91 beraktivitas mengadvokasi masyarakat, YCM-M dibantu WALHI-Sumbar,
sehingga kedua lembaga ini banyak dukunganpenerimaan yang baik dari masyarakat, khususnya di daerah binaan. Perilaku dalam mengelola hutan oleh PT
SSS mendapat apresiasi dengan diperoleh Sertifikat Pengusahan Hutan Lestari SPHL. Walaupun demikian, beberapa konflik terjadi antara PT SSS dengan
masyarakat pemilik lahan terkait dengan uang imbalan pulajuk atas pengambilan kayu di atas lahan uma.
5.4 Simpulan
Terindentifikasi 19 stakeholders dalam pengelolaan SDA di CBPS. Dua stakeholders digolongkan sebagai key players, yaitu Balai Taman Nasional
Siberut dan Dinas Kehutanan Mentawai, serta tujuh stakeholders dikategorikan sebagai subject, yaitu masyarakat Siberut Suku Mentawai, BKSDA Sumbar,
WALHI Sumbar, KN-MAB Indonesia, FF-I, dan BAPPEDA Mentawai. Kepentingan dan pengaruh stakeholders tersebut dapat berubah sepanjang waktu,
yang dampak perubahannya perlu dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan SDA di CBPS. Dalam interaksinya, terindentifikasi tiga hubungan di antara
stakeholders, yaitu adanya hubungan bekerjasama, saling mengisi, dan atau konflik. Potensi konflik terdapat pada beberapa stakeholders, tetapi secara
keseluruhan banyak peluang bekerjasama dan mengisi di antara stakeholders. Saat ini struktur pengorganisasi CBPS belum terbentuk, tetapi berbagai aktivitas
pengelolaan SDA stakeholders di CBPS secara parsial sangat mempengaruhi dan menentukan eksistensi CBPS dalam Jaringan Cagar Biosfer Dunia. Walaupun
berbagai aktivitas pengelolaan SDA oleh stakeholders masih dikategorikan sebagai non partisipasi dalam konteks pengelolaan CBPS, berbagai aktivitas
tersebut dapat menjadi modal di antara stakeholders untuk saling melengkapi. Apalagi, banyak perilaku stakeholders dalam pengelolaan SDA di CBPS yang
belum sesuai dengan aturan yang berlaku normatif. Potensi bekerjasama dan saling mengisi ini membuka peluang untuk melakukan pengelolaan kolaboratif di
CBPS. Untuk itu, peran CBPS dalam mengkomunikasi aktivitas pembangunan di antara stakeholders menjadi sangat penting.
92
6 ATURAN INFORMAL DAN FORMAL
DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI CAGAR BIOSFER PULAU SIBERUT
6.1 Pendahuluan
Salah satu unit analisis kelembagaan adalah aturan yang digunakan rule in use. Berdasarkan atas bentuknya North 1990 membagi kelembagaan menjadi
dua, yakni informal dan formal. Kelembagaan informal adalah kelembagaan yang keberadaannya di masyarakat dan umumnya tidak tertulis, seperti adat istiadat,
tradisi, pamali, kesepakatan dan sejenisnya dengan beragam nama dan sebutan. Sedangkan kelembagaan formal adalah peraturan tertulis, seperti perundang-
undangan, kesepakatan agreements, perjanjian kontrak, peraturan bidang ekonomi, bisnis, politik, kehutanan, dan lain-lain. Kesepakatan-kesepakatan yang
berlaku baik pada level international, nasional, regional maupun lokal termasuk ke dalam kelembagaan formal. Kedua jenis kelembagaan ini mempengaruhi perilaku
manusia terhadap sumber daya alam SDA, karena aturan menyediakan struktur kehidupan yang memandu interaksi manusia atau untuk menciptakan tingkat
kepastian antara interaksi manusia, untuk mengarahkan perilaku manusia ke arah yang diharapkan anggota masyarakat, untuk mengurangi perilaku oportunis, biaya
koordinasi, dan untuk membatasi dan atau menyelesaikan konflik North 1990, Ostrom 1990, Kasper dan Streit 1998.
Sebagian besar 91.36 lahan di Cagar Biosfer Pulau Siberut CBPS merupakan kawasan hutan negara yang pengelolaan SDA-nya mengikuti
ketentuan dari peraturan perundangan bidang kehutanan. Di lain pihak, lahan- lahan tersebut secara tradisional dimiliki oleh uma-uma pengelolaannya
tergantung pada kesepakatan anggota uma. Terlihat dalam satu kawasan hutan bahwa terdapat dua sistem kelembagaan antara masyarakat dan pemerintah.
Seharusnya kedua tipe kelembagaan ini dapat sejalan dan saling mendukung Larson 2013. Namun pada kenyataannya, pengelolaan SDA yang dilakukan oleh
masyarakat seringkali dipandang sebagai “masalah” bagi pemerintah karena pengelolaan SDA yang mereka lakukan tidak selalu sejalan dengan aturan-aturan
formal Tadjudin 2000. Sedangkan pengelolaan oleh pemerintah belum mampu mengelola SDA yang dikuasakan negara karena terkendala sumber daya yang
terbatas Soekmadi 2002; Basuni 2003; Susetyo 2015. Oleh karena itu, analisis terhadap kelembagaan informal dan formal dalam pengelolaan SDA sangat
penting dilakukan agar strategi penguatan kelembagaan Suku Mentawai dalam pengelolaan SDA di CBPS dapat dirumuskan.
6.2 Metode
Penelitian dilakukan di CBPS dengan lokasi pengumpulan data di Desa Matotonan di Kecamatan Siberut Selatan, Desa Saibi Samukop di Kecamatan
Siberut Tengah, dan Desa Sagulubbek di Kecamatan Siberut Barat lihat Gambar 3.1. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2014 hingga Mei 2015.
93 Data yang dikumpulkan berupa data primer berupa aturan informal yang
berlaku di masyarakat Mentawai di CBPS dan aturan formal yang diberlakukan pemerintah dalam pengelolaan SDA di CBPS. Aturan formal yang kumpulkan,
meliputi undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah yang terkait dengan pengelolaan SDA. Aturan dipilih secara purposive sesuai dengan
kebutuhan penelitian. Data sekunder merupakan data yang berasal dari beberapa dokumen untuk mendukung data primer. Data tersebut terkait ciri-ciri
kelembagaan pada aturan informal dan formal yang terdiri atas hak kepemilikan, batas yuridiksi, dan aturan representasi.
Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara, yaitu studi dokumen, wawancara mendalam, dan pengamatan langsung. Studi dokumen dilakukan
dengan menelaah peraturan perundangan dan dokumen terkait lainnya. Wawancara mendalam dilakukan kepada 16 enam belas orang, dengan kriteria
orang Mentawai dan mengetahui aturan adat yang berlaku di Siberut. Pengamatan langsung dilakukan untuk melihat aktualisasi aturan dalam aktivitas keseharian
masyarakat dalam mengelola SDA.
Aturan informal dan formal dinilai menggunakan delapan prinsip desain kelembagaan Ostrom 1990 yang menyatakan bahwa terdapat berbagai kondisi
atau faktor penting yang diperhitungkan dalam suatu kelembagaan lokal yang dapat bertahan lama untuk mengelola CPRs, yaitu:
1
Batasan-batasan didefinisikan dengan jelas clearly defined boundaries. Individu atau kelompok yang mempunyai hak memanfaatkan unit sumber
daya CPRs harus terdefinisikan dengan jelas, termasuk batas-batas fisik CPRs. Bila pengguna dan batas sumber daya CPRs tidak terdefinisi dengan jelas,
maka pemilik sumber daya akan menghadapi resiko pemanfaatan sumber daya oleh orang yang tidak ikut dalam usaha penyediaan dan pemeliharaan CPRs.
Hal ini menyebabkan tidak adanya insentif bagi pengguna sumber daya lokal untuk melakukan kerjasama dan tindakan bersama dalam penyediaan dan
pemeliharaan CPRs.
2
Kesesuaian congruence aturan dengan kondisi setempat. Kesesuaian antara
aturan pemanfaatan, seperti pembatasan waktu, lokasi, teknologi, dan atau jumlah unit sumber daya dengan kondisi setempat, serta sesuai dengan aturan
penyediaan, seperti kebutuhan tenaga, material dan atau uang.
3 Pengaturan pilihan kolektif collective choice arrangements. Berbagai pihak
yang dipengaruhi oleh aturan main, khususnya pada tingkat operasional berhak untuk berpartisipasi secara luas dalam memodifikasi aturan.
4 Pengawasan monitoring. Terdapat pengawasan yang secara aktif mengaudit
kondisi sumber daya dan perilaku pengguna serta bertanggung jawab kepada pengguna dan atau anggota pengguna tersebut.
5 Sanksi yang tegas sesuai tingkat kesalahan graduated sanctions. Pengguna
yang melanggar aturan operasional harus mendapat sanksi yang tegas, tergantung pada keseriusan dan konteks pelanggarannya, dari pengguna
lainnya dan atau petugas yang bertanggung jawab kepada pengguna atau keduanya.
6 Mekanisme
penyelesaian konflik conflict resolution mechanism. Para pengguna dan para petugas memiliki akses cepat dan murah untuk
menyelesaikan konflik antar pengguna atau antara pengguna dengan petugas. 7
Pengakuan hak untuk mengelola minimal recognation of the rights to