Satu Suara Lawan Israel
Satu Suara Lawan Israel
erangan Israel terhadap ratusan aktivis kemanusiaan dari berbagai negara di kapal Mavi Marmara yang berlayar menuju Jalur Gaza Senin lalu (31/5) menuai kecaman
keras dunia internasional. Aksi protes masyarakat internasional mengutuk serangan yang menewaskan sembilan orang itu terjadi di seluruh dunia. Demonstrasi besar-besaran tidak hanya marak di negara-negara muslim, tetapi juga di Jerman, Inggris, Prancis, bahkan juga di Israel.
Sejumlah pemimpin dunia mengeluarkan pernyataan keras menyikapi peristiwa itu. Kanselir Jerman Angela Merkel menganggap serangan itu di luar batas. PM Prancis Nicholas Sarkozy mengaku kaget dan tidak mengerti dengan tindakan membabi buta Israel itu. PM Inggris David Cameron menilai Israel telah bertindak kejam karena menyerang warga sipil yang hendak menyerahkan bantuan kemanusiaan. Presiden Palestina Mahmoud Abbas menilai penyerbuan itu sebagai pembantaian dan kejahatan menjijikkan. Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mendesak PBB untuk melakukan investigasi penuh atas insiden itu.
Sikap seragam tersebut mengindikasikan bahwa dunia kini bersatu untuk melawan kebiadaban Israel. Sikap ini merupakan perkembangan baru yang menggembirakan bagi perjuangan pembebasan Palestina karena selama ini selalu saja ada perbedaan pandangan dalam menilai aksi keji Israel di Jalur Gaza sehingga semakin menenggelamkan rakyat Palestina dalam nestapa. Negara-negara Barat yang dulu selalu menoleransi Israel Sikap seragam tersebut mengindikasikan bahwa dunia kini bersatu untuk melawan kebiadaban Israel. Sikap ini merupakan perkembangan baru yang menggembirakan bagi perjuangan pembebasan Palestina karena selama ini selalu saja ada perbedaan pandangan dalam menilai aksi keji Israel di Jalur Gaza sehingga semakin menenggelamkan rakyat Palestina dalam nestapa. Negara-negara Barat yang dulu selalu menoleransi Israel
Mengepung Israel Tragedi Mavi Marmara harus dijadikan momentum untuk
meningkatkan kepedulian atas penderitaan rakyat Palestina di Jalur Gaza yang telah diblokade Israel selama tiga tahun. Sejak konflik Gaza merebak, kepedulian lebih sering ditunjukkan oleh organisasi kemanusiaan internasional daripada elemen negara sehingga daya tekan terhadap Israel tidak begitu kuat.
Kepedulian itu tampak jelas dari keberanian armada laut “Freedom Flotilla” yang terdiri dari sembilan kapal yang mengangkut sekitar 700 pekerja kemanusiaan dan 10.000 ton bahan makanan dalam menembus barikade tentara Israel untuk memasuki Jalur Gaza. Tanpa tekanan negara-negara di dunia, Israel sepertinya makin leluasa dalam menindas rakyat Palestina.
Karena itu, untuk menghentikan ulah brutal Israel, negara- negara di dunia perlu bersatu untuk mengepung Israel melalui empat aksi bersama. Pertama, memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel. Semua negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel perlu menarik pulang duta besarnya dan sekaligus mengusir duta besar Israel ( persona non grata). Akses masuk negara lain bagi pejabat tinggi Israel juga perlu ditutup. Dengan begitu, Israel semakin teralienasi dari pergaulan internasional sehingga tidak berlaku semena-mena terhadap bangsa lain.
Kedua, melakukan embargo terhadap Israel. Negara-negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan harus menghentikan hubungan perdagangannya dengan Israel. Jika embargo bisa dilakukan terhadap pemerintahan Hamas di Palestina, embargo tentu juga dapat diterapkan kepada Israel.
Becermin dari pengalaman Hamas, embargo bisa menjadi sarana efektif mengubah kebijakan negara.
Ketika Palestina diembargo, Hamas kesulitan mencukupi kebutuhan hidup rakyat Palestina sehingga terpaksa melunakkan sikapnya terhadap Israel untuk mendapatkan bantuan dari luar. Dengan mengembargo Israel, negara Yahudi ini akan semakin lemah dan tidak punya kuasa lagi menindas bangsa Palestina.
Ketiga, menyeret pejabat-pejabat tinggi Israel ke Mahkamah Internasional. PM Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Ehud Barak adalah dua pihak yang paling layak disalahkan atas insiden Mavi Marmara. Keduanyalah yang memerintahkan tentara Israel menyerang kapal kemanusiaan itu. Dosa-dosa mereka kian bertambah jika setiap aksi penindasan orang Palestina yang mereka lakukan turut dihitung.
Contoh kasus semacam itu pernah terjadi ketika mantan Presiden Serbia Slobodan Milosevic diajukan ke Mahkamah Internasional karena tindakannya membumihanguskan rakyat Bosnia. Karena itu, tidak ada alasan untuk tidak mengadili Netanyahu dan Barak karena mereka pun juga melakukan aksi yang tidak jauh berbeda dengan Milosevic.
Keempat, intervensi kemanusiaan perlu dilakukan jika Israel tetap keras kepala menduduki tanah Palestina. Sesungguhnya, yang paling berhak atas tanah wilayah Palestina adalah rakyat Palestina sendiri. Pendudukan Israel di wilayah Palestina sebenarnya merupakan penjajahan yang tidak termaafkan.
Semua negara semestinya memahami hal itu dan memperingatkan Israel atas pelanggaran yang telah dilakukannya. Penjajahan Israel telah menyebabkan jutaan rakyat Palestina sengsara dan selama ini tidak ada yang mau menghentikannya. Hal ini berbeda dengan ketika NATO menyerbu Serbia dan membebaskan rakyat Bosnia dari penindasan keji Milosevic pada 1992.
Pengalaman itu seharusnya diulangi untuk membebaskan rakyat Palestina dari penjajahan Israel. Tanpa intervensi, masa depan rakyat Palestina makin tidak menentu dan kian terperosok dalam jurang kehancuran. Kini, saatnya dunia terketuk untuk membebaskan Palestina.
Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia yang memiliki solidaritas tinggi atas nasib rakyat Palestina, Indonesia harus turun tangan langsung untuk melobi sebanyak mungkin negara guna mengepung Israel. Inilah momentum paling tepat bagi Indonesia untuk memperlihatkan peran sentralnya sebagai aktor global yang berpengaruh.
3 Juni 2010