Mesir Pasca-Mubarak

Mesir Pasca-Mubarak

engunduran diri Hosni Mubarak dari kursi presiden pada Jumat, 11 Februari 2011, sesungguhnya bukanlah akhir krisis politik yang melanda Mesir, melainkan awal

ketidakpastian politik yang semakin memperumit transisi kekuasaan di negara ini. Peralihan kekuasaan dari Mubarak kepada Dewan Agung Militer yang dipimpin oleh Hussein Tantawi menjadikan masa depan Mesir kini berada di tangan militer. Situasinya semakin rumit ketika oposisi tidak satu suara dalam menyikapi perkembangan ini di tengah bayang-bayang intervensi AS dan Israel sebagai negara yang paling berkepentingan dengan pergantian rezim di Mesir.

Transisi Semu Keputusan Mubarak untuk mengalihkan tugas-tugas

pemerintahan dan kenegaraan kepada militer merupakan pertanda bahwa perwira Angkatan Udara ini tidak ingin transisi kekuasaan di Mesir berjalan tanpa kontrolnya. Sebagai pahlawan Perang Arab-Israel 1973 yang kemudian dipilih Anwar Sadat sebagai wakil presiden dan lantas menjadi presiden selama 30 tahun, Mubarak merupakan figur yang sangat berpengaruh dan memiliki banyak pengikut setia di dalam militer. Karena itu, meskipun tidak lagi berkuasa, besar kemungkinan Mubarak tetap memegang peran sentral dalam mengawal transisi kekuasaan agar sesuai dengan kepentingannya melalui intervensinya terhadap militer.

Dalam beberapa kesempatan, Mubarak sering mengatakan bahwa dia tidak bersedia mengundurkan diri karena kalau dia melakukannya, situasi Mesir akan semakin kacau. Walaupun demonstrasi yang menentang kekuasaannya telah menewaskan lebih dari 300 orang, Mubarak juga tetap bersikukuh mempertahankan kekuasaannya. Berbagai cara dilakukan Mubarak agar dirinya tetap menjadi presiden, termasuk yang terakhir adalah ketika sehari sebelum mundur (10/2), dia menawarkan amandemen lima pasal konstitusi, yaitu Pasal 76,

77, 88, 93, dan 189, serta menghapus Pasal 179 tentang hukum darurat di Mesir.

Pasal 76 menegaskan bahwa partai-partai bisa mengajukan calon presiden jika memiliki tiga persen anggota di parlemen sehingga hanya partai pro-Mubarak, National Democratic Party (NDP), yang dapat mencalonkan presiden. Pasal 77 memungkinkan presiden menjabat dalam jangka waktu tak terbatas sehingga Mubarak dapat selalu terpilih kembali setiap kali pemilu. Pasal 88 mengatur pengawasan pemilu yang selama ini dilakukan kubu Mubarak.

Pasal 93 memberikan kewenangan kepada parlemen untuk mengesahkan keanggotaan Dewan Shura (parlemen) sehingga seringkali partai-partai selain NDP terganjal masuk ke lembaga legislatif ini. Pasal 189 adalah pasal yang memberikan kekuasaan luas kepada presiden dan parlemen untuk meminta amandemen konstitusi sehingga kubu Mubarak dapat mengubah konstitusi sesuai kehendak hatinya. Pasal 179 menjamin pemberlakuan hukum darurat di Mesir sejak 1981 sehingga memungkinkan aparat keamanan menahan para penentang rezim Mubarak tanpa melewati proses pengadilan.

Melalui serangkaian aturan dalam konstitusi tersbut, tampak bahwa rezim Mubarak telah menutup semua kemungkinan yang mampu meruntuhkan kekuasaannya. Oleh sebab itu, pengunduran diri Mubarak sejatinya hanyalah strategi agar kekuasaan tidak jatuh ke tangan oposisi, melainkan tetap dalam Melalui serangkaian aturan dalam konstitusi tersbut, tampak bahwa rezim Mubarak telah menutup semua kemungkinan yang mampu meruntuhkan kekuasaannya. Oleh sebab itu, pengunduran diri Mubarak sejatinya hanyalah strategi agar kekuasaan tidak jatuh ke tangan oposisi, melainkan tetap dalam

Apalagi, kelompok oposisi tidak memiliki kandidat presiden yang dapat diterima semua kalangan karena tiadanya satu pemimpin yang berpengaruh. Mohammed El Baradei yang selama ini disebut-sebut berpeluang menggantikan Mubarak dicurigai memanfaatkan demonstrasi anti-Mubarak untuk ambisi pribadi meraih kursi presiden karena dia baru terlibat beberapa hari setelah demonstrasi berlangsung. Baradei dinilai terlalu elitis dan tidak memahami penderitaan ekonomi yang dialami rakyat Mesir karena selama ini dia menghabiskan hidupnya di luar negeri.

Ayman Nour yang merupakan kompetitor Mubarak pada pemilu presiden 2005 dipandang tidak lagi menjanjikan harapan. Sementara itu, meskipun Ikhwanul Muslimin memiliki banyak pendukung yang tersebar di berbagai kota, tetapi banyak elit politik dan elit agama (seperti ulama Al Azhar) Mesir yang tidak sepaham dengan gerakan Islam ini sehingga dikhawatirkan menimbulkan perpecahan.

Intervensi Asing Kondisi ketidakpastian inilah yang rawan dimanfaatkan oleh

kekuatan-kekuatan asing yang berkepentingan dengan transisi kekuasaan di Mesir, seperti Amerika Serikat dan Israel. Selama ini, rezim Mubarak sangat bersahabat dan menjadi mitra strategis dua negara itu di Timur Tengah. Posisi Israel selalu aman dalam geopolitik konflik Timur Tengah karena Mubarak berani melawan arus pemimpin-pemimpin Arab lainnya dengan mendukung Israel. Wajar jika Israel khawatir Mesir jatuh ke kekuatan-kekuatan asing yang berkepentingan dengan transisi kekuasaan di Mesir, seperti Amerika Serikat dan Israel. Selama ini, rezim Mubarak sangat bersahabat dan menjadi mitra strategis dua negara itu di Timur Tengah. Posisi Israel selalu aman dalam geopolitik konflik Timur Tengah karena Mubarak berani melawan arus pemimpin-pemimpin Arab lainnya dengan mendukung Israel. Wajar jika Israel khawatir Mesir jatuh ke

Di samping itu, rezim Mubarak juga memiliki hubungan sangat dekat dengan AS. Keputusan Presiden Barack Obama berpidato kepada dunia muslim di Kairo pada 2009 lalu mencerminkan posisi strategis Mesir bagi pencapaian kepentingan AS. Karena itu, meskipun Obama mendesak Mubarak untuk memuluskan transisi kekuasaan, sesungguhnya dia juga khawatir Mesir jatuh ke tangan penguasa yang anti-AS.

Dalam posisi demikian, tidak ada jalan lain bagi kedua negara itu untuk mendukung kepemimpinan militer dalam mempersiapkan pemilu presiden sambil mendorong para pemimpin yang masih termasuk dalam kubu Mubarak, seperti Wakil Presiden Omar Suleiman, untuk mencalonkan diri. Jika hasilnya tidak sesuai harapan, hampir dapat dipastikan AS dengan dukungan Israel menolak keabsahan pemilu tersebut seperti yang mereka lakukan ketika tidak mengakui kemenangan Hamas pada Pemilu Palestina tahun 2006 dan kemenangan Mahmoud Ahmadinejad pada Pemilu Iran tahun 2009. 

14 Februari 2011