Simpulan Penguatan Kelembagaan Lokal Pengelolaan Sumber Daya Alam Sumber Penghidupan Suku Mentawai Di Cagar Biosfer Pulau Siberut
52 Konsep hak pakai ini dapat dilihat dari kepemilikan lahan perkampungan
yang dihuni banyak uma, serta lokasi perladangan dan hutan yang menjadi sandaran hidup masyarakat, yang lahannya hanya dimiliki oleh beberapa uma saja.
Contoh, perkampungan di Desa Matotonan yang dihuni oleh dua puluh dua uma, tetapi pemilik lahannya hanya lima uma Uma Sabulat, Saguluw, Salakkirat,
Sarubei, dan Sabaggalet, sedangkan di Muara Saibi lahan di sekitar perkampungan kebanyakan lahannya dimiliki oleh uma Satoko. Begitupula di
lokasi perladangan dan hutan di Matotonan umumnya dimiliki oleh uma Satoleuru, Satoutou, Sabaggalet, Sagoilok, dan Salakkirat. Adanya konsep hak
pakai ini membuat kepemilikan sumber daya di atas suatu lahan berbeda dan rumit. Dapat ditemukan suatu lahan dimiliki oleh satu uma, tetapi tanaman di atas
dimiliki oleh beberapa orang yang berlainan uma. Walaupun lahan milik uma, tetapi ladang dan tanamannya merupakan milik individu yang menanam.
Dalam konsep bundles of the right, hak kepemilikan Sitoi atas lahan dikategorikan sebagai authorized user karena memiliki hak acces dan withdrawal.
Sedangkan uma pemilik lahan merupakan pemilik hak penuh full owner karena memiliki hak yang lengkap meliputi hak acces, withdrawal, management,
exclusion, dan alienation. Sebaliknya, hak kepemilikan Sitoi atas tanaman yang ditanamnya di lahan uma lain bersifat full owner karena Sitoi dapat menentukan
siapa yang memanfaatkan tanaman hingga menjadi alat transaksi seperti membayar denda tulou dan memperjual belikannya. Sedangkan sibakat polak
tidak mempunyai hak atas tanaman yang ditanam Sitoi. Walaupun demikian, hak kepemilikan atas lahan lebih tinggi dari hak kepemilikan. Sehingga Sitoi rentan
terhadap pengusiran bila berkonflik dengan uma pemilik lahan sibakat polak.
Kepemilikan lahan secara private ini masih jarang di CBPS dan terjadi di pesisir timur Pulau Siberut. Hal ini sebagai dampak dari berkembangnya
permukiman dan lebih terbukanya akses masyarakat di pesisir timur terhadap dunia luar. Lahan-lahan yang berada di dekat pemukiman dan jalan menjadi lebih
bernilai karena diminati pendatang sebagai lokasi tempat tinggal, berjualan, dan berladang. Eksternalisasi ini, membuat pemilik lahan menjual lahan kepada
pendatang. Pendatang yang telah membeli lahan mulai melakukan proses sertifikasi agar memantapkan kepemilikan mereka. Begitupula masyarakat
Mentawai yang memiliki lahan, turut melakukan sertifikasi agar nilai lahan menjadi lebih mahal.
Program Komunitas Adat Terpencil KAT dari Kementerian Sosial berupa pembangunan permukiman baru juga memicu sertifikasi lahan komunal. Contoh
Program KAT tahun 2009 di Matotonan, para pemilik lahan tidak menginginkan kompensasi berupa uang atas hibah lahan, melaikan mereka menginginkan
sertifikat lahan bagi penghuni permukiman. Menurut informan dari Badan Pertanahan Nasional BPN Mentawai, di Pulau Siberut terdapat sertifikat tanah
walaupun masih sedikit, terutama untuk tanah perkantoran pemerintah.
Proses sertifikasi tanah ini juga didorong oleh pemerintah daerah dan BPN, terutama sejak tahun 2005 Darmanto dan Setyowati 2012. Beberapa generasi
muda, terutama di pesisir timur Pulau Siberut antusias dengan proses sertifikasi lahan karena memandang sertifikasi sebagai bentuk pengakuan pemerintah atas
lahan mereka, menghindari konflik lahan antar uma yang berlangsung turun temurun, dan menjadi modal usaha dianggunkan, artinya pembangunan di
pesisir timur dianggap membawa eksternalisasi positif. Sebaliknya, kebanyakan
53 generasi yang lebih tua tidak setuju dengan sertifikasi karena akan berdampak
semakin berkurangnya lahan uma, prosesnya yang rumit, dan adanya konsekuensi pembayaran pajak atas lahan private yang akan menambah beban mereka.
Program sertifikasi pada lahan komunal perlu kehati-hatian karena dampaknya dapat merusak kelembagaan masyarakat setempat. Pokharel et al. 2007
menyatakan bahwa sertifikasi lahan bisa jadi memperbaiki pengelolaan hutan, tetapi mungkin juga menyebabkan hancurnya kelembagaan adat setempat yang
mampu mengelola sumber daya dengan lebih baik.