Menyelamatkan Etnis Rohingya
Menyelamatkan Etnis Rohingya
embantaian etnis Rohingya di Provinsi Arakan, Myanmar, yang telah berlangsung sejak Juni lalu memantik reaksi luas dari berbagai kalangan. Negara-
negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) telah melancarkan kampanye penghentian pembasmian etnis minoritas muslim itu melalui forum PBB. Dalam pernyataan resmi yang dikeluarkannya di Jeddah Senin lalu (16/7/2012), Sekretaris Jenderal OKI, Ekmeledin Ihsanoglu, mengatakan: “The recent restoration of democracy in Myanmar had raised hopes in the international community that oppression against Rohingya Muslims would end, and that they would be able to enjoy equal rights and opportunities. However, the renewed violence against Rohingyas has caused great concern to the Organization of Islamic Cooperation.” (Arab News, 20/7/2012).
Di Indonesia, sejumlah tokoh agama juga mengecam pembumihangusan etnis tersebut dan mendesak pemerintah mengirimkan protes keras kepada junta militer Myanmar. Sayangnya, sejauh ini Pemerintah Indonesia masih bersikap lembek dalam menyikapi tragedi kemanusiaan itu. Indikasinya tampak dari pernyataan Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri RI, Mohammad Anshor, Rabu lalu (18/7/2012), yang menegaskan bahwa derita muslim Rohingya adalah masalah internal Myanmar sehingga proses penyelesaiannya pun menjadi wewenang dalam negeri negara itu. Agaknya, Indonesia masih gamang dalam menentukan sikap mengingat adanya prinsip non-intervensi di kalangan negara- negara ASEAN.
Terlepas dari berlakunya prinsip tersebut, genosida terhadap etnis Rohinya harus dihentikan secepatnya karena hal itu termasuk pelanggaran hak asasi manusia berat. Atas nama penegakan HAM, dunia internasional harus mengupayakan langkah-langkah penyelamatan sesegera mungkin.
Pelanggaran HAM Siapapun pasti sepakat bahwa pembersihan etnis Rohingya
merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Sebulan terakhir, tercatat ada 650 orang etnis Rohingya tewas, 1.200 warga hilang, dan sekitar 80 ribu lainnya terpaksa kehilangan tempat tinggal. Mereka yang terusir dari rumahnya lantas mengungsi ke luar negeri dan daerah-daerah perbatasan.
Dalam sejarahnya, etnis Rohingya telah menghuni wilayah Myanmar bagian barat sejak penjajahan Inggris pada abad ke-19. Waktu itu, Inggris sengaja memasukkan penduduk muslim India bagian timur (sekarang Bangladesh) ke wilayah Myanmar. Mereka lantas menamakan diri Rohingya dan menetap di perbatasan Myanmar-Bangladesh yang termasuk dalam kawasan Rakhine Utara. Semula, mereka merasakan kedamaian dan ketenangan hidup di wilayah itu. Namun, ketika junta militer mengambil alih kekuasaan pada 1962, nasib mereka berbalik nestapa.
Di bawah kekuasaan junta milter, melalui Undang-Undang Kewarganegaraan 1982, etnis Rohingya dianggap sebagai inigran ilegal asal Bangladesh sehingga diberi status warga tanpa kewarganegaraan ( stateless people). Berdasarkan sumber hukum itu, Pemerintah Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai satu dari 137 etnis yang tersebar di wilayah negara ini. Akibatnya, mereka kehilangan hak-haknya sebagai kelompok etnis yang tinggal di Myanmar sehingga menjadikan junta militer dapat bertindak sewenang-wenang kepada mereka.
Selama tiga dekade terakhir, etnis Rohignya menjadi korban pelanggaran HAM seperti pembersihan etnis, pembunuhan, pemerkosaan, dan pengusiran dari tempat tinggal. Mereka tidak memiliki kebebasan untuk mengakses layanan kesehatan, menikmati bangku sekolah, mencukupi kebutuhan pangan, berpartisipasi dalam kehidupan politik, dan menjalankan aktivitas ekonomi. Suara mereka benar-benar dibungkam oleh rezim penguasa.
Kondisi inilah yang menjadikan jutaan etnis Rohingya memilih mengungsi ke berbagai negara. Separuh dari populasi mereka yang mencapai tiga juta terdiaspora ke Bangladesh, India, Pakistan, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Malaysia, Thailand, Jepang, Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa. Ironisnya, di sebagian negara itu, mereka juga dianggap sebagai imigran gelap. Di Bangladesh misalnya, di antara sekitar 228 ribu pengungsi Rohingnya, 200 ribu orang tergolong imigran gelap. Mereka hidup dengan ancaman ketakutan karena sewaktu-waktu dapat mengalami tindakan kekerasan dari aparat maupun penduduk asli.
Beberapa pekan terakhir, ribuan pengungsi Rohingya menyerbu Bangladesh lewat jalur laut. Karena ditolak masuk oleh Pemerintah Bangladesh, mereka akhirnya terombang- ambing di balik gelombang lautan yang ganas. Harapan mereka untuk mendapatkan kehidupan layak benar-benar berujung derita. Dalam kondisi demikian, upaya penyelamatan perlu dimaksimalkan agar tragedi kemanusiaan ini tidak terus berlanjut.
Upaya Penyelamatan Ada tiga upaya penyelamatan yang harus dilakukan.
Pertama, seiring dengan nota protes OKI, negara-negara mayoritas muslim harus bersatu padu menyuarakan sikap yang sama atas penderitaan etnis Rohingya. Kesatuan antarnegara Pertama, seiring dengan nota protes OKI, negara-negara mayoritas muslim harus bersatu padu menyuarakan sikap yang sama atas penderitaan etnis Rohingya. Kesatuan antarnegara
Kedua, karena pembantaian etnis Rohingya sesungguhnya bukanlah masalah satu agama saja, maka seluruh negara di dunia harus ikut memberikan perhatian terhadap genosida ini. Dunia internasional semestinya tidak hanya mempermasalahkan proses demokratisasi Myanmar, tetapi juga harus mempersoalkan bencana kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya. Pengiriman misi kemanusiaan ke Myanmar adalah langkah penting dan mendesak yang harus dilakukan PBB dan negara- negara lain di dunia.
Ketiga, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia sekaligus negara terbesar di kawasan Asia Tenggara, Indonesia harus bersikap lebih tegas dan keras. Banyak negara mayoritas muslim yang sesungguhnya menggantungkan harapan kepada Indonesia untuk turun tangan mendesak Myanmar menghentikan kekerasan terhadap etnis Rohingya. Indonesia dipandang sebagai negara yang paling mampu melakukan tindakan tersebut mengingat negara ini memiliki kekuatan pengaruh besar di Asia Tenggara. Inilah momentum paling tepat bagi Indonesia untuk mengembalikan kejayaan masa lalu sebagai negara paling berpengaruh yang mampu menjamin stabilitas regional.
24 Juli 2012