Sungai dan rawa Bat oinan
70 pokok pangurep ka sara, ladang baru tinungglu, pemanenan tanaman pokok
pasiala’ buah pangureman, penanaman jenis tanaman buah dan jenis tanaman hutan pangurep ka dua, dan ladang tua pumonean.
Gambar 4.4 Transformasi lahan menjadi lingkungan yang lebih khas dan bermanfaat bagi masyarakat Siberut
Pemilihan lahan untuk perladangan mempertimbangkan beberapa faktor dan
melibatkan pengetahuan tradisional masyarakat Mentawai. Darmanto 2006 menyatakan bahwa faktor-faktor tersebut, yaitu 1 kejelasan kepemilikan lahan.
Lahan yang dibuka harus jelas kepemilikannya, bisa di lahan milik uma atau meminjam lahan uma lain; 2 lokasi hutan leleu dan umur lahan bila bekas
ladang lama. Lokasi ladang diutamakan yang dekat dengan permukiman hal ini berkaitan dengan jarak tempuh dan waktu kerja yang efisien. Topografi lahan
berupa dataran atau lereng bukit dan berada di dekat sungai-sungai kecil; 3 lahan dan faktor klimat. Lahan yang bervegetasi rimbun dan banyak pohon besar kurang
diminati, adanya perhitungan astronomi maiggou terkait arah angin, posisi matahari, dan arah sudut bukit; 4 warna dan kesuburan tanah. Indikator tanah
subur adalah warna tanah hitam kemerahan, bertekstur gembur, dan bila semai
dicabut mudah, berakar panjang serta akar “membawa” tanah; serta 5 tabu dan pantangan religius. Lahan berhutan di lereng curang, tinggi, dan dipercaya sebagai
tempat leluhur pantang digunakan sebagai calon ladang. Begitupula, lahan yang terdapat tanda kenangan orang yang sudah meninggal kirekat bila digarap
Lahan Ladang tua pumonean
Ladang muda tinungglu
Sungai rawa bat oinan Perkampungan barasi
Pantai Pulau-pulau kecil nusa Ladang sagu pusaguat
Sawah puberakkat Ladang keladi pugettekat
Hutan leleu
71 memerlukan ritual khusus. Salah satu keistimewaan aktivitas pembukaan
perladangan di Siberut adalah tidak dilakukannya pembakaran tumbuhan bekas tebangan. Selanjutnya, Darmanto 2006 menyatakan bahwa alasan pembuatan
ladang baru, yaitu karena: 1 menipisnya persediaan makanan pokok talas, pisang, ubi jalar; 2 turunnya produktivitas tanaman buah misal: durian,
rambutan, langsek; 3 pertentangan di uma, karena perebutan lahan dan habisnya ladang akibat denda; 4 persaingan harga diri antar uma
pako’, serta 5 warisan dan tabungan untuk generasi mendatang.
Ritual-ritual yang
dilakukan masyarakat
Mentawai dalam
mentrasformasikan lahan ke bentuk lain termasuk mengelola SDA terkait dengan kepercayaan mereka yakni Arat Sabulungan. Orang Mentawai percaya
bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki roh. Roh-roh dapat menempati tempat, seperti hutan, laut, pantai, atau permukiman. Manusia dengan roh-roh ini hidup
berdampingan secara terus menerus, dimana hubungan ini dapat bersifat saling menguntungkan atau merugikan, sehingga kerhamonisasian hubungan ini perlu
dijaga. Roh-roh tersebut ada yang bersifat baik dan buruk. Ketidak harmonisan antara manusia dengan roh-roh akan menyebabkan malapetaka bagi manusia.
Salah satu dari kumpulan roh tersebut adalah roh-roh yang menghuni hutan taika leleu. Proses ritual dan pantangan yang dilakukan dalam membuka hutan
merupakan proses menjaga harmonisasi tersebut. Bentuk penghormatan masyarakat Mentawai terhadap roh-roh yang mendiami hutan terlihat dari ketika
mereka memasuki hutan atau mengambil hasil hutan, maka mereka melakukan pamitizin dengan mengucapkan:
“Bojoik sateteumai anai kubakai purimanuaijat mai, pasikeli kam kai maafkan kami nenekkakek roh-roh, kami hanya mencari nafkah bukan
merusak, beri kami kemudahan dan lindungi kami”. Schefold 1991 menyatakan bahwa keselarasan merupakan tema sentral
dalam kehidupan orang Mentawai.