Teroris Besar vs Teroris Kecil

Teroris Besar vs Teroris Kecil

edakan bom di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriot pada

17 Juli 2009 membuktikan aksi terorisme masih marak di Indonesia. Bom yang menewaskan sembilan jiwa dan

melukai 62 orang itu merupakan bom ke-20 yang meledak di negara kita sepanjang sepuluh tahun terakhir. Sejak Bursa Efek Jakarta diledakkan pada 13 September 2000, rakyat negeri ini tak pernah lepas dari bayang-bayang teror. Serangkaian serangan teroris telah menghantui banyak warga negara Indonesia, meskipun sasaran sesungguhnya adalah warga negara asing.

Besar kemungkinan, Hotel Ritz Carlton dan JW Marriot dijadikan sasaran karena kedua hotel itu adalah simbol eksistensi kepentingan AS. Itu berarti target serangan teroris sebenarnya bukanlah Indonesia, tetapi obyek-obyek vital yang menjadi kepentingan strategis negara-negara Barat. Kenyataan ini memunculkan pertanyaan tentang alasan dipilihnya obyek- obyek vital itu sebagai sasaran aksi terorisme di Indonesia.

Bias Politik dan Ideologi Dilihat dari definisinya, Martin Griffiths dan Terry

O’Callaghan (2002) membagi terorisme menjadi empat jenis. Pertama, transnational organised crime, adalah kelompok kriminal yang beroperasi melintasi batas-batas negara dengan menggunakan kekerasan untuk melindungi kepentingannya. Kedua, state-sponsored terrorism, yakni negara yang memberikan dukungan logistik, menyediakan persenjataan, dan O’Callaghan (2002) membagi terorisme menjadi empat jenis. Pertama, transnational organised crime, adalah kelompok kriminal yang beroperasi melintasi batas-batas negara dengan menggunakan kekerasan untuk melindungi kepentingannya. Kedua, state-sponsored terrorism, yakni negara yang memberikan dukungan logistik, menyediakan persenjataan, dan

Berdasarkan pendapat itu, terorisme dapat dikatakan sebagai aksi kekerasan dalam bentuk pengacauan keamanan yang dilancarkan oleh individu, kelompok, maupun negara untuk mengancam pihak lain demi mencapai tujuan-tujuan bernuansa politik. Namun, AS mempersempitnya secara sepihak dengan menuding teroris adalah pihak-pihak yang mengancam kepentingannya. Hal itu terbukti dengan ditetapkannya Al Qaeda, Jamaah Islamiyah, Hizbullah dan Hamas sebagai organisasi teroris; Iran dan Suriah sebagai negara sponsor terorisme; dan Osama bin Laden sebagai individu pelaku terorisme.

Dengan demikian, arti asli terorisme menjadi terlupakan dan istilah ini lalu ditujukan terutama untuk pembalasan oleh individu atau kelompok terhadap pihak yang lebih kuat. Noam Chomsky (2001) mencatat, “Walaupun istilah ini pernah diterapkan kepada para kaisar yang menindas rakyat mereka sendiri dan dunia, namun sekarang pemakaiannya dibatasi hanya untuk pengacau-pengacau yang mengusik pihak yang kuat.”

Melihat realita itu, upaya untuk memberikan stempel teroris kepada suatu pihak tidak akan lepas dari bias politik maupun ideologi. Bagi AS dan banyak negara Barat lainnya, Osama dan Al Qaeda adalah teroris. Sebaliknya bagi Osama dan Al Qaeda, AS dan Israel beserta negara-negara lain yang mendukungnya adalah teroris sesungguhnya. Sebab, negara-negara itulah yang bertanggung jawab atas aneka kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan di seluruh dunia, seperti pendudukan wilayah

Palestina, agresi AS ke Afghanistan (2001), dan invasi Irak (2003),

Karena itu, dapat dipahami bahwa serangan kelompok- kelompok tertentu terhadap kepentingan Barat merupakan pembalasan atas tindakan kekerasan yang dilakukan negara- negara Barat. Mengingat aksi mereka juga bertujuan politis, kita bisa menyebut mereka yang diserang dan menyerang sebagai teroris. Bedanya, kelompok-kelompok dengan kekuatan kecil seperti Al Qaeda dan Jamaah Islamiyah adalah teroris kecil yang merasa tertindas, sedangkan agresor dengan kekuatan besar seperti AS dan Israel adalah teroris besar yang memerankan diri sebagai state terrorism.

Arena Pertarungan Aksi terorisme yang terjadi di seluruh dunia mencerminkan

adanya pertarungan antara teroris kecil melawan teroris besar. Teroris kecil yang selalu dicitrakan oleh media sebagai the real terrorist merasa tak memiliki daya dalam menghadapi penindasan yang dilakukan teroris besar.

Jika teroris kecil hanya memiliki bom, sebaliknya teroris besar tak hanya memiliki bom, tetapi juga kendaran tempur, pasukan terlatih, persenjataan canggih, dan anggaran besar. Dengan kekuatan yang timpang itu, teroris kecil tak memiliki kemampuan untuk bertempur head to head dengan teroris besar. Karena itu, satu-satunya cara yang bisa dilakukan teroris kecil adalah dengan meledakkan sasaran-sasaran antara yang tak terkait langsung dengan teroris besar, tetapi masih masuk dalam lingkaran kepentingan teroris besar.

Celakanya, Indonesia dijadikan arena pertarungan di antara mereka. Banyaknya sasaran antara yang menjadi simbol kepentingan teroris besar di Indonesia membuat negeri ini menjadi arena pertarungan yang semarak. Sebagai contoh, Celakanya, Indonesia dijadikan arena pertarungan di antara mereka. Banyaknya sasaran antara yang menjadi simbol kepentingan teroris besar di Indonesia membuat negeri ini menjadi arena pertarungan yang semarak. Sebagai contoh,

Tak heran apabila sasaran teroris kecil di Indonesia tak terkait langsung dengan kepentingan negeri ini. Buktinya, semua aksi terorisme di Indonesia terjadi di lokasi yang sangat lekat dengan kepentingan teroris besar. Ledakan bom Bali I (12 Oktober 2002), Hotel JW Marriot (5 Agustus 2003), Kedutaan Besar Australia (9 September 2004), Bali II (21 Maret 2005), Hotel Ritz Carlton dan JW Marriot (17 Juli 2009) sesungguhnya dimaksudkan untuk menggoyang hegemoni Barat.

Karena itu, yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah menetapkan teroris kecil dan teroris besar sebagai musuh bersama. Pemerintah harus menyatakan perang terhadap aksi terorisme, entah itu terorisme yang dilakukan oleh individu atau kelompok tertentu, maupun terorisme yang dijalankan negara. Pernyataan itu penting dan mendesak diucapkan guna menyiratkan pesan bahwa kita tidak gentar melawan teroris. 

31 Juli 2009