Area Transisi Transition Area

33 sejak tahun 2002 Tabel 3.1. Demikian pula, dengan jumlah penduduk di tiga lokasi penelitian menunjukkan peningkatan, yakni sebanyak 13.98 hingga 18.67 Tabel 3.2. Pertambahan yang cukup signifikan disebabkan tingkat mortalitas yang rendah dan migrasi penduduk dari luar pulau BPS 2015a. Kepadatan penduduk di Pulau Siberut sebesar 9.75 orangkm 2 dan dengan kepadatan penduduk tertinggi di Kecamatan Siberut Selatan dan Siberut Utara Tabel 3.3. Kedua kecamatan tersebut lebih banyak penduduknya karena kecamatan tertua di CBPS. Ketiga kecamatan lain merupakan kecamatan baru, yang dibentuk setelah pemekaran kabupaten pada tahun 1999. Di tiga lokasi penelitian juga menunjukkan peningkatan kepadatan penduduk Tabel 3.2 terutama di Saibi Samukop yang menjadi ibukota Kecamatan Siberut Tengah. Selain Suku Mentawai, terdapat pendatang dari Suku Minang, Batak, Jawa, Nias, dan beberapa pendatang berasal dari Palembang, Sulawesi, dan Etnis Tionghoa. Pendatang ini umumnya terkonsentrasi di ibukota kecamatan. Tabel 3.1 Jumlah penduduk Pulau Siberut dari tahun 1853-2014 Tahun a Jumlah jiwa Sumber Tahun a Jumlah jiwa Sumber 1853 7 090 Rosenberg 1992 25 173 Bappeda Sumbar 1930 9 268 Sensus 2002 30 106 BPS Mentawai 1960 11 881 Sensus 2006 34 352 BPS Mentawai 1971 14 732 Sensus 2008 34 721 BPS Mentawai 1976 18 149 Bappeda Sumbar 2010 35 171 BPS Mentawai 1980 18 554 Sensus 2012 35 596 BPS Mentawai 1990 24 740 Sensus 2014 37 416 BPS Mentawai a Data tahun 1853-1992 dalam Darmanto dan Setyowati 2012. Tabel 3.2 Jumlah penduduk di lokasi penelitian a Jenis kelamin Jumlah penduduk di desa Saibi Samukop Matotonan Sagulubbek 2004 2014 2004 2014 2004 2014 Laki-laki - 1 492 - 604 - 650 Perempuan - 1 406 - 581 - 555 Jumlah 2 493 2 898 979 1 185 980 1 205 Peningkatan penduduk dari tahun 2004-2014 13.98 17.38 18.67 Rasio jenis kelamin - 1.06 - 1.04 - 1.17 Luas desa km 2 12 721 8 988 32 678 Kepadatan penduduk orangkm 2 19.60 22.78 7.70 9.32 7.70 9.47 a Diolah dari BPS Kab. Kep. Mentawai 2014a, 2014b, 2014c. Komposisi penduduk di CBPS termasuk struktur penduduk muda Tabel 3.3. Proporsi kelompok penduduk usia muda di bawah 15 tahun masih mencapai 39.79 , hal ini mencerminkan bahwa tingkat fertilitas penduduk selama 15 tahun 34 terakhir masih cukup tinggi. Begitupula, proporsi kelompok penduduk usia produktif usia 15-64 tahun sebesar 58.38 . Tingkat rasio beban ketergantungan dependency ratio masyarakat masih cukup tinggi, yakni sekitar 71.29 yang dapat diartikan bahwa tiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung 71 orang penduduk usia non-produktif, di samping harus menanggung dirinya. Tabel 3.3 Jumlah penduduk dan komposisi usia di Cagar Biosfer Pulau Siberut a Kelompok usia tahun Jumlah penduduk per kecamatan Total Siberut Selatan Siberut Tengah Siberut Barat Daya Siberut Barat Siberut Utara 0-14 3 452 2 787 2 563 2 926 3 158 14 886 39.79 15-64 5 592 3 512 3 723 3 887 5 129 2 184 58.38 65 162 124 82 99 220 687 1.84 Jumlah 9 206 6 423 6 368 6 912 8 507 37 416 100 Kepadatan penduduk orangkm 2 18.11 9.81 8.68 10.42 6.14 9.75 a Diolah dari BPS Kab. Kep. Mentawai 2015a. Gambaran tentang kualitas sumber daya manusia SDM di CBPS dapat direfleksikan dari tingkat pendidikan yang dicapai penduduk dan tingkat keterampilan yang dimilikinya. Mayoritas penduduk di CBPS berpendidikan formal yang rendah, hal ini terlihat dari penduduk yang tidak tamat sekolah sebesar 33.33 dan tamatan sekolah dasar 31.65 Tabel 3.4. Saat ini, banyak orang tua yang telah memahami bahwa pendidikan dapat berdampak pada penghidupan yang lebih baik, sehingga mendorong mereka untuk menyekolahkan anaknya. Namun, untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dari SD, banyak orang tua yang memiliki kesulitan membiayai pendidikan anak mereka, karena para siswa harus menetap di ibukota kecamatan yang letaknya jauh dari desa. Tingkat rasio beban ketergantungan penduduk yang masih cukup tinggi di CBPS menggambarkan bahwa penduduk belum produktif. BPS 2015a menyatakan bahwa semakin rendah nilai beban ketergantungan suatu wilayah, maka semakin maju dan produktif penduduk wilayah tersebut. Banyaknya penduduk yang berpendidikan formal yang rendah menjadi kendala dalam peningkatan pendapatan, terutama terkait dengan penerapan teknologi, inovasi baru, dan upaya pemanfaatan serta pelestarian SDA. Peningkatan kualitas SDM perlu dilakukan untuk memudahkan penduduk menyerap hal-hal tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Kartasasmita 1997 bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kekuatan pendorong driving force bagi proses kemajuan. 35 Tabel 3.4 Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Pulau Siberut a Kecamatan Tingkat pendidikan Jumlah Belum sekolah Tidak tamat sekolah Tamat sekolah SD SLTP SLTA DIDII DIII Sarjana b Siberut Selatan 882 3 197 1 136 588 1 156 100 46 125 7 230 Siberut Tengah 531 2 224 1 977 107 40 4 879 Siberut Barat Daya 1 293 1 651 1 691 216 108 4 959 Siberut Utara 476 2 191 2 204 2 314 950 5 24 8 164 Siberut Barat 745 1 168 2 896 1 172 79 6 060 Jumlah 3 927 10 431 9 904 4 397 2 333 100 51 149 31 292 Persentase 12.55 33.33 31.65 14.05 7.46 0.32 0.16 0.48 100 a BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai 2014; b Strata 1, 2, dan 3.

2. Keterampilan Penduduk

Keterampilan yang dikuasai masyarakat Mentawai tidak terlepas dari kondisi lingkungan, SDA yang ada, dan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan. Mayoritas masyarakat di lokasi penelitian berprofesi sebagai peladang. Profesi ini juga ditekuni oleh hampir seluruh keluarga di CBPS. Beberapa orang berprofesi sebagai guru dan tenaga medis, walaupun demikian mereka umumnya mempunyai ladang. Keterampilan yang berkaitan dengan kegiatan berladang adalah mengelola lahan, serta berbudidaya tanaman untuk kebutuhan subsisten dan yang laku di pasaran. Pola perladangan pumonean oleh masyarakat Mentawai tidak bersifat intensif dan terlihat sederhana. Masyarakat Mentawai sendiri menganggap penanaman yang mereka lakukan asal-asalan pangureman sibobo, tetapi Darmanto 2006 menyatakan bahwa keadaan penanaman yang terlihat sederhana tersebut membutuhkan proses yang rumit berhubungan dengan pantangan dan ritual tertentu. Selain itu, masyarakat terampil meramu hasil hutan. Keterampilan berladang dan meramu hasil hutan ini diperoleh secara turun menurun. Keterampilan pengolahan lanjutan hasil dari perladangan maupun dari meramu hasil hutan belum ada. Beberapa pria mempunyai keterampilan membangun rumah dari kayu tradisional dan rumah batu modern. Beberapa wanita terampil membuat kerajinan tangan, seperti keranjang opa dan alat tangkap ikan, serta dapat membuat sendiri minyak goreng dari buah kelapa. Beberapa penduduk di Saibi Muara dan Sagulubbek berprofesi sebagai nelayan. Di waktu senggang dan cuaca yang baik, para ibu di Muara Saibi menangkap ikan untuk konsumsi keluarga dengan menggunakan panu jaring besar yang dikaitkan ke pinggang di muara sungai. Sedangkan di Matotonan, kaum wanita di musim-musim tertentu mengambil kerang dan ikan di sepanjang sungai besar.