Indonesia di Bukan Negara Gagal
PENGANTAR
Syukur alhamdulillah, atas berkat rahmat Allah SWT, buku berjudul Indonesia (Bukan) Negara Gagal?: Refleksi Seorang Akademisi dapat aku selesaikan. Buku ini merupakan kumpulan opiniku yang terdiri dari 52 tulisan. Semua tulisan yang telah dipublikasikan di situs pribadiku (www.asafril.com) itu merupakan bentuk refleksiku sebagai akademisi Hubungan Internasional dalam meganalisis berbagai fenomena intermestik (internasional-domestik). Publikasi dalam buku ini merupakan upaya untuk semakin menyebarluaskan gagasan-gagasan yang terkandung dalam 52 tulisan itu sehingga diharapkan bermanfaat bagi lebih banyak orang. Judul buku ini diambil dari salah satu dari 52 tulisan tersebut.
Kumpulan opiniku dapat diterbitkan menjadi buku karena peran serta para kolega dosen di Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga beserta para staf administrasinya. Selain itu, para mahasiswa juga memiliki kontribusi signifikan dalam serangkaian diskusi denganku.
Aku menyadari, buku ini pasti belum sempurna. Atas dasar itu, masukan dari pembaca sangat aku butuhkan untuk memperbaiki karya ini sehingga semakin berkualitas di kemudian hari. Dengan begitu, aku berharap karya ini bermanfaat luas tidak hanya bagi pembaca, tetapi juga perkembangan Ilmu Hubungan Internasional. Terima kasih.
Surabaya, 10 Oktober 2014 @asafril
iii
DAFTAR ISI
Pengantar | iii Daftar Isi | iv
1. Strategi AS Memerangi ISIS
2. Perang Teror ISIS v AS
3. Thailand Pasca-Kudeta
4. Merangkul Asia, Mengepung Tiongkok
5. Skenario Masa Depan Thailand
6. Agenda Terselubung AS di Syria
7. Mendorong Rekonsiliasi Mesir
8. Indonesia (Bukan) Negara Gagal
9. Warisan Ahmadinejad, Tantangan Rouhani
10. Terorisme dan Media Massa
11. Bom Boston dan Serigala Kesepian
12. Sikap Tegas Menentang Israel
13. Pesan di Balik Teror Solo
14. Menyelamatkan Etnis Rohingya
15. Mesir di Tangan Mursi
16. Pertarungan Romney vs Obama
iv
17. Skenario Masa Depan Suriah
18. JAT, Organisasi Teroris?
19. Perang Sanksi Iran v Barat
20. Peluang Romney Menantang Obama
21. AS Pergi, Kekacauan Hantui Irak
22. Strategi AS Menghadang Tiongkok
23. Metamorfosis Aksi Teror
24. Terorisme via Internet
25. Jalan Palestina Menuju Kemerdekaan
26. Terorisme Masih Jadi Ancaman 101
27. Terorisme Pasca-Usamah 105
28. Terorisme dan Negara Gagal 109
29. Skenario Masa Depan Libya 113
30. Mesir Pasca-Mubarak 117
31. Kemitraan Komprehensif RI-AS Tidak Strategis 121
32. (Jangan) Berharap kepada Obama 125
33. Cukup Sudah Malaysia! 129
34. Negara di Tapal Batas 133
35. Warisan Arroyo dan Tantangan Noynoy 137
36. Jepang di Tangan Kan 141
37. Belajar dari Jepang 145
38. Satu Suara Lawan Israel 149
39. Pelajaran dari Krisis Thailand 153
40. Strategi Kultural Menumpas Terorisme 157
41. Tantangan Pendidikan di Era Globalisasi 161
42. Sikap Strategis Sambut Obama 165
43. Pelajaran dari Kudeta Niger 169
44. Toyota, Kerikil Hubungan Jepang-AS 173
45. Perang Maya China vs AS 177
46. Mendorong Internasionalisasi Batik 181
47. Obama, Islam, dan 9/11 185
48. Teroris Besar vs Teroris Kecil 189
49. Pilpres di Mata Internasional 193
50. Pelajaran dari Pilpres Iran 197
51. Lima Pelajaran dari Pemilu AS 201
52. Dicari, Pendamping Obama! 206
vi
Strategi AS Memerangi ISIS
idato Presiden Barack Obama tentang strategi Amerika Serikat memerangi Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) di Gedung Putih, Rabu (10/9/2014), membuka kembali
babak baru perang melawan terorisme. Menyikapi ancaman teror ISIS yang telah memenggal kepala dua warga negaranya (James Foley dan Steven Sotlof), Obama menegaskan bahwa AS “will degrade and ultimately destroy ISIL through a comprehensive and sustained counter-terrorism strategy.” Dalam pernyataannya yang disampaikan sehari sebelum peringatan 13 tahun tragedi 9/11, Obama mengungkapkan ada empat strategi yang diputuskan AS.
Pertama, AS akan melancarkan serangan udara sistematis terhadap basis pertahanan ISIS. Kedua, AS bakal meningkatkan dukungan militer dengan mengirimkan tambahan 475 tentara yang bertugas melatih pasukan Irak dan oposisi Suriah untuk bertempur melawan militan ISIS. Ketiga, AS berupaya terus memperkuat kapabilitas antiterornya untuk menangkal serangan ISIS. Keempat, AS tetap menyediakan bantuan kemanusiaan untuk warga sipil yang terusir dari tempat tinggalnya akibat pendudukan ISIS di Irak dan Suriah.
Jika dicermati, strategi Obama serupa tapi tak sama dengan strategi George W. Bush ketika menghadapi Al Qaeda. Kedua presiden itu merespon ancaman jaringan terorisme global dengan aksi militer. Namun, perbedaan lawan yang dihadapi dan skala ancaman yang diterima menjadikan pendekatan mereka tidak sejalan. Jika Bush mengerahkan tentara langsung untuk Jika dicermati, strategi Obama serupa tapi tak sama dengan strategi George W. Bush ketika menghadapi Al Qaeda. Kedua presiden itu merespon ancaman jaringan terorisme global dengan aksi militer. Namun, perbedaan lawan yang dihadapi dan skala ancaman yang diterima menjadikan pendekatan mereka tidak sejalan. Jika Bush mengerahkan tentara langsung untuk
Meskipun demikian, derajat peringatan yang ditebarkan Obama kepada dunia setara dengan Bush. Ketika mendeklarasikan perang melawan terorisme pada 20 September 2001, Bush mengatakan “either you are with us, or you are with the terrorists.” Bush seolah menarik garis batas tegas bahwa mereka yang tidak bergabung dengan AS berarti menyokong teroris. Penegasan hampir mirip dengan diksi berbeda diungkapkan Obama yang mengatakan “if you threaten America, you will find no safe haven.” Kata-kata Obama itu mengesankan bahwa AS akan memburu siapapun yang mengancam negara adidaya ini dan memastikan mereka tidak memiliki tempat aman dimanapun mereka berada.
Dengan demikian, Obama telah membuka kembali lembaran lama era Bush yang sebelumnya telah ditutup oleh mantan senator Illinois ini selama enam tahun berkuasa. Walaupun dengan pendekatan lain, Obama meniru langkah Bush yang cenderung mengandalkan hard power. Hal ini tentu kontradiktif dengan kebijakan Obama di awal pemerintahannya yang lebih mengutamakan soft power dalam menangani berbagai konflik dunia sehingga membuatnya dianugerahi nobel perdamaian pada 2009.
Tantangan Jaringan terorisme yang dihadapi AS masa kini bukanlah
aktor yang sama dengan masa lalu. Berbeda dengan Al Qaeda yang pola serangannya menusuk ke jantung pertahanan suatu negara melalui pengeboman yang dilancarkan oleh jaringannya aktor yang sama dengan masa lalu. Berbeda dengan Al Qaeda yang pola serangannya menusuk ke jantung pertahanan suatu negara melalui pengeboman yang dilancarkan oleh jaringannya
Buktinya, banyak orang yang bersimpati pada ISIS dan membenci AS akhirnya bergabung dalam organisasi pimpinan Abu Bakar al Baghdadi ini. Al Jazeera (19/8) melaporkan, Juli lalu, ISIS berhasil merekrut anggota baru hingga mencapai 6.000 orang, seribu di antaranya berasal dari Checnya, Timur Tengah, dan Eropa. Di Eropa, Inggris merupakan pusat rekrutmen terbesar. Bahkan, kuat dugaan eksekutor Foley dan Sotlof adalah warga Inggris karena dia berbicara dalam bahasa Inggris fasih dengan aksen British.
Inilah tantangan utama yang harus diatasi AS. Kegagalan dalam mengatasi tantangan ini akan berakibat pada meluasnya jaringan ISIS. Pada gilirannya, hal itu berpotensi mengglobalkan ideologi ISIS sehingga bermunculan sel-sel kecil yang siap menebar teror di sejumlah negara. Untuk menangkalnya, Obama berencana menjalin koalisi dengan negara-negara lain guna “redouble our efforts to cut off its funding; improve our intelligence; strengthen our defenses; counter its warped ideology; and stem the flow of foreign fighters into, and out of, the Middle East.”
Persoalannya, bukan perkara mudah untuk melaksanakan strategi itu. Sebab, seperti layaknya negara, ISIS mengontrol sebagian wilayah teritorial Irak dan Suriah dengan memberlakukan sistem keamanan ketat. ISIS menguasai segala sumber daya di wilayah itu yang dapat dieksploitasi untuk mendanai operasi mereka. Dengan canggih, ISIS memanfaatkan media-media sosial seperti Facebook dan Twitter untuk memikat pengikut-pengikut baru. Saking canggihnya, Roula Khalaf dan Sam Jones dalam artikelnya di Financial Times (16/6) Persoalannya, bukan perkara mudah untuk melaksanakan strategi itu. Sebab, seperti layaknya negara, ISIS mengontrol sebagian wilayah teritorial Irak dan Suriah dengan memberlakukan sistem keamanan ketat. ISIS menguasai segala sumber daya di wilayah itu yang dapat dieksploitasi untuk mendanai operasi mereka. Dengan canggih, ISIS memanfaatkan media-media sosial seperti Facebook dan Twitter untuk memikat pengikut-pengikut baru. Saking canggihnya, Roula Khalaf dan Sam Jones dalam artikelnya di Financial Times (16/6)
Karena itu, Obama tidak cukup hanya berpikir hard power dengan menggelar serangan udara seraya mempersenjatai tentara Irak, tetapi juga harus mengandalkan smart power dengan terus mempercanggih jaringan sistem informasi AS dan negara-negara lain agar mampu menutup akses ISIS di dunia maya. Jika tidak, jangan pernah berharap ideologi ISIS mati selamanya.
11 September 2014
Perang Teror ISIS v AS
elang peringatan 13 tahun tragedi 911 pada Kamis, 11 September 2014, Amerika Serikat dihujani teror video pemenggalan kepala dua jurnalisnya, James Foley dan
Steven Sotlof, oleh kelompok militan Islamic State in Iraq and Syria (ISIS). Pada 19 Agustus 2014, ISIS mempublikasikan video pemenggalan kepala Foley sekaligus mengancam akan melakukan hal serupa pada jurnalis AS lainnya jika negara ini tidak menghentikan aksi militernya di Syria. Ancaman itu benar-benar diwujudkan seiring dengan jatuhnya Sotlof sebagai korban kedua ISIS.
Dalam video yang dirilis pada Selasa pekan lalu (2/9), militan ISIS kembali mengumandangkan pesan perlawanan kepada Presiden Barack Obama dengan menegaskan: “I'm back, Obama, and I'm back because of your arrogant foreign policy towards the Islamic State, because of your insistence on continuing your bombings and on Mosul Dam, despite our serious warnings. So just as your missiles continue to strike our people, our knife will continue to strike the necks of your people.”
Mencermati pernyataan eksekutor Sotlof tersebut, tampak bahwa aksi mengerikan itu sengaja dilakukan ISIS sebagai balasan atas serangan militer yang dilancarkan oleh AS ke wilayah utara Iraq. Sejak Juni lalu, Obama mengirimkan pasukan ke Iraq tidak hanya untuk melindungi kepentingan strategis AS di negara ini, tetapi juga untuk membantu Mencermati pernyataan eksekutor Sotlof tersebut, tampak bahwa aksi mengerikan itu sengaja dilakukan ISIS sebagai balasan atas serangan militer yang dilancarkan oleh AS ke wilayah utara Iraq. Sejak Juni lalu, Obama mengirimkan pasukan ke Iraq tidak hanya untuk melindungi kepentingan strategis AS di negara ini, tetapi juga untuk membantu
Kebijakan itu dianggap ISIS sebagai sebuah bentuk terorisme negara yang harus diperangi juga melalui serangan teror. Mengingat ISIS tidak memiliki kapabilitas militer sekuat AS, maka yang bisa mereka lakukan hanyalah membunuh warga negara AS secara sadis dan menyebarkan video pembunuhan itu sebagai pesan ancaman yang mampu menggaungkan teror menakutkan. Karena itu, situasi yang kini terjadi sebenarnya merupakan perang teror antara ISIS dan AS.
Jika dibandingkan, ISIS dan AS sesungguhnya memiliki kekuatan yang sangat tidak seimbang. AS adalah negara superpower yang mampu memaksa aktor-aktor internasional lain untuk tunduk pada kemauannya. Sementara, ISIS tidak dapat disetarakan dengan negara-negara berdaulat lain yang mampu mengontrol segenap sumber daya dalam wilayah teritorialnya. ISIS hanya memiliki tekad dan semangat jihad salah kaprah yang distimulus oleh identitas keagamaan untuk melawan mereka yang tidak sepaham dengannya. Meskipun menyebut dirinya sebagai negara, pada hakikatnya ISIS bukanlah negara, melainkan sebatas organisasi yang menggunakan agama sebagai simbol identitasnya.
Simbol Identitas Meminjam istilah Mary Kaldor (2006, 80-82), perlawanan
ISIS terhadap AS dapat disebut sebagai new war. Berbeda dengan perang tradisional yang melibatkan antarnegara, perang baru di era kekinian muncul sebagai bentuk perlawanan aktor nonnegara yang mengusung politik identitas terhadap negara berdaulat. Kaldor meyakini bahwa terorisme muncul karena dewasa ini komunitas masyarakat terpecah belah dalam identitas sosial politik berbeda. Dalam kondisi demikian, identitas seperti agama semakin menguat dan dijadikan instrumen perlawanan.
Konflik pun kian meluas dan berujung pada timbulnya new war yang melibatkan simbol-simbol identitas.
Dengan menggunakan Islam sebagai identitasnya, ISIS berupaya menarik minat sebanyak-banyaknya muslim di seluruh dunia untuk bergabung bersamanya. Simbol keislaman berupa bendera yang bertuliskan kalimat tauhid dijadikan alat pemersatu solidaritas sesama muslim untuk mengusir tentara AS dari Iraq dan Syria.
Melalui Youtube, Facebook, Twitter, dan media-media sosial lain, mereka menggemakan solidaritas sebagai satu umat untuk menjaring dukungan dan merekrut militan-militan baru dari berbagai belahan dunia. Sejauh ini, aksi itu cukup efektif memikat sebagian orang Islam dari berbagai penjuru dunia untuk berdatangan ke kedua negara yang sedang dilanda konflik tersebut. Terbukti, sejumlah negara melaporkan kepergian warganya ke Iraq dan Syria untuk bergabung ISIS.
Dalam laporan resminya, Syrian Observatory for Human Rights mengatakan di antara sekitar 50.000 anggota ISIS di Syria, sepertiga adalah orang asing. Pada Juli lalu, ISIS berhasil merekrut anggota baru hingga mencapai 6.000 orang, seribu di antaranya berasal dari Checnya, Timur Tengah, dan negara- negara Eropa ( Al Jazeera, 19/8). Di Eropa, Inggris merupakan salah satu pusat rekrutmen terbesar. Tercatat, sekitar 500 muslim Inggris menjadi militan ISIS ( Jawa Pos, 7/9). Bahkan, kuat dugaan eksekutor Foley dan Sotlof adalah warga negara Inggris karena dia berbicara dalam bahasa Inggris fasih dengan aksen British.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyad Mbai menyatakan bahwa 34 WNI telah berbaiat kepada ISIS. Ansyaad mensinyalir kantong-kantong penyebaran ISIS ada di Ciputat, Solo, Bekasi, Bima, Poso, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur (www.bnpt.go.id, 26/8/2014).
Khusus di
Indonesia,
Kepala
Ancaman Aktual Semakin membesarnya ISIS berpotensi menjadi ancaman
aktual tidak hanya bagi AS, tetapi juga bagi negara-negara lain. Sebagai negara superpower, AS sebenarnya diharapkan banyak negara mampu menangkal ancaman ISIS. Tetapi, kenyataannya bukan perkara mudah bagi AS untuk mengalahkan ISIS. Pernyataan Obama di Gedung Putih pada 28 Agustus 2014 bahwa “we don’t have a strategy yet” menyiratkan AS kesulitan menangani ISIS. Respon Obama atas pemenggalan kepala Sotlof dengan mengatakan “our objective is clear, and that is to degrade and destroy ISIS” yang disampaikan di Estonia Rabu pekan lalu
(3/9/2014) belum menggambarkan adanya strategi jitu yang diambil AS ( Taipei Times, 4/9/2014).
Dengan demikian, ketika AS kebingungan dalam menghadapi ISIS, dunia tidak seharusnya berharap banyak kepada negara adidaya ini. Karena itu, setiap negara di dunia perlu mengambil strategi preventif untuk menangkal penyebaran ideologi ISIS agar tidak semakin memperbesar jumlah pengikut. Negara harus mempercanggih sistem teknologi informasinya agar mampu menghapus dengan cepat video-video yang disebarkan ISIS di internet karena besar kemungkinan melalui jaringan maya inilah ISIS merekrut anggota. Selain itu, negara harus memperketat arus keluar-masuk warga negaranya ke Iraq dan Syria karena siapapun yang masuk ke wilayah konflik ini dan lantas kembali ke negara asalnya berpotensi menyebarluaskan ideologi ISIS di dalam negeri.
9 September 2014
Thailand Pasca-Kudeta
udeta militer di Thailand pada Kamis, 22 Mei 2014, semakin menjerumuskan negara ini dalam kisruh politik tak berkesudahan. Dalam pengumuman yang
disampaikan kepada publik oleh Panglima Angkatan Bersenjata Thailand Jenderal Prayuth Chan-ocha, kudeta dilancarkan “ ...in order for the country to return to normal quickly” (BBC News, 23/5/2014). Menurut Jenderal Prayuth, kekerasan yang terjadi di Bangkok dan kota-kota lain merupakan alasan utama militer melakukan kudeta untuk menghindari jumlah korban yang terus bertambah.
Sepanjang sejarah Negeri Gajah Putih, inilah kudeta ke-19 yang dilancarkan militer. Kudeta militer pertama kali terjadi pada 1932 ketika sekelompok kecil tentara menggulingkan kekuasaan monarki absolut Raja Prajadhipok. Kudeta yang dikenal dengan Revolusi Siam itu telah mengubah wajah Thailand dari monarki absolut menjadi monarki konstitusional. Sejak saat itu, serangkaian kudeta berulang kali terjadi, termasuk kudeta terakhir yang mengakhiri kekuasaan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra pada 19 September 2006.
Kini, delapan tahun kemudian, sejarah gelap Thailand kembali terulang seiring dengan keputusan Jenderal Prayuth mengambil alih pemerintahan. Krisis politik yang berujung kudeta ini bermula dari demonstrasi menuntut pengunduran diri PM Yingluck Shinawatra sejak November tahun lalu. Aksi protes itu dipicu oleh amnesti yang diberikan pemerintah kepada Thaksin. Amnesti yang membatalkan vonis dua tahun Kini, delapan tahun kemudian, sejarah gelap Thailand kembali terulang seiring dengan keputusan Jenderal Prayuth mengambil alih pemerintahan. Krisis politik yang berujung kudeta ini bermula dari demonstrasi menuntut pengunduran diri PM Yingluck Shinawatra sejak November tahun lalu. Aksi protes itu dipicu oleh amnesti yang diberikan pemerintah kepada Thaksin. Amnesti yang membatalkan vonis dua tahun
Bagi kubu oposisi, pembebasan Thaksin telah mencederai rasa keadilan rakyat. Selama menjadi PM, pengusaha telekomunikasi itu terbukti menyelewengkan kekuasaan untuk kepentingan kerajaan bisnis dan para kroninya. Karena itu, kepulangan Thaksin ke Thailand tanpa menjalani hukuman dikhawatirkan membuka kesempatan baginya untuk kembali terjun ke panggung politik sehingga berpotensi menyuburkan praktek korupsi. Hal itulah yang ditolak pemimpin oposisi Suthep Thaugsubuan yang lantas mengerahkan massa untuk turun ke jalan. Dampaknya, suhu politik Thailand semakin memanas.
Harapan atas berakhirnya krisis politik sempat menyeruak ketika pada 7 Mei 2014, Mahkamah Konstitusi Thailand memberhentikan Yingluck karena telah menyalahgunakan kekuasaan lantaran mengganti Kepala Keamanan Nasional Thawil Pliensri dengan salah seorang kerabatnya, Priewpan Damapong, pada 2011. Selain itu, Yingluck juga dinyatakan bersalah atas kasus korupsi skema subsidi beras. Namun, alih- alih menyelesaikan masalah, pelengseran Yingluck itu justru diprotes para pendukungnya. Para loyalis keluarga Shinawatra yang mayoritas berasal dari pedesaan menyerbu pusat kota meneriakkan penolakan atas penggulingan Yingluck.
Tak pelak, bentrokan berdarah dengan massa oposisi tidak terhindarkan. Hingga kini, bentrokan antara dua kubu itu telah menewaskan 28 jiwa dan melukai ratusan orang lainnya ( The Guardian, 22/5/2014). Situasi semakin tidak terkendali karena ketidakmampuan pemerintahan PM sementara Niwattumrong Boonsongpaisan memadamkan unjuk rasa. Mencermati ancaman itu, militer akhirnya tidak tinggal diam. Pada Selasa (20/5), angkatan bersenjata Thailand memberlakukan hukum darurat militer dan mendorong kedua pihak yang berkonflik untuk Tak pelak, bentrokan berdarah dengan massa oposisi tidak terhindarkan. Hingga kini, bentrokan antara dua kubu itu telah menewaskan 28 jiwa dan melukai ratusan orang lainnya ( The Guardian, 22/5/2014). Situasi semakin tidak terkendali karena ketidakmampuan pemerintahan PM sementara Niwattumrong Boonsongpaisan memadamkan unjuk rasa. Mencermati ancaman itu, militer akhirnya tidak tinggal diam. Pada Selasa (20/5), angkatan bersenjata Thailand memberlakukan hukum darurat militer dan mendorong kedua pihak yang berkonflik untuk
Bagi militer, ketika kepemimpinan sipil tidak mampu menyelesaikan masalah, kudeta adalah jalan terbaik untuk menyelamatkan negara. Militer terasa ringan melancarkan kudeta karena meyakini bahwa Raja Bhumibol Adulyadeh yang sangat dihormati rakyat Thailand mendukung penuh keputusan itu. Selama ini, Raja Bhumibol memang tidak pernah bersuara dalam merespon konflik politik negerinya. Namun, kedekatan keluarga kerajaan dengan kubu oposisi dapat dibaca sebagai sinyal penolakan raja atas pemerintahan yang dikuasai keluarga Shinawatra.
Persoalannya, kudeta militer belum tentu bakal menyelesaikan masalah pelik yang dihadapi Thailand sekarang ini. Dalam jangka pendek, kudeta militer memang mampu meredam gejolak politik. Tetapi, dalam jangka panjang, kudeta militer diragukan mampu mengakhiri kisruh politik yang telah berlangsung bertahun-tahun. Apalagi, kebijakan pertama militer setelah kudeta adalah membekukan konstitusi 2007, kecuali pasal-pasal yang terkait dengan kerajaan.
Dengan pembekuan konstitusi, maka Thailand dipastikan kembali ke titik nol. Hukum di negara tetangga kita itu tidak lagi berlandaskan konstitusi, melainkan berdasarkan hukum darurat militer yang telah diberlakukan. Atas dasar itu, militer berhak secara otoriter mengendalikan keadaan di seluruh penjuru negeri, termasuk menangkapi pihak-pihak yang menentang dan melarang pemberitaan media. Tentu, hal ini akan memantik masalah baru dan dapat memicu kecaman dunia internasional.
Untuk menghindari skenario buruk itu, militer harus secepatnya membentuk pemerintahan sementara yang bertugas khusus menjalankan agenda reformasi dalam memerangi korupsi dan mempersiapkan pemilu secara konstitusional. Persoalannya, masalah akan terus berulang jika ternyata pemilu dimenangkan Untuk menghindari skenario buruk itu, militer harus secepatnya membentuk pemerintahan sementara yang bertugas khusus menjalankan agenda reformasi dalam memerangi korupsi dan mempersiapkan pemilu secara konstitusional. Persoalannya, masalah akan terus berulang jika ternyata pemilu dimenangkan
Namun, meski unggul dalam kuantitas, pendukung Shinawatra kalah dalam kualitas. Meski minoritas, kelompok penentang Shinawatra menguasai akses-akses informasi dan sumber-sumber ekonomi yang dapat digerakkan untuk mengendalikan situasi politik. Mereka akan memanfaatkan kekuasaan militer sekarang untuk berkonsolidasi merebut kekuasaan dari lawan politiknya itu. Mereka juga akan berancang-ancang untuk menggulingkan pemerintahan jika kekuasaan nantinya kembali ke pangkuan keluarga Shinawatra.
Situasi semacam itulah yang bakal dihadapi militer pascakudeta. Jika militer tetap tidak mampu mendorong kedua kubu untuk rekonsiliasi dan menerima apapun hasil pemilu, Thailand akan terus diguncang kekisruhan politik yang tidak jelas ujungnya.
23 Mei 2014
Merangkul Asia, Mengepung Tiongkok
unjungan Barack Obama ke Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Filipina pada 24-28 April 2014 semakin mempertegas
hasrat
Amerika
Serikat untuk
memperkokoh pengaruh geopolitiknya di Asia. Kunjungan kenegaraan Obama itu merupakan babak baru dari serangkaian lawatan sebelumnya ke India, Indonesia, Korea Selatan, dan Jepang pada 2010, serta partisipasi AS dalam East Asian Summit di Bali pada 2011. Obama menganggap kunjungannya kali ini sangat penting setelah dia membatalkan kehadirannya dalam APEC Summit di Bali tahun lalu karena fokus menyelesaikan shutdown yang diderita pemerintah AS.
Arti Strategis Asia Dalam hubungan internasional, kunjungan seorang presiden
berulang kali ke suatu kawasan tertentu menunjukkan betapa strategisnya kawasan itu bagi negaranya. Bagi AS, Asia adalah kawasan sangat penting yang berpotensi memengaruhi konstelasi ekonomi dan politik global di masa depan. Betapa tidak, sejumlah raksasa ekonomi dunia lahir dan berkembang pesat di Asia satu dekade terakhir. Namun, di balik kemajuan positif itu, stabilitas politik kawasan terancam oleh konflik antara beberapa negara Asia. Karena itu, Obama memandang kehadiran AS di Asia amat strategis untuk mengamankan kepentingan geopolitik negara adidaya ini dengan memanfaatkan negara-negara sekutunya.
Sejak menjabat presiden pada 2009, Obama memang langsung mengalihkan fokus politik luar negeri AS dari Timur Tengah ke Asia. Sebelumnya, perang melawan terorisme yang terkonsentrasi di Timur Tengah telah meminggirkan Asia dari radar politik luar negeri AS di masa George W. Bush. Tetapi, krisis global pada 2008 yang membenamkan AS dalam kesulitan ekonomi telah menyadarkan para pengambil kebijakan negara ini untuk berpaling ke Asia yang terbukti memiliki daya tahan ekonomi relatif bagus.
Harus diakui, dibandingkan AS dan Eropa, pertumbuhan ekonomi Asia beberapa tahun ini cukup stabil, berada di kisaran 6-7 persen. Meskipun demikian, kekhawatiran muncul seiring dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun ini. Setelah menikmati kejayaan dengan pertumbuhan hingga dua digit, pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada kuartal pertama 2014 menurun menjadi 7,3 persen. Situasi inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh AS untuk merangkul Asia demi mengepung Tiongkok agar tidak menjadi kekuatan dominan di kawasan.
Menghambat Laju Tiongkok Bagaimanapun, Tiongkok adalah ancaman aktual bagi
hegemoni AS tidak hanya di Asia, tapi juga di dunia. Sejauh ini, Sang Naga yang terus menggeliat itu telah mengungguli Paman Sam setelah mengikatkan diri dalam berbagai perjanjian dagang dengan sesama negara Asia. Di Asia Tenggara misalnya, kesepakatan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang mulai berlaku sejak 2011 benar-benar menguntungkan negeri Tirai Bambu itu. Empat tahun terakhir, produk Tiongkok menyerbu pasar ASEAN dengan leluasa. Dengan kualitas memadai dan harga murah, komoditas Tiongkok kian merajai pasar dengan menjungkalkan produk-produk negara lain yang telah mapan sebelumnya.
Secara head to head, pada 2013, nilai total perdagangan AS dan Tiongkok mencapai USD 562 miliar. Nilai sebesar itu menjadikan Tiongkok sebagai mitra dagang terbesar kedua AS. Persoalannya, AS mengalami defisit neraca perdagangan dengan Tiongkok hingga USD 318 miliar. Wajar jika AS berniat mengalahkan Tiongkok tidak dengan berhadapan secara langsung, melainkan melalui strategi pengepungan di Asia sebagai pasar terbesar di dunia (sekitar 4 miliar penduduk). Pengepungan itu tidak terbatas pada menangkal pengaruh ekonomi Tiongkok, tetapi juga mengurung negeri komunis ini dalam sangkar ketidakberdayaan politik.
Hal itu terbukti dari agenda utama pembentukan Trans- Pacific Partnership (TPP) yang diusung Obama dalam pertemuan bilateralnya dengan para kepala negara yang dikunjungi. TPP merupakan blok perdagangan yang digagas AS untuk mengintegrasikan ekonomi 12 negara di kawasan Pasifik tanpa melibatkan Tiongkok. Direncanakan, perwakilan 12 negara tersebut akan bertemu untuk mematangkan pembentukan TPP di Vietnam pada Mei 2014.
Ketika bertemu Perdana Menteri Shinzo Abe (Kamis, 24/4/2014), Obama menegaskan arti strategis TPP bagi AS dan Jepang. Kepada Abe, Obama juga berjanji akan membantu Jepang jika Tiongkok menginvasi Pulau Senkaku, wilayah yang disengketakan kedua negara. Di Seoul (Jumat, 25/4/2014), Obama memang tidak secara eksplisit menyinggung Tiongkok di depan Presiden Korea Selatan Park Geun-hye. Meski demikian, Obama mendorong Korsel untuk memperbaiki hubungan dengan Jepang guna membangun aliansi kuat dalam melawan Tiongkok. Di Kuala Lumpur (Minggu, 27/4/2014), selain menandatangani Kemitraan Komprehensif, Perdana Menteri Malaysia Najib Razak dan Obama sepakat untuk mendorong percepatan realisasi TPP. Sementara, di Manila (Senin, 28/4/2014), Obama dijadwalkan bertemu Presiden Filipina Benigno Aquino III untuk membahas pangkalan militer AS yang Ketika bertemu Perdana Menteri Shinzo Abe (Kamis, 24/4/2014), Obama menegaskan arti strategis TPP bagi AS dan Jepang. Kepada Abe, Obama juga berjanji akan membantu Jepang jika Tiongkok menginvasi Pulau Senkaku, wilayah yang disengketakan kedua negara. Di Seoul (Jumat, 25/4/2014), Obama memang tidak secara eksplisit menyinggung Tiongkok di depan Presiden Korea Selatan Park Geun-hye. Meski demikian, Obama mendorong Korsel untuk memperbaiki hubungan dengan Jepang guna membangun aliansi kuat dalam melawan Tiongkok. Di Kuala Lumpur (Minggu, 27/4/2014), selain menandatangani Kemitraan Komprehensif, Perdana Menteri Malaysia Najib Razak dan Obama sepakat untuk mendorong percepatan realisasi TPP. Sementara, di Manila (Senin, 28/4/2014), Obama dijadwalkan bertemu Presiden Filipina Benigno Aquino III untuk membahas pangkalan militer AS yang
Mencermati sepak terjang AS itu, tampak jelas bahwa negara ini berniat mengepung Tiongkok dari segala penjuru. Jika Beijing tidak mampu membendungnya, strategi AS itu kemungkinan besar berdampak pada berkurangnya pengaruh Tiongkok di Asia. Sebagai salah satu negara besar di Asia yang diproyeksikan tergabung dalam TPP sekaligus mempunyai hubungan baik dengan Tiongkok, Indonesia harus mewaspadai pertarungan dua raksasa ekonomi global tersebut. Strategi jitu perlu dirumuskan Jakarta agar negara kita tidak sekadar menjadi pengikut AS dan Tiongkok, tetapi juga turut menentukan dinamika politik dan ekonomi kawasan.
27 April 2014
Skenario Masa Depan Thailand
eputusan pemerintahan Perdana Menteri ad interim Yingluck Shinawatra untuk tetap mengadakan pemilu di tengah gelombang protes kubu oposisi semakin
memanaskan suhu politik Thailand. Aksi demonstrasi yang semula hanya terjadi di Bangkok, kini menjalar ke kota-kota lain di Thailand. Unjuk rasa di Bangkok bahkan berhasil melumpuhkan ibukota ini. Demonstran telah menduduki jalan- jalan utama di Bangkok dan menyegel kantor-kantor pemerintah dengan tujuan untuk menghentikan aktivitas pemerintah.
Bagi Yingluck, inilah ujian terberat selama masa kepemimpinannya. Sejak berkuasa pada 2011, pemerintahan Yingluck sesungguhnya relatif tidak mendapatkan gangguan berarti dari kubu oposisi. Namun, amnesti yang diberikan pemerintah kepada mantan PM Thaksin Shinawatra November tahun lalu membangkitkan kemarahan rakyat yang akhirnya turun ke jalan menuntut pengunduran diri Yingluck. Amnesti yang membatalkan vonis dua tahun penjara yang diterima Thaksin karena kasus korupsi pada 2008 tersebut memungkinkan kakak kandung Yingluck ini pulang dari pengasingannya sebagai orang bebas.
Bagi kubu oposisi, pembebasan Thaksin telah mencederai rasa keadilan rakyat. Selama menjadi PM, pengusaha telekomunikasi itu terbukti menyelewengkan kekuasaan untuk kepentingan kerajaan bisnis dan para kroninya. Kudeta militer terhadap Thaksin pada 2006 dipandang sebagai sebuah tindakan politik yang sudah semestinya dijalankan untuk menyelamatkan Bagi kubu oposisi, pembebasan Thaksin telah mencederai rasa keadilan rakyat. Selama menjadi PM, pengusaha telekomunikasi itu terbukti menyelewengkan kekuasaan untuk kepentingan kerajaan bisnis dan para kroninya. Kudeta militer terhadap Thaksin pada 2006 dipandang sebagai sebuah tindakan politik yang sudah semestinya dijalankan untuk menyelamatkan
Akibat konflik politik yang kian panas antara pemerintah dan oposisi, masa depan Thailand kini dihadapkan pada situasi tak menentu. Mencermati sikap pemerintah yang tetap ngotot menyelenggarakan pemungutan suara pada Minggu (2/2), ada dua skenario yang dapat menggambarkan masa depan Thailand pascapemilu. Pertama, konflik berdarah semakin meluas terjadi di seantero negeri sehingga menjerumuskan Thailand dalam instabilitas politik dan keamanan. Kedua, untuk mengembalikan stabilitas, militer akhirnya melancarkan kudeta terhadap pemerintahan Yingluck dan menggantikannya dengan pemerintahan sementara.
Konflik Berdarah Kengototan pemerintah untuk mengadakan pemilu lantaran
Yingluck yakin partai Puea Thai yang dipimpinnya akan menang telak. Keyakinannya itu berlandaskan pada kenyataan bahwa kaum miskin yang tersebar di pedesaan masih setia mendukungnya. Dibandingkan kelas menengah perkotaan yang mendukung Partai Demokrat sebagai pimpinan oposisi, jumlah mereka jauh lebih banyak.
Namun, meski unggul dalam kuantitas, pendukung Yingluck kalah dalam kualitas. Harus diakui, sebagai kalangan terdidik, pendukung oposisi sangat lihai dalam memainkan isu. Meski minoritas, mereka menguasai akses-akses informasi dan sumber- sumber ekonomi yang dapat digerakkan untuk mengendalikan situasi politik. Mereka telah berancang-ancang untuk menggagalkan pemilu apapun risikonya.
Ancaman itu sudah dibuktikan ketika massa oposisi memblokade sejumlah tempat pemungutan suara (TPS) dalam pemilu pendahuluan pada Minggu, 26 Januari 2014. Akibat blokade itu, 440 ribu dari 2,16 juta pemilih terdaftar tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Di samping itu, pemungutan suara tidak dapat dijalankan di 89 dari 375 daerah pemilihan. Di antara
89 daerah pemilihan itu, mayoritas terpusat di Bangkok dan wilayah selatan Thailand yang memang merupakan basis Partai Demokrat ( The Straits Times, 27/1/2014).
Karena itu, jika pemilu tetap dilaksanakan sesuai jadwal, hampir dapat dipastikan situasi serupa akan terjadi. Dampaknya, di satu sisi, pemerintahan tidak dapat terbentuk karena parlemen tidak memenuhi kuorum akibat kegagalan penyelenggaran pemungutan suara di sejumlah daerah pemilihan. Di sisi lain, bentrokan berdarah tidak terhindar karena aparat cenderung represif dalam memadamkan unjuk rasa. Sejauh ini, 10 nyawa telah melayang, termasuk salah seorang pemimpin demonstran yang tewas tertembak di dekat sebuah TPS pemilu pendahuluan di Bangkok. Hal itu mengindikasikan bahwa benih-benih konflik berdarah yang lebih besar sebenarnya sudah mulai bermunculan dan akan mencapai puncaknya pada hari H pelaksanaan pemilu.
Kudeta Militer Pascapemilu, Thailand kemungkinan besar dihadapkan pada
dua situasi amat pelik. Pertama, kegagalan pembentukan pemerintahan yang berdampak pada lumpuhnya pemerintahan. Kelumpuhan pemerintahan tentu akan menghambat pelayanan publik yang berujung pada ketidakpuasan rakyat terhadap Yingluck. Kedua, konflik sosial antarkubu yang bakal membuat negara ini terbelah dalam dua kelompok yang saling bermusuhan dan sewaktu-waktu dapat terlibat bentrokan dua situasi amat pelik. Pertama, kegagalan pembentukan pemerintahan yang berdampak pada lumpuhnya pemerintahan. Kelumpuhan pemerintahan tentu akan menghambat pelayanan publik yang berujung pada ketidakpuasan rakyat terhadap Yingluck. Kedua, konflik sosial antarkubu yang bakal membuat negara ini terbelah dalam dua kelompok yang saling bermusuhan dan sewaktu-waktu dapat terlibat bentrokan
Bagi militer, situasi semacam itu jelas merupakan ancaman bagi negara. Alih-alih mampu dan cakap dalam mengelola negara, elit militer justru memandang pemerintahan Yingluck telah menjerumuskan negara dalam perpecahan. Jika dibiarkan, negara dalam kondisi bahaya. Karena itu, Yingluck kemungkinan akan bernasib sama dengan kakaknya, dikudeta oleh militer. Kemungkinan itu sangat terbuka mengingat dalam sejarah Thailand, militer telah melancarkan kudeta sebanyak 18 kali, baik direstui atau tidak oleh raja.
Selama ini Raja Bhumibol Adulyadeh memang tidak pernah bersuara dalam merespon konflik politik negerinya. Namun, kedekatan keluarga kerajaan dengan kubu oposisi dapat dibaca sebagai sinyal penolakan raja atas pemerintahan Yingluck. Hal inilah yang meringankan langkah militer dalam melancarkan kudeta.
Serupa dengan skenario setelah Thaksin dikudeta delapan tahun lalu, pemerintahan Yingluck bakal digantikan oleh pemerintahan sementara yang dibentuk khusus untuk menjalankan agenda reformasi dalam memerangi korupsi dan mempersiapkan pemilu. Persoalannya, masalah akan terus berulang jika ternyata pemilu dimenangkan oleh kubu Yingluck. Inilah deja vu politik Thailand yang sulit diprediksi ujung ceritanya.
29 Januari 2014
Agenda Terselubung AS di Syria
esepakatan Amerika Serikat dan Rusia untuk memusnahkan senjata kimia Syria yang dicapai dalam perundingan antara kedua negara di Jenewa pada Sabtu
14 September 2013, tidak otomatis melenyapkan ancaman perang di Timur Tengah. Bayang-bayang intervensi militer AS ke Syria tetap menghantui seiring adanya kekhawatiran bahwa Presiden Bashar Assad tidak melaksanakan kesepakatan itu. Assad bahkan membantah tentara Syria melancarkan serangan kimia terhadap pemberontak di Distrik Ghouta, Damaskus, pada
21 Agustus 2013, seperti yang dituduhkan AS. Putra mendiang Hafez Assad ini justru menuding oposisi yang menggunakan senjata kimia dalam pertempuran yang menewaskan 1.429 orang tersebut.
Mengantisipasi kemungkinan penolakan Assad itu, Presiden AS Barack Obama bersumpah untuk bertindak secara unilateral menyerang Syria. Dalam pernyataannya, Obama menegaskan “if the regime of Syria's President Bashar al-Assad does not live up to the deal Washington reached with Syria's ally Russia, the United States remains prepared to act” (Al Jazeera, 15/9/2013). Jika rencana serangan yang tertunda itu benar-benar dilancarkan AS, perang lebih besar yang melibatkan berbagai negara berpotensi terjadi dalam waktu dekat. Bagi Obama, seiring lampu hijau yang telah dinyalakan Kongres, memulai intervensi militer di Syria bukanlah perkara sulit. Sejalan dengan kesiapsiagaan pasukan AS di Laut Mediterania, tekad Obama untuk mendongkel Assad dari tampuk kekuasaan tampaknya tidak bisa dibendung lagi.
Meskipun rencana invasi ke Syria baru mengemuka akhir- akhir ini, AS sesungguhnya telah berniat menyerang negeri Syam ini sejak lama. Hanya saja, sejak perang sipil di Syria pecah pada Maret 2011, Obama tidak memiliki momentum untuk merealisasikan rencana tersebut. Kini, mantan Senator Illinois itu telah mendapatkan momentum setelah muncul dugaan rezim Assad menggunakan senjata kimia. Masalahnya, motif sesungguhnya di balik intervensi itu bukanlah demi alasan kemanusiaan, melainkan untuk memuluskan agenda terselubung AS dalam menguasai Timur Tengah. Jika Syria berhasil dikendalikan, AS akan dapat dengan mudah melumpuhkan Iran dan melindungi Israel di kawasan kaya minyak ini.
Melumpuhkan Iran Setelah Taliban digulingkan di Afghanistan (2001), Saddam
Hussein dieksekusi mati di Irak (2006), dan Osama bin Laden tewas ditembak di Pakistan (2011), Iran kini menjelma menjadi musuh nomor satu AS. Meskipun Iran sekarang dipimpin oleh presiden moderat, Hassan Rouhani, tetapi hal itu tidak menjamin negeri Persia ini bersikap lunak terhadap AS mengingat kendali kekuasaan tetap terpusat pada Pemimpin Tertinggi Ayatullah Khamenei, seorang ulama konservatif penentang Paman Sam. AS menyadari bahwa Iran tidak bisa dilumpuhkan dari dalam, namun harus diawali dari luar. Iran hanya bisa dilumpuhkan jika kaki-kaki pengaruhnya di Timur Tengah berhasil direbut.
Di kawasan penuh konflik ini, kaki utama Iran terletak di Syria. Sebagai sesama negara yang disatukan oleh kesamaan identitas sektarian Syiah, Iran dan Syria memiliki hubungan amat dekat. Mereka selalu satu suara, saling mendukung dalam segala isu regional maupun global. Dalam konflik Palestina- Israel misalnya, bertolak belakang dengan AS yang menyokong Israel, Iran dan Syria secara konsisten mendukung Palestina.
Pengaruh Iran di Syria semakin menguat karena ditopang oleh Rusia. Bagi Rusia, Syria merupakan mitra strategis yang mampu mengamankan kepentingan negeri Beruang Merah ini di Timur Tengah. Persahabatan Rusia dan Syria telah terjalin lama, bahkan sejak Perang Dingin. Kedua negara ini selalu bahu membahu melawan dominasi AS dan Israel di kawasan. Tidak mengherankan jika Presiden Vladimir Putin ingin mempertahankan kondisi status quo di Syria. Sebab, perubahan rezim di negara ini akan berakibat pada meredupnya pengaruh Rusia di Timur Tengah.
Atas dasar itulah, penguasaan atas Syria adalah kebutuhan urgen bagi AS. Menyerang Syria adalah opsi paling memungkinkan dibandingkan menyerbu Iran yang jelas lebih beresiko. Memanfaatkan kondisi Syria yang sedang kacau, AS tentu tidak mau menunggu lebih lama lagi untuk melumpuhkan Iran melalui negara satelitnya. Apabila negeri Mullah itu berhasil dilumpuhkan, Israel pasti terlindungi dengan baik.
Melindungi Israel Secara geopolitik, posisi Syria sangat strategis. Berlokasi di
titik persinggungan antara benua Asia dan Eropa, wilayah Syria berbatasan langsung dengan lima negara penting di Timur Tengah, yakni Israel, Lebanon, Irak, Jordania, dan Turki. Karena itu, Syria sering dijadikan sebagai negara penyangga ( buffer state) oleh kekuatan-kekuatan politik yang berkepentingan di Timur Tengah.
Bagi Iran, Syria tidak hanya sebagai benteng pertahanan dalam melawan gempuran Israel, tetapi juga medan serbu untuk membombardir negeri Zionis ini. Iran dan Syria memiliki kepentingan sama untuk menghancurkan Israel. Demi pencapaian tujuan itu, gerakan perlawanan Hizbullah didirikan pada 1985 di wilayah selatan Lebanon, dekat perbatasan Israel dan Syria.
Sejak saat itu, melalui Syria, Iran terus memasok senjata untuk milisi Hizbullah. Alhasil, Hizbullah berkembang menjadi gerakan anti-Zionis yang memiliki kekuatan besar untuk mengancam Israel. Ancaman Hizbullah sangat nyata, terbukti dari serangannya yang menewaskan delapan tentara Israel pada Juli 2006 silam. Meskipun Israel telah berulang kali menggempur Hizbullah, namun organisasi pimpinan Hassan Nasrallah ini tetap mampu bertahan, bahkan berkontribusi besar mengamankan kekuasaan Assad. Karena itu, Israel sangat berharap AS menginvasi Syria secepatnya.
Mencermati konstelasi geopolitik semacam itu, tidak mengherankan jika AS berhasrat menjatuhkan Assad. AS meyakini jika Assad berhasil digulingkan dan digantikan penguasa yang pro negara adidaya ini, kekuatan Iran kian meredup dan Israel semakin terlindungi. Jika kepentingan itu tercapai, dapat dipastikan AS akan mampu mengendalikan Timur Tengah sepenuhnya.
15 September 2013
Mendorong Rekonsiliasi Mesir
enyerbuan tentara dan polisi Mesir ke kamp konsentrasi massa pendukung Presiden terguling Muhammad Mursi di Rabiah Al Adawiyah Square dan Nahda Square pada
Rabu, 14 Agustus 2013, semakin memperparah krisis politik di negara ini. Stasiun televisi CNN melaporkan setidaknya 235 warga sipil dan 43 polisi tewas dalam insiden berdarah itu. Besarnya jumlah korban tersebut menambah panjang daftar rakyat Mesir yang harus kehilangan nyawanya sejak Mursi dikudeta militer 3 Juli lalu. Hingga kini tercatat lebih dari 500 orang tewas akibat konflik politik Mesir sebulan terakhir. Jumlah itu jauh melebihi korban tewas ketika revolusi Musim Semi Arab berhasil menjatuhkan Husni Mubarak awal 2011 silam.
Tidak mengherankan jika perkembangan terkini Mesir mendatangkan keprihatinan mendalam dari berbagai pihak. Sejumlah pemimpin dunia mengecam insiden Rabu berdarah tersebut. Melalui Menteri Luar Negeri John Kerry, Amerika Serikat menyayangkan terjadinya aksi kekerasan yang dapat memunculkan “ greater instability, economic disaster, and suffering.” Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton mendesak otoritas Mesir untuk kembali ke jalan demokrasi. Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon mendorong semua pihak yang bertikai untuk melakukan rekonsiliasi secara damai ( Al Jazeera, 15/8/2013).
Namun, tentu kecaman masyarakat internasional tidak lantas mengubah keadaan Mesir menjadi lebih baik mengingat Namun, tentu kecaman masyarakat internasional tidak lantas mengubah keadaan Mesir menjadi lebih baik mengingat
Bisa dibayangkan, jika massa pendukung Mursi merespon seruan itu dengan unjuk rasa yang lebih besar, hampir dapat dipastikan bentrokan berdarah akan kembali pecah. Dalam kondisi demikian, cepat atau lambat, Mesir akan terbenam ke titik nol. Negara yang berada di titik nol bagaikan sebuah negara yang baru saja merdeka. Situasi sosial politik tidak sepenuhnya stabil karena konflik terus meletup di akar rumput. Demokrasi belum terbangun secara memadai karena penguasa masih melakukan berbagai eksperimen untuk menemukan model sistem demokratis yang tepat. Para pemimpin politik tidak pernah berhenti bertikai hingga tak jarang mengorbankan rakyat.
Keadaan semacam itulah yang kini tergambar di Mesir. Betapa tidak, bangunan demokrasi yang mulai tertata melalui pemilihan umum jujur dan adil tahun lalu diruntuhkan militer lewat kudeta terhadap presiden yang terpilih secara sah dan demokratis. Akibatnya, proses demokratisasi harus dimulai dari titik paling awal lagi dengan harapan terciptanya situasi yang kondusif dan stabil. Namun, alih-alih menghadirkan stabilitas di seluruh negeri, yang muncul malah sebaliknya. Aneka aksi kekerasan terjadi dimana-mana dan mencapai puncaknya dalam insiden Rabu berdarah (14/8/2013).
Sesungguhnya, aksi penguasa militer Mesir yang represif tak jauh berbeda dengan rezim Mubarak. Di masa Mubarak yang juga didukung militer, semua gerakan oposisi diberangus dan kebebasan bersuara dibungkam. Jika kondisi Mesir kembali seperti era Mubarak, itu artinya revolusi 2011 telah gagal mencapai tujuannya untuk mengembalikan demokrasi ke rakyat Sesungguhnya, aksi penguasa militer Mesir yang represif tak jauh berbeda dengan rezim Mubarak. Di masa Mubarak yang juga didukung militer, semua gerakan oposisi diberangus dan kebebasan bersuara dibungkam. Jika kondisi Mesir kembali seperti era Mubarak, itu artinya revolusi 2011 telah gagal mencapai tujuannya untuk mengembalikan demokrasi ke rakyat
Upaya Rekonsiliasi Untuk mengembalikan demokrasi ke jalurnya yang tepat,
rekonsiliasi antara berbagai pihak yang bertikai mutlak dilakukan. Harus diakui, penguasa militer telah gagal menciptakan rekonsiliasi antara berbagai kelompok di Mesir. Bahkan, dalam kubu penguasa pun, elemen-elemen pendukung kudeta kini mulai terpecah belah. Partai Nour yang merepresentasikan politik Islam Salafi memilih hengkang dari kekuasaan. Wakil Presiden Muhammad El Baradei juga memutuskan mengundurkan diri dari jabatannya. Mereka memprotes praktik otoritarianisme yang dilancarkan militer.
Di luar itu, proses negosiasi dengan Ikhwanul Muslimin mengalami jalan buntu. Tawaran militer untuk mengadakan pemilu yang dipercepat ditolak kubu pendukung Mursi ini. Sebaliknya, tuntutan Ikhwanul Muslimin untuk mengembalikan Mursi ke kursi presiden tidak dapat diterima oleh militer. Dalam kondisi demikian, sukar untuk berharap perdamaian tercipta melalui upaya-upaya rekonsiliasi domestik. Karena itu, dibutuhkan peran lebih besar dari masyarakat internasional untuk mempertemukan pihak-pihak yang bertikai demi menghentikan konflik.