AS Pergi, Kekacauan Hantui Irak
AS Pergi, Kekacauan Hantui Irak
etelah 28 tahun 8 bulan 26 hari, Amerika Serikat secara resmi mengakhiri perang di Irak. Keputusan untuk menarik mundur seluruh pasukan AS di Irak disampaikan
oleh Menteri Pertahanan Leon Panetta dalam upacara militer di Baghdad pada Kamis, 15 Desember 2011. Dalam upacara itu, Panetta menyatakan: “ After a lot of blood spilled by Iraqis and Americans, the mission of an Iraq that could govern and secure itself has become real. To be sure, the cost was high - in blood and treasure for the United States, and for the Iraqi people. Those lives were not lost in vain - they gave birth to an independent, free and sovereign Iraq.”
Sehari sebelumnya, dalam sebuah pidato di pangkalan militer Fort Bragg, North Carolina, Presiden Barack Obama mengatakan bahwa seluruh pasukan AS akan ditarik pada 31 Desember 2011. Hingga kini, masih ada 4.000 pasukan AS yang dipertahankan di Irak. Jumlah itu akan terus dikurangi hingga menyisakan 167 pasukan yang khusus bertugas untuk mengawal kedutaan besar AS di Irak.
Kebijakan Obama ini merupakan realisasi dari janji kampanyenya pada Pemilu 2008. Waktu itu, Obama menjanjikan akan menarik mundur seluruh pasukan AS sebelum masa jabatannya berakhir. Bahkan, dalam pidato pelantikannya sebagai presiden AS pada 20 Januari 2009, dia bersumpah untuk “...will begin to responsibly leave Iraq to its people...”. Tekad Obama itu didukung mayoritas rakyat AS yang memang telah muak dengan kebijakan George W. Bush untuk berperang di Irak. Namun, Obama baru bisa merealisasikan janji tersebut Kebijakan Obama ini merupakan realisasi dari janji kampanyenya pada Pemilu 2008. Waktu itu, Obama menjanjikan akan menarik mundur seluruh pasukan AS sebelum masa jabatannya berakhir. Bahkan, dalam pidato pelantikannya sebagai presiden AS pada 20 Januari 2009, dia bersumpah untuk “...will begin to responsibly leave Iraq to its people...”. Tekad Obama itu didukung mayoritas rakyat AS yang memang telah muak dengan kebijakan George W. Bush untuk berperang di Irak. Namun, Obama baru bisa merealisasikan janji tersebut
Dilema AS Sepanjang pendudukannya di Irak, AS sebenarnya dilanda
dilema. Di satu sisi, AS harus menjaga keamanan wilayah Irak sehingga mempertahankan pasukan merupakan jalan terbaik. Setelah berhasil menjatuhkan rezim Saddam Hussein pada 2003, kondisi Irak bukannya malah membaik, tetapi semakin kacau. Alih-alih bersatu padu merekonstruksi Irak yang hancur lebur pascainvasi AS, berbagai suku di negeri 1001 malam ini justru terlibat dalam perang saudara.
Aksi kekerasan dan serangan bom terjadi dimana-mana. Akibatnya, hampir 100 ribu rakyat Irak tewas dan puluhan ribu lainnya terluka. Karena itu, AS terus menambah pasukan demi meningkatkan stabilitas keamanan di wilayah Irak. Puncaknya, pada 2007, jumlah pasukan AS di Irak mencapai angka tertinggi, yakni 170.000 orang. Di samping itu, AS juga membangun sekitar 500 instalasi militer di berbagai tempat.
Persoalannya, penambahan pasukan ternyata disikapi dengan perlawanan oleh rakyat Irak. Mereka merasa bahwa kehadiran pasukan AS tidak menyelesaikan masalah, tetapi malah semakin mengacaukan keadaan. Dampaknya, aksi serang- menyerang yang semula hanya melibatkan suku-suku yang bertikai melebar ke serangan terhadap pasukan AS. Kondisi inilah yang menyebabkan AS semakin kewalahan sehingga memicu tuntutan untuk menarik mundur pasukan Paman Sam secepatnya.
Tuntutan itu berasal dari rakyat AS sendiri. Rakyat AS menganggap perang Irak sebagai bencana. Betapa tidak, akibat kebijakan Bush mengirim anak-anak muda AS untuk berperang di Irak, sekitar 45.000 tentara tewas dan 32.000 lainnya terluka.
Di samping itu, kas negara juga terkuras karena harus membiayai perang yang mencapai USD 800 miliar. Bagaimanapun, biaya selangit ini berdampak negatif terhadap kondisi keuangan negara sehingga semakin menenggelamkan sang adidaya dalam kubangan krisis.
Kemungkinan Kacau Penarikan mundur seluruh pasukan AS sesungguhnya
berpotensi menciptakan kekacauan baru di wilayah Irak. Rakyat Irak memang menyambut gembira hengkangnya tentara AS dari Irak. Namun, di balik kegembiraan itu, ada kekhawatiran bahwa perpecahan antara kaum Sunni dan Syiah semakin tajam pasca- kepergian pasukan AS. Kedua kelompok ini kerap bersaing memperebutkan sumber daya ekonomi dan politik. Selama masa pendudukan AS, konflik di antara mereka relatif dapat diredam karena adanya otoritas yang memiliki kekuatan menyelesaikan konflik tersebut.
Kini, setelah AS pergi, ketiadaan aparat keamanan kuat yang memiliki otoritas menegakkan hukum dapat memicu munculnya kelompok-kelompok yang mempersenjatai diri. Mereka dapat dengan mudah mendapatkan senjata yang beredar di banyak kalangan selama perang berlangsung. Mereka memanfaatkan kontrol negara yang lemah terhadap segala hal yang terjadi di wilayah Irak.
Sebagai sebuah negara, Irak sebenarnya belum terbangun secara kokoh. Meskipun pemerintahan telah terbentuk, tetapi aparat keamanan Irak tidak memiliki kemampuan memadai dalam menjaga wilayah. Hal itu diakui sendiri oleh AS yang melatih mereka selama masa pendudukan. Menurut Abdulazis Sager, Ketua Gulf Research Center, tentara Irak seseungguhnya baru siap menjaga wilayah negaranya paling cepat pada 2020.
Karena itu, penarikan mundur pasukan AS di Irak semestinya dibarengi dengan kehadiran otoritas kuat yang mampu mengendalikan keadaan. PBB merupakan pihak yang paling tepat untuk mengambil alih kendali atas Irak. Melalui pasukan penjaga perdamaian, organisasi ini telah memiliki pengalaman panjang dalam mengendalikan sebuah negara yang porak poranda karena perang.
Kehadiran PBB sebagai pihak yang netral perlu didorong untuk memuluskan proses transisi dari AS ke pemerintahan Irak yang berdaulat dengan segala kewenangannya. Proses transisi tersebut harus
bertahap dengan mempertimbangkan kapabilitas pemerintah Irak. Jika tidak, Irak di masa depan dipastikan akan semakin kacau.
dijalankan
secara