Latar Belakang Penguatan Kelembagaan Lokal Pengelolaan Sumber Daya Alam Sumber Penghidupan Suku Mentawai Di Cagar Biosfer Pulau Siberut

6 Sumber daya alam menjadi basis utama penopang kehidupan masyarakat Mentawai di CBPS. SDA yang penting di Pulau Siberut antara lain lahan, pohon penghasil kayu, sagu, gaharu, rotan, dan hewan ternak atau liar. Secara tradisional semua lahan dimiliki oleh uma sistem kekerabatan dari Suku Mentawai. Di atas lahan ini anggota uma sipuuma mengelola dan memanfaatkan SDA. Selain lahan, SDA yang penting adalah tumbuhan yang menjadi makanan pokok seperti sagu Metroxylon sagu dan keladi, tumbuhan yang dapat menghasilkan uang, seperti gaharu Aquilaria malacensis, rotan manau Calamus manan, dan pohon berkayu jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae, selain itu tumbuhan yang bernilai budaya seperti durian Durio sp, langsat Aglaia sp, dan kelapa Cocos nucifera. Hewan yang penting untuk memenuhi kebutuhan protein dan upacara adat, seperti babi dan ayam yang dikembangkan di pondok perladangan, serta satwa liar seperti primata dan rusa yang diburu di hutan Walujo dan Supardijono 1997, BTNS 2010, Darmanto dan Setyowati 2012. Pengelolaan SDA yang semula tradisional oleh masyarakat Mentawai, saat ini mulai mengalami perubahan. Kepemilikan lahan di Mentawai yang secara adat merupakan kepemilikan komunal, mulai dijual atau dipindah tangankan menjadi kepemilikan pribadi Darmanto dan Setyowati 2012. Pembuatan keputusan atas pengelolaan SDA yang seharusnya dilakukan secara bersama melalui proses musyawarah, saat ini mulai diputuskan sepihak tanpa persetujuan semua anggota uma sehingga banyak menimbulkan konflik internal. Dalam memanfaatkan SDA, masyarakat mulai menerapkan praktik-praktik yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan senapan angin dengan peluru beracun dalam perburuan satwa liar, penggunaan bahan kimia untuk menangkap ikan hingga penebangan mangrove dan pengambilan terumbu karang sebagai bahan bangunan BTNS 2010. Di sisi lain, beberapa program pemerintah tidak sejalan dengan kelembagaan lokal masyarakat Mentawai. Program pemerintah daerah untuk membangun persawahan sebagai bagian dari ketahanan pangan masyarakat bertolak belakang dengan pola hidup masyarakat Mentawai yang memanfaatkan sagu sebagai bahan makanan pokok, yang justru melemahkan ketahanan pangan masyarakat Mentawai Simanjuntak 2012. Selanjutnya, orientasi pemerintah yang masih mengedepankan eksploitasi kayu untuk menghasilkan pendapatan daerah bertolak belakang dengan kondisi Pulau Siberut yang dikategorikan sebagai pulau kecil yang rentan secara ekologi, yang seharusnya dikelola dengan prinsip kehatian-hatian BTNS 2010, Ismanto 2010, Darmanto dan Setyowati 2012. Situasi di atas mengindikasikan mulai melemahnya kelembagaan Suku Mentawai dalam mengelola SDA di CBPS. Fenomena perubahan kelembagaan lokal tersebut menarik untuk dipahami, sehingga pertanyaan penelitian yang muncul adalah SDA apa saja yang kelembagaan lokalnya melemah, mengapa, dan bagaimana cara menguatkan kelembagaan lokal tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk merumuskan strategi penguatan kelembagaan lokal pengelolaan SDA sumber penghidupan Suku 7 Mentawai di CBPS. Untuk mencapai tujuan umum tersebut perlu dicapai tujuan khusus, yaitu: 1. Menganalisis SDA yang menjadi sumber penghidupan Suku Mentawai di CBPS. 2. Menganalisis situasi pengelolaan SDA di CBPS. 3. Menganalisis kepentingan, pengaruh, hubungan, partisipasi, dan perilaku stakeholders dalam pengelolaan SDA di CBPS. 4. Menganalisis aturan informal dan aturan formal dalam pengelolaan SDA di CBPS. 5. Menyintesis penguatan kelembagaan lokal Suku Mentawai dalam pengelolaan SDA di CBPS.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah menyediakan berbagai strategi penguatan kelembagaan pengelolaan SDA Suku Mentawai di CBPS yang berguna bagi pengambil keputusan dalam penyusunan kebijakan untuk Pulau Siberut. Secara teoritis penelitian diharapkan dapat menunjang pengembangan ilmu kelembagaan khususnya pengembangan kelembagaan lokal.

1.5 Kerangka Teoritis

Sumber daya alam di CBPS dapat dikategorikan sebagai sumber daya milik bersama atau common pool resources CPRs. Istilah CPRs merujuk kepada suatu SDA, sumber daya buatan atau fasilitas yang bernilai yang tersedia bagi lebih dari satu orang dan merupakan objek yang cenderung terdegradasi sebagai akibat kecenderungan pemanfaatan yang berlebihan Ostrom 1990. Menurut McKean 2000 menyatakan bahwa CPRs adalah sumber daya yang tersedia bagi siapa saja, sehingga sangat sulit untuk mengontrol sumber daya tersebut dan menyebabkan sumber daya menjadi sangat mudah terdegradasi. SDA yang bercirikan CPRs memiliki dua sifat utama, yaitu sifat substractibility yang merupakan kondisi dimana setiap pemanfaatan seseorang atas sumber daya akan mengurangi kemampuan atau jatah orang lain untuk memanfaatkan sumber daya tersebut sehingga sulit untuk membagi rata suatu sumber daya atau keuntungan dari sumber daya. Sifat ini mengindikasikan terjadinya persaingan rivalness dalam pemanfaatan sumber daya. Selanjutnya, sifat excludibility yang merupakan kondisi kesulitan untuk mengeluarkan pengguna lain dalam pemanfaatan sumber daya yang dimiliki seseorang, kelompok, atau lembaga. Sifat ini berkaitan dengan adanya biaya cost yang harus dikeluarkan untuk membatasi pihak lain dalam memanfaatkan beneficiaries dari suatu sumber daya. Tjitradjaja 2008 menyatakan bahwa pada CPRs dengan akses yang bebas open access melekat situasi ketiadaan jaminan kepastian. Dalam mengelola SDA, seseorang, kelompok atau lembaga, sangat dipengaruhi oleh sudut pandangnya. Misal, dari sudut pandang ekonomi, SDA adalah faktor produksi dari alam yang digunakan untuk menyediakan barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi Fauzi 2006, sedangkan dari sudut padang ekologi 8 yang tercantum dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa SDA adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan non hayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. Dari dua cara pandang di atas terlihat penekanan arah pengelolaan SDA yang akan diambil oleh masing-masing pihak bila mempunyai kuasa atau kewenangan untuk mengelola suatu SDA. Terkait dengan sudut pandang atau paradigma para pihak, terdapat pula perbedaan cara pandang antara pemerintah dengan masyarakat lokal terhadap SDA yang mempengaruhi keputusan mereka dalam mengelola SDA. Kondisi ini dapat dilihat dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Setyowati et al. 2008 menyatakan bahwa dalam pengelolaan kawasan konservasi, pemerintah memandang alam sebagai sesuatu yang unik, dimanfaatkan terbatas dan penduduk di sekitar kawasan sebagai ancaman sehingga alokasi, akses dan kontrol terhadap alam perlu ditetapkan oleh negara yang berlandaskan ilmu pengetahuan modern, sementara masyarakat lokal berpandangan bahwa hutan merupakan hasil konstruksi sosial dan produk agraria sebagai hasil hubungan antara manusia dengan ekosistem atau institusinya, sehingga alokasi, akses dan kontrol terhadap alam ditetapkan oleh warganya berlandaskan pengetahuan lokal mereka. Perbandingan pandangan antara pemerintah dan masyarakat lokal terhadap alam di kawasan konservasi disajikan pada Tabel 1.2. Tabel 1.2 Perbandingan pandangan antara pemerintah dengan masyarakat lokal terhadap alam di kawasan konservasi a Pandangan Pihak Pemerintah negara Masyarakat lokal Pandangan terhadap alam  Alam yang unik, khas, dan utuh harus diawetkan dan dilindungi serta terbebas dari sentuhan manusia  Pemanfaatan terbatas untuk riset, pendidikan dan ekowisata  Penduduk sekitar kawasan konservasi merupakan ancaman  Hutan merupakan hasil konstruksi sosial antara masyarakat dengan ekosistem di sekitarnya  Hutan merupakan produk hubungan manusia dengan kelembagaan lokalnya Alokasi, akses dan kontrol terhadap kawasan hutan  Ditetapkan oleh pemerintah negara  Ilmu pengetahuan modern sebagai landasan agraria antar anggota masyarakat dalam institusinya  Ditetapkan oleh warga masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak ulayat  Pengetahuan lokal sebagai landasan a Setyowati et al. 2008. Dalam pengelolaan SDA di kawasan konservasi di Indonesia saat ini, penerapan konservasi masih berlandaskan wacana konservasi global yang berbasiskan pada ilmu pengetahuan. Wacana konservasi global seringkali tidak bersesuaian dengan masyarakat setempat bahkan mengabaikan masyarakat 9 setempat. Akibatnya banyak konflik terjadi antara pengelola kawasan konservasi dengan masyarakat setempat Darmanto 2011; Kosmaryandi 2012. Di sisi lain, terdapat banyak bukti keberhasilan masyarakat tradisional dalam melestarikan SDA dan lingkungannya berdasarkan pengetahuan lokal 1 dan kearifan lokal 2 yang mereka miliki Basuni 2012. Hal ini sesuai dengan pendapat Ostrom 1990 yang menyatakan bahwa pengelolaan SDA melalui common property regimes dapat menghindari the tragedy of the commons. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian Ostrom terhadap pranata sosial masyarakat yang dapat bertahan lama bahwa di masyarakat tersebut terdapat berbagai kesepakatan bersama dalam bentuk hukum yang dihormati oleh seluruh anggota masyarakatnya. Pranata sosial yang dimaksud di atas adalah kelembagaan lokal di masyarakat. Kelembagaan merupakan seperangkat tata hubungan di antara masyarakat yang menegaskan hak-hak mereka, keterbukaan hak-hak dengan yang lain, hak-hak istimewa mereka, dan berbagai tanggung jawab mereka Schmid 1987, sedangkan menurut Pakpahan 1989 kelembagaan adalah sistem organisasi dan kontrol terhadap sumber daya. Selanjutnya, North 1990 mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan main, norma-norma, larangan- larangan, kontrak, dan sebagainya dalam mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi. Kelembagaan, sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi merupakan empat faktor penggerak pembangunan Johnson 1985 dalam Pakpahan 1989. Keempat faktor tersebut merupakan syarat-syarat kecukupan sufficient conditions untuk mencapai kinerja pembangunan yang dikehendaki. Selanjutnya Pakpahan 1989 menjelaskan bahwa suatu kelembagaan dicirikan oleh tiga hal utama, yaitu hak kepemilikan property right yang merupakan sebuah paket dari hak yang mendefinisikan siapa pemilik hak, hak istimewa, dan batasan terhadap penggunaan SDA Bromley 1991, batas yuridiksi jurisdiction bounderies yang menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam organisasi, serta aturan representasi rules of representation mengatur siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Ciri-ciri kelembagaan tersebut merupakan hal yang penting diamati untuk mengetahui melemahnya kelembagaan suatu SDA. Sumber daya alam sangat terkait dengan hak kepemilikan termasuk hak tenurial Larson 2013. Hak tenurial terhadap SDA merujuk pada hubungan sosial dan lembaga yang mengatur akses dan tata guna lahan dan sumber daya von Benda-Beckman et al. 2006. Ostrom dan Schlager 1996 menyatakan dalam hak kepemilikan terdapat kumpulan hak bundle of right, yaitu hak akses access atau hak untuk masuk ke area dan hanya menikmati manfaat non-konsumtif. Mereka yang memiliki hak tersebut disebut sebagai pendatang resmi authorised entrants. Hak pemanfaatan withdrawal atau hak untuk memanen unit sumber daya. Mereka yang memiliki hak akses dan pemanfaatan disebut sebagai pengguna resmi authorised user. Hak manajemen management atau hak untuk 1 Pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu komunitas masyarakat selama berabad-abad. Pengetahuan lokal dikembangkan berdasarkan pengalaman, telah diuji penggunaannya selama berabad-abad, telah diadaptasikan dengan budaya dan lingkungan setempat, serta bersifat dinamis dan berubah-ubah Mathias 1995 dalam Setyowati et al. 2008. 2 Kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya Sartini 2004. 10 menentukan bagaimana, kapan dan dimana penggunaan konsumtif sumber daya dapat dilakukan, serta apakah dan bagaimana struktur sumber daya yang dapat diubah. Orang atau kelompok yang memiliki hak-hak ini dikenal sebagai claimants. Hak eksklusi exclusion atau hak untuk menentukan siapa yang akan memiliki hak akses dan bagaimana hak dimungkinkan untuk ditransfer. Mereka yang memiliki hak ini disebut proprietors. Hak alienation atau hak untuk menjual atau menyewakan salah satu atau kedua hal di atas. Orang atau kelompok yang memiliki hak ini disebut pemilik owners. Selanjutnya Ostrom dan Schlager 1996 menyatakan bahwa hak kepemilikan yang didefinisikan dengan baik untuk eksis, maka pengguna sumber daya harus memiliki kedua hak pada tingkat operasional access dan withdrawal, serta pilihan kolektif management, exclusion, dan alienation untuk mengelola CPRs mereka. Belum adanya pengakuan secara formal atas keberadaan wilayah-wilayah adat dan hak masyarakat adat dalam mengelola SDA-nya yang telah mereka kelola turun-temurun dapat melemahkan daya kontrol mereka terhadap SDA. Di sisi lain, kemampuan negara dalam mengelola SDA relatif terbatas, baik dalam hal sumber daya manusia maupun pendanaan, yang menyebabkan kontrol terhadap SDA menjadi lemah, sehingga SDA yang bersifat CPRs mudah terdegradasi karena terjadi open access. Sementara itu, penguasaan SDA oleh negara menyebabkan negara dapat memutuskan untuk mengalokasikan hak-hak eksploitasi atau menetapkan kawasan konservasi tanpa kesepakatan dengan masyarakat lokal Kosmaryandi 2012. Pengelolaan SDA tergantung pada batas yuridiksi kelembagaan yang ada. Batas yuridiksi ditentukan oleh paling tidak empat hal Shaffer dan Schmid dalam Pakpahan 1989, yaitu perasaan sebagai satu komunitas, perasaan ini akan menentukan siapa yang berhak memanfaatkan SDA dan siapa yang tidak boleh. Homogenitas prefensi menentukan siapa yang berwenang dalam menentukan suatu keputusan. Skala ekonomi yang sangat terkait dengan biaya yang tepat dalam menyelesaikan permasalahan pengelolaan SDA. Selanjutnya, eksternalitas yang akan mendefinisikan siapa yang akan menanggung atas apa atau terhadap sesuatu. Eksternalitas sendiri diartikan sebagai dampak kegiatan atau konsumsi dari suatu pihak mempengaruhi utilitas pihak lain secara tidak diinginkan Fauzi 2006. Sumber daya alam yang dimiliki secara komunal dalam pengelolaannya secara bersama akan tunduk pada aksi kolektif, maka persoalan kepemimpinan, keterwakilan dan kewenangan menjadi bagian penting dalam proses pengambilan keputusan Larson 2013. Dalam kelembagaan, hal ini terkait dengan aturan representasi, dimana proses pengambilan keputusan yang tepat dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan menjadi sangat penting. Aturan representasi akan menentukan jenis keputusan yang dibuat dan akan menentukan biaya transaksi Pakpahan 1989, serta menjadi landasan bagi pembagian akses dan pendistribusian manfaat secara adil kepada anggota kelompok Larson 2013. Pengelolaan SDA tidak hanya terkait dengan aturan atau norma-norma yang berlaku di masyarakat saja, namun terkait juga dengan aturan-aturan formal yang berlaku dan para pihak stakeholders spesifik dari suatu SDA. Seperti dinyatakan North 1990 bahwa permasalahan yang sangat penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan SDA adalah aturan yang mengatur hubungan antar kelompok, karena aturan tersebut akan menentukan perilaku kelompok. Pengguna SDA seringkali