan pengelola kawasan malah tidak boleh dilakukan.
112 Selanjutnya pedoman zonasi tersebut seharusnya mengatur hak-hak yang dapat
atau tidak dapat dilakukan masyarakat di tiap zona. Hal ini mengindikasikan belum adanya partisipasi masyarakat setempat sebagai pihak yang dipengaruhi
oleh aturan main berpartisipasi dalam memodifikasi aturan operasional. Berdasarkan kumpulan hak yang disusun Ostrom dan Schlager 1996,
memperlihatkan bahwa pemerintah berposisi sebagai pemilik owners SDA di CBPS karena mempunyai kelengkapan hak berupa hak-hak operasional access
dan withdrawal untuk memanfaatkan suatu SDA dan hak-hak pilihan kolektif manajement, exclusion, dan alienation untuk menentukan hak di masa depan.
4. Pengawasan
Pengawasan pengelolaan kawasan hutan menjadi tanggung jawab pemerintah.
Pengawasan kehutanan
wajib dilakukan
oleh pemerintah
Kementerian LHK dan pemerintah daerah dinyatakan dalam Pasal 60 UU No. 411999, sedangkan masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam
pengawasan tersebut. Pengawasan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, meliputi pemantauan, meminta keterangan, dan melakukan pemeriksaan atas
pelaksanaan pengurusan hutan. Selanjutnya, pengawasan terhadap sumber daya dan penggunaanya dinyatakan juga dalam UU No. 51990 Pasal 4 bahwa
KSDAHE merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Pengawasan terhadap pengelolaan lingkungan hidup merupakan
tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah dan masyarakat UU No. 322009. Pasal 70 UU No. 322009 menyatakan bahwa masyarakat dapat melakukan
pengawasan sosial.
Untuk menegakan aturan di kawasan hutan diatur dalam Pasal 51 UU No. 411999 bahwa untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka
kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus. Selanjutnya Pasal 77 UU No. 411999 dan Pasal 39
UU No. 51990 dinyatakan bahwa Pejabat Pegawai Negeri Sipil PPNS diberi kewewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana dalam bidang pengurusan
hutan, Pasal 70 UU No. 322009 untuk penyidikan di aspek lingkungan hidup.
Pengawasan SDA di kawasan hutan membutuhkan sumber daya yang besar, baik jumlah petugas dan biaya operasional. Kendala ini dihadapi oleh semua
instansi pemerintah yang mengelola SDA di Pulau Siberut. Sebagai contoh, Balai TNS yang mengelola kawasan konservasi dengan pengelolaan yang lebih intensif
dibandingkan dengan pengelolaan kawasan lain saja belum mampu menyediakan anggaran dan sumber daya manusia yang ideal. Apalagi Balai KSDA Sumbar atau
Dishut Kabupaten. Rasio antara jumlah SDM khususnya Polisi Kehutanan dengan luas kawasan TNS tahun 2015 adalah 1:8 659. Angka ini di bawah standar Ditjen
BKSDA yaitu 1:5 000 dan standar di Eropa pada tahun 2002 yang mempunyai rasio 1:16. Biaya operasional pengawasan TNS biaya perlindungan, pengawetan,
pemanfaatan, di luar gaji dan manajemen perkantoran tahun 2015 adalah Rp17 612.00 per hektar atau setara dengan Rp176.12 per km
2
. Biaya operasional ini sangat kecil bila dibandingkan dengan biaya operasional pengelolaan TN di
negara-negara Eropa yang pada tahun 2002 sudah mencapai USD 250 per km
2
Soekmadi 2002.
113 Keterbatasan dalam pengawasan dan penegakan aturan ini menyebabkan
pengawasan atas SDA di CBPS tidak sesuai aturan formal. Kondisi ini menunjukkan terdapat permasalahan biaya eksklusi tinggi yang merupakan
karakteristik sumber daya di CBPS yang belum dapat diselesaikan oleh pengelola kawasan hutan negara.
5. Sanksi yang tegas sesuai tingkat kesalahan
Pelanggaran atas aturan formal dapat dikenakan sanksi. Pengaturan sanksi terhadap tindakan pelanggaran di bidang kehutanan diatur dalam UU No. 411999
pada Pasal 78 mengenai ketentuan pidana, secara khusus pelanggaran di bidang KSDA diatur dalam ketentuan pidana Pasal 40 UU No. 51990, sedangkan
ketentuan pidana bagi pelanggaran di bidang lingkungan hidup diatur pada Pasal 97-120 UU No. 322009. Selain ketentuan pidana pelanggar aturan dapat
dikenakan sanksi administratif seperti Pasal 76 UU No. 322009 dan Pasal 80 UU No. 411999. Pasal-pasal tersebut menjelaskan adanya tindakan pidana berupa
penjara danatau denda yang harus dibayarkan serta sanksi administratif bila melakukan kejahatan atau pelanggaran di bidang kehutanan atau lingkungan
hidup.
Tindak pidana dalam UU No. 411999 dan UU No. 51990 dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu tindak pidana kejahatan apabila tindakan pelanggaran hukum dilakukan dengan sengaja, dan tindak pidana pelanggaran apabila
tindakan pelanggaran hukum terjadi karena kelalaiannya. Sedangkan dalam UU No. 322009 terdapat tiga sanksi dalam pelanggaran lingkungan hidup meliputi
sanksi administratif, pemulihan lingkungan, dan pidana. Sanksi administratif pada Pasal 76 UU No. 322009, terdiri atas teguran tertulis, paksaan pemerintah,
pembekuan izin lingkungan, atau pencabutan izin lingkungan yang diterapkan bila ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Sanksi pemulihan lingkungan
dikenakan pada setiap orang yang melakukan pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup, melalui penghentian sumber pencemaran dan pembersihan
unsur pencemar, remediasi, rehabilitasi, restorasi, danatau cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Pasal 54. Selanjutnya
sanksi administratif dalam UU No. 322009, tidak membebaskan penanggung jawab usaha danatau kegiatan dari tanggungjawab pemulihan dan pidana. Dalam
UU No. 411999 Pasal 80 menyatakan pidana yang dikenakan kepada perbuatan melanggar hukum tetap mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu
untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara. Pasal-pasal tentang ketentuan pidana dan sanksi
dalam peraturan tersebut menggambarkan adanya sanksi yang tegas dan tergantung pada tingkat keseriusan dan konteks pelanggarannya yang dilakukan
pengguna SDA.
Selain UU yang disebutkan di atas, terdapat pula UU No. 182013 yang mengatur tentang upaya pencegahan dan pemberantasan aktivitas perusakan
hutan. Salah satu dasar pertimbangan diterbitkannya UU ini adalah bahwa perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa,
terorganisasi, dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam
rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan
114 pemberian efek jera sedangkan hukum peraturan perundang-undangan yang ada
sampai saat itu tidak memadai dan belum mampu menangani pemberantasan secara efektif terhadap perusakan hutan yang terorganisasi. Sanksi yang diatur
dalam UU No. 182013 sebanyak 28 Pasal, yakni dari Pasal 82-109. Dalam undang-undang ini besarnya sanksi dibedakan antara pelaku orang perorang
dengan korporasi. Begitupula, pelaku orang perorangan dibedakan antara yang bertempat tinggal di dalam danatau di sekitar kawasan hutan dan di luar kawasan
hutan. Selanjutnya, sanksi dibedakan antara tindakan pidana kejahatan dan pelanggaran kelalaian. Sanksi berupa pidana kurungan penjara dan denda juga
diancamkan juga bagi setiap pejabat yang mengetahui terjadinya pelanggaran, tetapi tidak menjalankan tindakan sesuai kewenangannya.
Dalam UU No. 182013 tidak mengakomodir pemanfaatan SDA oleh masyarakat setempat di kawasan konservasi, hal ini dapat dilihat pada Pasal 11 3
dan Pasal 101 2 yang mengatur bahwa masyarakat di dalam dan sekitar kawasan konservasi jika melakukan perladangan tradisional danatau melakukan
penebangan kayu di kawasan hutan konservasi untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial dikategorikan sebagai perbuatan perusakan hutan
yang diancam sanksi pidana minimal 3 bulan danatau denda minimal Rp500 ribu.
Sebaliknya, masyarakat di dalam dan sekitar hutan produksi mendapatkan perlakukan yang berbeda karena tidak dikategorikan sebagai perbuatan merusak
hutan secara terorganisasi. Konsep pemanfaatan SDA di kawasan konservasi dalam UU No. 182013 tidak berkesesuaian dengan PP No. 282011 khususnya
Pasal 49 yang mengatur bahwa pemerintah harus memberdayakan masyarakat di sekitar KSA dan KPA yang meliputi diantaranya pemberian akses pemanfaatan
yang antara lain dengan cara memberi izin pemanfaatan tradisional yang meliputi pemungutan HHBK, budidaya tradisional, dan perburuan tradisional terbatas
untuk jenis yang tidak dilindungi.
Walaupun terdapat sanksi pelanggaran yang tegas dan sesuai dengan tingkat kesalahan dalam pemanfaatan di kawasan hutan, fakta di lapangan bahwa petugas
BTNS, Dishut, BKSDA Sumbar tidak pernah melakukan upaya penindakan penegakan hukum terhadap masyarakat setempat yang memanfaatkan SDA di
kawasan hutan dengan alasan menghormati keberadaan masyarakat adat. Menurut petugas BTNS, upaya penindakan yang mereka lebih diarahkan kepada pengguna
SDA dari kawasan hutan negara yang bertujuan komersil, tetapi tidak didasarkan pada aturan zonasi karena sulitnya menentukan asal zona dimana SDA yang
diambil, sedangkan sumber daya petugas terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa kelembagaan formal dalam pemanfaatan sumber daya tidak dapat ditegakkan
secara efektif.
6. Mekanisme penyelesaian konflik
Mekanisme penyelesaian konflik sengketa di bidang kehutanan dan lingkungan hidup dilakukan melalui pendekatan hukum atau pengadilan, dan
melalui di luar pengadilan seperti diatur dalam Pasal 74 UU No. 411999, dan Pasal 84 UU No. 322009. Namun, penyelesaian konflik di luar pengadilan tidak
berlaku terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU ini. Penyelesaian konflik di luar pengadilan bertujuan mencapai kesepakatan mengenai pengembalian suatu
hak, besarnya ganti rugi, dan bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk
115 memulihkan fungsi hutan. Mekanisme penyelesaian konflik dengan pendekatan
hukum ini membutuhkan biaya yang mahal.
7. Pengakuan hak untuk mengelola
Dalam aturan formal, pemerintah mengakui adanya hak ulayat
21
atau masyarakat hukum adat seperti yang tertuang dalam Pasal 12 Permen LHK No.
322015. Pada Pasal 2 Ayat 2 disebutkan tujuannya adalah agar pemangku hutan hak mendapat pengakuan, perlindungan dan insentif dari Pemerintah dalam
mengurus hutannya secara lestari menurut ruang dan waktu. Permen LHK No. 322015 ini membuka ruang bagi masyarakat hukum adat, termasuk masyarakat
Mentawai untuk mendapat pengakuan atas kepemilikan dan akses terhadap SDA mereka. Sejalan dengan hal tersebut, SDA berupa hutan dan mata air yang
terdapat di sekitar desa dapat pula dijadikan sebagai aset desa sesuai dengan UU No. 62014 Pasal 76. Hal ini berarti peluang masyarakat Mentawai untuk
mengatur SDA mereka mulai diakui pemerintah. Namun, sampai saat ini belum ada MHA di Mentawai yang diberi pengakuan oleh pemerintah daerah.
Di sisi lain, pengelolaan SDA di CBPS sudah memiliki kelembagaan formal, dalam artian aturan main maupun organisasinya. Keberadaan kelembagaan dan
organisasinya ini diakui oleh sesama organisasi pemerintah, karena sama-sama mengelola SDA milik negara state property regime. Namun, kelembagaan
formal ini kurang mendapatkan pengakuan dari masyarakat setempat, karena aturan formal tidak sesuai dengan aturan informal dalam pemanfaatan SDA.
8. Aturan yang berhubungan dengan aturan yang lebih tinggi
Aturan formal dalam mengelola SDA di CBPS terhubungan dengan aturan yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 1 Undang-Undang No. 122011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan di
Indonesia, terdiri atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah KabupatenKota. Dalam penyusunannya, aturan
formal ini tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
Berdasarkan indikator yang dikembangkan oleh Ostrom 1990, aturan formal yang mengatur pengelolaan SDA di Siberut belum mampu menjamin
pengelolaan SDA yang berkelanjutan. Pertama, batas antar kawasan hutan tidak jelas, sehingga ruang pengelolaan bagi stakeholder menjadi tidak jelas. Kedua,
aturan formal pemanfaatan SDA tidak berkesesuaian dengan aturan informal
21
Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, yang selanjutnya disebut hak ulayat, adalah hak milik bersama masyarakat hukum adat yang diakui oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya
ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Pasal 1 Permenhut No.
322015.
116 karena tidak adanya pengaturan ruang di HP, HL, dan HSAW Teluk Saibi
Sarabua, sedangkan di TNS aturan zonasi tidak terdefinisi dengan jelas oleh BTNS dan belum tersosialisasi di tingkat masyarakat. Ketiga, aturan formal yang
ada masih bersifat sentralistik dan Pemerintah berposisi sebagai pemilik owners, sehingga belum memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam memodifikasi
aturan operasional. Keempat, pengawasan SDA dilakukan oleh petugas yang jumlah dan dengan anggaran yang terbatas, sehingga tidak mampu memantau
SDA dan perilaku pemanfaatnya. Kelima, adanya sanksi yang tegas dalam aturan formal belum dapat diterapkan karena kebijakan pengelolapemangku kawasan
yang menghormati pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Keenam, mekanisme penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui pendekatan
hukum atau pengadilan dan melalui di luar pengadilan dan seringkali membutuhkan biaya yang mahal. Ketujuh, aturan formal membuka peluang
masyarakat Mentawai untuk mengatur SDA mereka untuk mulai diakui pemerintah. Kedelapan, aturan formal dalam mengelola SDA terhubungan dengan
aturan yang lebih tinggi. Dari uraian di atas terlihat bahwa adanya ketidak sesuaian incompatibility antara aturan informal dan formal dalam pengelolaan
SDA di CBPS
6.4 Simpulan
Kelembagaan adat Suku Mentawai di CBPS memiliki enam kriteria sebagai kelembagaan yang kuat dalam mengelola SDA berdasarkan prinsip desain yang
dikembangkan oleh Ostrom, yakni 1 terdapat batasan dan pengguna SDA yang teridentifikasi dengan jelas; 2 aturan pemanfaatan dan penyediaan masih sesuai
dengan kondisi setempat; 3 masyarakat dapat menyusun dan merevisi aturan operasional melalui proses musyawarah yang melibatkan semua uma yang ada di
desa; 4 adanya pengawasan terhadap SDA milik uma yang melibatkan anggota uma dan uma lain sipasijago; 5 terdapat sistem sanksi dalam bentuk denda
tulou; serta 6 terdapat mekanisme penyelesaian konflik diutamakan melalui proses musyawarah dan negoisasi dalam pengenaan denda. Hal ini bermakna
bahwa masyarakat Mentawai mempunyai kemampuan untuk mengelola SDA secara lestari. Namun, kelembagaan adat masyarakat Mentawai dalam mengelola
SDA-nya belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Di lain pihak, aturan formal dalam pengelolaan SDA di CBPS belum mampu mengelola SDA secara
efektif dan efisien, bahkan cenderung mengabaikan kelembagaan lokal.
117
7 PEMBAHASAN UMUM:
KEBERLANJUTAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Pengelolaan sumber daya alam SDA di Cagar Biosfer Pulau Siberut CBPS seharusnya memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada Suku
Mentawai sebagai pemilik asli sumber daya. Oleh karena itu, perlu tinjauan terhadap keberlanjutan SDA mereka agar SDA tersebut tetap mengalirkan
manfaat. Keberlanjutan SDA sebagai sumber penghidupan Suku Mentawai tidak terlepas dari permasalahan ketersediaan SDA dan kelembagaan pengelolaannya.
Pada Bab ini, dijelaskan permasalahan, perkiraan keberlanjutan, dan strategi penguatan pengelolaan SDA di CBPS yang merupakan sintesis dari bab-bab
sebelumnya.
7.1 Keberlanjutan Sumber Daya Alam
Keberlanjutan SDA yang dimaksud di sini adalah keberlanjutan dalam pengertian statis. Pezzey 1992 melihat keberlanjutan mempunyai pengertian
statis dan dinamis. Keberlanjutan statis diartikan sebagai pemanfaatan SDA terbarukan dengan laju teknologi yang konstan, sementara keberlanjutan dinamis
merupakan pemanfaatan SDA yang tidak terbarukan dengan tingkat teknologi yang terus berubah. Pendekatan statis sesuai dengan SDA di CBPS yang saat ini
dimanfaatkan oleh masyarakatnya yaitu SDA terbarukan. Dalam pendekatan statis,
pengukuran keberlanjutan
dapat dilakukan
dengan pengukuran
keberlanjutan lemah weak sustainability dan pengukuran keberlanjutan kuat strong sustainability. Pengukuran keberlanjutan lemah dilakukan bila tersedia
substitusi modal manusia human capital, modal buatan manusia man-made capital, dan SDA tidak dianggap penting. Sedangkan, pengukuran keberlanjutan
kuat dilakukan bila SDA memiliki nilai yang sangat penting yang jika hilang akan menggangu perekonomian irreversibility dan ada ketidakpastian yang terjadi di
dalamnya uncertainty. Pengukuran keberlanjutan disini
menggunakan pengukuran keberlanjutan kuat karena SDA di CBPS mengandung nilai
irreversibility dan uncertainty. Konsep keberlanjutan yang dipakai untuk menilai keberlanjutan tersebut menggunakan lima pengertian keberlanjutan dari Perman et
al 1996 yaitu: 1 suatu kondisi dikatakan berkelanjutan sustainable jika utilitas yang diperoleh masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi
tidak menurun sepanjang waktu non-declining consumption; 2 keberlanjutan adalah kondisi dimana SDA dikelola sedemikian rupa untuk memelihara
kesempatan produksi mendatang; 3 keberlanjutan adalah kondisi dimana SDA natural capital stock tidak bekurang sepanjang waktu non-declining; 4
keberlanjutan adalah suatu kondisi dimana SDA dikelola untuk mempertahankan produksi jasa SDA; serta 5 keberlanjutan adalah suatu kondisi dimana kondisi
minimum keseimbangan dan daya tahan resilience ekosistem terpenuhi.
Dalam bab sebelumnya telah diindentifikasi terdapat beberapa permasalahan dalam pengelolaan SDA di CBPS, yakni permasalahan pengalihan hak
kepemilikan lahan dari uma yang bersifat komunal ke kepemilikan perseorangan
118 private melalui proses sertifikasi, dan budidaya padi sawah pada ekosistem rawa
sagu. Kedua permasalahan akan mempengaruhi keberlanjutan pemanfaatan SDA bagi Suku Mentawai di CBPS.
7.1.1 Sertifikasi Lahan Uma
Eksternalitas dari pembangunan, gelombang migrasi ke Pulau Siberut, dan masuknya ekonomi pasar mengubah cara pandang masyarakat Mentawai di CBPS
terhadap nilai dari sumber daya. Sejak tahun 2005, Pemerintah Kabupaten Mentawai melalui BPN telah melaksanakan program sertifikasi tanah. Akibatnya,
lahan-lahan uma di sekitar permukiman di ibukota kecamatan menjadi bernilai ekonomi tinggi, sehingga memicu sertifikasi kepemilikan lahan menjadi lahan
private dan menjualnya kepada individu atau organisasi pendatang. Sementara itu, Suku Mentawai sebagai penduduk asli mulai bermukim dan berladang menjauh
dari pusat kota kecamatan. Lahan-lahan berupa perladangan tradisional berubah peruntukannya menjadi perumahan atau ladang dengan sistem monokultur
sehingga menurunkan produksi bagi kebutuhan masyarakat di masa mendatang. Kondisi ini mengindikasikan ketidak berkelanjutan sumber daya lahan bagi Suku
Mentawai, karena menghilangkan kesempatan produksi bagi generasi mendatang mereka. Hal ini tidak sejalan dengan pernyataan Perman et al. 1996 bahwa
keberlanjutan adalah kondisi dimana SDA dikelola untuk memelihara kesempatan produksi mendatang, dan SDA dikelola untuk mempertahankan produksi jasa dari
SDA.
7.1.2 Persawahan di Ekosistem Rawa Sagu
Persawahan di CBPS dikembangkan di lahan-lahan berawa yang merupakan habitat bagi tumbuhan sagu. Sagu merupakan tumbuhan penting karena menjadi
makanan pokok Suku Mentawai. Budidaya padi di sawah mempunyai banyak kelemahan dibandingkan budidaya sagu lihat Tabel 4.4. Dampak peningkatan
pencetakan sawah di ekosistem rawa sagu dapat mengurangi produksi sagu, yang pada akhirnya mengganggu ketahanan pangan masyarakat Mentawai. Persawahan
ini dinilai tidak berkelanjutan, karena mengubah produksi SDA yang tidak sesuai dengan kebutuhan pokok tradisional Suku Mentawai. Perman et al. 1996
menyatakan bahwa keberlanjutan merupakan suatu kondisi utilitas yang diperoleh masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi tidak menurun
sepanjang waktu, dan SDA dikelola untuk mempertahankan produksi jasa dari SDA.
7.2 Keberlanjutan Kelembagaan Pengelolaan SDA
Kelembagaan formal dalam pengelolaan SDA di CBPS yang ada saat ini tidak bersesuaian dengan kelembagaan informal. Terdapat gap Tabel 7.1 antara
kelembagaan formal dengan kelembagaan informal yang menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan SDA CBPS. Permasalahan tersebut adalah
pertama ketidakpastian hak kepemilikan atau penguasaan property right lahan termasuk sumber daya di atasnya antara Suku Mentawai dengan pemerintah.
119 Berdasarkan adat Suku Mentawai, semua lahan dapat dikelola oleh uma-uma
secara turun temurun. Di lain pihak, pemerintah menunjuk hutan seluas 91.36 di Pulau Siberut sebagai hutan negara, yang pengelolaan SDA-nya oleh
pemerintah pusat dan daerah yang mengikuti dua undang-undang utama, yakni UU No. 411999 dan UU No. 51990 beserta aturan turunannya.
Tabel 7.1 Gap antara aturan formal dengan informal dalam pengelolaan sumber daya alam di Cagar Biosfer Pulau Siberut
Aturan Ciri-ciri kelembagaan
Hak kepemilikan Batas yuridiksi
Aturan representasi
Informal
kelembagaan adat
Sumber daya alam SDA dikelola oleh
uma-uma secara turun temurun
•
Pemanfaat SDA milik uma adalah anggota uma.
•
Pemanfaat SDA di luar anggota uma harus melalui izin dan
membayar uang imbalan pulajuk monei
•
Cara pemanfaatan SDA tergantung kesepakatan anggota
uma.
•
Keputusan ditentukan
oleh semua anggota uma.
•
Tidak mengenal
perwakilan di luar uma.
Formal UU
No. 51990 dan UU No.
411999 SDA hutan dan
kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya di kawasan hutan
negara dimiliki, dikuasai, dikelola
oleh negara.
•
Pengguna SDA perorangan, koperasi, badan usaha milik
swasta Indonesia, badan usaha milik negara atau badan usaha
milik daerah
•
Pemanfatan SDA melalui proses perizinan
•
Pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat melalui
kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional,
serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak
dilindungi di zona tradisional dan zona khusus KPA serta blok
pemanfaatan KSA Pemerintah
sebagai pengelola
kawasan pengambil
keputusan.
Uraian di atas menunjukkan terdapat dua klaim kepemilikan lahan menurut
masyarakat dan pemerintah, sehingga kepemilikan lahan dan SDA di CBPS tidak jelas
. Akibatnya, ruang kelola masyarakat dalam memanfaatkan SDA menjadi sangat terbatas karena pembatasan-pembatasan dari aturan formal. Schmid 1987
mengatakan bahwa kejelasan hak kepemilikan merupakan sumber kekuatan akses dan kontrol terhadap sumber daya. Begitupula Naguran 2002 menyatakan bahwa
property right yang didefinisikan secara jelas akan menentukan cara produsen dan konsumen menggunakan sumber daya lingkungan di suatu area. Selanjutnya,
kinerja para pemangku kawasan BTNS dan BKSDA Sumbar di hutan konservasi, Dishutkab di hutan produksi dan hutan lindung sangat rendah jika dilihat dari
menurunnya tutupan lahan berhutan di CBPS lihat Bab 6.3.3, karena pemangku kawasan tidak mampu menegakkan enforcement aturan terhadap kawasan yang
dikelolanya. Pemangku kawasan ini merupakan organisasi yang legal menurut
120 aturan formal, tetapi tidak diakui oleh masyarakat Mentawai dalam mengelola
SDA di CBPS. Kedua, menurut kelembagaan masyarakat Mentawai, yang dapat
memanfaatkan SDA adalah anggota uma sipuuma. Pemanfaatan di luar uma harus meminta izin dan membayar imbalan pulajuk monei kepada uma pemilik
SDA sibakat laggai. Sedangkan menurut aturan formal pemanfaatan SDA di kawasan hutan negara harus melalui proses perizinan, seperti IUPHHK, IUPPA,
HKm HTR, HPHD, dan kemitraan kehutanan. Izin dapat dilakukan oleh perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah. Pemanfataan tradisional oleh masyarakat setempat dimungkinkan di zona tradisional dan zona khusus KPA serta blok
pemanfaatan KSA melalui kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi
dapat dilakukan. Adanya permasalahan pada batas yuridiksi ini, membuat pemangku kawasan selalu sulit mengalokasi sumber daya sesuai tujuan organisasi
karena selalu ada penolakan dari masyarakat. Begitupula, masyarakat sulit mengalokasi sumber daya mereka karena pembatasan-pembatasan oleh aturan
formal.
Dalam pengelolaan SDA masyarakat Mentawai di CBPS, keputusan diambil melalui kesepakatan internal secara bersama dalam uma terkait dengan sifat
keegaliterian di masyarakatnya. Pengambilan keputusan seperti ini mempunyai kelemahan yakni sulitnya memperoleh kesepakatan atas suatu hal. Namun, bila
keputusan sudah diambil keputusan bersama tersebut akan dijalankan, walaupun ada sebagian kecil anggota lain tidak sepakat. Ketidaksepakatan kadangkala
menyebabkan perpecahan uma, dimana beberapa keluarga anggota suatu uma akan membentuk uma baru. Selain itu, pengambilan keputusan di masyarakat juga
dapat dipengaruhi oleh orang yang lebih kekayaan, pandai berbicara, dan berpendidikan. Keputusan yang salah dapat menimbulkan biaya yang ditanggung
oleh seluruh sipauma.
Ketiga, masyarakat Mentawai di CBPS tidak mengenal perwakilan di luar uma. Untuk itu sangat sulit membuat kesepakatan terkait pengelolaan SDA di luar
uma, terutama memadukan kesepakatan antar uma atau dengan organisasi eksternal modern. Dari aspek biaya dalam pengambilan keputusan, ketiadaan
perwakilan dalam pembuatan keputusan berdampak pada biaya rendah. Namun, untuk permasalahan yang lebih kompleks seperti SDA yang lokasinya jauh dari
uma, ketiadaan perwakilan di luar uma membuat ongkos membuat kesepakatan, memperoleh informasi, dan pemantauan menjadi tinggi sehingga nilai SDA
menjadi berkurang. Pakpahan 1989 menyatakan bahwa ongkos transaksi yang tinggi akan menurunkan nilai ekonomi dari produk yang dihasilkan.
Hasil analisis kelembagaan pengelolaan SDA yang dapat bertahan lama berdasarkan indikator yang dikembangkan Ostrom lihat Bab 6, memperlihatkan
bahwa prinsip-prinsip kelembagaan yang keberlanjutan dalam mengelola SDA dimiliki oleh kelembagaan masyarakat Mentawai di CBPS. Keberlanjutan tersebut
secara kasat mata dapat juga dilihat dari eksistensi kelembagaan tersebut hingga saat ini. Artinya kelembagaan masyarakat Mentawai di CBPS mempunyai
kemampuan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber dayanya secara lestari. Di lain pihak, aturan formal dalam pengelolaan SDA di CBPS belum mampu
mengatur pengelolaan SDA secara efektif dan efisien, karena tidak mendapatkan
121 legitimasi dari masyarakat setempat. Hal ini terlihat dari semakin menurunnya
tutupan lahan berhutan di CBPS.
7.3 Strategi Penguatan Kelembagaan
Pengelolaan
Sumber Daya Alam Suku Mentawai di Cagar Biosfer Pulau Siberut
Pemberdayaan merupakan suatu upaya yang membuat masyarakat berdaya dalam arti lain adalah menguatkan masyarakat. Berdasarkan permasalahan dan
perkiraan keberlanjutan pengelolaan SDA di atas, maka dirumuskan beberapa strategi penguatan kelembagaan p
engelolaan
SDA Suku Mentawai di CBPS. Strategi penguatan tersebut meliputi dua hal, yakni mengakui hak kepemilikan
masyarakat Mentawai atas SDA mereka dan melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan SDA. Penguatan tersebut dijelaskan
sebagai berikut:
7.3.1 Penguatan Hak Kepemilikan Masyarakat Mentawai di Cagar Biosfer
Pulau Siberut
Pengelolaan SDA di CBPS didominasi oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah. Pengelolaan oleh pemerintah ini belum memberi ruang
yang besar bagi pengelolaan oleh masyarakat Mentawai. Artinya pemerintah belum melaksanakan UU No. 51960 Pasal 2 Ayat 2 bahwa wewenang yang
bersumber pada hak menguasai dari Negara digunakan untuk mencapai sebesar- besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur. Selanjutnya, Ayat 3 menyatakan bahwa hak
menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Masyarakat Mentawai mempunyai sistem penguasaan dan tata guna lahan land tenure system. Sistem ini dapat menjadi landasan dalam penguatan
kepastian hak kepemilikan mereka atas SDA. Oleh karena itu, berbagai penguatan kelembagaan masyarakat Mentawai di kawasan-kawasan hutan perlu dilakukan
agar mereka memperoleh manfaat dari SDA.
Mengakui Hak Kepemilikan di Hutan Produksi dan Hutan Lindung
Pengakuan hak kepemilikan masyarakat Mentawai atas SDA mereka perlu dilakukan di CBPS. Pemerintah mempunyai peran yang sangat penting dalam
menguatkan hak kepemilikan masyarakat Mentawai. Peluang pengakuan dari pemerintah mulai terbuka dengan adanya beberapa aturan yang mendorong
pengakuan atas hak-hak masyarakat adat. Beberapa aturan tersebut disajikan pada Tabel 7.2.