66 mencuci pakaian dan peralatan rumah tangga. Selain itu, ekosistem sungai dan
rawa juga dimanfaatkan masyarakat untuk mencari ikan, kerang, udang, dan katak. Dalam menjaga kebersihan sungai, terdapat aturan informal di masyarakat
yang melarang membuang hajat dan sampah ke sungai.
6. Pantai dan pulau-pulau kecil Nusa
Pantai dan pulau-pulau kecil disebut nusa. Nusa yang relatif luas banyak dimanfaatkan masyarakat untuk berladang dengan menanam tanaman seperti
kelapa, cengkeh, pala, dan nilam. Namun, produk utama dari nusa adalah kelapa. Kelapa umumnya diolah menjadi kopra, tetapi di waktu-waktu tertentu kelapa
bulat dikirim ke beberapa daerah di Pulau Sumatera hingga Pulau Jawa. Masyarakat memanfaatkan ekosistem ini untuk menangkap ikan, mencari kerang
dan siput, berburu dugong, serta mencari rumput laut. Dalam kurun satu dasawarsa belakangan, nusa menjadi objek wisata bahari yang cukup ramai
dikunjungi wisatawan mancanegara untuk berselancar karena ombak yang besar di sekitar nusa. Berkah ini memacu pembangunan banyak resort wisata di nusa.
Daerah tujuan wisata bahari dan daratan serta prioritas pengembangannya di Siberut disajikan pada Tabel 4.10.
Tabel 4.10 Daerah tujuan wisata bahari dan daratan serta prioritas
pengembangannya di Siberut
a
Daerah tujuan wisata Kecamatan
Potensi wisata Prioritas
Pulau Karangbajat Siberut Barat Daya
Wisata Bahari Prioritas 1
Pulau Nyang-nyang Siberut Barat Daya
Wisata Bahari Prioritas 1
Pulau Mainuk Siberut Barat Daya
Wisata Bahari Prioritas 1
Pulau Roniki Siberut Barat Daya
Wisata Bahari Prioritas 2
Teluk Sarabua Siberut Tengah
Wisata Bahari Prioritas 2
Masilok Siberut Selatan
Wisata Bahari Prioritas 2
Tanjung Malilimok Siberut Barat Daya
Wisata Bahari Prioritas 2
Madobag Siberut Selatan
Wisata Budaya Prioritas 2
Simatalu Lubaga Siberut Barat
Wisata Budaya Prioritas 2
Teluk Sarabua Siberut Tengah
Wisata Bahari Prioritas 2
Muntei Siberut Selatan
Wisata Budaya Prioritas 2
Lobajou teluk Siberut Barat
Flora dan Fauna Prioritas 3
Teluk Pokai Siberut Utara
Panorama Alam Prioritas 3
Pulau Botik Siberut Barat Daya
Wisata Bahari Prioritas 3
a
Diolah dari data BAPPEDA Kab. Kep. Mentawai 2011.
Keberadaaan nusa sebagai daerah pengembangan wisata bahari ini tidak terlalu berdampak besar terhadap perekonomian masyarakat di lokasi penelitian.
Selain jauh dari desa, pelaku bisnis wisata ini didominasi oleh masyarakat di Muara Siberut yang umumnya berasal dari Suku Minang dan Suku Batak.
67
7. Permukiman Barasi
Permukiman tradisional masyarakat Mentawai dikenal dengan nama pulaggajat atau laggai. Permukiman ini umumnya dihuni oleh satu uma satu
kerabat pertalian darah. Bentuk permukimannya terdiri atas sebuah rumah adat yang juga disebut uma yang besar dan di sekitarnya biasanya di perladangan
terdapat beberapa rumah yang lebih kecil yang disebut sebagai lalep. Uma dihuni oleh keluarga inti senior ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah,
sedangkan keluarga inti anak yang sudah menikah tinggal di lalep. Uma difungsikan sebagai tempat berkumpul dan tempat mengadakan acara pesta
punen bagi anggota uma sipuuma.
Masyarakat Mentawai memiliki prasyarat untuk menjadikan suatu lokasi sebagai permukiman tradisional Hernawati 2007, yaitu: a tersedia sumber air
anak sungaibatsopak di sekitar calon lokasi permukiman, b tersedia lahantanah yang datar
su’suk dengan luasan yang cukup untuk lokasi mendirikan sapou rumah yang dihuni oleh satu keluarga bagi sipuuma, c tidak
rawan banjir, agak jauh adari sungai besar, d berdekatan dengan daerah berawa onaja sebagai lokasi berladang sagu dan berladang keladi merangkap kolam
ikan, e berdekatan dengan areal berhutan leleu untuk lokasi berladang, mencari tumbuhan obat, dan berburu, f lahan memiliki sejarah dengan kehidupan nenek
moyang anggota uma pangubuat, misal bekas perladangan, bekas tempat berburu, atau lokasi uma nenek moyang mereka dahulu. Selanjutnya, permukiman
ini umumnya berada di lahan milik uma.
Seiring dengan perkembangan pembangunan di Indonesia, permukiman- permukiman tradisional masyarakat Mentawai di CBPS direlokasi atau
dimukimkan kembali resettlement ke dalam suatu perkampungan baru yang dibangun pemerintah
14
. Permukiman baru bentukan pemerintah ini yang disebut dengan barasi
15
dalam bentuk dusun-dusun. Pola permukiman yang berbentuk dusun ini sebenarnya bukan pula hal yang baru. Pola permukiman ini sudah
diperkenalkan sejak masa kolonial Darmanto dan Setyowati 2012. Pemukiman kembali ini dilakukan dengan alasan bahwa masyarakat
Mentawai hidup dengan pol a “primitif” serta dianggap kelompok masyarakat
yang terasing dan tertinggal, untuk itu perlu disejahterakan dengan cara mempermudah akses dan pelayanan pemerintah ke masyarakat. Masyarakat yang
sebelumnya hidup berkelompok dalam wilayah uma masing-masing, disatukan dalam permukiman baru bersama uma-uma lain dan di lahan uma lain.
Dampaknya adalah masyarakat Mentawai semakin jauh dari sumber kehidupan mereka di ladang, konsumtif dengan mengkonsumsi produk dari luar seperti
beras - bagian dari program relokasi berupa bantuan beras
– minyak goreng, bumbu masak instan, tidak ada uma rumah adat di permukiman baru, serta
harus menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial baru. Oleh karena itu, beberapa uma kembali lagi ke permukiman lama mereka secara bertahap, seperti yang
dilakukan oleh Uma Sagulu di Silaoinan pada tahun 1986 Hernawati 2007. Perkampungan Uma Sagulu yang baru tersebut, saat ini mulai diusulkan menjadi
dusun oleh pemerintahan Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan.
14
Program pemerintah melalui Departemen Sosial dengan nama Proyek Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing PKMT dimulai sejak tahun 1975.
15
Beberapa daerah di Siberut masih menggunakan laggai untuk menyebut dusun mereka.
68 Meskipun awalnya relokasi ini mendapat tentangan dari masyarakat
setempat karena melalui proses pemaksaan, karena menjauhkan mereka dari ladang dan mengikat mereka dalam administrasi pemerintah. Namun, saat ini
banyak masyarakat Mentawai yang menginginkan kegiatan pembangunan permukiman dari pemerintah, seperti di Desa Sagulubbek, Matotonan, dan Saibi.
Begitupula masyarakat di daerah Sakuddei di wilayah administratif Desa Sagulubbek yang dahulunya menolak direlokasi, saat ini mulai turun ke dusun
terdekat yakni Mongan Tepu. Keinginan kehidupan yang lebih baik dengan mendapatkan pelayanan dari pemerintah pendidikan, kesehatan, subsidi makanan,
atau pembangunan infrastruktur mendorong masyarakat untuk membentuk atau bergabung dengan permukiman yang baru.
Di barasi, masyarakat yang berbeda uma berinteraksi dan mempengaruhi satu dengan yang lain, serta menciptakan rasa memiliki atas lingkungan tempat
tinggalnya. Seiring dengan akultrasi masyarakat Mentawai dengan agama baru seperti nasrani yang dipeluk hampir sebahagian besar penduduk, fungsi
permukiman menjadi penting karena sebagian besar masyarakat berkumpul pada hari sabtu dan minggu di barasi untuk beribadah di gereja. Di sore harinya,
masyarakat berolahraga sepakbola, voli, takraw bersama. Pada hari tersebut, pemerintah desa biasanya mengadakan pertemuan dengan masyarakat dan kadang
kala dilakukan gotong royong untuk membersihkan barasi. Barasi juga menjadi lingkungan produktif, dimana masyarakat menanam sayuran, tanaman buah,
tanaman obat, tanaman untuk upacara adat, dan tanaman untuk menghasilkan uang tunai. Secara temporal, berbagai pembangunan sarana dan prasarana fisik di
barasi juga memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat sebagai penyedia tenaga kerja dan pencari material untuk bangunan.
8. Persawahan Puberakat
Persawahan atau puberakat merupakan penggunaan lahan yang relatif baru di Mentawai Gambar 4.3. Persawahan dikenalkan oleh misionaris Jerman di
Siberut sekitar tahun 1920-an, dan menjadi simbol kristiani, kemajuan, serta perkembangan Persoon 1992. Selanjutnya Persoon 1992 menyatakan bahwa di
tahun 1970-an, seiring dengan pembangunan permukiman oleh pemerintah di Siberut, persawahan mulai banyak dibuat. Di saat itu produksi dan konsumsi beras
menjadi indikator pembangunan dan refleksi kinerja administrasi lokal. Sekitar tahun 1990-an, persawahan mulai hilang di Pulau Siberut, tetapi sekitar tahun
2000-an digalakkan kembali oleh pemerintah kabupaten.
Pembangun sawah di Pulau Siberut merupakan program Pemkab dalam rangka menghapuskan program beras bagi rakyat miskin raskin. Pendistribusian
raskin ke seluruh pelosok Mentawai pada program tersebut berbiaya mahalnya, karena akses ke berbagai permukiman yang sulit, jauh, dan terpencar, serta
menggunakan transportasi air. Untuk menjamin ketahanan pangan, dinas pertanian melakukan program pembukaan lahan sawah agar masyarakat dapat
mengkonsumsi beras dan tidak tergantung pasokan beras dari luar Mentawai Simanjuntak 2012. Persawahan di Pulau Siberut saat ini seluas 360 ha BPS
2015a dan akan semakin meluas lagi, contoh, di Desa Sagulubbek masyarakat sedang membuka lahan persawahan seluas 75 ha dan luas sawah yang sudah ada
saat ini 25 ha, sedangkan di Muara Saibi sudah dibuat sawah seluas 60 ha.
69
Gambar 4.3 Persawahan di Pulau Siberut
4.3.3 Transformasi Lahan
Lahan-lahan yang ada di CBPS sejak dahulu ditransformasikan masyarakat setempat untuk berbagai kepentingan Gambar 4.4. Lahan berhutan dibuka untuk
ditransformasikan menjadi ladang baru tinungglu termasuk ladang keladi, dan perkampungan. Ladang baru kemudian berubah menjadi ladang tua pumonean
yang lama kelamaan membentuk vegetasi yang menyerupai hutan kembali. Sehingga, hutan kadangkala sulit dibedakan dengan ladang tua yang telah lama
ditinggalkan pumonenan siburuk, karena karakteristik ladang tua yang sudah menyerupai hutan. Pembedanya dapat dilihat dari vegetasi yang ada, dimana di
pumonenan siburuk di dominasi oleh pohon buah. Lokasi perladangan yang berbatasan dengan hutan memungkinkan benih tanaman hutan dengan mudah
menginvasi ladang, ketika ladang diberakan, benih di ladang juga tumbuh menyebar sehingga komposisi tegakan di ladang hampir menyerupai hutan
Darmanto dan Setyowati 2012. Begitupula daerah di tepian pantai dan pulau- pulau kecil ditransformasikan menjadi ladang. Daerah berawa ditransformasikan
menjadi ladang sagu atau sawah, dan ladangrawa sagu ditransformasikan menjadi sawah. Hal ini menggambarkan bahwa lahan termasuk hutan di Siberut akan
selalu ditransformasi masyarakat ke berbagai bentuk penggunaan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Proses transformasi dari hutan menjadi perladangan seolah-olah proses yang sederhana. Namun, bila diikuti proses tersebut merupakan proses yang komplek
karena menerapkan pantangan dan ritual tertentu. Dalam proses pembukaan ladang, anggota uma melakukan berbagai pantangan kei-kei. Beberapa
pantangan yang dilakukan adalah tidak melakukan hubungan seksual, membuka ladang ketika istri sedang hamil, berburu, mengkonsumsi belut air tawar lojo,
atau mengkonsumsi buah yang berasa asam. Saat pembukaan lahan, dilakukan ritual panakiat yakni acara meminta izin leluhur, setelah itu dilakukan penebasan
semak belukar. Darmanto 2006 menyatakan bahwa terdapat tujuh tahapan hutan menjadi tinungglu hingga terbentuk pumonean, yakni seleksi lokasi pasibalaou
tinungglu, membuka lahan pasipolou tinungglu, penanaman jenis tanaman
an di Sagulubbek Persawahan di Saibi
70 pokok pangurep ka sara, ladang baru tinungglu, pemanenan tanaman pokok
pasiala’ buah pangureman, penanaman jenis tanaman buah dan jenis tanaman hutan pangurep ka dua, dan ladang tua pumonean.
Gambar 4.4 Transformasi lahan menjadi lingkungan yang lebih khas dan bermanfaat bagi masyarakat Siberut
Pemilihan lahan untuk perladangan mempertimbangkan beberapa faktor dan
melibatkan pengetahuan tradisional masyarakat Mentawai. Darmanto 2006 menyatakan bahwa faktor-faktor tersebut, yaitu 1 kejelasan kepemilikan lahan.
Lahan yang dibuka harus jelas kepemilikannya, bisa di lahan milik uma atau meminjam lahan uma lain; 2 lokasi hutan leleu dan umur lahan bila bekas
ladang lama. Lokasi ladang diutamakan yang dekat dengan permukiman hal ini berkaitan dengan jarak tempuh dan waktu kerja yang efisien. Topografi lahan
berupa dataran atau lereng bukit dan berada di dekat sungai-sungai kecil; 3 lahan dan faktor klimat. Lahan yang bervegetasi rimbun dan banyak pohon besar kurang
diminati, adanya perhitungan astronomi maiggou terkait arah angin, posisi matahari, dan arah sudut bukit; 4 warna dan kesuburan tanah. Indikator tanah
subur adalah warna tanah hitam kemerahan, bertekstur gembur, dan bila semai
dicabut mudah, berakar panjang serta akar “membawa” tanah; serta 5 tabu dan pantangan religius. Lahan berhutan di lereng curang, tinggi, dan dipercaya sebagai
tempat leluhur pantang digunakan sebagai calon ladang. Begitupula, lahan yang terdapat tanda kenangan orang yang sudah meninggal kirekat bila digarap
Lahan Ladang tua pumonean
Ladang muda tinungglu
Sungai rawa bat oinan Perkampungan barasi
Pantai Pulau-pulau kecil nusa Ladang sagu pusaguat
Sawah puberakkat Ladang keladi pugettekat
Hutan leleu