Terorisme via Internet
Terorisme via Internet
alah satu temuan menarik dari insiden ledakan bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo pada Minggu, 25 September 2011, adalah
dugaan bahwa pelaku sempat menggunakan internet di warnet Solonet sebelum melancarkan aksinya. Menurut pengakuan pemilik warnet itu, pelaku bom bunuh diri mengakses situs tertentu yang berisi artikel dan video tentang mati syahid ( Kompas, 26/9/2011). Hal ini merupakan indikasi kuat bahwa aksi terorisme masa kini telah difasilitasi internet.
Perkembangan teknologi informasi yang memunculkan internet memang memberikan berkah tersendiri bagi jaringan terorisme. Kemunculan internet sebagai sarana komunikasi dan informasi di era globalisasi telah memudahkan jaringan teroris untuk melancarkan operasinya, baik dalam hal koordinasi aksi maupun dalam mencapai tujuan.
Kemudahan ini telah memengaruhi cara teroris untuk beroperasi dan membangun struktur jaringan organisasi. Dalam buku Networks and Netwars: The Future of Terror, Crime, and Military (2001), Michele Zanini dan Sean Edwards menyatakan bahwa sejumlah organisasi teroris di dunia menggunakan teknologi informasi seperti komputer, software, peralatan komunikasi, dan internet “to better organize and coordinate dispersed activities”. Sama halnya dengan korporasi swasta besar yang menggunakan teknologi informasi untuk beroperasi lebih efisien dengan fleksibilitas lebih besar, “terrorists are harnessing Kemudahan ini telah memengaruhi cara teroris untuk beroperasi dan membangun struktur jaringan organisasi. Dalam buku Networks and Netwars: The Future of Terror, Crime, and Military (2001), Michele Zanini dan Sean Edwards menyatakan bahwa sejumlah organisasi teroris di dunia menggunakan teknologi informasi seperti komputer, software, peralatan komunikasi, dan internet “to better organize and coordinate dispersed activities”. Sama halnya dengan korporasi swasta besar yang menggunakan teknologi informasi untuk beroperasi lebih efisien dengan fleksibilitas lebih besar, “terrorists are harnessing
Karena fleksibilitasnya itulah, menurut Magnus Ranstorp (2007), internet telah menjadi ”...one of the principal means by which terrorists publish propaganda; proselytize, indoctrinate followers; recruit new members; communicate, train; engage in information gathering and reconnaissance; raise funds and other material resources; transfer funds; plan operations; and engage in information attacks on enemy websites or other critical information infrastructure.” Dalam kasus terorisme di Indonesia, internet telah digunakan untuk publikasi propaganda dan indoktrinasi pengikut.
Publikasi propaganda Publikasi propaganda tampak dari pesan-pesan ‘jihad’ dan
perlawanan global yang dipasang jaringan teroris di berbagai situs internet yang dikelolanya. Propaganda ini pertama kali dimunculkan Imam Samudra di situs www.istimata.com sesaat setelah peledakan bom di Sari Club dan Paddy’s Cafe di Bali pada
12 Oktober 2002. Dalam situs itu, Imam yang menyebut dirinya Komandan Abul Istimata menyebutkan bahwa misinya adalah untuk menghancurkan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Langkah Imam diikuti oleh Noordin M. Top yang melancarkan propaganda di situs www.anshar.net dan www.mediaislam-bushro.blogspot.com. Setelah melancarkan aksi terorisme di Kedubes Australia (9 September 2004), Bali (1 Oktober 2005), serta Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton (17 Juli 2009), Noordin mengumandangkan pesan perlawanan terhadap AS melalui situs tersebut. Alasannya, AS dan sekutunya harus bertanggung jawab atas penderitaan umat Islam di Afghanistan dan Irak karena mengirimkan pasukan militer untuk menginvasi kedua negara ini.
Publikasi propaganda semakin kentara jika mengamati pesan-pesan yang diunggah sejumlah kelompok yang bersimpati terhadap aksi teroris, seperti yang terlihat di situs www.arrahmah.com, www.diarysangteroris.blogspot. com, www.rumahjihad.blogspot.com,
www.dakwahdan jihad.wordpress.com. Umumnya, pesan-pesan di situs itu memuat fatwa-fatwa Osama bin Laden, dilegalkannya aksi bom bunuh diri, dan bahkan cara membuat bom. Bahasa yang disampaikan sangat provokatif dan persuasif sehingga mampu membujuk orang lain untuk melancarkan bom bunuh diri.
dan
Indoktrinasi pengikut Melalui propaganda yang disampaikan melalui internet,
jaringan teroris sesungguhnya ingin mengindoktrinasi pengikut. Jika di masa lalu, indoktrinasi hanya bisa dilakukan melalui tatap muka langsung, di masa kini, indoktrinasi cukup dijalankan lewat internet. Bagi jaringan teroris, cara ini dipandang lebih efektif dan efisien karena mampu menjangkau sasaran yang lebih luas dan dapat berlangsung secara cepat.
Sasaran indoktrinasi biasanya adalah anak-anak muda yang sedang mencari jati diri. Mereka adalah generasi yang belum memiliki keyakinan kuat dan identitas kokoh sehingga mudah terbujuk oleh pemikiran-pemikiran baru yang dianggapnya benar dan mampu mengantarkannya ke kehidupan yang lebih baik. Karena itu, para pelaku bom bunuh diri akhir-akhir ini merupakan sosok yang masih muda, berusia sekitar 30-an tahun.
Sosok semacam ini adalah sosok yang melek internet, ketagihan informasi-informasi baru, dan suka bereksperimen dengan pandangan-pandangan baru. Mereka tergiur oleh janji surga yang diindoktrinasikan ke dalam otaknya. Mereka adalah manusia-manusia putus asa yang memiliki pandangan dangkal soal jihad sehingga selalu siap untuk mengakhiri hidupnya. Mereka tidak sadar jika sedang dimanfaatkan aktor intelektual Sosok semacam ini adalah sosok yang melek internet, ketagihan informasi-informasi baru, dan suka bereksperimen dengan pandangan-pandangan baru. Mereka tergiur oleh janji surga yang diindoktrinasikan ke dalam otaknya. Mereka adalah manusia-manusia putus asa yang memiliki pandangan dangkal soal jihad sehingga selalu siap untuk mengakhiri hidupnya. Mereka tidak sadar jika sedang dimanfaatkan aktor intelektual
Kondisi semacam itulah yang dialami Muhammad Syarif (32 tahun), pelaku bom bunuh diri di Mapolres Cirebon 15 April lalu, dan Achmad Yosefa Hayat (31 tahun) yang meledakkan bom di GBIS Kepunton Solo Minggu lalu (25/9). Mereka berdua bukanlah pemain utama, melainkan boneka yang digerakkan oleh jaringan terorisme yang mengindoktrinasikan semangat jihad yang salah secara masif dan intensif melalui internet.
Anak-anak muda yang terindoktrinasi ini sulit teridentifikasi karena jumlahnya yang tidak pasti dan kadangkala tidak terhubung secara langsung dengan jaringan terorisme yang sesungguhnya. Bagi kita, ini adalah ancaman serius yang harus diatasi. Oleh sebab itu, agar indoktrinasi melalui internet tidak semakin menyebar ke banyak orang, tidak ada jalan lain bagi pemerintah kecuali secepatnya memblokir situs-situs yang terkait dengan jaringan terorisme.
26 September 2011