Kategorisasi Stakeholders Hasil dan Pembahasan
84 memperoleh PAD dari SDA yang ada, dan kadangkala tanpa mempertimbangkan
dampak negatif yang ditimbulkannya. Walaupun kedua belah pihak memperhatikan aspek ekonomi, tetapi pengelolaan kawasan konservasi lebih
cenderung berorietasi pada aspek ekologi, sedangkan SKPD lebih berorietasi pada aspek ekonomi. BTNS seringkali dianggap beberapa pejabat Pemkab dan anggota
DPRD sebagai penghambat pembangunan, karena melarang berbagai aktivitas pembangunan di Siberut, seperti pembangunan jalan raya dan pemukiman.
Tabel 5.4 Actor-linkage dalam pengelolaan sumber daya alam di Cagar Biosfer
Pulau Siberut
Stake- holder
a
Keterkaitan antar stakeholders
b
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
13 14
15 16
17 18
19 1
- A,C
A A,C
C C
C C
C C
C C
C C
C C
C C
A,C 2
A,C -
B,C A,C
A,C C
C C
C C
C C
C B,C
C C
C C
C 3
A B,C
- A,C
A,C C
C C
C C
C C
C C
C C
C C
C 4
A,C A,C
A,C -
C C
C C
A,C C
A,C C
C C
C C
C C
C 5
C A,C
A,C C
- C
C C
- C
C C
C C
C C
C C
C 6
C C
C C
C -
C C
- C
C C
C C
C C
C C
C 7
C C
C C
C C
- C
- C
C C
C C
C C
C C
C 8
C C
- A,C
C C
C -
B,C C
C C
C C
C C
C C
A,C 9
C C
C A,C
- -
- B,C
- C
C C
C C
C C
C C
A,C 10
C C
C C
C C
C C
C -
C C
C C
C C
C C
C 11
C C
C A,C
C C
C C
C C
- C
C C
C C
C C
C 12
C C
C C
C C
C C
C C
C -
C C
C C
C C
C 13
C C
C C
C C
C C
C C
C C
- C
C C
C C
C 14
C B,C
C C
C C
C C
C C
C C
C -
C C
C C
C 15
C C
C C
C C
C C
C C
C C
C C
- C
C C
C 16
C C
C C
C C
C C
C C
C C
C C
C -
C C
C 17
C C
C C
C C
C C
C C
C C
C C
C C
- C
C 18
C C
C C
C C
C C
C C
C C
C C
C C
C -
C 19
A,C C
C C
C C
C A,C
A,C C
C C
C C
C C
C C
-
a
Stakeholders 1: Masyarakat Suku Mentawai di Siberut, 2: BTNS, 3: BKSDA Sumatera Barat, 4: Dishutkab, 5: BAPPEDA Kab., 6: Disparbudkab, 7: Distankab, 8: YCM, 9: WALHI, 10: Kirekat,
11: IPMEN, 12: BPN, 13: FFI-I, 14: KN-MAB, 15: UNAND, 16: IPB, 17: UMSB, 18: Balitbanghut, 19: PT SSS.
b
Keterkaitan antar stakeholder A: conflict, B: complementary, C: cooperation.
Potensi konflik
juga terlihat
antara LSM
yang berorientasi
lingkungankonservasi seperti YCM, WALHI, IPMEN dan masyarakat dengan SKPD khususnya Dishutkab dan PT. SSS. Konflik antara LSM dengan SKPD
muncul biasanya ketika ada proses perizinan untuk memanfaatkan SDA dalam skala besar seperti IUPHHK, IPK, perkebunan kelapa sawit, HTI. Kalangan
LSM beranggapan bahwa pemanfaatan SDA, khususnya hutan banyak membawa dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat Mentawai. Begitupula konflik
antara LSM tersebut dengan PT. SSS terkait dengan isu lingkungan dan distribusi manfaat yang tidak berimbang ke masyarakat lokal.
Hubungan saling mengisi dapat dilihat antara BTNS dan BKSDA. Ketiadaan petugas BKSDA di Siberut menyebabkan aktivitas peredaran tumbuhan dan satwa
dilindungi di Pulau Siberut dilakukan oleh petugas BTNS, seperti beberapa kali
85 penangkapan pembawa satwa liar illegal di Pelabuhan Muara Padang berkat
informasi dari petugas BTNS. Begitupula terlihat antara YCM dan WALHI. WALHI Sumbar merupakan kumpulan dari beberapa LSM lokal di Sumatera
Barat, termasuk YCM, sehingga aliran informasi dapat mengalir di antara kedua organisasi dan pekerjaaan internal salah satu organisasi dapat diisi oleh yang lain.
Potensi kerjasama hampir dimiliki semua stakeholders. Kerjasama antar berbagai stakeholders telah terjalin di Siberut. Seperti ditunjukkan oleh kemitraan
yang dibangun antara BTNS, UNESCO, YCM-M dengan dengan masyarakat lokal sejak tahun 1999. Namun, YCM-M keluar tidak lama setelah dari kemitraan
berjalan. Visi kemitraan ini untuk melestarikan keanekaragaman hayati di Pulau Siberut. Kemitraan ini sering disebut sebagai Co-manajemen di tingkat lapangan.
Kemitraan ini berakhir pada tahun 2006 dan bertransformasi menjadi LSM Perkumpulan Siberut Hijau PASIH. PASIH terus bermitra dengan BTNS dan
berakhir pada tahun 2012. Berhentinya kerjasama ini dikarena permasalahan internal di tubuh organisasi PASIH. Menurut staf BTNS, proses kerjasama menuju
kemitraan ini bukan proses instan, melainkan melalui proses konflik antar pihak. Negoisasi antara lembaga dilakukan, dan adanya kesamaan tujuan bahwa
pelestarian SDA di Siberut mendesak untuk dilakukan membuat kemitraan bisa dilakukan.
Hubungan saling bekerjasama juga terlihat antara BTNS dengan KNMAB- Indonesia. KNMAB-Indonesia organisasi dari berbagai lembaga pemerintah yang
diketuai oleh LIPI Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati sebagai autoritas keilmuan di Indonesia, selanjutnya Ditjen KSDAE Kementerian LHK selaku
wakil sebagai autoritas manajemen yang kawasannya sebagaian besar menjadi area inti cagar biosfer. Hubungan BTNS dengan KNMAB-Indonesia terjadi
karena BTNS merupakan UPT dari Ditjen KSDAE Kementerian LHK. Di tingkat lapangan, BTNS sering dianggap sebagai pengelolaan CBPS karena
sampai saat ini struktur pengorganisasian CBPS belum terbentuk.
Beberapa stakeholders dari LSM menunjukkan kedekatan secara organisasional. Hal ini dapat terlihat bila suatu LSM berkegiatan, LSM mitra akan
terlibat. Kedekatan ini juga akan terlihat jika muncul isu pengelolaan SDA yang dapat berdampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat. LSM yang “sealiran”
akan mengelompok membentuk suatu aliansi. Begitupula terdapat kedekatan antara LSM dengan BTNS, yang terlihat dari kehadiran LSM pada berbagai acara
yang diselengarakan oleh BTNS, seperti diskusi atau seminar, sosialisasi kegiatan, dan pendampingan masyarakat. Kegiatan-kegiatan TNS-pun sering dihadiri oleh
masyarakat dan SKPD Pemkab khususnya Dishut. Kedekatan beberapa LSM dengan BTNS awalnya bukan dibangun oleh organisasi BTNS, melainkan
dibangun oleh beberapa individu yang memandang bahwa BTNS tidak dapat bekerja sendiri dalam upaya konservasi di Siberut. Kedekatan ini berdampak
positif bagi organisasi BTNS.
Dari Tabel 5.3 terlihat kepentingan stakeholders atas SDA di CBPS secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu kepentingan ekologi konservasi dan
ekonomi pembangunan. Selama ini, dua kepentingan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat berjalan selaras, padahal seharusnya antara kepentingan
ekologis dan ekonomi dapat berjalan selaras untuk melestarikan SDA. Darusman dan Widada 2004 menyebutkan lima prinsip yang menegaskan sinergisitas
antara kegiatan konservasi dan pembangunan ekonomi. Pada prinsip kedua
86 dinyatakan bahwa ekonomi merupakan landasan pembangunan konservasi yang
berkelanjutan, tanpa adanya manfaat ekonomi bagi masyarakat secara berkelanjutan dapat dipastikan program konservasi akan terhenti karena
masyarakat tidak peduli. Begitupula dengan konsep cagar biosfer yang bertujuan untuk menyelaraskan antara kepentingan konservasi dan pembangunan UNESCO
1996.
Potensi konflik antar stakeholders dalam pengelolaan SDA di CBPS bukanlah untuk dinihilkan. Melainkan untuk saling menguatkan. Stakeholders
yang memiliki posisi lemah crowd bukan untuk dipinggirkan melainkan dikuatkan. Begitupula berbagai perbedaan perlu dicarikan penyelesaiannya
resolusi agar mereka memperoleh manfaat yang lebih baik atas pengelolaan SDA di CBPS.
Banyaknya peluang bekerjasama antar stakeholders di CBPS menunjukan adanya peluang pengelolaan kolaboratif
16
. Pengelolaan kolaboratif ini dapat mencakup kepentingan banyak pihak, baik dalam tataran pemerintah, swasta, dan
masyarakat dimana setiap entitas stakeholders berada dalam posisi yang setara. Walaupun demikian, Tadjudin 2000 menyebutkan bahwa pengelolaan
kolaboratif bukanlah pendekatan yang mudah diterapkan dan efektif untuk semua kondisi dan keadaan. Untuk itu, perlu komitmen dari semua stakeholders yang
terlibat untuk dapat mencapai pengelolaan kolaboratif di CBPS.