Mendorong Internasionalisasi Batik
Mendorong Internasionalisasi Batik
ada 2 Oktober 2010, United Nations Education Social and Cultural Organization (UNESCO) secara resmi mengakui batik sebagai bentuk budaya bukan benda warisan
manusia. Oleh UNESCO, batik dianggap ikon budaya asli Indonesia yang memiliki keunikan sebagai simbol dan tradisi dalam masyarakat dengan sebuah filosofi yang mendalam.
Pengakuan ini telah mematahkan klaim Malaysia yang menganggap batik sebagai warisan budayanya. Pengakuan ini juga kian membuktikan bahwa bangsa kita memiliki akar budaya kokoh yang tumbuh dan berkembang dalam tradisi khas Indonesia tanpa adanya campur tangan bangsa lain. Sebelumnya, UNESCO telah mengakui wayang (2003) dan keris (2005) sebagai warisan budaya asli Indonesia.
Menyikapi pengakuan tersebut, sejumlah instansi menghimbau pegawainya untuk mengenakan batik hari ini. Bahkan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta masyarakat memakai batik sebagai bentuk penghargaan terhadap kain khas Indonesia. Realita itu menyiratkan adanya kebanggaan bangsa Indonesia atas pengakuan dunia terhadap batik.
Namun, kebanggaan itu hendaknya tidak berhenti sekadar memakai batik. Kebanggaan kita harus dijadikan momentum untuk semakin giat melestarikan batik dan memasarkannya secara global ke banyak negara.
Upaya Pelestarian Secara filosofis, batik merupakan seni tekstil tradisional
yang menyimbolkan sebuah falsafah hidup melalui corak, warna, dan tata cara pemakaiannya. Kata batik berasal dari sebuah kata dalam bahasa Jawa, yaitu “ambatik”. Kata ini mengandung arti menuliskan atau menorehkan titik-titik karena dalam proses pembuatannya, seorang pengrajin batik menorehkan motif-motif indah ke selembar kain mori dengan menggunakan canting yang berisi lilin panas.
Mengingat nilai filosofisnya yang tinggi, batik harus dilestarikan secara maksimal. Persoalannya, selama ini upaya pelestarian sebatas pada pengenalan melalui pameran yang hanya berlangsung sesaat dengan kalangan terbatas. Akibatnya, efek kegiatan itu bersifat temporer dan tidak bisa menjangkau secara meluas ke semua lapisan masyarakat.
Padahal, jika dikembalikan pada filosofinya bahwa batik merupakan simbol budaya adiluhung yang telah mentradisi kuat di masyarakat, semestinya semua kalangan bisa menikmatinya. Karena itu, dibutuhkan langkah strategis yang mampu menjamin batik tetap terjaga kelestariannya sepanjang masa.
Pertama, seni membatik perlu diajarkan sejak dini di sekolah sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Melalui pendidikan, manusia Indonesia harus dikenalkan pada kain batik sebagai sebuah warisan budaya yang memiliki nilai filosofis tinggi. Pengajaran teknik membatik melalui lembaga pendidikan akan mampu mendorong internalisasi nilai-nilai filosofis batik ke dalam diri siswa. Jika ditanamkan sejak usia sekolah dasar, nilai- nilai itu berpotensi besar melebur dalam hati manusia Indonesia sebagai bagian dari identitas dan kepribadian yang melekat sepanjang hayat.
Kedua, penghargaan perlu diberikan pada para pengrajin batik. Pemerintah perlu mengapresiasi para pengrajin yang masih bertahan pada proses membatik melalui tulisan.
Merekalah yang selama ini berjuang untuk mempertahankan eksistensi filosofi batik tulis di tengah menjamurnya batik yang diproduksi secara printing atau sablon. Penghargaan yang diberikan harus mampu meningkatkan produksi batik sehingga kerajinan batik tidak akan bisa mati.
Ketiga, pemerintah perlu mendorong pemakaian batik pada acara-acara formal. Pemerintah tidak cukup hanya menghimbau pegawai memakai batik pada hari tertentu, tetapi juga harus mewajibkan memakainya pada acara-acara resmi. Hal itu bisa dimulai Presiden SBY ketika dilantik kembali menjadi presiden untuk masa jabatan kedua pada 20 Oktober nanti. Lalu, dilanjutkan pada pelantikan kabinet, pelantikan para pejabat tinggi negara, dan acara-acara resmi kenegaraan lainnya.
Internasionalisasi Setelah upaya pelestarian dilakukan secara maksimal,
langkah strategis selanjutnya adalah mengenalkan batik kepada dunia. Sama halnya dengan upaya pelestarian, upaya internasionalisasi batik selama ini hanya dilakukan melalui pameran-pameran budaya di mancanegara. Pameran memang penting diikuti, tetapi tidak cukup kuat untuk menjadikan batik sebagai ikon busana Indonesia.
Percuma saja mengadakan pameran berkali-kali jika ternyata para pemimpin negara kita justru tidak mengenakan batik ketika berkunjung ke sejumlah negara. Selama ini, para pejabat negara kita cenderung mengenakan jas dalam forum- forum internasional. Kebiasaan itu sudah semestinya diubah sebab jas sebenarnya mencerminkan model pakaian Barat yang tidak merefleksikan identitas nasional kita.
Dalam tata krama pergaulan internasional, tidak ada aturan yang mengharuskan penggunaan jas. Buktinya, sejumlah pemimpin negara Arab dapat dengan bebas menggunakan jubah Dalam tata krama pergaulan internasional, tidak ada aturan yang mengharuskan penggunaan jas. Buktinya, sejumlah pemimpin negara Arab dapat dengan bebas menggunakan jubah
Langkah semacam ini merupakan terobosan yang sangat efektif untuk mempromosikan batik secara global. Sebab, masyarakat internasional, termasuk para pemimpin dunia, akan melihat secara langsung keindahan batik yang melekat dalam diri orang Indonesia.
Dengan cara itu pula identitas nasional kita di hadapan bangsa lain tampak kian kokoh sehingga setiap kali melihat batik, masyarakat dunia pasti bisa memastikan penggunanya adalah orang Indonesia. Pendek kata, untuk mengetahui orang Indonesia di forum internasional cukup dengan melihat pakaian batik yang dikenakannya dan setiap kali ada batik, ingatan masyarakat internasional pasti tertuju pada Indonesia.
2 Oktober 2010