126
7.3.2 Pelibatan Masyarakat Mentawai dalam Proses Pengambilan
Keputusan Pengelolaan SDA
Pelibatan masyarakat Mentawai di CBPS dalam proses pengambilan keputusan mutlak diperlukan, karena sejatinya pemilik SDA dan penerima
eksternalisasi pengelolaan SDA adalah mereka. Namun, diperlukan perubahan persepsi stakeholders tentang masyarakat bahwa masyarakat Mentawai bukanlah
obyek tetapi subyek dari pembangunan. Hal ini dapat dibuktikan dari masyarakat Mentawai secara tradisional mampu mengelola SDA-nya secara lestari.
Pelibatan masyarakat Mentawai dalam proses pengambilan keputusan dapat dilakukan melalui dua cara, pertama memberi ruang kepada masyarakat untuk
menentukan berbagai kebijakan di desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan hingga evaluasi dalam aktivitas pengelolaan SDA. Proses ini dapat
diimplementasikan melalui Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan Desa Musrenbangdes. Musrenbangdes menjadi mekanisme pembangunan dan
memperbesar kontrol masyarakat desa terhadap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di desanya PP No. 432014 Pasal 118. Penyusunan Renbangdes
hendaknya dilakukan berdasarkan kondisi dan kemampuan masyarakat Mentawai, untuk itu penggunaan kerangka kerja penghidupan berkelanjutan dari DFID dapat
dilakukan. Dalam penyusunan rencana pembangunan desa masyarakat perlu didampingi atau dikuatkan oleh stakeholders dari pemerintah, lembaga
pendidikan, dan lembaga non pemerintah.
Kedua, pelibatan masyarakat Mentawai dalam proses pengambilan
keputusan pengelolaan SDA melalui struktur pengorganisasian CBPS. Struktur pengorganisasian penting agar semua kegiatan di CBPS dapat terintegrasi dengan
baik dalam mewujudkan tujuan cagar biosfer yakni keseimbangan antara konservasi dengan pembangunan. LIPI 2004 menyebutkan alasan pentingnya
pengorganisasian di cagar biosfer sebagai media konsultasi, advokasi, pengembangan sumber daya manusia, pendanaan, dan inovasi pemanfataan yang
bijaksana. Selanjutnya LIPI 2016 menyatakan bahwa pengelolaan sebuah unit cagar biosfer idealnya
didasarkan pada prinsip “multi stakeholder management”, mengingat bervariasinya lansekap dan stakeholders-nya. Sehubungan dengan hal
tersebut, maka dalam pengelolaan CBPS perlu dibentuk organisasi pengelola untuk menyatukan atau mensinergikan kegiatan pengembangan dari masing-
masing
stakeholders, mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan pengembangan, menyusun kerjasama dan perencanaan pengembangan dan
memudahkan pengelolaan cagar biosfer. Namun, saat ini belum terbentuk struktur pengorganisasian pengelolaan CBPS. Untuk itu Komite Nasional-MAB perlu
membentuk struktur pengorganisasian pengelolaan di CBPS, sebagai salah satu bagian dari tugas Komite Nasional-MAB, yakni mengarahkan dan membina
kegiatan Program MAB di Indonesia.
Terdapat dua bentuk struktur pengorganisasian cagar biosfer di Indonesia, yaitu Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer Badan KPCB dan Forum
Koordinasi dan Komunikasi Pengelolaan Cagar Biosfer Forum KKPCB. Beberapa organisasi pengelolaan Cagar Biosfer di Indonesia dapat dilihat pada
Lampiran 11. Pengorganisasian dalam bentuk Badan Koordinasi lebih formal dan struktural, kelebihannya lebih mudah mengarahkan stakeholders dari pemerintah
daerah ke arah tujuan organisasi dan dapat mengalokasikan dana yang bersumber
127 dari pemerintah daerah untuk menjalankan organisasi. Kekurangannya adalah
organisasi lebih “kaku” karena lebih formal, sedangkan stakeholders yang terlibat bukan hanya dari pemerintahan saja. Pengorganisasian dalam bentuk Forum
Koordinasi dan Komunikasi mempunyai kelebihan yakni tidak formal dan
struktural atau lebih “cair”, tetapi mempunyai kekurangan dalam hal pembiayaan penyediaan anggaran bagi organisasi secara reguler karena forum koordinasi
tidak mempunyai pijakan hukum untuk dialokasikan anggaran dari pemerintah. Oleh karena itu, pengorganisasian CBPS lebih tepat jika berbentuk Forum
Koordinasi dan Komunikasi karena banyaknya stakeholders di luar pemerintah daerah yang terlibat dalam pengelolaan SDA dan mereka mempunyai kepentingan
dan pengaruh kuat lihat
Tabel 5.3. Bentuk forum yang lebih “cair” dan potensi bekerjasama antar stakeholders lihat Tabel 5.4 dapat menyatukan stakeholders
dalam pengelolaan SDA di CBPS. Gambaran tentang struktur Forum Koordinasi dan Komunikasi CBPS disajikan pada Gambar 7.1.
Gambar 7.1 Forum Koordinasi dan Komunikasi Cagar Biosfer Pulau Siberut Forum terdiri atas dewan pengarah, ketua dan wakil ketua, majelis ilmiah,
sekretariat, bidang pengembangan, dan lembaga penggalangan dana. Dewan pengarah bertugas memberikan arahan umum tentang pengelolaan CBPS yang
disinergikan dengan kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Mentawai. Ketua bertugas membangun kesepahaman visi, misi dan tujuan
pengelolaan CBPS, mengintegrasikan kegiatan stakeholders dalam wilayah CBPS, membuat rencana dan prioritas kegiatan pengelolaan CBPS,
menyelesaikan solusi terhadap perbedaan kepentingan dan konflik dalam pengelolaan SDA di CBPS. Wakil ketua bertugas membantu ketua dalam
merumuskan kebijakan umum. Ketua dan wakil ketua didampingi oleh Majelis
Dewan Pengarah Ketua Forum
Wakil Ketua Forum
Bidang I
Pengembangan Area Inti Konservasi, Penelitian, dan
Pembangunan Berkelanjutan Stakeholders: BTNS, SKPD,
Perguruan Tinggi PT, Lembaga Penelitian Litbang,
LSM, swasta, perwakilan masyarakat Mentawai
Bidang II
Pengembangan Zona Penyangga Pembangunan
Berkelanjutan, Konservasi, dan Penelitian
Stakeholders: SKPD, BKSDA, PT, Litbang, LSM,
swasta, perwakilan masyarakat Mentawai
Bidang III
Pengembangan Area Transisi: Pembangunan Berkelanjutan,
Konservasi, dan Penelitian Stakeholders: SKPD, PT,
Balitbang, BPN, LSM, swasta, perwakilan
masyarakat Mentawai
Sekretariat Forum Majelis Ilmiah
Lembaga Pengalangan Dana
128 Ilmiah yang berperan memberikan pertimbangan teknis dan evaluatif atas
pelaksanaan konsep cagar biosfer. Selanjtnya forum dibagi dalam beberapa bidang yang mempunyai tugas khusus sesuai konsep pengelolaan cagar biosfer dan
berisikan stakeholders sesuai dengan visi, tugas dan fungsi tiap organisasi. Selanjutnya, kesekretariatan yang mempunyai tugas memfasilitasi aktivitas forum.
Komponen penting lainnya dari forum adalah lembaga penggalangan dana yang bertugas menggalang dana untuk pengembangan cagar biosfer, yang
strukturnya terpisah dari forum tetapi anggota dapat berasal dari anggota forum. Lembaga penggalangan dana ini dapat berupa perkumpulan atau yayasan.
Perkumpulan bersifat dan bertujuan komersial, berorientasi keuntungan profit oriented, dan mempunyai anggota, sedangkan yayasan bersifat dan bertujuan
sosial, keagamaan atau kemanusiaan, tidak semata-mata mengutamakan keuntungan yang sebesar-besarnya, dan tidak mempunyai anggota UU
No.162001. Yayasan berbentuk badan hukum, sedangkan dan perkumpulan dapat berbentuk badan hukum. Bentuk yayasan atau perkumpulan mempunyai
kelebihan kekurangan tersendiri. Kelebihan perkumpulan lebih demokratis, karena kewenangan tertinggi terdapat pada Musyawarah Umum Anggota, sedangkan
kekurangnnya sulit mengikat keanggotaan yang tetap. Kelebihan yayasan terletak pada pembuat kebijakan yang terdiri hanya beberapa orang, sehingga lebih praktis
dan taktis dalam pembuatan kebijakan, tetapi kurang demokratis karena kewenangan pembina yang sangat besar dalam memutuskan suatu persoalan.
Pembentukan yayasan atau perkumpulan ini diserahkan kepada kesepakatan anggota forum.
Setiap stakeholders menjadi bagian dari sistem pengorganisasian CBPS dan memiliki peran dan fungsi yang ditempatkan sesuai bidang pengembangan atau
zona CBPS. Pengelola kawasan konservasi memiliki peran untuk melestarikan SDA hayati yang terdapat di kawasannya dan menjadikan kawasannya bermanfaat
bagi masyarakat di dalam dan sekitar kawasannya. Pemerintah daerah memiliki peran membangun masyarakat dan mengembangkan di kawasan di zona
penyangga dan area transisi. Pihak swasta berperan mengembangkan kawasannya secara berkelanjutan dan memberikan dukungan dan pembiayaan dalam upaya
pengembangan masyarakat. Lembaga non pemerintah melakukan pengembangan masyarakat dan advokasi. Selanjutnya, lembaga penelitian dan perguruan tinggi
memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan penelitian dan pengembangan yang bermanfaat bagi pembangunan CBPS.
Selain stakeholders tersebut di atas, stakeholders yang sangat penting dalam pengorganisasian CBPS adalah masyarakat Mentawai. Masyarakat harus diikut
serta secara aktif dalam semua kegiatan pembangunan di CBPS. Sheng-Ji 2013 menyatakan bahwa sangat penting melibatkan unsur masyarakat dalam
pengorganisasian pengelolaan SDA yang melibatkan banyak pihak. Namun, kelembagaan lokal masyarakat Mentawai dalam mengelola SDA masih
mempunyai permasalahan pada aspek aturan representasi, dimana kelembagaan tersebut belum mengenal perwakilan di luar uma. Dalam pengorganisasian CBPS
yang efektif dan efisien, tentunya tidak semua perwakilan dari setiap uma masuk ke dalam struktur pengorganisasian. Oleh karena itu, perlu representasi semua
uma
dalam suatu wadah seperti “Dewan Adat” atau “Perkumpulan Uma”. Representasi semua uma ini yang akan menjadi perwakilan dalam struktur
pengorganisasian CBPS.
129
8 SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan
Sumber penghidupan Suku Mentawai di CBPS berasal dari lahan dalam bentuk perladangan dan hutan. Secara tradisional Suku Mentawai memiliki sistem
penguasaan dan tata guna atas lahan dan hutan land tenure system. Saat ini, terdapat tiga rezim kepemilikan lahan di CBPS, yaitu kepemilikan bersama
common property berbasiskan pada uma, kepemilikan pribadi private property, kepemilikan oleh negara state property. Penguasaan atas lahan oleh negara ini
hampir di seluruh CBPS 91.36 dalam bentuk hutan konservasi, hutan produksi, dan hutan lindung. Dalam pengelolaan SDA di CBPS ter
identifikasi
19 stakeholders, dua diantaranya adalah key players, yaitu Balai Taman Nasional
Siberut dan Dinas Kehutanan KabupatenProvinsi. Masing-masing stakeholders mempunyai kepentingan dan pengaruh yang berbeda dan selalu berubah
sepanjang waktu. Dalam interaksinya, di antara stakeholders terdapat potensi bekerjasama, saling mengisi, dan berkonflik. Secara keseluruhan di antara
stakeholders tersebut terdapat potensi untuk saling bekerjasama dan mengisi. Potensi ini menjadi peluang untuk melakukan pengelolaan kolaboratif di CBPS.
Hasil analisis keberlanjutan kelembagaan, menunjukkan bahwa kelembagaan adat Suku Mentawai di CBPS dalam mengelola SDA memenuhi enam kriteria
kelembagaan yang kuat, dalam artian kelembagaan tersebut sebenarnya mempunyai kemampuan untuk mengelola SDA secara lestari. Namun,
kelembagaan adat masyarakat Mentawai dalam mengelola SDA-nya belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Sedangkan kelembagaan formal belum
mampu mengelola SDA secara efektif dan efisien di CBPS, bahkan cenderung mengabaikan kelembagaan lokal. Selain aturan informal yang belum
berkesesuaian dengan aturan formal, terdapat pula perubahan perilaku masyarakat Mentawai dalam mengelola SDA yang tidak berkesesuaian dengan aturan
informal yang disebabkan oleh pengaruh ekonomi pasar, teknologi, dan penerapan kebijakan pemerintah daerah.
Dalam kelembagaan pengelolaan SDA di CBPS terdapat beberapa permasalahan, yaitu: 1 ketidak pastian hak kepemilikanpenguasaan lahan dan
sumber daya di atasnya antara Suku Mentawai dengan pemerintah; 2 adanya pengalihan hak kepemilikan lahan uma yang bersifat komunal ke kepemilikan
perseorangan melalui proses sertifikasi; dan 3 pengembangan budidaya padi sawah di ekosistem rawa sagu. Permasalahan-permasalahan ini berdampak pada
keberlanjutan pemanfaatan SDA Suku Mentawai di CBPS.
Berdasarkan temuan penelitian seperti diuraikan di atas, strategi penguatan kelembagaan lokal pengelolaan SDA sebagai sumber penghidupan Suku
Mentawai di CBPS, sebagai berikut: pertama mengakui secara formal hak kepemilikan komunal masyarakat Mentawai di CBPS untuk mengelola SDA-nya.
Pengakuan dilakukan di HP dan HL melalui penetapan Masyarakat Hukum Adat MHA, dan membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi serta Hutan
Lindung KPHP dan KPHL. Sedangkan, di HK dilakukan melalui revisi zonasi TNS, dan menetapkan HSAW Teluk Saibi Sarabua sebagai salah satu jenis dari
KPA atau KSA. Kedua, melibatkan masyarakat Mentawai dalam semua proses
130 pengambilan keputusan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan hingga
evaluasi dalam aktivitas pengelolaan SDA di CBPS, termasuk mengkolaborasikan pengaturan blokzona pengelolaan sebagai aturan operasional pada HK, HP, dan
HL dengan ruang kehidupan dan fungsi lahan tradisional masyarakat Suku Mentawai, serta membentuk struktur pengorganisasian CBPS yang disepakati oleh
stakeholders di CBPS.
8.2 Saran
Beberapa saran berupa rekomendasi kebijakan sebagai implikasi dari temuan penelitian, sebagai berikut:
1. Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Kepulauan Mentawai perlu segera menetapkan Peraturan Daerah tentang Masyarakat Hukum Adat di CBPS.
2. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Dinas Kehutanan
Provinsi perlu segera mempercepat pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi dan Hutan Lindung KPHP dan KPHL di CBPS.
3. Balai TNS perlu melakukan revisi zonasi TNS yang mengakomodir ruang
kehidupan dan fungsi lahan masyarakat tradisional Suku Mentawai. 4.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan cq. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem perlu segera melakukan
penunjukan HSAW Teluk Saibi Sarabua sebagai salah satu jenis dari KPA atau KSA.
5. Komite Nasional MAB Indonesia perlu segera membentuk struktur
pengorganisasian CBPS.
131
DAFTAR PUSTAKA
Aggarwal S, Elbow K. 2006. The Role of Property Rights in Natural Resource Management, Good Governance and Empowerment of The Rural Poor.
Burlington: ARD. Agrawal A, Ostrom E. 2001 Collective action, property rights, and
decentralization in resource use in India and Nepal. Politics and Society. 29: 485
–514. Anau N, van Heist M, Iwan R, Limberg G, Sudana M, Wollenberg E. 2000.
Pemetaan Desa Partisipatif dan Penyelesaian Konflik Batas: Studi Kasus di Desa-Desa Daerah Aliran Sungai Malinau. Bogor ID: CIFOR.
Arnstein SR. 1969. A Ladder of Citizen Participation. J AIP. 7:216-224. Asngari PS. 2001. Peranan agen pembaruanpenyuluh dalam
usaha memberdayakan empowerment sumber daya manusia pengelola agribisnis.
Di dalam: Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi. Bogor ID: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Ave W, Sunito S. 1990. Medical Plants of Siberut. Gland: WWF International. [BAPPEDA] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten
Kepulauan Mentawai. 2011. Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Alam Mentawai. Tua Peijat ID: Bappeda Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Basuni S. 2003. Inovasi institusi untuk meningkatkan kinerja daerah penyangga kawasan konservasi: Studi kasus di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango, Jawa Barat [disertasi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Basuni S. 2012. Mengelola Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Berbasis
Pengetahuan Tradisional dan Kearifan Lokal. Makalah pada Seminar Hasil- Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam
Semboja; 2012 Nov 4; Balikpapan, Indonesia. Balikpapan ID: Balitek KSDA Semboja.
Batisse M. 1993. Biosphere reserves: an overview. Nature and Resources. 29:1-4. von Benda-Beckmann F, von Benda-Beckmann K. Wiber M. 2006. Changing
Properties of Property. New York US, London GB: Berghahn Books. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Mentawai. 2015. Indikator
Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2014. Tuapeijat ID: BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Mentawai. 2015a. Kepulauan Mentawai dalam Angka 2015. Tuapeijat ID: BPS Kabupaten Kepulauan
Mentawai.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Mentawai. 2014a. Statistik Kecamatan Siberut Barat Daya 2014. Tua Peijat ID: BPS Kabupaten
Kepulauan Mentawai. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Mentawai. Statistik
Kecamatan Siberut Selatan 2014. 2014b. Tua Peijat ID: BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Mentawai. Statistik Kecamatan Siberut Tengah 2014. 2014c. Tua Peijat ID: BPS Kabupaten
Kepulauan Mentawai.