Belajar dari Jepang

Belajar dari Jepang

ukio Hatoyama secara mengejutkan mengundurkan diri dari jabatan Perdana Menteri Jepang, Rabu lalu (2/6). Penyebabnya, Hatoyama gagal memenuhi janji

kampanye untuk merelokasi pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa dan skandal dana politik yang juga melibatkan Ichiro Ozawa, orang nomor dua di Jepang. Bersama Hatoyama, Ozawa juga ikut mengundurkan diri.

Kerelaan kedua pemimpin itu melepaskan jabatannya semakin menguatkan citra politisi Jepang sebagai figur publik yang bertanggung jawab atas hasil perbuatannya. Jalan yang dipilih

kesalahan demi mempertahankan jabatan, tetapi menyerahkan kembali jabatan itu kepada publik untuk diamanahkan kepada yang lebih berhak. Inilah jalan samurai khas Jepang yang tidak pernah kita temukan di Indonesia.

bukanlah

menutup-nutupi

Melalui sikap para pemimpinnya, Jepang memberikan tiga pelajaran berharga yang bisa diterapkan di negeri ini. Pertama, kegagalan mewujudkan janji kampanye harus diakui secara bertanggung jawab. Kedua, moralitas politik harus ditegakkan dengan penuh kejujuran. Ketiga, ketika rakyat sudah tidak percaya lagi, pengunduran diri adalah bentuk tanggung jawab terbaik.

Pengakuan atas Kegagalan Selama masa kampanye, Hatoyama berjanji membebaskan

Okinawa dari pangkalan militer AS. Namun, hingga delapan bulan pemerintahannya, cucu mantan PM Jepang Ichiro Hatoyama itu justru mengingkari janji tersebut. Alih-alih memindahkan, Hatoyama malah tetap mempertahankan pangkalan itu dengan alasan Jepang masih tetap membutuhkan kerjasama militer dengan AS untuk menciptakan perdamaian di Asia Timur.

Akibatnya, publik menuntut Hatoyama mundur dari jabatannya. Sadar bahwa ia gagal mewujudkan janji kampanye, pendiri Partai Demokrat Jepang (DPJ) ini memenuhi tuntutan itu. Baginya, kegagalan harus dipertanggungjawabkan dengan pengunduran diri.

Di Indonesia, kesadaran semacam ini belum merasuk dalam diri para pemimpin kita. Janji kampanye hanya sekadar janji yang cuma berguna sebagai penebar pesona dalam pemilu, bukan untuk direalisasikan dengan penuh semangat dan kerja keras. Tak heran jika banyak janji diobral, tetapi sedikit yang terwujud. Celakanya, kegagalan merealisasikan janji sering dipoles sedemikian rupa sehingga seolah-olah tercapai keberhasilan.

Dalam kampanye Pemilu 2009, SBY-Boediono berjanji menegakkan supremasi hukum secara adil, transparan dan tidak pandang bulu. Faktanya, wong cilik seperti Nenek Minah yang dituduh mencuri tiga buah kakao dipidana penjara 1,5 bulan, sementara koruptor kelas kakap seperti Anggodo Widjojo bebas berkeliaran di luar pengadilan.

Ironisnya, Januari lalu, pemerintah justru mengklaim program kerja 100 hari sukses besar. Sungguh pengingkaran fakta yang melukai hati rakyat. Belajar dari Jepang, tradisi untuk mengakui kegagalan harus segera diterapkan dalam kultur para pemimpin kita agar tercipta kehidupan politik yang bermartabat.

Kejujuran dengan Moralitas Ketika masa kampanye, Hatoyama menerima sumbangan

dana sebesar 1 juta yen dari ibunya yang dikenal sebagai pengusaha kaya raya. Persoalannya, sumbangan itu tidak pernah dilaporkan sebagai dana kampanye. Padahal, sesuai konstitusi, setiap donasi kampanye dari pihak manapun harus dilaporkan secara transparan.

Setelah skandal itu terbongkar, Hatoyama tahu diri bahwa ia sesungguhnya tidak layak menduduki jabatan tertinggi dalam pemerintahan Jepang. Secara jujur, Hatoyama mengakui bahwa ia telah melanggar aturan pemilu. Konsekuensinya, Hatoyama memilih mengundurkan diri untuk membersihkan politik Jepang dari uang, seperti yang dia katakan: ”Politik kita harus bebas dari uang” ( Kompas, 3/6).

Kondisi itu berbeda jauh dengan di negara kita. Sudah menjadi rahasia umum, uang selalu bertebaran dalam pemilu presiden, pemilu legislatif, pemilukada, pemilihan ketua umum partai politik, dan pengambilan keputusan politik di legislatif. Sedihnya, sama sekali tidak ada rasa malu dari mereka yang terpilih dengan kecurangan tak bermoral. Sebaliknya, indikasi politik uang -meskipun terbukti- selalu ditutup-tutupi untuk melanggengkan kekuasaan.

Contohnya, Miranda Goeltom menyangkal bagi-bagi uang untuk menyuap sejumlah anggota DPR agar memilih dirinya sebagai Deputi Senior Gubernur BI pada Juli 2004, padahal para tersangka yang diadili mengakui penyuapan itu. Kata-kata Hatoyama patut kita kumandangkan di negeri ini, bahwa ”politik Indonesia harus bebas dari uang”.

Mundur = Tanggung Jawab Tanda-tanda mundurnya Hatoyama sebenarnya sudah

tampak dari jajak pendapat yang menunjukkan kemerosotan tampak dari jajak pendapat yang menunjukkan kemerosotan

Di Indonesia kemerosotan dukungan semacam itu dianggap sebagai hal biasa. Mundur adalah tindakan langka di negeri ini karena dianggap sebagai langkah tidak bertanggung jawab. Akibatnya, banyak sekali para pejabat yang bersalah dan kehilangan dukungan publik maupun politik tetapi tidak bersedia mengundurkan diri.

Wakil Presiden Boediono dan (mantan) Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menolak mundur walaupun mereka telah dinyatakan bersalah (secara politik) dalam kebijakan pengucuran dana talangan senilai Rp 6,7 triliun kepada Bank Century. Ketika kecelakaan transportasi bertubi-tubi melanda angkutan publik pada 2006-2007, Menteri Perhubungan waktu itu, Hatta Radjasa, juga tidak mau mundur.

Sikap tidak bertanggung jawab semacam inilah yang menjadikan kepercayaan publik kepada pejabat terus menurun. Karena itu, belajar dari Jepang, siapapun pejabat publik yang bermasalah semestinya malu kepada rakyat dan dengan penuh keikhlasan mengundurkan diri. 

4 Juni 2010