Terorisme Pasca-Usamah
Terorisme Pasca-Usamah
samah bin Ladin dipastikan tewas dalam serangan militer Amerika Serikat di Islamabad, Pakistan pada Minggu malam, 1 Mei 2011. Kepastian tewasnya Usamah ini
diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama di Gedung Putih, sesaat setelah pasukan AS berhasil menembak mati pemimpin Al Qaidah itu. Pengumuman tersebut lantas disambut gegap gempita seluruh rakyat AS. Euforia tampak terlihat jelas dari kegembiraan ribuan massa yang berpesta di depan Gedung Putih.
Semasa hidupnya, Usamah merupakan musuh nomor satu AS. Negara adidaya ini menganggap Al Qaidah sebagai dalang serangan terorisme terhadap Gedung World Trade Center di New York pada 11 September 2001. Jaringan Al Qaidah yang tersebar di seluruh dunia juga dituduh sebagai pelaku aksi-aksi terorisme berikutnya, seperti di Bali (12 Oktober 2002), Moskow (23 Oktober 2003), Madrid (11 Maret 2004), dan London (7 Juli 2005). Meskipun Al Qaidah tidak secara langsung menyerang tempat-tempat itu, tetapi fatwa Usamah pada 1998 telah memicu aksi-aksi terorisme lanjutan pascatragedi 9/11.
Karena itu, kematian Usamah diharapkan AS dapat mematikan jaringan Al Qaidah sekaligus menghentikan aksi terorisme yang dilancarkan organisasi ini. Namun, kematian Usamah sesungguhnya bukanlah akhir serangan terorisme global, melainkan awal dari aksi-aksi terorisme berikutnya oleh jaringan Al Qaidah. Penyebabnya, Usamah dianggap sebagai martir sehingga kematiannya harus dibalas.
Yang membalas bisa jadi bukan Al Qaidah secara langsung, tetapi jaringan di bawahnya yang telah menggurita di banyak wilayah dunia. Bagi jaringan Al Qaidah, kematian Usamah di tangan musuh tentu sangat menyakitkan dan terasa makin menyakitkan lagi karena dirayakan besar-besaran oleh warga AS. Karena itu, serangan balasan sangat mungkin terjadi karena Al Qaidah telah melakukan terrorism franchise dengan mengembangkan sel-sel baru yang siap melancarkan teror kapanpun dan dimanapun.
Terrorism Franchise Pakistan merupakan basis utama operasi Al Qaidah. Di
negara ini, gerakan terorisme tumbuh subur karena kentalnya kultur kekerasan di kalangan masyarakat yang dilengkapi dengan lemahnya kontrol institusi negara. Kondisi ini membuat Al Qaidah dapat dengan leluasa beraksi, termasuk di antaranya merekrut anggota-anggota baru dan mengendalikan sel-selnya yang tersebar di banyak wilayah.
Di Liberia dan Sierra Leone misalnya. Di dua negara ini, Al Qaidah berupaya mengumpulkan dukungan dana dengan mengeksploitasi perdagangan berlian ilegal, mencuci uang, dan membangun koneksi dengan kejahatan terorganisasi dan perdagangan senjata ilegal (Dempsey 2006). Douglas Farrah (2001) menyatakan bahwa perdagangan berlian terlarang di kedua negara itu tidak hanya meningkatkan keuntungan langsung bagi aktivitas Al Qaidah, tetapi juga memungkinkan organisasi ini mencuci uang di tempat yang sukar teridentifikasi. Akibatnya, AS dan negara-negara Barat lainnya sulit membekukan aset-aset Al Qaidah.
Dalam analisis Marc Sageman (2004), operasi Al Qaidah di negara-negara tersebut merupakan bentuk pendirian the terrorist hubs untuk menopang aktivitas the terrorist nodes di berbagai negara. The terrorist hubs dan the terrorist nodes Dalam analisis Marc Sageman (2004), operasi Al Qaidah di negara-negara tersebut merupakan bentuk pendirian the terrorist hubs untuk menopang aktivitas the terrorist nodes di berbagai negara. The terrorist hubs dan the terrorist nodes
Dengan jaringan semacam ini, Al Qaidah sebenarnya telah mewaralabakan terorisme. Al Qaidah tidak perlu melancarkan serangan terorisme secara langsung, tetapi cukup menyediakan dukungan dana dan pelatihan militer kepada gerakan-gerakan perlawanan terhadap AS. Gerakan-gerakan perlawanan yang dibina Al Qaidah inilah yang nantinya akan menyerang kepentingan-kepentingan AS di seluruh dunia.
Serangan Balasan Dalam keyakinan jaringan terorisme, mata harus dibalas
dengan kepala. Kematian seorang pemimpin gerakan perlawanan harus dibayar secara setimpal dengan membunuh sebanyak mungkin pihak musuh. Aksi reaktif semacam ini terindikasi dalam serangan terorisme setahun terakhir di Indonesia. Penyerangan Mapolsek Hamparan Perak pada 22 September 2010 dan bom bunuh diri di Mapolres Cirebon pada
15 April 2011 merupakan balasan atas penangkapan sejumlah pemimpin jaringan terorisme.
Tidak tertutup kemungkinan reaksi serupa akan dilancarkan jaringan Al Qaidah. Bagi Al Qaidah, serangan balasan tidaklah sulit dilakukan. Serangan balasan akan otomatis muncul dari the terrorist nodes jika sang pemimpin yang selama ini mereka patuhi dan selalu menginspirasi gerakan mereka tiba-tiba saja terbunuh oleh serangan musuh. Serangan balasan itu tidak harus dilakukan di Pakistan atau AS, tetapi bisa dilakukan di wilayah negara lain yang dirasa potensial.
Apalagi, meskipun telah ditinggalkan Usamah, struktur organisasi Al Qaidah sebenarnya tidak akan goyah karena masih ada Ayman Al Zawahiri yang selama ini memegang kendali operasi. Dia akan tetap disokong oleh Anwar Al Awlaki yang mengendalikan aksi terorisme dari Yaman. Keduanya dapat dipastikan akan melanjtkan perjuangan Usamah untuk melawan AS.
Karena itu, aksi terorisme tidak akan mati meskipun Usamah telah tewas. Dalam jaringan terorisme, satu pemimpin tewas pasti akan digantikan oleh pemimpin lainnya yang siap menebar teror lebih dahsyat. AS semestinya memahami bahwa penyelesaian terorisme bukan dengan membunuh para pemimpin gerakan teroris, tetapi menciptakan tata dunia yang berkeadilan. Sebab, sesungguhnya ketidakadilan global merupakan akar masalah terorisme.
2 Mei 2011