(Jangan) Berharap kepada Obama

(Jangan) Berharap kepada Obama

residen Amerika Serikat Barack Obama dijadwalkan berkunjung ke Indonesia pada 9-10 November 2010. Kedatangan Obama ini telah lama ditunggu-tunggu

publik Indonesia setelah sebelumnya sempat tertunda dua kali pada Maret dan Juni lalu.

Waktu itu, untuk menyambut satu-satunya presiden AS yang pernah tinggal di Indonesia ini, sebuah patung yang menggambarkan sosok Obama kecil didirikan di kawasan Menteng, SDN 1 Menteng mempersiapkan pagelaran khusus untuk menyambut kedatangan alumnusnya itu, novel dan film bertajuk “Obama Anak Menteng” dirilis, dan bahkan sebuah stasiun televisi swasta menyelenggarakan audisi untuk bertemu dengan Obama. Karena itu, ketika Obama tiba-tiba menunda kunjungannya, banyak pihak kecewa dengan keputusan tersebut.

Semua kegiatan untuk menyambut Obama dan kekecewaan yang melanda publik mengindikasikan bahwa Indonesia menaruh harapan besar pada sosok presiden kulit hitam pertama di AS ini. Namun, harapan itu tampaknya sekadar utopia belaka. Sebab, selama dua tahun masa kepresidenannya, Obama belum menghasilkan prestasi spektakuler seperti yang dijanjikannya ketika kampanye Pemilu 2008.

Harapan? Pemberitaan gencar tantang keberhasilan Obama menjadi

presiden AS beserta pencitraan kepribadiannya yang menginspirasi banyak orang membuat mantan senator Illinois ini menjadi figur publik yang sangat populer di Indonesia. Popularitas itu lantas membuncahkan harapan akan kian eratnya kemitraan strategis Indonesia-AS dalam posisi setara dan sederajat. Pasalnya, selama ini pola hubungan kedua negara tampak asimetris dengan posisi Indonesia selalu takluk di bawah AS.

Harapan tersebut muncul karena tiga alasan. Pertama, Obama memiliki kedekatan emosional dengan Indonesia karena dia menghabiskan empat tahun masa kecilnya di Jakarta. Romantisme

diharapkan mampu meningkatkan kepeduliannya kepada Indonesia. Kepedulian itu diperkuat oleh keinginannya untuk berkunjung dalam jangka waktu lama ke negeri ini.

masa

kanak-kanak

Kedua, Obama memiliki gaya kepemimpinan yang jauh berbeda dengan George W. Bush. Bertolak belakang dengan pendahulunya yang suka perang sehingga menciptakan banyak musuh, pendekatan yang ditawarkan Obama lebih lunak dengan menunjukkan niat baik untuk bersahabat dengan semua negara. Bagi Indonesia, pendekatan baru AS ini merupakan peluang untuk kian memperkokoh hubungan bilateral. Hal itu sulit dilakukan pada masa Bush karena adanya resistensi dari publik yang marah atas keputusannya menginvasi Afghanistan dan Irak.

Ketiga, Obama adalah penerima nobel perdamaian 2009. Sebagai negara yang cinta damai, Indonesia berkepentingan mempromosikan nilai-nilai perdamaian khas Indonesia kepada Obama. Dengan begitu, AS di bawah kepemimpinan Obama diharapkan dapat bersinergi dengan Indonesia untuk mewujudkan perdamaian dunia.

Tidak Realistis Mencermati kinerja Obama sejauh ini, berharap kepadanya

sepertinya tidak realistis. Sebab, pertama, seperti dikatakan R. William Liddle ( Kompas, 3/11/2010), kepedulian seseorang secara pribadi dan perhatian sebagai seorang presiden adalah dua hal yang berbeda. Meskipun secara pribadi Obama merasa dekat dengan Indonesia, tetapi sebagai presiden, dia tidak bisa menjadikan kedekatan emosional sebagai dasar untuk membuat keputusan strategis bagi sebuah negara besar seperti AS. Kalkulasi rasional tetap harus dikedepankan seorang presiden ketika negaranya menjalin hubungan dengan negara lain.

Kedua, atas dasar itu, wajar jika Obama tidak menjadikan Indonesia sebagai prioritas utama di Asia. Buktinya, kunjungan ke Indonesia yang hanya dua hari ternyata lebih singkat daripada lawatan sebelumnya ke India selama tiga hari. Di Indonesia, Obama membawa misi politik dan kebudayaan daripada hubungan ekonomi. Padahal, AS kini sedang mengalami kesulitan ekonomi, demikian pula dengan Indonesia yang masih tertatih-tatih dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Realita itu menandakan Indonesia tidak dipandang sebagai mitra strategis dalam upaya AS membangun kembali perekonomiannya yang porak poranda karena krisis ekonomi global pada 2008.

Ketiga, Obama belum mampu memenuhi janji-janjinya untuk membawa perubahan dalam penanganan terorisme. Dalam berbagai kesempatan, Obama berulangkali berjanji untuk berdialog satu meja tentang terorisme internasional dan perdamaian dunia dengan para pemimpin dunia Islam. Masalahnya, janji itu hanya indah menawan dalam retorika, tetapi buruk dalam implementasi. Tidak heran jika tahun lalu banyak pihak menilai penghargaan nobel perdamaian terlalu dini diberikan kepada Obama

Keempat, hasil Pemilu AS 2 November lalu yang dimenangkan Partai Republik menunjukkan dukungan rakyat kepada Obama semakin melemah. Rakyat AS telah menghukum pemerintahan Obama karena dianggap gagal dalam mengatasi krisis ekonomi yang telah meningkatkan jumlah pengangguran di negara itu. Jika di dalam negeri saja Obama semakin ditinggalkan rakyatnya, mengapa publik Indonesia yang berada jauh di luar AS justru tetap berharap kepada Obama?

Karenanya, Indonesia tidak perlu berharap banyak kepada Obama. Presiden ke-44 AS ini hanyalah pemimpin biasa yang semestinya juga disambut dengan biasa pula. Oleh sebab itu, sangat berlebihan jika kedatangan Obama disambut dengan aneka kegiatan dan persiapan luar biasa, apalagi dengan pengawalan ketat yang melibatkan 8.056 personel Polda Metro Jaya, 5.974 personel Polda Jawa Barat, 849 personel Polda Banten, dan 3.500 personel Polda Jawa Tengah, ditambah satuan-satuan khusus seperti Brigade Mobil, penjinak bom, unit satwa, polisi udara, dan polisi antiteror ( Kompas, 4/11/2010). 

7 November 2010