Terorisme dan Media Massa

Terorisme dan Media Massa

epanjang Kamis dan Jumat, 9-10 Mei 2013, hampir semua media massa di Indonesia menyajikan berita utama tentang penggerebekan Detasemen Khusus 88 Antiteror

terhadap terduga teroris yang terjadi secara serentak di Bandung, Batang, Kendal, dan Kebumen sehari sebelumnya. Dalam operasi antiteror di empat kota itu, Densus 88 berhasil melumpuhkan 20 orang terduga teroris, tujuh di antaranya dalam kondisi tewas. Menurut keterangan pers Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar, kelompok teroris itu merupakan pelaku perampokan tiga cabang Bank Rakyat Indonesia di Batang (18/1/2013), Grobogan (29/3/2013), dan Lampung (22/4/2013) yang menghasilkan dana sekitar Rp 1,88 miliar ( Jawa Pos, 10/5/2013).

Aksi kontraterorisme yang terjadi sejak Rabu siang (8/5/2013) hingga Kamis pagi (9/5/2013) tersebut berlangsung dramatis dan menegangkan. Dramatis karena ada seorang ibu beserta anaknya yang selamat meskipun terjebak dalam baku tembak antara polisi dan terduga teroris. Menegangkan karena terduga teroris tidak mau menyerah walaupun telah dibujuk polisi dan memilih untuk melawan dalam pertempuran tak seimbang itu. Tidak mengherankan jika peristiwa tersebut menarik perhatian media massa, baik cetak, elektronik, maupun situs berita online.

Sebagian besar media cetak di negeri ini menempatkan kejadian itu sebagai headline news di halaman utama. Sementara, sejumlah media elektronik menjadikannya sebagai Sebagian besar media cetak di negeri ini menempatkan kejadian itu sebagai headline news di halaman utama. Sementara, sejumlah media elektronik menjadikannya sebagai

Intensifnya pemberitaan terorisme di media massa telah berhasil mengalihkan sejumlah isu besar (seperti korupsi) yang sebelumnya banyak diperbincangkan masyarakat. Hal inilah yang memantik kecurigaan sebagian pihak bahwa penangkapan teroris sengaja dilakukan untuk mengalihkan isu. Terlepas dari benar tidaknya dugaan itu, yang jelas segala hal terkait dengan terorisme selalu menjadi perhatian utama media massa. Pasalnya, seperti yang diungkapkan Walter Laquer (2004) bahwa: “ The media are the terrorist’s best friends, ... the terrorist’s act by itself is nothing, publicity is all.” Fenomena ini disebut Brigitte Nacos (2002) sebagai “mass-mediated terrorism”.

Relasi Simbiotik Teroris dan media massa sesungguhnya memiliki relasi

simbiotik. Keduanya saling membutuhkan satu sama lain untuk kepentingan masing-masing. Tentu, ada perbedaan tujuan di antara mereka. Bagi teroris, media massa adalah alat komunikasi paling efektif untuk mencapai tujuannya. Menurut Brian Jenkins (1998), agar menarik perhatian media massa, seringkali teroris mendesain aksinya bagaikan sebuah koreografi drama. Mereka merancang serangannya secara teaterikal dalam bentuk “script preparation, cast selection, sets, props, role playing & minute- by-minute stage management” (Weiman & Winn 1994).

Tanpa pemberitaan luas media massa, aksi terorisme bukan saja tidak akan berarti, tetapi juga tidak akan punya gigi. Dampaknya tidak akan meluas lantaran hanya terlokalisir hanya pada tempat kejadian. Karena sifat aksi terorisme adalah Tanpa pemberitaan luas media massa, aksi terorisme bukan saja tidak akan berarti, tetapi juga tidak akan punya gigi. Dampaknya tidak akan meluas lantaran hanya terlokalisir hanya pada tempat kejadian. Karena sifat aksi terorisme adalah

Bayangkan saja, untuk menebar ancaman ketakutan secara meluas kepada masyarakat, teroris tidak perlu melancarkan aksi di berbagai tempat. Cukup ledakkan bom di satu tempat atau lawan polisi yang menyerbu hingga titik darah penghabisan, aksi teroris akan diliput secara besar-besaran oleh media massa sehingga otomatis pesan mereka tersebar melintasi batas-batas geografis. Alhasil, publik yang merasa terancam bukan hanya orang-orang yang tinggal di sekitar lokasi kejadian, namun juga mereka yang hidup jauh dari pusat ledakan.

Karena itu, berbeda dengan pelaku kriminal lain yang memilih untuk menutup diri dari publisitas, jaringan teroris sangat senang aksi mereka menghiasi media massa. Hal ini juga dimaksudkan sebagai pesan terselubung kepada jaringan lain agar ikut bergerak melawan musuh. Dengan begitu, kian tampak bahwa eksistensi kelompok teroris sejatinya masih terjaga meskipun telah banyak anggotanya yang tewas atau tertangkap. Pendek kata, publisitas media massa merupakan “oksigen”, “aliran darah”, dan “sahabat baik” teroris. Tanpa media massa, teroris tidak akan mampu hidup.

Sejalan dengan hasrat teroris untuk diberitakan, media massa pun menyambut keinginan itu dalam publikasi besar- besaran. Dalam konteks ini, “bad news is good news” masih tetap berlaku dalam pemberitaan media massa. Kejahatan semacam terorisme dapat dikatakan sebagai good news apabila perhatian utama hanya menjual koran atau program televisi.

Terorisme merupakan isu seksi yang menjadi perhatian serius masyarakat sehingga liputan tentangnya bakal mampu meningkatkan rating media massa yang memberitakan. Media massa memahami sepenuhnya bahwa publik pasti sangat ingin mengetahui perkembangan terkini seputar isu terorisme karena hal ini sangat terkait dengan keamanan individu atau bahkan Terorisme merupakan isu seksi yang menjadi perhatian serius masyarakat sehingga liputan tentangnya bakal mampu meningkatkan rating media massa yang memberitakan. Media massa memahami sepenuhnya bahwa publik pasti sangat ingin mengetahui perkembangan terkini seputar isu terorisme karena hal ini sangat terkait dengan keamanan individu atau bahkan

Selain itu, tidak dapat dipungkiri fakta adanya kelompok orang yang merasa bersimpati pada aksi dan misi jaringan teroris. Meskipun kelompok semacam ini tidak banyak, tetapi bagaimanapun mereka tetaplah konsumen media massa. Bagi media massa, mereka adalah kalangan yang unik lantaran memiliki pandangan berbeda dibandingkan pendapat mayoritas. Karena itu, kadangkala media massa mengeksposnya demi memenuhi unsur cover both sides dalam pemberitaannya. Dengan demikian, dapat dipahami jika setiap kali terjadi aksi peledakan bom atau penangkapan teroris, media massa pasti meliputnya dengan gegap gempita. 

10 Mei 2013