Perladangan Tinungglu dan Pumonean

58

2. Ladang keladi Pugettekat

Disebut ladang keladi karena lahan ditanami dengan keladi gette’ Colocasia spp.. Pugettekat dibuat di sekitar permukiman dan pondok babi sapou saina’. Gette’ dibudidayakan di lingkungan berair, seperti rawa, aliran sungai yang sudah mati, tepi sungai, atau tepi jalan yang berparit. Ladang ini biasanya dikelilingi pagar dari tanaman hidup agar tidak diganggu ternak Gambar 4.2. Pemeliharaan pugettekat menjadi tanggung jawab kaum wanita. Di CBPS, keladi menjadi sumber makanan utama selain sagu. Selain itu, ekosistem ini juga menjadi sumber protein bagi masyarakat karena menghasilkan ikan, udang, dan katak. Keladi juga bernilai penting karena bisa menjadi alat tukar, seperti untuk membayar hutang, mas kawin, denda, atau dijual. Gambar 4.2 Ladang keladipugettekat dan ladang sagupusaguat

3. Ladang Sagu Pusaguat

Pusaguat mengacu pada ladang sagu di ekosistem rawa sagu alami yang sudah dijadikan lokasi mengambil sagu Metroxylon sagu atau ladang sagu yang tanaman sagunya sudah ditanam oleh masyarakat. Banyak masyarakat yang mengambil tunas vegetatif tersebut untuk ditanam ke lokasi lain guna memulihkan lokasi yang terlalu banyak dipanen atau untuk memudahkan pengolahan saat di panen. Penanaman sagu dilakukan di dataran rendah berpaya di dekat perladangan. Dataran rendah dipilih karena lebih subur dibandingkan di dataran yang lebih tinggi, dimana pupuk alami dari longsoran tanah humus dari lereng- lereng bukit terkumpul di lokasi ini. Pusaguat seperti ini dapat membentuk ekosistem seperti rawa, karena kemampuan jaringan perakarannya untuk menahan air. Pusaguat dapat bertambah luas dengan sendirinya, karena sagu dapat berkembang biak secara vegetatif. Secara morfologi, tumbuhan sagu di Pulau Siberut tumbuh lebih besar dan tinggi dibandingkan di daerah Malaya Whitmore 1973 dalam WWF 1980. Sagu juga mempunyai multi manfaat, yang hampir seluruh bagiannya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sari pati dari empelur sagu dijadikan tepung sebagai bahan makanan. Empelur batang yang dikupas atau dipotong kecil-kecil Pugettekat Pusaguat 59 dijadikan makanan ternak. Daun dijadikan sebagai pembungkus kapurut makanan dari tepung sagu yang dimasak dengan cara dibakar, tampin wadah sementara sagu yang berbentuk keranjang, atap rumah, sapu lidi. Pelepah daun dibuat menjadi keranjang atau tas, serta kulit batang dijadikan dinding pondok. Batang sagu yang setelah ditebang dan dibiarkan hingga membusuk menghasilkan larva kumbang atau tamra Rhynchophorus ferrugineus. Tamra menjadi sumber protein yang sangat disukai masyarakat. Hal ini sesuai pendapat WWF 1980 bahwa sagu merupakan tanaman yang paling banyak memberikan manfaat bagi manusia. Sagu merupakan sumber ketahanan pangan bagi masyarakat Mentawai di CBPS. Setiap batang sagu dengan panjang 20 m dapat menghasilkan tepung sekitar 600 kg 10 tampin. Setiap tampin bisa memenuhi kebutuhan satu keluarga kecil 4 orang selama 10 hari, dengan kata lain satu batang sagu dapat menghidupi satu keluarga selama sekitar 3 bulan. Dalam satu tahun, satu keluarga kecil hanya membutuhkan sekitar lima batang sagu Susanto 1994. Pengolahan sagu secara tradisional dari menebang hingga menjadi tepung membutuhkan waktu sekitar 30 hari dengan jam kerja 8 jam per hari WWF 1980. Bila tepung sagu belum segera dikonsumsi, tepung sagu dalam tampin direndam dalam air di paya-paya agar dapat bertahan lama. WWF 1980 menyatakan bahwa produksi sagu di Siberut boleh jadi sebagai cara menghasilkan persediaan pangan paling efisien di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan masyarakat Mentawai di CBPS secara tradisional sangat kuat. Faktanya adalah ketika terjadi krisis moneter di Indonesia tahun 1998, masyarakat Mentawai yang mengkonsumsi sagu tidak terpengaruh dengan kondisi harga beras yang melambung tinggi. Selain bermanfaat sebagai sumber pangan, sagu dapat menjadi alat tukar, seperti untuk membayar hutang, mas kawin, denda, dan atau dijual kepada orang lain. Saat ini mulai terjadi pergeseran makanan pokok di masyarakat Mentawai dari sagu ke beras. Pembangunan persawahan di perdesaan di Pulau Siberut mulai digalakkan oleh Pemkab lihat Subbab 3.3.1 tentang persawahan. Selain padi yang ditanam di sawah, terdapat pula padi yang ditanam di ladang, seperti yang dilakukan oleh beberapa masyarakat di Desa Madobak, tetapi lahan padi ladang ini tidak luas. Perbandingan tumbuhan sagu dan padi di Pulau Siberut dijelaskan pada Tabel 4.4. Data tersebut menunjukkan bahwa dari aspek ekonomi, sosial, dan budaya, budidaya padi tidak cocok diterapkan di Pulau Siberut. Budidaya padi sawah menghasilkan produk yang lebih sedikit dibandingkan sagu. Selain itu, tidak cocok dengan aktivitas tradisional masyarakat jika dihubungkan dengan pembagian kerja sesuai gender, dimana beban kerja kaum wanita akan bertambah untuk memelihara sawah. Terdapat hambatan psikologis dalam mengkosumsi nasi, yang menurut masyarakat mengkonsumsi sagu lebih mengenyangkan daripada nasi. Persawahan juga dibangun di lokasi rawa sagu, sehingga mengurangi ekosistem sagu yang menjadi sumber makanan pokok masyarakat. Kebijakan pembangunan persawahan ini masih dipersoalkan oleh beberapa lembaga non pemerintah berbasiskan kemasyarakatan, untuk itu solusi pengganti program raskin perlu ditinjau kembali. 60 Tabel 4.4 Perbandingan tumbuhan sagu dan padi di Pulau Siberut Kriteria Tumbuhan Sagu Padi Asal tumbuhan Tumbuhan asli Tumbuhan eksotik Habitat Tumbuh alami di rawa-rawa, lokasi berair di sepanjang sungai, dan dapat ditanam di sekitar perladangan Dibuat di lokasi yang berawa Budidaya: Sumber benih Lokal Benih didatangkan dari luar pulau Kemampuan berkembang biak Dapat beregenerasi sendiri Perlu dibantu manusia di media tanam untuk memudahkan penanaman bibit Jenis vegetasi Vegetasi hutan menahun Vegetasi musiman Tenaga kerja Hanya pria Utamanya dilakukan wanita Penggunaan tenaga kerja Tenaga kerja banyak dibutuhkan ketika pengolahan sagu Tenaga kerja banyak dibutuhkan pada beberapa tahapan kegiatan dalam satu musim tanam, mulai dari kegiatan pembersihan lahan, penanaman, pembibitan, penjagaan, hingga pemanenan. Resiko Tidak ada Ada hama penyakit tikus dan wereng dan perlu perlindungan terhadap hasil panen Investasi tambahan Tidak ada Menggunakan pupuk dan pestisida Produk makanan Bahan makanan pokok secara turun temurun Bahan makanan baru, yang diintroduksikan oleh pemerintah Keterkaitan dengan budaya Bagian dari budaya setempat, contoh berkaitan dengan pendirian uma, adanya pantangan dalam proses pengolahan menjadi sagu Sulit beradaptasi dengan budaya setempat, karena mengubah pola pembagian kerja antara pria dan wanita, dimana beban kerja wanita akan semakin bertambah. Tidak ada pantangan dalam bersawah Pascapanen: Perkiraan hasil a 15 000 kg per hatahun 200-1 500 kg per hatahun l kali panen Harga di warung b Rp11 000 kg Rp2 000 kg Anggapan masyarakat atas pengkonsumsian: Masyarakat setempat Sagu dianggap mengenyangkan Beras nasi dianggap kurang mengeyangkan Masyarakat luar Simbol dari cara hidup tradisional dan terbelakang Simbol dari kemajuan dan moderenisasi. Simbol pengaruh dari luar a Persoon 1992, b harga tahun 2015. 61

4. Hutan dan Bukit Leleu

Masyarakat Mentawai di CBPS menyebut hutan dan daerah perbukitan yang berhutan sebagai leleu. Leleu dianggap masyarakat sebagai kawasan yang berbahaya dan menakutkan, karena menjadi tempat bersemayam roh-roh taika leleu yang bisa menyebabkan manusia celaka atau sakit dan adanya hewan berbisa. Oleh karena itu, orang datang atau melintasi hutan pasti ada tujuannya, misal untuk berburu, mengambil tumbuhan obat, mengambil kayu, rotan, atau gaharu, dan atau menuju perkampungan tertentu. Jadi hutan bukan tempat menetap dan berjalan-jalan bagi masyarakat Mentawai. Hal ini menjelaskan bahwa masyarakat Mentawai di CBPS bukan masyarakat yang bermukim di dalam hutan, seperti banyak digambarkan orang dari luar Mentawai bahwa masyarakat Siberut hidup di hutan. Hutan juga menjadi pembatas antar permukiman di CBPS. Walaupun berbahaya, masyarakat akan melewati hutan untuk mengunjungi sanak saudara mereka di perkampungan lain guna menguatkan tali persaudaraan atau ada keperluan tertentu, misal menyelesaikan konflik lahan uma yang letaknya jauh dari di permukiman mereka. Melintasi hutan dipilih karena kadangkala lebih menyingkat waktu dan biaya dibandingkan bila melalui sungai berliku dengan menggunakan sampanboat yang. Di sini hutan berperan sebagai penghubung antara dua permukiman. Hutan-hutan di CBPS juga dimanfaatkan masyarakat untuk mengambil hasil hutan kayu dan bukan kayu. Kayu digunakan masyarakat untuk dijadikan papan sebagai bahan bangunan 12 dan sampan. Kayu yang digunakan untuk membuat uma merupakan kayu-kayu yang berkualitas baik kuat dan tahan air. Menurut masyarakat, kayu yang paling banyak digunakan membangun rumah uma dan lalep, antara lain dari pohon meranti Shorea sp., keruing Dipterocarpus sp., dan uggla biasanya digunakan sebagai tonggak rumah, tetapi untuk membuat sapou sainak tidak harus kayu yang berkualitas baik. Kayu yang banyak digunakan untuk membuat sampan adalah meranti dan keruing. Proses pembuatan sampan ini disebut pasikut abak, sedangkan proses penarikan sampan ke sungai disebut pasigirit abak. Hasil survei di hutan di lokasi penelitian, ditemukan 56 jenis tumbuhan tingkat pohon yang 30 jenis diantaranya dapat digunakan sebagai bahan membuat bangunan Lampiran 6. Lima jenis pohon dengan indeks nilai penting INP tertinggi di hutan sekitar desa lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.5, sedangkan keseluruhan INP tumbuhan tingkat pohon di lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 7-9. Hasil hutan bukan kayu yang diramu masyarakat dari hutan, seperti gaharu, madu, tumbuhan obat, dan rotan. Gaharu atau simoitek dihasilkan dari pohon Aquilaria malaccensis. Secara tradisional simoitek tidak banyak mendapat 12 Di Siberut dikenal beberapa bangunan tempat tinggal tradisional, yaitu uma berupa bangunan berbentuk rumah panggung dengan ukuran besar dan memanjang ke belakang. Uma dapat dihuni oleh beberapa keluarga yang bertalian darah. Lalep, rumah yang lebih kecil yang dibangun di sekitar uma. Lalep dihuni oleh satu keluarga. Rumah yang berada di permukiman desadusun biasanya juga disebut lalep. Sapou sainak, pondok di perladangan berbentuk panggung yang di bagian bawahnya digunakan untuk memelihara babi. Sapou sainak biasanya dihuni sementara ketika merawat tanaman dan ternak. 62 perhatian karena kayunya dianggap masyarakat kurang kuat untuk bahan bangunan dan sampan. Namun, awal tahun 1980-an simoitek mulai bernilai komersil di Mentawai karena banyaknya permintaan pasar dari luar pulau. Masyarakat secara masif mencari simoitek hingga ke pedalaman hutan. Saat ini, simoitek sulit dijumpai di hutan, karena penebangan di masa lalu. Simoitek masih dicari oleh masyarakat ketika ada keperluan ke hutan. Selain simoitek, masyarakat juga memanen madu manih dari hutan. Madu umumnya dikonsumsi sendiri, hanya di daerah Siberut Utara sebagian kecil madu yang di hutan dijual kepada pendatang. Tumbuhan obat juga diambil masyarakat di hutan, jika tidak tersedia di sekitar permukiman. Tumbuhan obat menjadi bagian penting dalam ritual pengobatan yang dilakukan Sikerei ahli pengobatan. Tabel 4.5 Lima jenis tumbuhan tingkat pohon dengan indeks nilai penting tertinggi di hutan sekitar desa di lokasi penelitian Nama lokal Nama ilmiah Parameter a Pemanfaatan KR FR DR INP Desa Saibi Samukop Koka Dipterocarpus sp. 14.706 10.345 30.930 55.981 Papan, kayu bakar Boklo Shorea sp. 11.765 13.793 23.472 49.030 Papan Tapeiki Artocarpus lanceifolius 8.824 10.345 16.897 36.065 Papan, sandang Kapot Leituak Vitex sp. 8.824 10.345 2.718 21.886 Kayu bakar Buluk Surak Elaeocarpus obtusus 8.824 6.897 3.114 18.834 Papan Desa Matotonan Sikokkok - 4.167 4.545 24.493 33.206 Kayu bakar Papat Garcinia sp. 12.500 9.091 8.400 29.991 Papan Darubei - 8.333 9.091 3.223 20.648 Papan Sitairak Quercus argentea 4.167 4.545 9.825 18.537 Papan Kurau - 8.333 4.545 4.321 17.200 Papan Desa Sagulubbek Ribbu Eugenia cymosa 18.182 12.500 11.124 41.806 Papan Ngalo patadekat Knema laurina 6.818 7.500 8.838 23.156 Kayu bakar Uru kulit Chrysophyllum roxburghii 6.818 7.500 6.727 21.045 Kayu bakar Beliu Aporosa sp. 6.818 7.500 6.678 21.034 Papan Logau Saba Cannarium rufum 6.818 7.500 6.438 20.756 Kayu bakar a KR: Kerapatan Relatif, FR: Frekuensi Relatif, DR: Dominasi Relatif, INP: Indeks Nilai Penting. Rotan merupakan produk hutan yang terkenal dari Pulau Siberut. Selain bernilai ekonomis, rotan secara tradisional juga dijadikan bahan pembuatan peralatan rumah tangga. Berbagai jenis rotan dan pemanfaatannya di Pulau Siberut disajikan pada Tabel 4.6. Dari semua jenis rotan tersebut, beberapa rotan menjadi komoditas unggulan dari Pulau Siberut, seperti Calamus manan, C. 63 Scipionum, C. Caesius, dan Daemonorops spp. Produksi rotan dari Kepulauan Mentawai khususnya dari Pulau Siberut mendominasi produksi rotan dari Sumatera Barat. Produksi rotan dari Pulau Siberut dapat dilihat pada Tabel 4.7. Selain bermanfaat secara ekonomi, beberapa jenis buah rotan menjadi makanan kesukaan beruk siberut Macaca siberu. Beruk ini menjadi penyebar tumbuhan rotan secara alami pada berbagai ekosistem di Pulau Siberut. Tabel 4.6 Jenis rotan dan manfaat di Pulau Siberut Nama ilmiah a Nama lokal Manfaat b Calamus tomentosus Alimama Pengikat potongan batang sagu di sungai totok-tok, pengikat perangkap babi seserei, buah dijual Calamus caesius Sasa Bahan pembuat tikar jara’jak, pengikat potongan batang sagu di sungai, batang dan buah dijual Calamus javensis Mandorou Pengikat dedaunan untuk atap, pengikat atap ke kayu kasau, pengikat sambungan kayu di rumahpondok, bahan pembuat keranjang opa, tas, sangkar ayam roiget Calamus lobianus Lobai Daun digunakan sebagai pembungkus tepung sagu ketika dibakar untuk dijadikan makanan, karena makanan kapurut dianggap menjadi lebih harum Calamus manan Bebeget Batang dijual Calamus pogonacanthus Tailalit Bahan pengikat Calamus scipionum Tabu-tabu Batang dijual Calamus subspathulatus Alimama Pengikat potongan batang sagu di sungai, perangkap babi, buah dijual Calamus sp.1 Alibat Bahan pengikat Calamus sp.2 Oilab Pengikat perangkap babi, perangkap ikan lenggeu Calamus sp.3 Sipakpak Pengikat potongan batang sagu di sungai bila tidak ada rotan alimama, karena rotan ini dianggap kurang kuat Daemonorops angustifolus Manau Bahan pengikat Daemonorops sabut Ugai Bahan keranjang, batang dijual Daemonorops sp. Taset Pengikat potongan batang sagu di sungai, buah dijual Korthalsia wallihiafolia Talungra Bahan pengikat Korthalsia scorthechinii Rangou Pengikat dedaunan untuk atap, bahan rangka tangguk subba Licuala spinosa - Bahan pengikat a Diolah dari laporan kegiatan Balai TNS, b Hasil wawancara penelitian. Selain tumbuhan, satwa dari hutan juga dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai keperluan, seperti konsumsi, dijual, dan dipelihara. Hasil pengamatan satwa di jalur pengamatan dijumpai sebanyak 10 jenis satwa yang terdiri atas 7 jenis burung, 2 jenis primata, dan 1 jenis ulat Tabel 4.8. Beberapa jenis ulat dikonsumsi dan sangat digemari masyarakat, seperti ulat batang sagu tamra dan