Lima Pelajaran dari Pemilu AS
Lima Pelajaran dari Pemilu AS
emilu Amerika Serikat pada 4 November 2008 benar- benar menghadirkan warna-warni sejarah yang mengandung pelajaran berharga bagi kita bangsa
Indonesia. Pemilu yang dimenangkan Barack Obama itu tak hanya tercatat sebagai pesta demokrasi paling meriah dalam sejarah politik AS, tapi juga pergantian kekuasaan paling monumental dalam sejarah perjuangan warga kulit hitam.
Meriah karena sekitar 135 juta orang berpartisipasi dalam pemilu ini. Itu berarti angka tertinggi dalam sejarah pemilu AS. Monumental karena untuk pertama kalinya warga kulit hitam terpilih sebagai presiden AS. Pada 1960-an, ketika perjuangan politik antidiskriminasi melawan paham rasial membuahkan hasilnya dengan dikeluarkannya sejumlah undang-undang hak sipil, tidak ada yang berani memperkirakan seorang warga kulit hitam keturunan Afro-Amerika bisa menjadi presiden. Karena itu, setelah Obama dipastikan terpilih sebagai presiden, sejarah baru telah tercipta!
Di balik semua rangkaian pemilu bersejarah itu, ada empat pelajaran yang bisa kita petik. Pertama, seleksi calon presiden AS dilaksanakan melalui proses bottom up yang menempatkan anggota partai di level paling bawah sebagai penentu utama. Obama dan John McCain terpilih sebagai capres di partainya masing-masing tidak melalui penunjukan para elite partai, melainkan dipilih oleh mayoritas anggota partai dalam primary di seluruh negara bagian.
Dalam mekanisme semacam itu, semua elemen partai dari semua tingkatan memiliki hak sama. Hak pejabat partai dalam memilih capres tak ada bedanya dengan hak anggota biasa. Tak peduli tua atau muda, tak peduli senior atau yunior, tak peduli pimpinan atau bawahan, posisi mereka setara. Tak ada oligarki kelompok tertentu. Karena itu, capres yang terpilih adalah capres yang benar-benar mengakar dan memahami kebutuhan masyarakat bawah.
Ini sangat berbeda dengan proses penominasian capres di partai-partai negeri kita. Seluruh capres yang telah muncul untuk bertarung pada 2009 adalah sosok yang sangat elitis. Mereka menjadi capres bukan karena dinominasikan oleh sebagian besar pemilih di partainya, melainkan ditunjuk oleh pejabat partai. Bahkan ada pula yang mendeklarasikan dirinya sendiri tanpa mengukur terlebih dulu tingkat kepercayaan rakyat padanya.
Kedua, dalam pemilu AS, masyarakat luas terlibat dalam penggalangan dana kampanye capres. Mereka dengan sukarela menyisihkan sebagian uangnya. Hebatnya, ketika menyumbang, mereka tak menuntut konsesi apapun. Kalaupun ada, mereka hanya menginginkan capres yang mereka dukung mampu mewujudkan sebuah kehidupan yang lebih baik.
Cara paling modern dilakukan Obama dengan memanfaatkan internet untuk menjaring pendukung dan mengumpulkan dana. Melalui situs jejaring sosial seperti Facebook, Friendster, My Space, dan You Tube, Obama mendapatkan dana dari jutaan pendukungnya yang menyumbang secara online. Dengan cara seperti itu, Obama mampu meraup dana 38 juta dolar, hanya dari internet.
Di Indonesia, kita tak terbiasa melakukan itu. Kebanyakan sumbangan yang mengalir ke kantong capres berasal dari orang- orang tertentu yang tidak gratisan, alias penuh dengan kepentingan untuk memenangkan tender-tender proyek Di Indonesia, kita tak terbiasa melakukan itu. Kebanyakan sumbangan yang mengalir ke kantong capres berasal dari orang- orang tertentu yang tidak gratisan, alias penuh dengan kepentingan untuk memenangkan tender-tender proyek
Ketiga, pemilu AS mempertontonkan sebuah pertunjukan demokrasi yang indah. Obama dan McCain adalah sosok capres yang siap menang siap kalah. Itu tak hanya keluar dari bibir, tapi juga terungkap secara nyata.
Setelah dipastikan kalah, McCain menelepon Obama untuk mengucapkan selamat. Sejenak kemudian, ia berpidato di hadapan pendukungnya untuk mengakui kekalahannya dan mengajak pendukungnya untuk mendukung Obama sebagai presiden terpilih. Obama juga melakukan hal sama. Dalam pidato kemenangannya di Chicago, ia mengucapkan selamat kepada McCain atas pencapaian luar biasa yang diraihnya. Bahkan, ia juga memuji McCain sebagai pemimpin pemberani yang telah lama berkorban demi Amerika.
Kita rakyat Indonesia belum pernah sekalipun menyaksikan momen semacam itu dalam setiap kali pergantian presiden. Contoh terakhir tahun 2004, ketika Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden mengalahkan capres incumbent Megawati Soekarnoputri, sama sekali tak ada adegan saling mengucapkan selamat di antara keduanya. Lebih tragis lagi, sejak saat itu, mereka tak pernah sekalipun bertemu atau hanya bertegur sapa.
Jelas, ini bukanlah contoh bagus bagi perkembangan demokrasi kita. Sebab, demokrasi meniscayakan mekarnya kedewasaan berpolitik dalam berperilaku. Salah satu kedewasaan itu adalah dengan berlapang dada menerima kekalahan dalam kompetisi politik. Kesiapan tak hanya ketika menang, tetapi juga ketika kalah. Sikap semacam itulah yang mampu meredam konflik yang mungkin saja muncul akibat kekecewaan salah satu pihak.
Keempat, Amerika membuktikan bahwa tanahnya adalah tempat berpijak semua golongan, baik mayoritas maupun minoritas. Amerika juga telah meraih salah satu impiannya untuk menempatkan semua orang, apapun latar belakangnya, dalam posisi setara.
Selama ini, AS selalu menganggap dirinya sebagai pangeran demokrasi. Tapi pada kenyataannya, pilar demokrasi yang menempatkan semua warga dalam posisi setara tak terwujud di situ. Bertahun-tahun AS dikotak-kotakkan oleh segregrasi ras. Warga kulit hitam dianggap sebagai warga kelas dua. Mereka tak memiliki kesempatan sama seperti halnya orang kulit putih.
Namun, terpilihnya Obama yang berasal dari golongan minoritas telah meleburkan segmentasi itu. Kemenangan Obama memberikan pelajaran pada kita bahwa siapapun berhak mencalonkan diri dan bertarung memperebutkan jabatan politik dan terpilih menduduki jabatan itu.
Dalam demokrasi, hak-hak kaum minoritas harus dihargai sejajar dengan mayoritas. Demokrasi tak mengenal kulit putih atau kulit hitam, yang ada hanyalah warga negara dengan hak- hak politik sama di depan hukum.
Kelima, AS menyelenggarakan pemilu secara serentak. Pada
4 November lalu, rakyat AS tak hanya memilih presiden dan wakil presiden, tapi juga memilih senator di 33 negara bagian, memilih gubernur di 11 negara bagian, dan memilih 438 anggota House of Representatives di seluruh negara bagian. Pengaturan waktu secara bersamaan seperti ini dapat menghindarkan rakyat dari rasa jenuh karena harus memilih berkali-kali sehingga memungkinkan tingginya tingkat partisipasi rakyat..
Di Indonesia, pemilihan presiden dilaksanakan tersendiri. Pemilu anggota DPR/DPRD dan DPD juga dilaksanakan terpisah dengan pemilihan pemimpin eksekutif. Pemilihan kepala daerah juga dijalankan dalam waktu yang berbeda dengan pemilihan pimpinan eksekutif dan legislatif lainnya. Hal ini membuat Di Indonesia, pemilihan presiden dilaksanakan tersendiri. Pemilu anggota DPR/DPRD dan DPD juga dilaksanakan terpisah dengan pemilihan pemimpin eksekutif. Pemilihan kepala daerah juga dijalankan dalam waktu yang berbeda dengan pemilihan pimpinan eksekutif dan legislatif lainnya. Hal ini membuat
Dalam kondisi semacam ini, kejenuhan bisa jadi menyergap rakyat, apalagi jika aneka pemilu itu dilaksanakan dalam waktu berdekatan. Akibatnya, harapan untuk meningkatkan partisipasi politik rakyat hanya harapan kosong di siang bolong. Angka golput dapat dipastikan semakin tinggi. Pelajarannya, untuk meningkatkan partisipasi politik rakyat, perlu dipikirkan untuk menggabungkan pelaksanaan pemilihan presiden, pemilihan anggota DPR/DPRD dan DPD, serta pilkada dalam satu waktu.
11 November 2008