Metamorfosis Aksi Teror

Metamorfosis Aksi Teror

embilan tahun pasca-Bom Bali I (12 Oktober 2002), teroris tidak hanya masih mengancam, tetapi juga bermetamorfosis dalam tiga gaya baru. Mencermati bom

bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton Solo pada 25 September lalu, tampak adanya perubahan gaya teroris dalam struktur organisasi, pola rekrutmen, dan target serangan.

Struktur Organisasi Jaringan teroris yang meledakkan bom bunuh diri di GBIS

Solo memiliki struktur organisasi berbeda dengan jaringan yang melancarkan aksi terorisme di Bali sembilan tahun lalu. Jika aksi teror di masa lalu dilancarkan oleh jaringan yang memiliki struktur organisasi rapi dan kokoh dengan dukungan langsung jaringan global seperti Al Qaeda, aksi teror belakangan ini dilakukan oleh individu-individu yang beroperasi sendiri tanpa berinduk pada jaringan di luar negeri.

Pelaku Bom Solo, Achmad Yosefa Hayat, merupakan sosok yang tidak memiliki koneksi dengan jaringan Jamaah Islamiyah (JI) yang melancarkan aksi terorisme di Indonesia pada 2002- 2009. Hayat termasuk dalam jaringan Muhammad Syarif yang terlibat dalam bom bunuh diri di Mapolres Cirebon pada 15 April lalu. Jaringan ini merupakan jaringan baru yang tidak pernah berhubungan dengan kelompok Noordin M. Top yang kini telah tercerai berai.

Meskipun terindikasi pernah bergabung dalam Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), tetapi organisasi ini selalu membantah bahwa Hayat dan Syarif merupakan anggotanya. Karena itu, aksi jaringan ini cenderung bersifat individual tanpa adanya seorang pemimpin yang memerintahkan. Anggota jaringan ini merupakan anak-anak muda yang berkeinginan melakukan jihad tetapi dikecewakan oleh sikap JAT yang menurut mereka tidak melakukan jihad yang sesungguhnya. Mereka terbangun dalam sel-sel kecil yang siap beraksi ketika menemukan momentum yang tepat.

Pola Rekrutmen Berbeda dengan rekrutmen para pelaku teror sebelumnya

yang mengandalkan pertemuan fisik dan indoktrinasi secara tatap muka langsung, pelaku bom bunuh diri akhir-akhir ini terekrut dengan sendirinya melalui pesan-pesan jihad yang dikumandangkan melalui internet. Indikasi ini tampak jelas dengan ditemukannya bukti bahwa Hayat sempat menggunakan internet untuk menonton video mati syahid dan membaca fatwa-fatwa Osama bin Laden sebelum dia meledakkan dirinya di GBIS Solo. Kuat dugaan bahwa dia melakukan itu untuk memantapkan aksinya agar tidak diliputi keraguan sedikit pun.

Perkembangan teknologi informasi yang memunculkan internet memang memberikan berkah tersendiri bagi jaringan terorisme. Kemunculan internet sebagai sarana komunikasi dan informasi telah memudahkan jaringan teroris untuk melancarkan operasinya. Kemudahan ini telah memengaruhi cara teroris untuk beroperasi dan membangun struktur jaringan organisasi. Banyak anak muda lantas terinjeksi oleh pesan jihad yang digelorakan melalui situs internet dan bahkan mereka dengan mudah dapat menemukan cara membuat bom.

Tidak mengherankan jika Magnus Ranstorp (2007) mengatakan internet telah menjadi alat teroris untuk ” ...publish Tidak mengherankan jika Magnus Ranstorp (2007) mengatakan internet telah menjadi alat teroris untuk ” ...publish

Dalam kasus terorisme di Indonesia, internet berperan memengaruhi anak-anak muda yang sedang mencari jati diri seperti Hayat dan Syarif untuk terlibat aksi teror. Melalui publikasi propaganda secara persuasif dan provokatif via internet, jaringan teroris berupaya merekrut anggota baru dengan mengindoktrinasikan pemikiran mereka kepada anak- anak muda yang memiliki pemahaman dangkal soal jihad. Cara ini terbukti efektif dan efisien karena mampu menjangkau sasaran yang lebih luas secara cepat.

Target Serangan Jika dicermati, ada tiga pergeseran target serangan teroris.

Pertama, pada 1998-2001, jaringan teroris menargetkan gereja sebagai sasaran pengeboman. Pada masa itu, insiden yang paling memilukan adalah peledakan sejumlah gereja di berbagai kota di Indonesia ketika malam Natal 24 Desember 2000. Peristiwa itu merupakan pembalasan atas konflik di Ambon yang meletus pada 1999.

Kedua, pada 2002-2009, target aksi terorisme bergeser ke bangunan-bangunan yang menjadi simbol kepentingan Amerika Serikat di Indonesia. Tidak terbantahkan, Bom Bali I, Bom Marriot I (5 Agustus 2003), Bom Kedutaan Besar Australia (9 September 2004), Bom Bali II (1 Oktober 2005), dan Bom Marriot II (17 Juli 2009) dimaksudkan sebagai balas dendam atas tindakan AS menindas umat Islam di Afghanistan dan Irak. Berbagai pesan perlawanan global yang dipublikasikan Noordin Kedua, pada 2002-2009, target aksi terorisme bergeser ke bangunan-bangunan yang menjadi simbol kepentingan Amerika Serikat di Indonesia. Tidak terbantahkan, Bom Bali I, Bom Marriot I (5 Agustus 2003), Bom Kedutaan Besar Australia (9 September 2004), Bom Bali II (1 Oktober 2005), dan Bom Marriot II (17 Juli 2009) dimaksudkan sebagai balas dendam atas tindakan AS menindas umat Islam di Afghanistan dan Irak. Berbagai pesan perlawanan global yang dipublikasikan Noordin

Ketiga, pada 2010-2011, target aksi terorisme tidak lagi kepentingan AS, melainkan markas polisi seperti serangan terhadap Mapolsek Hamparan Perak, Deli Serdang, pada 22 September 2010 dan bom bunuh diri di Mapolres Cirebon pada

15 April lalu. Serangan terhadap kedua markas polisi itu merupakan balas dendam atas penangkapan sejumlah pemimpin jaringan teroris oleh Densus 88.

Setelah menargetkan markas polisi, kini aksi teror kembali bergeser ke gereja. Tampaknya, memori kelam konflik Ambon pada 1999 kembali bangkit seiring dengan merebaknya kembali potensi konflik di daerah itu baru-baru ini. Karena itu, kewaspadaan aparat mesti ditingkatkan di kala meningkatnya letupan-letupan konflik yang melibatkan simbol-simbol agama sebab pada dasarnya aksi teror di Indonesia terjadi karena keinginan untuk balas dendam. 

12 Oktober 2011