Persawahan di Ekosistem Rawa Sagu
123 seusai dengan Peraturan Menteri LHK No. P.32Menlhk-Setjen2015, dan
penetapan hak komunal atas tanah MHA melalui Peraturan Menteri ATRKepala BPN No. 102015. Pemberian hak kewenangan kepada masyarakat ini dapat
dipandang sebagai bentuk desentralisasi atau devolusi. Devolusi adalah pelimpahan kekuasaan power dari pusat pemerintah kepada unit kerja yang
lebih rendah Fisher 1999.
Proses pengakuan MHA dan penetapan hutan hak akan membutuhkan waktu, karena adanya proses pendefinisian MHA Pasal 67 UU No. 411999 dan
pemetaan lahan-lahan adat Permenhut No. P.32menlhksetjen2015 sesuai dengan kepemilikan uma. Menunggu proses tersebut berlangsung, Dinas
Kehutanan Provinsi perlu membentuk kesatuan pengelolaan hutan produksi dan lindung KPHP dan KPHL di kawasan hutan di CBPS sesuai amanah PP
No.62007. Tujuannya agar pengelolaan HP dan HL di CBPS dapat dikelola secara efisien dan lestari dengan sesuai rencana pengelolaan operational rules
dalam blok dan petak pengelolaan. Akses masyarakat dalam memanfaatkan SDA dapat dilakukan melalui skema perizinan HTR, HKM, HPHD dan kemitraan
kehutanan lihat Permen LHK No. P.83menlhksetjenkum.1102016 tentang Perhutanan Sosial. Skema izin dan kemitraan kehutanan ini dapat dipandang
sebagai bentuk desentralisasi atau devolusi.
Menguatkan Hak Kepemilikan di Hutan Konservasi
Tata guna lahan tradisional masyarakat Mentawai di CBPS merupakan refleksi dari ruang-ruang kelola yang dibangun oleh masyarakat sebagai upaya
pengaturan SDA dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, baik untuk kebutuhan fisik maupun spiritualnya. Dengan demikian, zonasi kawasan TNS yang berada
dalam wilayah adat diarahkan untuk dikolaborasikan dengan tata guna lahan masyarakat Mentawai yang merupakan kearifan tradisional mereka. Basuni 2012
menyatakan bahwa perlu mendorong konservasi berbasis pengetahuan lokal dan kearifan lokal sebagai pendekatan dan komplemen bagi konservasi SDA di
Indonesia. Kosmaryandi 2012 menyatakan bahwa terdapat dua kebijakan zonasi yang diperlukan untuk mengamalgamasikan kepentingan konservasi nasional-
global dengan kehidupan masyarakat adat, yakni pertama, pengembangan zonasi diarahkan pada pencapaian fungsi taman nasional bukan diarahkan pada
pencapaian kelengkapan zona yang dipersyaratkan secara yuridis formal. Cara ini dimaksudkan agar kepentingan kelestarian keanekaragaman hayati dan kehidupan
masyarakat adat yang diterjemahkan dalam zonasi pengelolaan taman nasional dapat berlangsung secara bersesuaian. Kedua, penggunaan basis klasifikasi ruang
pada tata guna lahan tradisional sebagai dasar kriteria zona-zona pengelolaan taman nasional karena fungsi-fungsi tata guna lahan tradisional dapat
mewadahimengakomodasi zona-zona yang diperlukan dalam sistem pengelolaan taman nasional, pemanfaat langsung secara rutin dan berkesinambungan terhadap
SDA yang ada dalam kawasan taman nasional adalah masyarakat adat sedangkan pemanfaatan oleh pihak-pihak eksternal bersifat temporal, zonasi menjadi relatif
lebih mudah diaplikasikan karena kejelasan batas yang mudah dipahami oleh pengguna kawasan secara rutin masyarakat adat, dan dapat meminimalkan
bahkan dapat meniadakan potensi konflik ruang dan tenurial dalam pengelolaan taman nasional. Oleh karena itu, zonasi TNS juga diarahkan untuk